Esensi iman kepada Allah SWT adalah Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma' was-shiffaat, maupun af'al (perbuatan)-Nya. Berikut ini adalah kutipan dari buku Kualiah Aqidah Islam karangan Yunahar Ilyas, seorang pimpinan Muhammadiyah.1)
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau tahapan yaitu: 1. Tauhid Rububiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb), 2. Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik) 3. Tauhid Ilahıyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah). Penyederhanaan ke dalam tiga tingkatan di atas didasarkan kepada firman Allah SWT:
"Segala puji Allah, Tuhan semesta alam." (Al-Fatihah 1: 2)
"Yang menguasai hari pembalasan." (Al-Fatihah 1: 4)
"Hanya kepada Engkaulah kamu menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al-Fatihah 1: 5)
"Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia." (An-Naas 114: 1)
"Raja Manusia." (An-Naas 114: 2)
"Sembahan manusia." (An-Naas 114: 3)
"Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia: maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (Az-Zumar 39: 6)
1. Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata "Rabb" sebenarnya mempunyai banyak arti, antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki, menanggung, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, mengepalai, menyelesaikan suatu perkara memiliki dan lain-lain (lihat uraian etimologis Maududy dalam Ketuhanan, Ibadah dan Agama, 1983, 30-34), namun untuk lebih sederhana dalam hubungannya dengan Rububiyatullah (Tauhid Rububiyah) kita mengambil beberapa arti saja yaitu mencipta, meinberi rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki (kata-kata mencipta, memberi rezeki dan mengelola disimpulkan dari beberapa pengertian etimologis di atas), dan sebagian arti Rabb kita masukkan secara khusus ke dalam pengertian Mulkiyatullah (Tauhid Mulkiyah) seperti memimpin, mengepalai dan menyelesaikan suatu perkara.
Dengan pengertian di atas ayat Allah SWT: "Alhamdu lillahi rabbil'alamin" bisa kita pahami bahwa segala puja dan puji hanyalah untuk Allah Yang Mencipta, Memberi rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki alam semesta. Begitu juga ayat: "Qul a'uzubi rabbinnas" bisa kita pahami: Katakanlah (Hai Muhammad), aku berlindung dengan Yang Mencipta, Memberi rezeki, Memelihara, Mengelola (Kehidupan) dan Memiliki manusia.
Pengertian bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Zat Yang Mencipta, Memberi rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki, banyak kita dapati di dalam kitab suci Al-Qur'an, antara lain dalam ayat-ayat berikut ini:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa." (Al nBaqarah 2: 21)
"Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit,
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tunanniu, kepunyaan-Nyalah kerajaan.
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari". (Fa-Thir 35: 13)
"Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui." (Al-Mukminun 23: 84)
"Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah,' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak ingat?" (Al-Mukminun 23: 85)
2. Tauhid Mulkiyah
Kata Malik yang berarti raja dan Malik yang berarti memiliki berakar dari akar kata yang sama yaitu ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu – pada hakikatnya dimilikinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakannya kepada orang lain, apalagi menjualnya.
Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah SWT sebagai Rabb yang memiliki alam semesta (al-'alamin) adalah Raja dari alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja Yang Dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut.
Dalam hal ini Allah SWT adalah Malik (Raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang memiliki atau hamba). Kita adalah raja dari sesuatu yang banyak menemukan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Pemilik dan Raja langit dan bumi dan seluruh isinya, antara lain:
"Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong." (Al-Baqarah 2: 107)
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-Maidah 5: 120)
Bila kita mengimani bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Raja yang menguasai alam semesta (bumi langit dan seluruh isinya) maka kita - minimal harus mengakui bahwa Allah SWT adalah Pemimpin (Wali), Penguasa Yang Menentukan (Hakim) dan Yang Menjadi Tujuan (Ghayah). Hal itu logis sebagai konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah SWT adalah Raja. Bukanlah Raja kalau tidak memimpin, bukanlah Pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu, atau tidak punya “kata putus".
Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka Raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah Raja simbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang sangat tidak menentukan sistem kehidupan atau sistem pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan (singgasana) atau karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru makan fungsional sebagai raja apabila berfungsi menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan larangannya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman:
"Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah 2: 257)
Az-Zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan, sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, keta'atan (Islam). Atau dalam bahasa sekarang azzhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya.
At-Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Thaghut itu bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah (Fi Zhilalil Qur'an I/292).
Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SA W, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur'an:
Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)" (Al-Maidah 5: 55).
Ayat ini menjelaskan kriteria Ulil Amri yang umat Islam diperintahkan oleh Allah SWT untuk loyal kepada mereka:
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu..." (An-Nisa'4: 59).
Kriteria itu adalah mendirikan shalat (ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT), menunaikan zakat (ibadah yang hasilnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat - secara horizontal) dan pemimpin itu harus tunduk patuh kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya (ra-ki'un).
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak (tanpa batas), sedangkan taat kepada Ulil Amri relatif (terbatas) yaitu selama masih dalam ruang lingkup taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya disebutkan secara eksplisit sendiri-sendiri, sedangkan perintah taat kepada Ulil Amri hanya di'athafkan kepada perintah taat sebelumnya. Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah SAW:
"Tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk mendurhakai Khaliq."
Sebagaimana yang sudah kita sebutkan di atas bahwa Allah SWT baru fungsional sebagai pemimpin bila Dia berfungsi sebagai Hakim (Yang Menentukan Hukum, Yang Berkuasa, Yang Memutuskan Perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai Wali haruslah mengimani Allah SWT sebagai Hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainnya.
Allah SWT menegaskan berkali-kali dalam kitab suci Al-Qur'an bahwa hak menentukan hukum ini hanya ada di tangan Allah SWT.
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'am 6
"Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat." (Al-An'am 6: 62)
Allah SWT memberi predikat Fasiqun, Zhalimun dan Kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah.
"Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir." (Al-Maidah 5: 44).
"Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang zhalim." (Al-Maidah 5: 45).
"Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang fasiq." (Al-Mardah 5: 47).
Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tapi melanggar :melaksanakannya, karena menuruti hawa nafsu maka orang tadi disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut zhalim jika merugikan orang lain.
Bila Allah SWT adalah Wali dan Hakim, maka kita akan Atau tidak melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi Ghayah (tujuan) kita. Kita akan mengucapkan sebuah pernyataan:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (Al-An'am 6: 162).
Ringkasnya Tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik yang mencakup pengertian sebagai Wali, Hakim dan Ghayah.
3. Tauhid Ilahiyah
Kata Ilah berakar dari kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain tenteram, tenang, lindungan, cinta dan sembah (abada). Semua kata-kata ini relevan dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah SWT seperti dinyatakan oleh Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur'an:
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (Ar-Ra'du 13: 28).
"Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil." (Al-Baqarah 2: 67).
"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah 2: 165).
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut." (An-Nahl 16: 36).
Di antara makna Ilah di atas maka yang paling asasi adalahmakna abada ('ain-ba-dal) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: hamba sahaya (abdun), patuh dan tunduk (ibadah), yang mulia dan yang agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya ('abada bih). Jika arti kata-kata ini diurutkan maka dia menjadi susunan kata yang sangat logis yaitu: bila seseorang menghambakan diri terhadap seseorang maka ia akan mengikutinya, mengagungkannya, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaannya.
Dalam konteks ini "al-Ma'bud" berarti yang memiliki, yang dipatuhi, dan yang diagungkan. (Al-Islam, 1979, 23-24).
Jadi Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Al-Ma'bud (yang disembah). Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku (beribadahlah) Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatku." (Thaha 20:14).
