Beberapa pandangan terhadap Syaikh Ibnu Taimiyah:
Dalam keyakinan Ibn Taimiyah bahwa jenis alam ini (al-Jins atau an-Nau’) tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-Maddah atau al-Afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali.
Keyakinan Ibn Taimiyah ini persis seperti keyakinan para filosof terdahulu yang mengatakan bahwa alam ini adalah sesuatu yang qadim atau azali; tidak memiliki permulaan, baik dari segi jenis-jenisnya maupun dari segi materi-materinya. Hanya saja Ibn Taimiyah mengambil separuh kesesatan dan kekufuran para filosof tersebut, yaitu mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah hanyalah al-Jins atau an-Nau’-nya saja.
Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling buruk yang dikutip dari faham-faham ektrim Ibn Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat, dan bahkan menyalahi dalil-dalil tekstual, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam.
Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam banyak karyanya. Di antaranya dalam; Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul[1], Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah[2], Kitab Syarh Hadits an-Nuzul[3], Majmu’ al-Fatawa[4], Kitab Syarh Hadits ‘Imrah ibn al-Hushain[5], dan Kitab Naqd Maratib al-Ijma’[6]. Seluruh kitab-kitab ini telah diterbitkan dan anda dapat melihat statemennya ini dengan mata kepala sendiri.
Keyakinan Ibn Taimiyah ini jelas menyalahi teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, dan menyalahi konsensus atau ijma’ seluruh orang Islam. Juga nyata sebagai faham yang menyalahi akal sehat. Di dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman:
هو الأول والآخر (الحديد: 3)
“Dialah Allah al-Awwal (yang tidak memiliki permulaan), dan Dialah Allah al-Akhir (yang tidak memiliki penghabisan)”. QS. al-Hadid: 3.
Kata al-Awwal dalam ayat ini artinya al-Azali atau al-Qadim. Maknanya tidak memiliki permulaan. Makna al-Awwal, al-Azali dan atau al-Qadim dalam pengertian ini secara mutlak hanya milik Allah saja. Tidak ada suatu apapun dari makhluk Allah yang memiliki sifat seperti ini.
Karena itu segala sesuatu selain Allah disebut makhluk, karena semuanya adalah ciptaan Allah, semuanya menjadi ada karena ada yang mengadakan. Dengan demikian semua makhluk tersebut baru, semuanya ada dari tidak ada. Keyakinan Ibn Taimiyah di atas jelas menyalahi teks al-Qur’an, sama saja ia telah menetapkan adanya sekutu bagi Allah dalam sifat ke-azalian-Nya. Dengan demikian keyakinan ini adalah keyakinan syirik.
Catatan Kaki :
[1] Lihat karyanya Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, j. 2, h. 75. Lihat pula j, 1, h. 245 dan j. 1, h. 64.
[2] Lihat karyanya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224. Lihat pula j. 1, h. 83 dan j. 1, h. 109.
[3] Kitab karyanya Syarah Hadits an-Nuzul, h. 161
[4] Lihat Majmu’ al-Fatawa, j. 6, h. 300
[5] Lihat karyanya Kitab Syarah Hadits ‘Imran ibn al-Hushain, h. 192
[6] Lihat karyanya Naqd Maratib al-Ijma’, h. 168
B. Kontroversi Ke Dua: “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah Jism (benda)"
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadits an-Nunzul[1], Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul[2], Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah[3], Majmu’ Fatawa[4], dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah[5].
Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”[6].
Catatan Kaki :
[1] Syarah Hadits an-Nuzul, h. 80
[2] Lihat Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 1, h. 62, j. 1, h. 148
[3] Lihat karyanya; Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180
[4] Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 152
[5] Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101
[6] Ibid.
C. Menyoal Ibnu Taimiyah tentang 'Allah Tersusun dari Bagian-bagian’
Dzat makhluk yang berukuran besar seluruhnya selalu tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil sehingga bisa dipilah-pilah. Ada bagian atas, bawah, samping, depan dan belakangnya. Ada pula bagian-bagian yang bernama lain, semisal dalam kasus manusia ada bagian berupa kepala, tubuh, tangan dan kaki. Inilah yang disebut sebagai konsep tarkib atau penyusunan.
