Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah robbil alamin. Washsholatu wassalamu ala asyrofil anbiyai walmursalin, sayyidina Muhammadin wa ala alihi wa shohbihi ajmain. Amma ba’du.
Islam memiliki landasan dan dasar ajaran yang permanen yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Landasan dan dasar ini juga dikenal dengan istilah dalil. Dan dalil yang menjadi dasar hukum Islam disebut dengan dalil syar’iy.
Secara bahasa, dalil syar’iy (الدليل الشرعي) terdiri dari dua kata yaitu dalil (دليل) dan syar’iy (شرعي). Secara etimologis, dalil berasal dari bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu yang hendak dituju (al-mursyid ila al-mathlub).
Sedangkan penambahan kata syar’iy yang artinya sesuatu yang bersifat ke-syariahan, untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain yang tidak dikatagorikan syar’iy seperti dalil logika, dalil sains, dll.
Sedangkan secara terminologi ilmu Ushul Fiqih, dalil syar'iy didefinisikan sebagaimana berikut:
ما يُستدل بالنَّظر الصَّحيح فيه على حكمٍ شرعيٍّ عمليٍّ على سبيل القطعِ أو الظَّنِّ.
“Setiap sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan pengamatan yang benar atas hukum syariah yang bersifat amali/praktis, baik dengan jalan yang qath'i atau zhanni.” (Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh)
Sedemikian pentingnya Al Quran dan Sunnah sebagai dasar beragama ini, sehingga Rasulullah saw menegaskan bahwa ummat Islam tidak akan tersesat selama berpegang kepada Al Quran dan Sunnah.
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
"Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR Malik)
Berkaitan dengan sumber hukum atau dalil syari’i ini, penyusun al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah menulis:
الْقُرْآنُ هُوَ الأْصْل الأْوَّل مِنْ أُصُول الشَّرْعِ، وَهُوَ حُجَّةٌ مِنْ كُل وَجْهٍ لِتَوَقُّفِ حُجِّيَّةِ غَيْرِهِ مِنَ الأْصُول عَلَيْهِ لِثُبُوتِهَا بِهِ، فَإِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْبِرُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَوْل الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا صَارَ حُجَّةً بِالْكِتَابِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا أَتَاكُمُ الرَّسُول فَخُذُوهُ} (الحشر: 7)، وَكَذَا الإْجْمَاعُ وَالْقِيَاسُ.
“Al-Qur’an adalah dasar pertama dari dasar-dasar syariat lainnya. Dan ia merupakan hujjah (wajib diamalkan) dari berbagai sisi, sebab dasar-dasar lainnya bersifat legal oleh sebab legitimasi al-Qur’an. Oleh karena Rasulullah saw menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah swt, dan sebab itulah perkataan Rasulullah saw (Sunnah) menjadi hujjah pula atas dasar legitimasi al-Kitab (al-Qur’an). Berdasarkan firman-Nya, “Apapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah.” (QS. Al-Hasyr: 7). Demikian pula (legitimasi al-Qur’an) terhadap Ijma’ dan Qiyas.”
Adapun landasan ketentuan di atas adalah hadits berikut, yang menceritakan dialog antara Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal ra, saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli/hakim.
كيْف تقْضيِ إِذا عُرِض لك قضاء؟ قال: أقْضِي بكِتابِ اللهِ. قال: فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ كتِابِ اللهِ؟ قال: فبِسُنّةِ رسُولِ اللهِ. قال: فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله ولا فيِ كتِابِ الله؟ قال: أجْتهِدُ رأْيِ ولا آلو. فضرب رسُولُ اللهِ صدْرهُ وقال: الحمْدُ لِلّه الّذِي وفق رسُولُ رسُولِ اللهِ لِما يرْضي رسُوْلُ اللهِ.
Dari Muaz bin Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?” Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.” Nabi bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”.Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?” Muazd menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan akal saya dan saya tidak akan lalai.” Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR. Abu Daud).
Dan juga firman Allah swt berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (النساء: 59)
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu (ulama). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59).
