A. ABAD KE-8; KONSEP AWAL TAUHID
Kaum yang disebut sebagai Muktazilah pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ketiga Kekhalifahan Rasyidin, pada tahun 656 M. Kelompok yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali, Aisyah atau Muawiyah dalam Perang Saudara Islam I, tetapi mengambil kedudukan politik netral disebut Mu'tazilah.
Sementara itu, Muktazilah teologis pertama kali dilembagakan oleh seorang tabi'in bernama Wasil bin Atha' (wafat: 131 H) dan Amr bin Ubaid (wafat: 144 H). Hal ini bermula dari tindakan Wasil bin Atha' berpisah (i'tazala) dari gurunya, yaitu Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Oleh karenanya, pengikut Wasil bin Atha' disebut sebagai Mu'tazilah (bentuk jamak dari i'tazala). dirinya mulai mengembangkan konsepnya sendiri yang dikenal sebagai al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Selain itu, kelompok ini juga disebut sebagai Ahl al-Tawḥīd wa al-ʿAdl (اهل التوحيد و العدل) "ahli tauhid dan keadilan". Karena penekanannya pada tauhid dan keadilan Allah yang termaktub dalam lima prinsip dasar Muktazilah (al-ushul al-khamsah).
B. ABAD ke-10; AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
- tauhid adz-Dzati, bermakna bahwa Allah SWT. Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya
- tawhid al-sifāt, yang berarti bahwa sifat ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis, yang afirmasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan (tasybīh), karena Sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana Dzat-Nya tidak seperti dzat makhluk
- tawhīd al-af‘āl, yang mengandung pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT. dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan oleh-Nya
Adalah seorang alim madzhab Hanbali abad ke delapan hijriah yang mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855). Dalam pandangan Ibnu Taymiyah, tauhid memiliki dua aspek, keyakinan (i‘tiqādi) dan praktis (‘amali). Yang pertama disebut tawhīd al-ma‘rifah wa al-itsbāt, sedangkan yang kedua, tawhīd al-‘ibādah. Secara lebih terperinci, Ibn Taymiyyah membagi tauhid ke dalam tiga jenis, al-rubūbiyah, al-ulūhiyah dan al-asmā’ wa al-shifāt.
- tauhid Rubbubiyah bermakna meyakni bahwa Allah SWT. adalah ”Pencipta segala sesuatu, Tuhannya (Rabbuhu), Pemiliknya, tidak ada pencipta selain-Nya" Segala apa yang ada, gerakan maupun diam, adalah dengan ketentuan, ketetapan, kehendak dan cipta-Nya.” Tauhid rubūbiyyah ini, dari aspek tertentu, paralel dengan tauhid af‘āl sebagaimana yang dijabarkan al-Asy’ari.
- tauhid ulūhiyah, yang didefinisikan sebagai penyembahan pada Allah tanpa penyekutuan. Tauhid ulūhiyah, dengan demikian, adalah tauhid ibadah, karena yang dipertuhan (al-ma’lūh) adalah yang disembah (al-ma‘būd). Untuk membuktikan bahwa tauhid rubūbiyah tidak cukup, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT. dalam menciptakan langit dan bumi, tapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan,41 karena mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah.
- tauhid al-asmā’ wa al-sifāt. Maknanya adalah mengesakan Allah dengan Nama-nama dan Sifat-sifatNya sebagaimana diriwayatkan dalam al-Qur’an dan hadis.
D. ABAD KE-18; PEMURNIAN TAUHID
Gagasan Tauhid Ibnu Taymiyah ini dielaborasi oleh Muḥammad bin ʿAbdul Wahhāb at-Tamīmī (1703–1792) yang mewujudkannya menjadi sebuah gerakan "pemurnian tauhid". Gerakan ini bukan sekedar pada wacana namun sudah mewujud dalam gerakan menghancurkan berbagai simbol dan bangunan yang dipandang menjadi bagian dari kemusyrikan dalam masyarakat Islam, khususnya di jazirah Arab.
