Diskusi Maulid

DISKUSI MAULID

Topik 1 Pengertian Amanah dalam Qs Al Ahzab:72

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ 

72.  Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh. (Qs 33:72)

Topik taklim bulan ini adalah tentang amanah, di dalam Qs 33/72 disebutkan bahwa bumi, langit dan gunung menolak untuk menerima amanah. Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan bumi, langit dan gunung menolak menerima amanah? Amanah apa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut? Jelaskan dan uraikanlah jawabanmu.

Jawaban:

Pengertian Amanah secara Lughah:

1. Dari mawdoo.com

Kata amanah artinya bisa dipercaya. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yakni amuna- ya’munu- ‎amānatan. 

معنى الأمانةِ لُغةً:

الأمانةُ: ضِدُّ الخيانةِ، مصدَرُ أمِنَ أمانةً فهو أمينٌ، ثمَّ استُعمِلَ المصدَرُ في الأعيانِ، فقيل: الوديعةُ أمانةٌ، ونحوُه، والجمعُ أماناتٌ، وأمِنْتُه على كذا، وائتمَنْتُه، واستأمَنْتُه: بمعنًى، والأمانةُ أيضًا: اسمٌ لِما يؤمَنُ عليه الإنسانُ، نحوُ قَولِه تعالى: وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ [الأنفال: 27] ، أي: ما ائتُمِنْتُم عليه، وأصلُ الأمنِ: سكونُ القَلبِ وطُمَأنينةُ النَّفسِ وزوالُ الخَوفِ  .

مُعَنَّى الْأمَانَةِ لُغَةً:

الْأمَانَةُ: ضِدُّ الْخِيَانَةِ، مَصْدَرُ أُمِّنَّ أمَانَةً فَهُوَ أَمينٌ، ثُمَّ اُسْتُعْمِلَ الْمَصْدَرُ فِي الْأعْيَانِ، فَقِيلَ: الْوَدِيعَةُ أمَانَةٌ، وَنَحوُهُ، وَالْجَمْعُ أمَانَاتٌ، وَأَمِنْتُهُ عَلَى كَذَا، وَاِئْتَمَنْتُهُ، واستأمَنْتُه: بِمُعَنًّى، وَالْأمَانَةُ أَيْضًا: اِسْمٌ لِمَا يُؤَمَّنُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ، نَحوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَتَخُونُوا أمَانَاتِكُمْ[ الْأَنْفَالَ: 27]، أَيَّ: مَا ائِتُمِنْتُم عَلَيْهِ، وَأَصْلُ الْأَمْنِ: سُكُونُ الْقَلْبِ وَطُمَأْنِينَةُ النَّفْسِ وَزَوَالُ الْخَوْفِ.

Makna amanah secara bahasa adalah:

amanah: kebalikan dari pengkhianatan, sumber dapat dipercaya, maka dia dapat dipercaya. Kemudian digunakan infinitif dalam arti konkrit, dikatakan: titipan adalah amanah, dan sejenisnya, dan bentuk jamaknya amanah, dan Aku percaya padanya untuk ini dan itu, dan Aku percaya padanya, dan Aku percaya padanya: arti, dan kepercayaan juga: nama untuk apa yang seseorang percaya dengan ،، Seperti firman Yang Maha Kuasa: Dan kamu mengkhianati amanahmu  [Al-Anfal: 27]Artinya, apa yang telah dipercayakan kepadamu, dan landasan keamanan adalah ketenangan hati, ketenangan jiwa, dan lenyapnya rasa takut

معنى الأمانةِ اصطِلاحًا:

الأمانةُ: هي كُلُّ حَقٍّ لَزِمَك أداؤه وحِفظُه  .

