TAUHID: Sejarah, Doktrin dan Perkembangan

 TAUHID: Sejarah, Doktrin dan Perkembangan
By Ust. Hamim Ilyas  07/05/2020  4 Mins read

Sentralitas doktrin tauhid –kepercayaan bahwa Allah Maha Esa- telah menjadi kesepakatan dalam teologi Islam. Namun pemahaman tentang hakekat keesaan-Nya ternyata mengalami perkembangan, untuk tidak mengatakan perbedaan. 

Abad ke-8: Konsep Awal Tauhid 

Dalam perkembangan yang paling awal konsepsi tauhid menekankan keesaan Dzat Allah. Ketika kepercayaan itu dikaji dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam dengan semangat zaman Hellenisme (pemaduan kebudayaan Yunani dengan kebudayaan Timur-Islam) pada abad ke-8 M, kaum Mu’tazilah mempersepsikan tauhid Dzat secara mutlak. Maksudnya Allah itu Maha Esa tanpa sifat-sifat yang menjadi wujud sendiri yang bukan dzat-Nya. Sebab jika ada wujud sifat yang bukan Dzat-Nya maka berarti ada pluralitas wujud yang kekal (ta’addud al-qudama’), sehingga tauhid menjadi tidak murni. 

Jadi menurut mazhab itu Allah tidak memiliki sifat yang berwujud sendiri, sifat yang menjadi kualitas yang dimiliki-Nya adalah Dzat-Nya sendiri. Karena itu Dia Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Misalnya, tidak dengan sifat mengetahui dan mendengar yang berwujud sendiri selain Dzat-Nya. Tapi dengan Dzat-Nya sendiri yang bisa mengetahui dan mendengar. 

Paham ini direaksi oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang berpandangan sebaliknya. Mazhab ini dengan tegas mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat karena Dia Sendiri menyatakan demikian. Dia menyatakan bahwa Dia hidup, berkehendak, berkuasa dan lain-lain yang menunjukkan bahwa Dia memiliki sifat pada dzat-Nya (sifah dzatiyah). Di samping itu, Dia juga menyatakan bahwa Dia mengetahui, mendengar berbicara dan lain- lain. Yang mana, menunjukkan bahwa Dia melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu (sifah fi’liyah). Sifat-sifat itu tidak sama dengan, bahkan lain dari Dzat Tuhan, tetapi ada dalam Dzat-Nya. 

Abad ke-12: Pemurnian Tauhid 

Kemudian ketika Dunia Islam mulai mengalami kemunduran yang ditandai dengan penaklukan beberapa kawasan oleh pasukan Mongol, muncul semangat di sementara kalangan ulama untuk menata kembali kehidupan sosial-politik umat berdasarkan nilai- nilai Islam yang murni. Di bawah pengaruh semangat inilah Ibnu Taimiyah pada abad ke- 12 merumuskan pemikiran keagamaannya yang luas, temasuk pemikiran kalam.

Berbeda dengan kecenderungan sebelumnya, Ibnu Taimiyah tidak lagi menekankan keesaan Dzat Allah dalam perumusan doktrin tauhid. Tapi menekankan kapasitas-Nya. Sesuai dengan banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah itu adalah Ilah dan Rabb. Dia mengembangkan doktrin tauhid yang dapat menegaskan dua kapasitas itu. Karena itu dia mengembangkan doktrin tauhid uluhiyah. Yaitu kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah; dan doktrin tauhid rububiyah, kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki dalam pengertian yang luas- alam semesta. Dengan tauhid ini dia berharap umat dapat terdorong untuk lebih menaati nilai- nilai Islam yang diajarkan Allah sebagai Rabb, sehingga dapat terhindar dari kemesorotan yang lebih dalam. 

Abad ke-18: Pembakuan Tauhid

Selanjutnya ketika kehidupan umat pada abad ke-18 terus merosot dan saking merosotnya mereka kalah jauh dari Barat, bahkan berada di bawah penjajahan mereka, maka dikembangkanlah doktrin tauhid yang ketat. Doktrin ini dikembangkan dengan pemaduan antara paham Asy’ariyah dengan paham Ibnu Taimiyah. 

Pemaduan itu tampak dengan jelas dalam doktrin tauhid yang berkembang dalam Mazhab Wahabi yang membagi tauhid menjadi tiga kategori dengan dua di antaranya merupakan kategori yang diperkenalkan Ibnu Taimiyah dengan diberi pendalaman tertentu. Pertama, tauhid  rububiyah, mengesakan Allah dalam mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta. Pada jenis tauhid ini seluruh orang dipandang memiliki tauhid rububiyah, sekalipun itu orang musyrik. Yang membedakan orang musyrik dan muslim adalah pada tauhid rububiyahnya (tauhid ibadah). Kedua, tauhid uluhiyah, mengesakan Allah dalam ibadah dengan tidak menyembah dan mendekatkan diri kepada selain-Nya. Ketiga, tauhid asma’ was sifat, mengesakan Allah dalam pemberian nama dan sifat kepada Diri-Nya sebagaimana yang terdapat dalam al- Qur’an dan hadis nabi, tanpa mengubah, menafikan, pencaraan dan perbandingan. 

Pemaduan dengan penetapan asma dan sifat yang luas tapi ketat ini sudah barang tentu, sebagaimana yang bisa diketahui dari perjuangan Muhammad bin Abdul wahhab –pendiri Wahhabi- berhubungan dengan upaya untuk memperbaiki kehidupan umat yang terus merosot itu dan diyakini dikarenakan krisis akidah.