Ibnu ʿAbdul Wahhab membuat perjanjian politik agama dengan Muhammad bin Saud untuk membantunya mendirikan Emirat Diriyah, negara Saudi pertama, dan memulai aliansi dinasti dan pengaturan pembagian kekuasaan antara keluarga mereka yang berlanjut hingga hari ini di Kerajaan Arab Saud.
Dengan dibantu Imam Muhammad Bin Saud (pada awalnya hanya pemimpin di kota Di'riyah namun kelak akan menjadi raja saudi pertama), Maka pemerintahan saudi pun saat itu mulai menghancurkan setiap tempat kesyirikan. inilah yang menjadi awal bala besar bagi penyembah kubur, yang menjadikan tempat-tempat kubur sahabat dan orang saleh lainnya sebagai mata pencaharian.
Pengaruh Ibnu Wahad dan Saud ini menarik perhatian Turku Utsmani yang mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H. Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syekh (anak-cucu Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibu kota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syekh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Dia dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Dia dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.
Kerajaan Saudi ini ditentang oleh kelompok Syiah dan termasuk negara Inggris Raya, sehingga dimunculkanlah isi Wahabi untuk memecah belah. Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syekh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb itu, telah dijawab oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya dia menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahhāb (Anak Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahhāb, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
E. ABAD KE-20; TAUHID IDIOLOGIS
Ada perkembangan berikutnya ketika percaturan politik dunia pada pertengahan abad ke-20 diwarnai dengan pertarungan ideologi antara kapitalisme dengan komunisme, berkembanglah doktrin tauhid yang dapat menjadi basis ideologi Islam untuk mengimbangi dua ideologi dominan itu. Doktrin tauhid demikian dikembangkan dari doktrin tauhid Ibnu Taimiyah dengan modifikasi tertentu. Dua tokoh pada era ini adalah Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb.
Kalangan al-Ikhwan al-Muslimun di Timur Tengah memodifikasi doktrin tauhid Ibnu Taimiyah dengan mengembangkan dua kategori tauhid bersar. Pertama, tauhid ma’rifah dan itsbat yang meliputi tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat. Kedua, tauhid permintaan dan tujuan yang meliputi tauhid ilahiyah dan ibadah.
Sementara kalangan Jamaah Islamiyah di Pakistan yang dipelopori Sayyid Abul A'la Maududi (1903-1979) memodifikasi doktrin Tauhid Ibnu Taimiyah dengan tetap menekankan kapasitas Allah sebagai Ilah yang dihubungkan dengan ibadah dan Rabb yang dihubungkan dengan din, dan keempatnya (Ilah-ibadah dan Rabb-din) dipandang merupakan istilah asasi yang dijadikan kunci untuk memahami ajaran-ajaran Islam, khususnya sistem pemerintahan. Lihat buku beliau 4 Istilah dalam Al Quran, Principle of Islam, Khilafah wal Mulk, Tafsir Tafhim-ul-Quran. Meskipun menentang berdirinya Pakistan sebagai negara nasional Islam, Maududi tetap tinggal di Lahore dan terlibat dalam penyusunan undang-undang dasar (pertama) Pakistan (lihat bukunya berjudul Law and Konstitution). Maududi juga melarang warga Pakistan untuk mengambil sumpah setia kepada negara sampai negara tersebut menjadi negara Islam.
Tokoh terkenal dalam idiologisasi tauhid adalah Sayid Qutub (1906-1966) yang secara tegas menyebutkan istilah tauhid hakimiyah. Menurut Sayyid Qutb, hakimiyah Allah atau kedaulatan Tuhan adalah ide sentral yang mencerminkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber otoritas dan yang berdaulat di alam semesta. Ide ini mencakup secara fisik, moral, hukum, dan politik.