Arti kepercayaan secara idiomatis:

Kepercayaan: Ini adalah setiap hak yang wajib Anda penuhi dan pelihara

وقيل: هي: (التَّعَفَّفُ عمَّا يتصرَّفُ الإنسانُ فيه من مالٍ وغيرِه، وما يوثَقُ به عليه من الأعراضِ والحُرَمِ مع القُدرةِ عليه، وردُّ ما يُستودَعُ إلى مُودِعِه)  

Dikatakan: Yaitu: (menjauhkan diri dari apa yang dikeluarkan seseorang berupa uang dan lain-lain, dan apa yang dipercayakan kepadanya secara kehormatan dan larangan, padahal ia mampu, dan mengembalikan apa yang dititipkan kepada orang yang menyimpannya)

وقال الكَفَويُّ: (كُلُّ ما افتُرِض على العبادِ فهو أمانةٌ؛ كصلاةٍ وزكاةٍ، وصيامٍ وأداءِ دَينٍ، وأوكَدُها الودائعُ، وأوكَدُ الودائِعِ كَتمُ الأسرارِ)  .

Al-Kafwi berkata: (Segala sesuatu yang diwajibkan atas seorang hamba adalah amanah, seperti shalat, zakat, puasa, dan membayar hutang. Yang paling pasti adalah titipan, dan yang paling pasti dari amanah adalah menjaga rahasia. .).

====

2. Disebutkan dalam kitab bahasa berjudul Maqayisul Lughah, 

} أمن } الهمزة والميم والنون أصلان متقاربان : أحدهما الأمانة التى هى ضدّ الخيانة، ومعناها سكون القلب؛ والآخرالتصديق. والمعنيان كما قلنا متدانيان. قال الخليل : الاَمَنَةُ مِن الأمْن . والأمان إعطاء الأَمَنة . والأمانة ضدُّ الخيانة.

(maqayisul lughah, jilid1 hal 133, pdf arab)

Kata “amanah” berasal dari “al-hamzah”, “mim”, ”nun”, kata ini mengarah pada dua pokok makna kata yang berdekatan : 1. Al-amanah lawan kata dari al-khiyanah yaitu suk-n al-qalb (ketenangan hati). 2. Al-tasdiq : mempercayakan. Kedua arti di atas saling berdekatan. Al-Kholil mengatakan : األمنة dari kata الألمن, dan األمان berarti memberi rasa aman. Sementara األمانة adalah lawan kata dari al-khianah.(Abi al-Husain Ahmad Faris bin Zakaria, Mu’jam Al-Maqayis Fi Al-Lughah, ed. by Abdussalam Muhammad Harun (Beirut: Darr al-Fikr, 1979). Jilid 1,133-134)

Kata أمن bermakna األمن dan األمانة : aman dan amanah. Al-amanu lawan kata dari al-khauf (takut), sementara al-amanah lawan kata al-khianah. Al-Iman lawan kata dari al-kufur. (Zakaria. jilid13, 21)

 يقال أمنتُ  الرَّجُلَ أمنا وَأَمَنَةً وأَمانًا، وآمننى يؤمننى  إيمانا. والعرب تقول : رجل أمَّانٌ، إِذ١ كان أمِينًا، قال الأعشى

artinya: .....


===

3. Dari kitab Mufradat fi Gharibil Quran

أمن : أصلُ الأمنِ طُمَأْنِينَةُ  النَّفْسِ وزوالُ الْخَوْفِ وَالأمنُ والأمانَةُ والأمانُ فى الأصْلِ  مَصَادِرُ وَيَجْعَلُ الأَمانُ تارَةً اسْمًل للحالةِ التى يكون عليه الإنْسَانُ نحوُ قَولهِ : [وَتَخُونُوا أماناتِكُم]

{kitab asli, halaman 29, juga - pdf arab, halaman 25}

(Aman) : Hakikat dari rasa aman adalah tenangnya hati dan . Lafaz  dasarnya adalah lafazh-lafazh yang berbentuk mashdar. Kemudian terkadang lafazh kan sebagai sebuah nama untuk kondisi dimana

manusia merasa aman disana. Dan terkadang dijadikan sebagai sebuah nama untuk sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (amanah), seperti firman Allah:" Kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadau. " (QS. Al-Anfal:27) {terjemah indo, juga di pdf indo, jilid 1 hal 96.}

Amanah juga berarti keamanan (terjemah indo, juga di pdf indo, jilid 1 hal 98.