Antara ketiga dimensi Tauhid di atas berlaku dua teori (dua dalil) yaitu:
a. Dalil at-Talazum
Talazum artinya kemestian. Maksudnya setiap orang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya meyakini Tauhid Mulkiyah, dan meyakini Tauhid Mulkiyah semestinya meyakını Tauhid Ilahiyah. Dengan kata lain Tauhid Mulkiyah adalahkonsekuensi logis dari Tauhid Rububiyah. Tauhid Ilahiyah adalah konsekuensi logis dari Tauhid Mulkiyah.
Apabila terhenti pada Rububiyah saja atau pada Mulkiyah saja tentu ada sesuatu yang tidak logis. Itulah sebabnya kepada orang-orang yang ingkar, durhaka, kufur, dan sebangsanya Allah SWT sering mengajukan pertanyaan: "Apakah kamu tidak berakal? Apakah kamu tidak berpikir? (Afala Ta'qiluun, Afala Tatafakkaruun).
Kita buat perumpamaan seorang mahasiswa dengan orang-tuanya. Yang memberi belanja dan mencukupi kebutuhan materiel si mahasiswa adalah orangtuanya, apa komentar mahasiswa tersebut bila ada orang lain yang tidak punya jasa apa-apa memintanya untuk tidak patuh pada orangtuanya, tapi patuh kepada dia. Tentu mahasiwa itu akan mengatakan bahwa permintaan itu tidak masuk akal, tidak wajar, tidak normal, kalau tidak akan mengatakan orang itu tidak normal. Kita kembali kepada Allah SWT.
Bila seseorang meyakini Allah SWT sebagai Zat Yang Menciptakannya, Yang Memberikan rezeki kepadanya, Yang Memeliharanya, kenapa dia patuh, hormat, cinta dan tunduk kepada "makhluk" serta mendurhakai Allah SWT? Tentu hal seperti ini sama sekali tidak sesuaidengan akal sehat.
Begitu juga kalau dia mengaku tunduk, patuh, cinta dan sebagainya kepada Allah SWT kenapa dia menyembah yang lain, bukan menyembah Allah SWT? Tentu hal ini pun sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Bila teori ini kita terapkan pada ayat 14 surat Thaha di atas, maka seseorang yang berdiri menghadap kiblat untuk melaksanakan shalat seolah-olah menyampaikan kepada AllahSWT kata-kata berikut: "Ya Allah, Engkaulah yang Menciptakan aku, Engkaulah Yang memberikan rezeki kepadaku, Engkaulah Yang Memeliharaku, Engkaulah Yang mengelola kehidupanku, oleh sebab itu Engkaulah Rajaku, Engkaulah Pemim-pinku dan hanya aturan-Mulah yang aku ikuti, dengan demikian apa saja yang aku lakukan kupersembahkan untuk-Mu, untuk mencari ridha-Mu. Sekarang aku buktikan semua itu dengan sujud kepada-Mu...Allahu Akbar."
b. Dalil at-Tadhamun
Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yangsudah sampai ke tingkat Tauhid llahiyah tentunya sudah melalui dua tauhid sebelumnya. Kenapa dia beribadah kepada AllahSWT semata? Karena Allah SWT adalah Rajanya (Wali, Hakim dan Ghayah).
Kenapa Allah Rajanya? Karena Allah SWT adalah Rabb-nya. Kalau kembali kita terapkan teori ini pada ayat 14 surat Thaha di atas, maka apabila seseorang yang sudah mendirikan shalat tapi masih tetap mendurhakai Allah SWT dalam aspek kehidupan yang lain, atau sikap dan tingkah lakunya tidak menunjukkan dia mengakui Allah sebagai Wali, Hakim dan Ghayah, maka tentu "pengakuan" yang dia ucapkan dalam shalat untuk selalu tunduk patuh hanya kepada Allah SWT dan mempersembahkan segala sesuatunya untuk Allah Rabbul 'alamiin adalah pengakuan yang tidak benar, atau pengakuan palsu.
1) Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.wafat tahun 2020, sampai akhir hayatnya alm adalah salah satu Ketua PP Muhammadiyah
Silahkan lihat diskusi tentang Klasifikasi Tauhid disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.