Hakimiyah merupakan pemikiran utama yang menjadi landasan konsep kelompok-kelompok Islam radikal. Dari konsep hakimiyah ini, lahir konsep syirik hakimiyah dan tauhid hakimiyah dari Sayyid Quthb dan saudaranya, Muhammad Quthb. Dan dari sana lah, muncul istilah al-ushbah al-mu’minah (golongan yang beriman). Serta keyakinan atas janji Allah bagi siapa saja yang bergabung kepada kelompoknya.
Hakimiyah merupakan pemikiran utama yang menjadi landasan konsep kelompok-kelompok Islam radikal. Dari konsep hakimiyah ini, lahir konsep syirik hakimiyah dan tauhid hakimiyah dari Sayyid Quthb dan saudaranya, Muhammad Quthb. Dan dari sana lah, muncul istilah al-ushbah al-mu’minah (golongan yang beriman). Serta keyakinan atas janji Allah bagi siapa saja yang bergabung kepada kelompoknya.
Dari konsep inilah, muncul perasaan bahwa umat Islam selain mereka merupakan orang-orang jahiliah. Pemikiran ini menimbulkan adanya jurang pemisah antara kelompoknya dengan umat Islam yang lain. Kemudian melahirkan pemikiran bahwa kelompoknya lebih baik daripada umat Islam yang lainnya. Semua itu merupakan sejumlah pemikiran yang menyerang akal seorang muslim yang taat. Sehingga ia berubah menjadi seorang yang radikal dan suka mengkafirkan (takfiri) orang lain serta mengangkat senjata dan menumpahkan darah.
Ketika ditelusuri sumber dan muara dari pemahaman hakimiyah, menurut Yusuf Qardhawi, maka akan bermuara pada kitab Fi Dzilal Al-Qur’an (Di Bawah Lindungan Al-Qur’an) karya Sayyid Quthb. Serta kitab-kitab karya Sayyid Qutb lainnya. Seperti Ma’allim Fi Thariq (Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman) serta Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial Dalam Islam). Ada yang berpandangan Sayyid Qutb merujuk pemahaman ini kepada Abu Ala Maududi, namun klaim ini sulit dibuktikan mengingat keduanya hidup pada waktu yang bersamaan dan di wilayah yang berbeda.
Uniknya di jalur Indonesia, Tauhid Idiologis ini muncul dari beberapa sumber:
- kelompok Tarbiyah pada era 1980-an, pendiri PKS yaitu Helmi Aminudin (1947-2020) dan Syaikh Tarbiyah (Rahmat Abdullah) (1953-14 Juni 2005) menulis dalam Manhaj Tarbiyah li Binail Ummah sebuh judul materi pembinaan berjudul "Wadzifatullah" yang mengurai tiga tauhid yaitu Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah. Materi ini diajarkan kepada seluruh peserta tarbiyah se Indonesia. Namun tahun 2000-an, judul materi ini dihilangkan dan tidak pernah lagi diajarkan di internal PKS.
- Prof Yunahar Ilyas (1956-2020) yang menulis buku berjudul "Kuliah Aqidah Islam" menuliskan pembagian tauhid diantaarana=ya terdapat Tauhid Mulkiyah. Buku ini merupakan textbook di seluruh perguruan Muhammadiyah, terbit tahun 1992.
- kelompok Darul Islam (NII) sejak tahun 1990-an melalui berbagai makalah internalnya, yang kemudian lebih lengkap seperti ditulis oleh Ohan Sudjana (1951- ...) seorang tokoh SI melalui diktatnya berjudul "Fenomena Aqidah Islamiyah" yang diperbanyak sejak tahun 1990 dan diterbitkan pertama kali tahun 1993 oleh Media Dakwah DDII. Lihat juga makalah "Aqidah Islamiyah" (Iskandar, 1997).