Sekarang mari kita lihat Tafsirnya;

- At Thabari, menyebutkan, "Para ahli takwil berbeda pendapat mengenai maknanya. Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa maksud amanat di sini adalah semua bentuk amanat dalam agama dan amanat manusia karena Allah tidak mengkhususkan latazh "Kami telah kemukakan amanat" pada sebagian makna amanat" (jilid 21, hal. 289)

قالوا : إنه عُنِي بالأمانةِ فى هذا الموضوع جميعُ معانى الأماناتِ فى الدين, وأماناتِ الناسِ, وذالك أن اللهَ  لم يَخُصُّ بقولِهِ (عَرَضْنَا الأَمَانَةَ) بعضَ معانى الأماناتِ لِما وصَفنا

- juz 19, hal 204-205, pdf arab

- Ibnu Katsir menyebutkan, amanah tersebut adalah segala kewajiban dan syariat, perintah dan larangan yang dibebankan (taklif) kepada manusia (jilid 6.5 hal 544 indo)

- Al Qurthubi menyebutkan, "Menurut pendapat yang paling benar, amanah yang dimaksud oleh ayat ini bersifat umum, yaitu untuk semua perbuatan yang berkaitan dengan agama. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (jilid 14 hal 611 indo)

- Az Zilal menyebutkan, 

وهذا القمر. وهذه النجوم والكواكب، وهذه الرياح والسحب. وهذا الهواء وهذا الماء .. وهذه الجبال. وهذه الوهاد .. كلها .. كلها .. تمضي لشأنها، بإذن ربها، وتعرف بارئها، وتخضع لمشيئته بـلا جهد منها ولا كد ولا محاولة .. لقد أشفقت من أمانة التبعة. أمانة الإرادة. أمانة المعرفة الذاتية. أمانـة المحاولة الخاصة (jilid 33 hal 89 pdf arab)


Disyakal oleh https://tahadz.com menjadi (ini masih salah) wa hadzal qamaru!

وَهَذَا الْقَمَرِ. َهَذِهِ النُّجُومِ وَالْكَوَاكِبِ، وَهَذِهِ الرِّيَاحِ وَالسَّحْبِ. َهَذَا الْهَوَاءِ وَهَذَا الْمَاءِ.. وَهَذِهِ الْجِبَالِ. وَهَذِهِ الْوِهَادِ.. كُلُّهَا.. كُلُّهَا.. َمْضِي لِشَأْنِهَا ، بِإِذْنِ رَبِّهَا،  وَتَعْرُفُ بَارِئُهَا، وَتَخْضَعُ لِمَشِيئَتِهِ بِلَا جَهْدٍ مِنْهَا وَلَا كَدٌّ وَلَا مُحَاوَلَةٌ.. لِقَدَّ أَشْفَقَتْ مِنْ أمَانَةِ التَّبِعَةِ. أمَانَةُ الْإِرَادَةِ. أمَانَةُ الْمَعْرِفَةِ الذَّاتِيَّةِ. أمَانَةُ الْمُحَاوَلَةِ الْخَاصَّةَ.

Az Zilal menyebutkan, "Demikian pula bulan, bintang, planet, angin, awan, udara, air, gunung dan lembah-lembah semuanya berfungsi sebagaimana mestinya dengan izin dari Rabbnya. Mereka semua mengenal Penciptanya dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa upaya darinya, tanpa usaha dan keletihan. Mereka semua telah menyatakan keenggaran dalam mengemban amanat yang besar itu. yaitu amanah kehendak, amanah makrifat (pengetahuan, khf) yang khusus dan amanah usaha yang khusus (jilid 33 hal 295 indo)

Note: Pengarang azzilal nampaknya lebih menekankan kepada apa perbedaan antara manusia dan bumi-langit-gunung yaitu hanya manusialah yang diberikan amanah untuk berkehendak, orang barat menyebutnya dengan freedom of will, ini tidak dimiliki kecuali manusia (dan jin), dan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, dan menjadikan manusia memiliki derajat lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Dan karena adanya amanah berkehendak inilah maka manusia diberikan beban (taklif) berupa syariat dan tugas kekhalifahan.