Lalu apakah Dzat Allah subhanahu wata’ala juga tersusun dari bagian-bagian atau dengan kata lain mempunyai tarkib? Seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) sepakat bahwa tarkib adalah mustahil bagi Allah. Tidak mungkin Allah yang Mahasuci dari kekurangan tersusun dari bagian-bagian sehingga bisa dipilah atau klasifikasi bagian atas, bawah, samping, depan atau belakangnya.
Tidak mungkin juga Allah yang Mahasuci dari kekurangan tersusun dari bagian-bagian yang berupa wajah, tangan, kaki, dan seterusnya. Tarkib dianggap sebagai ciri khas makhluk yang mustahil dimiliki Allah. Ini adalah kesepakatan semua ulama Ahlussunnah tanpa kecuali. Terlalu banyak pernyataan mereka untuk dinukil.
Namun sayangnya, Syekh Ibnu Taimiyah menyempal dalam hal ini. Ia menetapkan satu jenis tarkib yang baginya pasti dimiliki seluruh yang wujud, termasuk Allah. Sebagian dari anda mungkin kaget atau menganggap ini fitnah, tapi sayangnya ini betul-betul aqidah beliau yang ditulisnya sendiri sehingga wajar bila ulama Ahlussunnah dari segenap penjuru mengkritik beberapa poin aqidah beliau. Menurut Ibnu Taimiyah, tarkib ada empat jenis. Tiga jenis pertama ia sebutkan di Majmu’ al-Fatawa sebagai berikut:
وَلَفْظُ التَّرْكِيبِ قَدْ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ رَكَّبَهُ مُرَكَّبٌ أَوْ أَنَّهُ كَانَتْ أَجْزَاؤُهُ مُتَفَرِّقَةً فَاجْتَمَعَ أَوْ أَنَّهُ يَقْبَلُ التَّفْرِيقَ وَاللهُ مُنَزَّهٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
“Kata tarkib (penyusunan) kadang dimaksudkan dalam arti bahwa: (1) Allah disusun oleh sosok penyusun, atau (2) bagian-bagian-Nya sebelumnya terpisah-pisah kemudian menyatu, atau (3) Ia bisa dipisah-pisah bagiannya. Allah Mahasuci dari itu semuanya” (Syekh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 5: 419).
Ketiga makna tarkib di atas ia anggap mustahil bagi Allah, dalam hal ini ia benar. Akan tetapi tak ada satu pun orang Islam yang berpikiran demikian, apalagi meyakininya. Ketiganya adalah hal yang bertentangan dengan prinsip ketuhanan. Dengan demikian perincian beliau ini adalah tindakan tak berguna sebab bukan itu yang dibahas oleh para ulama yang menafikan tarkib bahkan tak ada Muslim yang memikirkan itu. Tinggal satu lagi makna tarkib yang menurut beliau pasti ada, yakni:
وإن قال أريد بالمنقسم أن ما في هذه الجهة منه غير ما في هذه الجهة كما نقول إن الشمس منقسمة يعني أن حاجبها الأيمن غير حاجبها الأيسر والفلك منقسم بمعنى أن ناحية القطب الشمالي غير ناحية القطب الجنوبي وهذا هو الذي أراده فهذا مما يتنازع الناس فيه
“Apabila yang dimaksud dengan terbagi-bagi adalah apa yang ada di sisi ini dari-Nya bukanlah apa yang di sisi lainnya, sebagaimana kita berkata bahwa Matahari terbagi dalam arti permukaan yang sebelah kanan bukanlah permukaan sebelah kiri, dan bahwa gugusan bintang terbagi dalam arti bahwa sisi poros utara bukanlah poros selatan, dan ini yang ar-Razi maksudkan, maka ini termasuk makna yang diperselisihkan orang-orang” (Syekh Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîsil Jahmiyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalamiyah, 3: 440).