Abad ke-20: Ideologisasi Tauhid 

Pada perkembangan berikutnya ketika percaturan politik dunia pada pertengahan abad ke-20 diwarnai dengan pertarungan ideologi antara kapitalisme dengan komunisme, sementara kalangan mengembangkan doktrin tauhid yang dapat menjadi basis ideologi Islam untuk mengimbangi dua ideologi dominan itu. Doktrin tauhid demikian dikembangkan dari doktrin tauhid Ibnu Taimiyah dengan modifikasi tertentu. 

Kalangan al-Ikhwan al-Muslimun di Timur Tengah memodifikasi doktrin tauhid Ibnu Taimiyah dengan mengembangkan dua kategori tauhid bersar. Pertama, tauhid ma’rifah dan itsbat yang meliputi tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat. Kedua, tauhid permintaan dan tujuan yang meliputi tauhid ilahiyah dan ibadah. 

Sementara kalangan Jamaah Islamiyah di Pakistan yang dipelopori al-Maududi memodifikasi doktrin Tauhid Ibnu Taimiyah dengan tetap menekankan kapasitas Allah sebagai Ilah yang dihubungkan dengan ibadah dan Rabb yang dihubungkan dengan din, dan keempatnya (Ilah-ibadah dan Rabb-din) dipandang merupakan istilah asasi yang dijadikan kunci untuk memahami ajaran-ajaran Islam, khususnya sistem pemerintahan.

Tokoh terkenal dalam idiologisasi tauhid adalah Sayid Qutub yang secara tegas menyebutkan istilah tauhid hakimiyah yang berarti mengesakan Allah pada aspek penegakan hukum di masyarakat. Silahkan lihat istilah Tauhid Hakimiyah dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, kalau tidak salah dalam Tafsir Surat An Nisa ayat 97. 

Dalam konteks Indonesia sendiri, menariknya juga terdapat idiologisasi tauhid (lihat note di bawah). Dalam batas-batas tertentu respon terhadap pertarungan ideologi itu juga terdapat dalam internal kalangan DI/TII, Muhammadiyah dan Embrio Partai Keadilan. Respon dari beberapa kalangan tersebut adalah dengan menambahkan kategori tauhid keempat, tauhid mulkiyah, yakni mempercayai Allah sebagai satu-satunya Raja Yang Berdaulat bagi seluruh alam, yang meliputi pengertian sebagai Wali (Pemimpin), Hakim (Penguasa yang menentukan hukum dan semua peraturan kehidupan) dan ghayah (Tujuan segala sesuatu). 

Abad ke-20: Fungsi Nilai Tauhid 

Terakhir menjelang berakhirnya perang dingin pada akhir abad ke-20 berkembang rumusan tauhid yang tidak lagi menekankan kapasitas Allah dengan fungsi ideologisnya, tapi menekankan fungsi nilainya. Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan ini adalah Fazlur Rahman dan Ismail Raji al-Faruqi.

Yang pertama menekankan fungsi moral tauhid melalui penjelasannya tentang ajaran-ajaran pokok al-Qur’an yang meliputi tema- tema: Tuhan, manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan komunitas Muslim. 

Sementara al-Faruqi menekankan fungsi nilai sebagai prinsip-prinsip dalam semua bidang kehidupan melalui penjelasannya tentang tauhid sebagai inti pokok agama Islam yang menjadi prinsip dalam sejarah, ilmu pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, umat, keluarga, tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. 

Dari uraian di atas sangat jelas bahwa konsep tauhid dalam teologi Islam tidak monolitis dan perumusannya dilakukan dengan konteks sejarah yang jelas. Karena itu sebagai konsep teologi, tauhid selalu terbuka untuk dirumuskan ulang sesuai dengan tantangan zaman yang harus direspon oleh umat.

Sumber Artikel : TAUHID: Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di https://ibtimes.id/?p=6314

Catatan: 
1. Tauhid Mulkiyah juga dikembangkan oleh para aktifis DI/TII sejak tahun 1980-an, khususnya oleh Abi Karim.  Ia adalah seorang ustadz yang juga pengurus Muhammadiyah Tangerang yang juga mengelola sebuah  madrasah di daerah Rempoa Bintaro., Abi Karim Hasan mengembangkan doktrin yang dinamakan Mabadiuts Tsalasah saat menjadi pimpinan DI wilayah IX (sebelum dikudeta Abu Toto) 
2. Pendefinisian Tauhid Mulkiyah pada awalnya juga dikembangkan oleh tokoh Muhammadiyah, diantaranya oleh Dr Yunahar Ilyas, pimpinan Muhammadiyah wafat tahun 2020, lihat kutipan tauhidnya di buku beliau disini.
3. Sejak tahun 1990-an, Ohan Sudjana, seorang pimpinan Sarekat Islam juga menulis tentang Fenomena Tauhid yang kemudian dibukukan oleh Penerbit Media Dakwah (DDII) tahun 1994. Kajian Tauhid Mulkiyah memang telah menjadi kajian sejak lama di dalam organisasi Sarekat Islam (SI). 
4. Tokoh lain yang mensosialisasikan Tauhid Mulkiyah adalah Rahmat Abdullah, tokoh pendiri Partai Keadilan melalui tulisan beliau yang berjudul Rasmul Bayan fi Binail Ummah, ta'lif Syaikh Tarbiyah yang dikeluarkan pada tahun 1980-an. Pada tulisan organigram tersebut ada judul Wadzifatullah yang membagi "peran" Allah dalam tiga jenis yaitu Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.