Intinya, saat hendak mengetahui makna sesuatu, jangan andalkan, terjemahan, carilah di kitab-kitab tafsir, dan bacalan pendapat para ulama tentang ayat tersebut.

==

Topik 2 Makna Ayat AL Maidah:44

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ 

"Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir"

Di dalam Qs Al Maidah ayat 44 disebutkan siapa saja yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Pertanyaannya adalah apakah orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah orang kafir? Jika seseorang tidak menegakkan hukum, seperti hukum pidana Islam (mencuri, membunuh, dll) seperti faktanya yang terjadi di masyarakat kita hari ini, apakah orang-orang tersebut sudah keluar dari Islam dan disebut kafir? Jelaskan dan uraikanlah jawabanmu.


Jawaban:

Mari kita baca beberapa tafsir tentang hal ini.

Tafsir azh Zhilal menyebutkan, 'beginilah ketetapan yang tegas dan pasti. Begitulah pernyataan umum yang dikandung oleh lafal "man" siapa saja, sebagai isim isyarat dan jumlah syarat sesudahnya, yang menunjukkan kebelakuannya melampaui batas-batas lingkungan dan kondisi, masa dan tempat. Hukumnya berlaku secara umum atas semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang disutunkan Allah, pada generasai kapan pun dan dari bangsa manapun. 

Illat-nya 'alasannya, dasarnya' sebagaimana kami kemukakan, adalah bahwa orang yang tidak mau memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah adalah karena dia menolah uluhiyah Allah. Pasalnya uluhiyah ini merupakan hak istimewa Allah yang di antara konsekuensinya ialah kedaulatan-Nya membuat syariat dan hukum. Karena itu barang siapa yang menghukum dan memutuskan perkara dengan selain dari apa yang diturunkan Allah berarti dia menolak uluhiyah Allah dan hak-hak istimewanya pada satu sisi, pada sisi lain ia mengklaim dirinya memiliki hak uluhiyah dan hak istimewa itu. (jilid 5 hal 237 indo)

Selanjutnya, di dalam azh zhilal ketika menjelaskan wamanlam yahkum bima anzalallahu faulaika humuz zhalimun, disebutkan, "”..Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim. ”(al-Maa’idah: 45). Ungkapan ini bersifat umum, tidak ada mukhash-shish yang mengkhususkannya. Tetapi, di sini dipergunakan sifat baru, yaitu "zalim”.

Sifat baru ini bukan berarti keadaan lain selain sifat kufur (kafir) yang disebutkan sebelumnya Akan tetapi, sebagai tambahan bagi sifat lain bagi orang yang tidak mau memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah. Maka orang yang tidak mau memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah ini dinilai kafir karena menolak uluhiyyah  Allah SWT dengan hak prerogatifnya untuk membuat syariat dan peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, orang yang mengaku memiliki hak uluhiyyah itu dengan mengaku mempunyai hak membuat syariat dan hukum buat manusia disebut juga

zalim. Karena, ia membawa manusia kepada syariat selain syariat Tuhan mereka, yang baik dan dapat memperbaiki keadaan-keadaan mereka. Selain itu, mereka juga menzalimi dirinya sendiri dengan mencampakkannya ke dalam kebinasaan, menyediakannya untuk disiksa karena kekufurannya, dan membentangkan kehidupan manusia-bersama diri-nya-kepada kerusakan.

Inilah kandungan makna kesatuan musnad ilaihi dan fi’il syarat, "Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah", dengan jawab syarat yang kedua ditambah dengan jawab syarat pertama. Keduanya kembali kepada musnad ilaihi 'gatra pangkal’ dalam fi’il syarat yaitu ”man" 'barangsiapa’ yang menunjukkan kemutlakan dan keumuman."  (jilid 5 hal 239-240 indo)

Bisa disimpulkan bahwa Azh zhilal menyebutkan kata kafir itu bisa ditujukan kepada siapa saja, "dari lafal "man" siapa saja, sebagai isim isyarat". Bahkan kata "man" disitu dikategorikan sebagai orang yang menolak uluhiyah Allah. Jadi bisa saya simpulkan itu juga bisa bagi orang Islam. Nampaknya penulis azh zhilal belum terlalu jelas pengertian kafir dan siapa saja yang bisa disebut kafir, karena masih umum. Mungkin juga bisa orang Islam disebut kafir. 