Ibnu Taimiyah kali ini barulah membahas konsep tarkib yang dimaksudkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah yang direpresentasikan oleh Imam ar-Razi. Sebagaimana di atas, menurutnya konsep ini diperselisihkan, namun ia kemudian menyebutkan pendapatnya sendiri sebagai berikut:
فيقال له قولك إن كان منقسمًا كان مركبًا وقد تقدم إبطاله وتقدم الجواب عن هذا الذي سميته مركبًا وتبين أنه لا حجة أصلاً على امتناع ذلك بل تبين أن إحالة ذلك تقتضي إبطال كل موجود ولولا أنه أحال على ما تقدم لما أحلنا عليه وتقدم بيان ما في لفظ التركيب والحيز والغير والافتقار من الإجمال وان المعنى الذي يقصدونه بذلك يجب أن يتصف به كل موجود سواء كان واجبًا أو ممكنًا
“Maka dijawab pada ar-Razi: Ucapanmu bahwa bila Allah terbagi-bagi berarti tersusun, dan hal ini sudah dibahas kesalahannya dan telah lalu jawaban dari apa yang engkau sebut sebagai tersusun itu. Dan, telah jelas bahwasanya tidak ada alasan sama sekali untuk menolak ketersusunan itu. Bahkan jelas bahwa memustahilkan hal itu berkonsekuensi meniadakan semua wujud. Andai ia tak menyebutnya sebelumnya, tentu kami tidak menyinggungnya. Telah diterangkan sebelumnya tentang kata tarkib (penyusunan), haiz (batasan diri), ghair (perbedaan), dan iftiqar (butuh) yang masih global dan bahwasanya makna yang mereka maksud darinya pasti disifati oleh seluruh yang ada, baik itu Dzat yang pasti ada (Allah) atau Dzat yang bisa ada dan bisa tidak ada (makhluk).”
Dari pernyataan tersebut jelas sekali dan gamblang bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan Allah tersusun dari bagian-bagian sehingga bisa diklasifikasi bagian tertentu dari Dzat Allah sebagai berbeda dari bagian lainnya. Menurutnya, ini adalah keniscayaan bagi seluruh yang wujud. Pemikiran ini disebut tajsim atau menganggap Allah serupa materi, yang bertentangan dengan paham Asy’ariyah-Maturidiyah.
Bahkan Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa makna haiz (batasan diri), ghair (perbedaan), dan iftiqar (butuh) yang oleh Ahlussunnah dianggap mustahil dan terlarang untuk disematkan pada Allah, menurutnya juga pasti dimiliki Allah. Ini makin menguatkan bukti bahwa ia meyakini Allah sebagai sosok jism (fisikal) yang mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Menolak istilah “tajsim” bagi pemikiran semacam ini adalah sama dengan menolak istilah “pencurian” bagi kegiatan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi.
D. Pandangan Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Terhadap Ibnu Taimiyah
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sikap beberapa kelompok ulama dalam menilai Ibnu Taimiyyah. Di dalam kitabnya ad-Durar al-Kaminah, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :
وافترق الناس فيه شيعا:
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله: إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله، وأنه مستو على العرش بذاته، فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام. فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام. فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله.
ومنهم من ينسبه إلى الزندقة لقوله: إن النبي صلى الله عليه وسلم لا يستغاث به، وأن في ذلك تنقيصا ومنعا من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان أشد الناس عليه في ذلك النور البكري فإنه لما له عقد المجلس بسبب ذلك قال بعض الحاضرين: يعزر. فقال البكري: لا معنى لهذا القول فإنه إن كان تنقيصا يقتل وإن لم يكن تنقيصا لا يعزر.