F. ABAD 20; NILAI TAUHID
Menjelang berakhirnya perang dingin pada akhir abad ke-20 berkembang rumusan tauhid yang tidak lagi menekankan kapasitas Allah dengan "fungsi ideologisnya", tapi menekankan fungsi nilainya. Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan ini adalah Fazlur Rahman (1919-1988) seperti dalam bukunya "Islam" dan Ismail Raji al-Faruqi (1921-2986) seperti dalam bukunya "Tauhid".
Yang pertama menekankan fungsi moral tauhid melalui penjelasannya tentang ajaran-ajaran pokok al-Qur’an yang meliputi tema-tema: Tuhan, manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan komunitas Muslim. (lihat bukunya "Tema-Tema Al Quran")
Sementara al-Faruqi menekankan fungsi nilai sebagai prinsip-prinsip dalam semua bidang kehidupan melalui penjelasannya tentang tauhid sebagai inti pokok agama Islam yang menjadi prinsip dalam sejarah, ilmu pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, umat, keluarga, tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika.
Untuk konteks Indonesia, Imaduddin Abdul Rahim, buku "Kuliah Tauhid"nya termasuk yang mewakili aktualisasi nilai-nilai Tauhid dalam kehidupan keseharian. Buku ini terbit tahun
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa konsep tauhid dalam teologi Islam tidak monolitis dan perumusannya dilakukan dengan konteks sejarah yang jelas. Karena itu sebagai konsep teologi, tauhid selalu terbuka untuk dirumuskan ulang sesuai dengan tantangan zaman yang harus direspon oleh umat.
Referensi: disini, disini, disini, disini.
Seluruh internal Tarbiyah yang kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan (PK) mengenal Helmi Aminudin sebagai pendiri awal tarbiyah di Indonesia yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin Mesir. Namun sekalipun demikian namanya disembunyikan oleh internal PKS (dulu bernama PK). Hingga pada tahun 2005, sejak wafatnya Rahmat Abdullah selaku ketua majelis syuro PKS, Helmi Aminudin kembali muncul dan langsung menempati posisi tertinggi PKS dengan menjabat sebagai ketua MS PKS dengan istilah khusus yaitu Muraqib Am (MA). Sejak perubahan AD ART tahun 2010 masa jabatannya menjadi qiyadah MS PKS dari “maksimal dua kali masa jabatan” berubah menjadi “seumur hidup”. https://www.facebook.com/notes/645525649461517/?_rdr
https://almitsaq.blogspot.com/2024/12/surat-untuk-ustadz-hilmi-aminuddin.html
Menurut Yusuf Supendi Lc, salah seorang pendiri Partai Keadilan (PK) dan mantan Anggota Majelis Syuro PK/PKS, penggagas PKS menjadi partai terbuka adalah Helmi Aminuddin (Republika, 8 Februari 2008). Melalui koran nasional Republika, namanya sejak itu masih Helmi, bukan Hilmi.
Kepemimpinan Helmi di PKS sebagai pemimpin tertinggi di atas DPP, dikenal dengan istilah Muraqim Am (MA), melahirkan kontroversi hingga ia dikritik melalui surat konfidential yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh besar PKS seperti namun para pengkritiknya kemudian diisolir dan dikeluarkan dari PK. (https://www.facebook.com/notes/645525649461517/?_rdr)
Sampai tahun 2011, namanya masih Helmi, lihat https://socio-politica.com/tag/danu-muhammad-hasan/
Sejak kapan namanya berubah dari Helmi Aminudin menjadi H. Hilmi Aminuddin? atau KH. Hilmi Aminuddin? Jejak internet sulit sekali melacak fakta ini. Sampai tahun 2005, penulis blog ini bahkan pernah mensearching di internet, nama Hilmi ketika itu belum ada di internet. Namun beberapa tahun kemudian, penulis blog ini menemukan bahwa ternyata perubahan ini sudah dilakukan Helmi sejak tahun 2001 yaitu dengan penerbitan buku-bukunya melalui penerbit Pustaka Tarbiatuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.