Oleh karena itu, disinilah letak Azh Zhilal seolah-olah memberikan pandangan bahwa orang Islam juga bisa berarti kafir, karena menolak hukum Islam. Disini pula bisa difahami jika ada pula pandangan yang menyebutkan bahwa azh zhilal termasuk yang mengusung faham takfiri di abad 20 ini, wallahu a'lam.


Mari kita lihat tafsir lain.

Tafsir ath Thabari yang membahas ayat ini, menyebutkan bahwa para ahli takwil berselisih pendapat mengenai kata kafir dalam ayat ini. Sebagian berpendapat, bahwa maksudnya adalah kaum Yahudi yang mengubah kitab Allah dan mengganti hukumnya. 

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 456 pdf arabic

- jilid 9, hal 15 indo

 

Sebagian ahli takwil lainnya berpendapat bahwa alkafirun  ditujukan untuk orang-orang Islam, azhzhalimun untuk orang yahudi, dan al fasiqun untuk orang Nasrani.

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 462 pdf arabic

- jilid 9, hal 26 indo


وقال آخَرون : بل عُنِىَ بذلك كفرٌ دون كفرٍ, وظلمٌ دون ظلمٍ, وفِسقٌ دون فسقٍ

وَقَالَ آخَرُوْنَ : بَلْ عُنِىَ بِذَلِكَ كًفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ, وَظُلْمٌ دُوْنِ ظُلْمٍ, وَفِسْقٌ دُوْنِ فِسْقٍ

Sebagian lain berpendapat bahwa makna ayat itu adalah kafir sebelum (dibawah) kekafirannya, dzalim sebelum (dibawah) kedzalimannya, dan fasik sebelum (dibawah) kefasikannya.

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 464 pdf arabic

- jilid 9, hal 29 indo

Setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang makna kata kafir dalam ayat tersebut, penulis tafsir Ath Thabari menyimpulkan dengan mengutip pendapat Abu Ja'far bahwa, "Pendapat yang paling benar adalah yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab, karena ayat yang sebelum dan sesudahnya juga berbicara mengenai mereka. Ayat-ayat ini menjadi kelanjutan pemberitaan mengenai mereka, dan mereka lah yang dimaksud dengannya." - jilid 9, hal 36 indo

Lebih dalam lagi bisa dilihat dalam ath Thabari bahwa dari Thawus, tentang firmanNya "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir," Thawus berkata,

ليس بكفرٍ يَنْقُلُ عن الملةِ

لَيْسَ بِكَفْرٍ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ

"Bukan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama". 

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 465 pdf arabic

- jilid 9, hal 31 indo


Juga menurut Ibnu Abbas, pengertian kafir pada ayat itu bukan kafir yang sesungguhnya. Beliau mengistilahkan dengan kufrun duna kufrin (كفر دون كفر). Ibnu Abbas berkata :

قال : هى به كفرُ, وليس كفرًا باللّهِ وملائكته وكتبِه ورسلِه

""Maksudnya adalah kufur, namun bukan kufur kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, dan Rasul-Nya."

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 465 arabic

- jilid 9, hal 31 indo


Al Hasan menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Usamah menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya ia berkata, "Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas, mengenai ayat, 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ 

, apakah orang yang melakukan hal ini benar-benar kafir?" Ibnu Abbas berkata, "Jika  melakukan hal itu, maka dia kafir, namun yang dimaksud bukan kafir kepada Allah, Hari Akhir, dan yang lainnya". 

- tafsir ath thabari jilid 08, halaman 465 pdf arabic

- jilid 9, hal 31-32 indo

Kalangan pemahaman takfiriyah seringkali menuduh bahwa atsar dari Ibnu Abbas ini tidak shahih. Padahal riwayatnya sangat kuat. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak menshahihkannya. Demikian juga dengan Al-Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan Al-Albani pun sepakat dalam hal ini.