ومنهم من ينسبه إلى النفاق لقوله في علي ما تقدم ولقوله إنه كان مخذولا حيث ما توجه، وأنه حاول الخلافة مرارا فلم ينلها، وإنما قاتل للرياسة لا للديانة، ولقوله إنه كان يحب الرياسة، وأن عثمان كان يحب المال، ولقوله أبو بكر أسلم شيخا يدري ما يقول، وعلي أسلم صبيا والصبي لا يصح إسلامه على قول، وبكلامه في قصة خطبة بنت أبي جهل وقصة أبي العاص بن الربيع وما يؤخذ من مفهومها؛ فإنه شنع في ذلك فألزموه بالنفاق لقوله صلى الله عليه وسلم: ولا يبغضك إلا منافق
“ Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah :
1. Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
2. Ada sebagian kelompok yang menilainya sebagai orang yang zindiq, karena ia pernah mengatakan, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dijadikan perantara istighatsah (tidak boleh beristighatsah dengan Nabi). Dan sesungguhnya perbuatan itu mengurangkan dan mencegah daripada pengagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
.3. Di kalangan mereka ada yang mengaitkannya dengan kemunafikan, karena pandangan jeleknya tentang Ali bin Abi Talib, Katanya: Sesungguhnya beliau (Ali bin Abi Talib) adalah orang yang kecewa dan patah harapan sebagaimana yang diketahui beliau berusaha untuk mendapatkan kekhalifahan namun beliau tidak pernah mencapainya. Beliau berperang hanyalah untuk mendapatkan tampuk pemerintahan, bukan kerana agama. Katanya: Sesungguhnya beliau gila kuasa. Utsman gila harta, ia juga menyoali : Abu Bakar masuk Islam diusia tua , namun Ali masuk Islam ketika masih kanak-kanak, sedangkan keislaman anak-kanak tidak sah. Juga karena ucapannya tentang kisah khitbah binti Abi Jahl, dan kisah Abi al-‘Ash bin ar-Rabi’ dan mafhum dari apa yang dikatakannya. Karena ia (Ibnu Taimiyyah) telah berkata buruk tentang imam Ali, maka ulama mengaitkannya dengan kemunafikan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan : “ Wahai Ali, tidaklah seorang membencimu melainkan ia adalah orang munafik“.[Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155]
Penyebutan Ibnu Hajar ini, membuktikan adanya fakta penilaian ulama saat itu terhadap pemahaman Ibnu Taimiyyah antara berpaham tajsim, zindiq dan munafiq. Hal ini tidak bisa dipungkirinya, mereka yang mengaitkan Ibnu Taimiyyah dengan tajsim, zindiq dan kemunafikan adalah para ulama besar yang diakui keluasan ilmu dan ke wira’iannya oleh umat Islam, seperti imam Taqiyyudin as-Subuki, imam Badruddin bin jama’ah Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi, imam Ibnu Hajar al-Haitami dan puluhan ulama lainnya sebagaimana telah kami sebutkan dalam artikel pertama dalam masalah ini. Dalam menyebutkan sikap para ulama yang hidup di masa Ibnu Tiamiyyah pun, al-Hafidz Ibnu Hajar tidak mengomentari apa-apa terhadap tiga sikap penilaian ulama tersebut saat itu dalam kitabnya tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar pun membenarkan tuduhan imam as-Subuki tentang sikap tidak hormatnya Ibnu Taimiyyah terhadap imam Ali :
طالعت الرد المذكور فوجدته كما قال السبكي في الاستيفاء، لكن وجدته كثير التحامل إلى الغاية في رد الأحاديث التي يوردها ابن المطهر، وإن كان معظم ذلك من الموضوعات والواهيات، لكنه رد في رده كثيرا من الأحاديث الجياد التي لم يستحضر حالة التصنيف مظانها؛ لأنه كان لاتساعه في الحفظ يتكل على ما في صدره، والإنسان عامد للنسيان. وكم من مبالغة لتوهين كلام الرافضي أدته أحيانا إلى تنقيص علي رضي الله عنه
“ Aku (Ibnu Hajar) telah mempelajari kitab bantahan Ibnu Taimiyyah tersebut (kepada syi’ah), maka aku menemukan sebagaimana ucapan as-Subuki di dalam al-Istifaa. Akan tetapi aku menemukan Ibnu Taimiyyah terlalu berlebihan di dalam menolak hadits-hadits yang ditampilkan Ibn al-Muthahhar, meskipun kebanyakannya dari hadits maudhu’ dan lemah, akan tetapi Ibnu Taimiyyah banyak menolak hadits-hadits jayyid yang luput dari pandangannya ketika menulis kitab tersebut, karena memang Ibnu Taimiyyah luas hafalannya, ia mengandalkan hafalan di dadanya, sedangkan manusia itu sangat rentan lupa. Berapa banyak sikap berlebihan di dalam membantah Rafidhah, terkadang menyebabkannya terhadap sikap mencacat imam Ali radhia Allahu ‘anhu “.[Lisan al-Mizan : 6/319]
Adapun klaim mereka (pengikut fanatik Ibnu Taimiyyah) yang mengatakan bahwa al-Hafidz Ibnu Hajar memuji Ibnu Taimiyyah setinggi langit dalam salah satu komentarnya. Maka kami katakan, bahwasannya pujian beliau bukan berarti membenarkan penyimpangan-penyimpangan Ibnu Taimiyyah yang ditahdzir oleh para ulama. Pujian beliau adalah pujian terhadap dzat Ibnu Taimiyyah seperti keluasaan hafalan dan kecerdasan Ibnu Taimiyyah dan semisalnya. Bahkan kebanyakan ulama mengakui keluasan hafalan Ibnu Taimiyyah, namun pujian itu bukan berarti menafikan pemahaman-pemahaman Ibnu Taimiyyah yang menyimpang yang telah banyak ulama mentahdzirnya.
Terlebih jika kita mau melihat pemahaman dan akidah al-Hafidz Ibnu Hajar, maka kita kan ketahui dengan yakin bahwa sebagian besar pemahaman dan akidah beliau berbeda bahkan bersebrangan dengan pemahaman dan akidah Ibnu Taimiyyah. Seandainya al-Hafidz Ibnu Hajar menilai penyimpangan Ibnu Taimiyyah di atas kebenaran, maka barulah hal itu dikatakan pujian mu’tabar terhdapnya. Namun faktanya justru al-Hafidz Ibnu Hajar bertentangan akidahnya dengan akidah Ibnu Taimiyyah, di antaranya :
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar menolak konsep Ibnu Taimiyyah tentang 'Perkara baru' yang tidak ada awalnya yang dibangun Ibnu Taimiyyah dalam akidahnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar membantah konsep Ibnu Taimiyyah tersebut :
وفي رواية أبي معاوية: (كان الله قبل كل شيء) وهو بمعنى: (كان الله ولا شيء معه)، وهي أصرح في الرد على من أثبت حوادث لا أول لها من رواية الباب، وهي من مستشنع المسائل المنسوبة لابن تيمية، ووقفت في كلام له على هذا الحديث يرجح الرواية التي في هذا الباب على غيرها، مع أن قضية الجمع بين الروايتين تقتضي حمل هذه على التي في بدء الخلق لا العكس، والجمع يقدم على الترجيح بالاتفاق
“ Dan dalam riwayat Abi Mu’awiyah “ Allah ada sebelum segala sesuatu “, itu bermakna “ Allah ada dan tidak ada sesuatu bersama-Nya. Hadits ini bantahan yang paling jelas terhadao orang yang yang menetapkan 'perkara baru' yang tidak ada awalnya dari riwayat bab ini. Perkara ini termasuk masalah buruk yang dikaitkan kepada Ibnu Taimiyyah. Aku telah mengkaji ucapan Ibnu Taimiyyah terhadap hadits ini, ia mentarjih satu riwayat dalam masalah ini atas riwayat lainnya, padahal kasus mengkompromikan kedua riwayat tersebut mengharuskan pemahaman riwayat tentang pemulaan penciptaan bukan sebaliknya, dan pengkompromian dua hadits lebih didahulukan daripada pentarjihan secara sepakat “.[Fath al-Bari : 13/410]
2. Dalam masalah ziarah, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :
قلت: يشير إلى ما رد به الشيخ تقي الدين السبكي وغيره على الشيخ تقي الدين بن تيمية، وما انتصر به الحافظ شمس الدين بن عبد الهادي وغيره لابن تيمية، وهي مشهورة في بلادنا. والحاصل أنهم ألزموا ابن تيمية بتحريم شد الرحل إلى زيارة قبر سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأنكرنا صورة ذلك، وفي شرح ذلك من الطرفين طول، وهي من أبشع المسائل المنقولة عن ابن تيمية
“ Aku katakan, mengisyaratkan kepada apa yang telah dikatakan oleh syaikh Taqiyyuddin as-Subuki dan selainnya terhadap syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, dan apa yang dibela oleh al-Hafidz Syamsuddin bin Abdul Hadi dan selainnya terhadap Ibnu Taimiyyah, ini hal yang masyhur di negeri kami. Kesimpulannya mereka (ulama) menetapkan Ibnu Taimiyyah mengharamkan syadd ar-Rahl (Berusaha keras pergi) ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami mengingkari gambaran hal itu, dan menjelaskan hal itu dari kedua kubu sangatlah panjang. Dan ini adalah di antara isu paling buruk yang dinukilkan dari Ibnu Taimiyyah “.[Fath al-Bari :3/66]
3. Dalam masalah tabarruk dan tawassul, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam salah satu komentarnya :
وَفِيْهِ اِسْتِعْمَالُ آثَارِ الصَّالِحِيْنَ وَلِبَاسُ مَلاَبِسِهِمْ عَلىَ جِهَةِ التَّبّرُّكِ وَالتَّيَمُّنِ بِهَا.