Jadi pemahaman terhadap makna ayat di dalam Al Quran tidak bisa langsung difahami dari teks ayat tetapi harus lebih dalam digali dari tafsir-tafsir, dan inilah yang lebih baik. Jika difahami dengan pemahaman yang salah maka akan bisa terjerumus kepada paham takfiri, yaitu mengkafirkan orang lain tanpa haq.

jika kita membuka Tafsir Ibnu Katsir, maka Ibnu Katsir merujuk kepada pendapat pendapat dalam Tafsir Ath Thabari. (cetak jilid ... hal ..., pdf indo jilid 3.1 hal 92-94)

==

Topik 3; Makna Hadits

حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ

Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Muqatil] Telah mengabarkan kepada kami [Abdullah] Telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [Ibnu Syihab] Telah mengabarkan kepadaku [Urwah] bahwa [Aisyah] radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?" beliau menjawab: "Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar." (Hadits Bukhari Nomor 4940)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Hisyam] ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku [bapakku] dari [Aisyah] bahwa Hindu binti Utbah berkata, "Wahai Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya." Maka beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu." (Hadits Bukhari Nomor 4945)

Soal= Sabda Rasulullah saw. kepada Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan, ketika ia mengeluh kepada Rasulullah saw, 'Abu Sufyan adalah lelaki yang amat pelit dan tidak memberikan (biaya hidup) yang mencukupi kepadanya dan anaknya. Rasulullah saw. bersabda kepadanya, 'Ambillah (dari hartanya) bagimu dan bagi anakmu sesuai kebutuhanmu, dengan baik". Pertanyaan, apakah hadits ini berlaku kepada seluruh istri? ataukah hanya berlaku kepada Hindun saja? Jelaskan dan uraikanlah jawabanmu.

Jawaban:

Ada pendapat menarik tentang hal ini dalam buku Yusuf Qardhawi, Sunnah Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, bahwa, "Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, apakah sabda Rasulullah saw. tersebut adalah fatwa, sehingga semua orang yang mempunyai hak bersama atau sejenisnya boleh mengambil haknya tanpa sepengetahuan pasangannya?

Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik serta madzhab Syafi'i, sabda itu diucapkan bukan dalam rangka fatwa. Ataukah sabda beliau tersebut diberikan sebagai keputusan seorang qadli/hakim? Al-Khithabi menuturkan dua pendapat ulama dalam memahami hadits ini. Landasan ulama yang mengatakan bahwa sabda tersebut diberikan dalam kapasitas beliau sebagai hakim adalah, karena tuntutan Hindun terhadap harta adalah terhadap orang tertentu, sehingga hal itu hanya terjadi dengan keputusan hakim. 

Sedangkan fatwa mempunyai jangkauan yang umum/semua orang. Sedangkan landasan ulama yang mengatakan bahwa sabda tersebut sebagai fatwa, karena diriwayatkan bahwa Abu Sufyan saat itu sedang berada di Madinah, sedangkan keputusan hakim atas orang yang sedang berada dalam kota, dengan tanpa memberitahukannya, dan meminta penjelasan terlebih dahulu darinya, tidak boleh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sabda tersebut adalah fatwa, sesuai dengan zhahir hadits.

Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa saat hadits tersebut diucapkan oleh Rasulullah maka perlu ditentukan terlebih dahulu dalam kedudukan apa Rasulullah menyebutkan hadits tersebut. Jika hadits tersebut disebutkan dalam kedudukan Rasulullah sebagai qadhi maka hadits itu hanya berlaku untuk Hindun dan tidak istri kaum muslim lainnya, namun jika dinyatakan hadits itu dalam kedudukan sebagai Mufti, maka dalam status kedudukan yang sama, istri mukminat lainnya bisa mempraktikkan hadits tersebut karena status kedudukannya sama.