“Dalam hadits tersebut diperbolehkan menggunakan bekas-bekas orang saleh dan memakai pakaiannya karena tabarruk dan mencari berkah dengannya.” [Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, X/198]
4. Dalam masalah akidah sifatnya al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :
“ Ucapan : “ Allah Ta’ala turun di setiap malam “, Umat Islam berbeda pendapat dalam memahami makna turun, atas beberapa pendapat. Di antara mereka ada yang membawa maknanya atas zahirnya, mereka adalah kaum musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), dan Allah Maha Suci dari ucapan mereka ini. Di antara mereka ada yang mengingkari kesahihan hadits-hadits yang warid itu secara jumlah, mereka adalah kaum Khawarij dan Mu’tazilah, ini adalah sebuah kesombongan nyata. Di antara mereka ada yang mentakwilnya. Di antara mereka ada yang melaluinya atas apa yang datang, dengan mengimaninya dengan jalan pemahaman globalnya, dengan tetap mensucikan Allah dari kaifiyyah dan tasybih, mereka adalah madzhab mayoritas ulama salaf “[Fath al-Bari : 3/30].
Dari sini jelas bahwasanya al-Hafidz Ibnu Hajar menentang pokok-pokok pemikiran Ibnu Taimiyyah terutama dalam masalah akidah. Seandainya Ibnu Hajar membela Ibnu Taimiyyah sudah pasti beliau akan membenarkan pemikiran Ibnu Tiamiyyah tersebut yang dianggap menyimpang oleh banyak ulama.
Adapun kata pengantar al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab ar-Radd al-Wafir yang mengatakan :
والمسائل التي أنكرت عليه ما كان يقولها بالتشهي ولا يصر على القول بها بعد قيام الدليل عليه عنادا
“ Dan masalah-masalah yang diingkari atasnya, tidaklah diucapkan atas dasar syahwat dan juga tidak berlanjut atas ucapan itu setelah tegaknya dalil atasnya secara paksa…”
Maka jelas, hal ini didasari sangkaan al-Hafidz Ibnu Hajar atas taubatnya Ibnu Taimiyyah. Ucapan beliau tersebut justru merupakan bukti adanya masalah-masalah Ibnu Taimiyyah yang diingkari para ulama, namun al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah tidak lagi mengatakan masalah-masalah tersebut. Al-Hafidz Ibnu Hajar meyakini pertaubatannya Ibnu Taimiyyah dari semua masalah yang diingkari oleh banyak para ulama, namun masalahnya adalah para pengikutnya yang fanatik buta tidak meyakini pertaubatan Ibnu Taimiyyah dan terus melanjutkan pemahaman-pemahaman Ibnu Taimiyyah yang dianggap menyimpang oleh banyak ulama Ahlus sunnah.
Artikel seterusnya akan kami bahaskan Sebab Ibnu Taimiyyah dibantah dan dipenjarakan oleh para ulama dan qadhi juga tentang pandangan dan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang dianggap menyimpang oleh para ulama ahlussunnah.
Referensi
[1] Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155
[2] Lisan al-Mizan : 6/319
[3] Fath al-Bari : 13/410
[4] Fath al-Bari :3/66
[5] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, X/198.
[6] Fath al-Bari : 3/30
E. Berapa buku bisa dilihat
1. Abdullah al Harari, al Maqalat al Sunniyyah fi Kasyf dlalalat Ahmad ibn Taymiyah (Bairut: Dar al al Masyari’, 1998), hal. 13
2. Kholilurrohman, Aqidah Imam Empat Mahdzhab Menjelaskan Tafsir Istawa dan Kesucian Allah dari Tempat dan Arah, Nurul Hikmah Press, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.