Mari kita bedah lebih dalam, hadits tersebut tidak bisa dikategori Rasulullah sebagai Qadli, karena jika kasusnya tahkim atau peradilan maka peradilan tidak bisa dilaksanakan inabsentia karena Abu Sufyan saat itu berada di tempat, yaitu masih di Madinah, tempat Hindun berada. Jadi ketika Rasul memutuskan dan tidak ada Abu Sufyan disitu maka itu berarti kedudukan Rasul bukan sebagai Qadli. 

Hadits tersebut dengan demikian adalah bersifat fatwa, dan Rasulullah saat menyampaikan  hadits tersebut berkedudukan sebagai Mufti (pemberi fatwa). Konsekuensinya adalah hadits tersebut berlaku juga untuk ummahat istri lainnya, jika memiliki kondisi yang sama yaitu 1) suaminya pelit, padahal ada harta, 2) yang diambil adalah harta bersama, bukan harta terpisah. Jika harta terpisah, maka suami tidak boleh ambil harta istri dan begitu pula sebaliknya, 3) istri boleh mengambil seperlunya saja, dan tidak berlebihan, berarti kadarnya ditentukan sendiri, tidak boleh zalim, dan untuk keperluan pokok.

Lebih jelasnya lagi Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah yang mensyarah hadits ini dalam kitab Fathul Bari; Syarah Shohih Bukhari, menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)

Ulama fiqih memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal sebagai istri. Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah, dan berhak diperlakukan secara manusiawi.

 للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل  

Artinya: Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327).

Mari kita perhatikan kesimpulan Yusuf Qardhawi terhadap hadits-hadits semacam ini, dalam bukunya Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban:

نتابج مستخلصة :

وبهذاتبين لنا من خلال هذا البحث، أن من السنة النبوية المنقولة إلينا : ما لا يدخل في باب التشريع ، وإنما هومن امر دنيانا المحض الذي ترك تدبيرة وتنظيمه إلى عقولنا واجتهادنا — ونحن آعلم به — كا أن منها ما لا يحمل صفة التشريع العام المطلق الدائم ، الذي يخاطب الناس به في كل زمان ومكان ، بل قصد به حالات جزئية في ظروف معينة ، وهوما قاله أوفعله صلعم بصفة الإمامة والرئاسة التي كانت له ، فهو إمام المسلمين ورئيس دولتهم ، والقائم بأمر سياستهم ، وبيده سلطة التنفيذ، أوبصفة القضاء والحكم التي كانت له ايضًا ٠

واالظر إلى السنة المشركة بهذا المنظار الفاحص : يحللنا كثيرا من المشكلات في الفقهي العريض ٠

Dari penjelasan tadi, kita menemukan, sebagian dari Sunnah Nabi saw. yang diriwayatkan kepada kita ada yang tidak termasuk dalam bagian syariat. Dan hanya berkaitan dengan perkara duniawi kita semata yang kita diberikan kebebasan untuk mengatur, menyusun dan mengolahnya dengan akal dan upaya kita sendiri, dan dalam hal ini kita lebih tahu dari beliau. 

Dan di antara Sunnah itu pula, ada yang tidak mengandung syariat secara general, mutlak dan universal, yang berlaku bagi seluruh manusia di seluruh zaman dan tempat, sebaliknya Sunnah itu hanya diperuntukkan bagi suatu tujuan tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Sunnah seperti itu adalah apa yang disabdakan dan dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam kapasitas beliau sebagai imam dan pemimpin negara, karena beliau adalah imam dan pemimpin negara umat Islam, yang mengatur strategi politik mereka, dan pemegang kekuasaan eksekutif negara itu. Atau dapat pula itu beliau lakukan dalam kapasitas beliau sebagai qadli dan hakim, yang juga beliau pegang.

Melihat Sunnah dengan pandangan seperti ini akan menyelesaikan banyak masalah yang terdapat dalam warisan fikih kita yang demikian luas. (hal 136, indo)

KESIMPULAN

Lihat juga "Cara Sederhana Memahami Al Quran dan Sunnah"

Cara Memahami Al Quran dan Sunnah dengan Benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.