Ijtihad sebagaimana yang disebutkan oleh Muadz bin Jabal adalah dengan cara “mengembalikan seluruh permasalahan (tanazu’) kepada Al Quran dan Sunnah”, dan inilah yang melahirkan sumber ketiga dan keempat dalam sumber hukum Islam yaitu Ijma’ dan Qiyas. Keempatnya – yaitu Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas – adalah yang disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam.
Mengingat Al Quran dan Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam dan sekaligus menjadi dalil syar’i dalam seluruh hal yang berkaitan dengan ajaran Islam, maka memahami kedua sumber dalil syar’i tersebut merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan.
Banyak orang berangapan bahwa dengan hanya menguasai bahasa Arab sudah menjadi jaminan untuk bisa mempelajari Al Quran dan Sunnah. Kenyataannya hal itu tidaklah benar, masih banyak lagi ilmu-ilmu alat yang diperlukan untuk bisa memahami Al Quran dan Sunnah dengan benar.
A. MEMAHAMI AL QURAN DENGAN MEMPELAJARI TAFSIRNYA
Al Quran memang kitab yang mudah dibaca, apalagi sudah banyak beredar berbagai terjemah Al Quran yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sendiri. Namun mempelajari Al Quran tidak bisa hanya dengan mengandalkan terjemah, sekalipun terjemah sangat membantu terutama bagi muslim yang tidak bisa berbahasa Arab.
Ada banyak ilmu alat (Ilmu Ash-Shinaiyyah) untuk membantu umat Islam untuk mempelajari al Quran, diantaranya adalah Ilmu Lughat, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu isytiqaq (akar kata), ilmu ma'ani (susunan kalimat), ilmu bayaan (makna kata), ilmu badi' (keindahan bahasa), ilmu qiroat, ilmu aqaid, ilmu ushul fiqih, ilmu asbanun nuzul, ilmu nasikh mansukh, ilmu siyaq al quran, ilmu fiqih, ilmu hadits, dan ilmu-ilmu lainnya.
Yang terpenting pula dalam mempelajari Al Quran adalah dengan mempelajari tafsirnya, karena tafsir disusun oleh para ulama untuk membantu memahami Al Quran. Inilah cara yang benar dalam memahami Al Quran. Tegasnya, kunci yang benar dalam memahami Al-Quran adalah ilmu tafsir dan juga ilmu-ilmu Al-Quran.
Oleh karena itu langkah paling mudah untuk mempelajari al Quran adalah dengan mempelajari tafsirnya, karena penyusunan tafsir sudah mempertimbangkan seluruh hal yang berkaitan dengan ilmu alat untuk memahami Al Quran.
Ada banyak ragam tafsir diantaranya tafsir dengan methode (manhaj) riwayah (tekstualis, atsar), juga ada methode dirayah/ra'yi (kontekstualis). Yusuf Qardhawi menuliskan,
“Jika ada manhaj tafsir yang berfokus pada riwayat dan atsar, dan ada pula yang berfokus pada dirayah dan perenungan pemikiran. Maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesiskan antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul (dalil naql) yang sahih dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara warisan salaf dan pengetahuan kaum khalaf. Inilah yang dijalankan oleh banyak imam tafsir, terutama adalah syekh mufasirin Ibnu Jarir ath-Thabari dalam mausuah (ensiklopedinya) tafsirnya Jamiul-Bayan fit-Tafsirul-Qur'an.” (Kaifa nata’amal ma’al Quran/Bagaimana Berinteraksi dengan Al Quran).
Qardhawi menyebutkan bahwa yang termasuk dalam tafsir yang mensintesiskan kedua pendekatan tersebut adalah Ath Thabari, Ibnu Katsir, Qurthubi dan termasuk ulama mutaakhirin yaitu Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam Fathul-Qadir al-Jatni baina Fannai ar-Riwayat wad-Dirayah fit-Tafsir.
Tafsir yang disarankan:
1. Jami‘ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, Tafsir ini merupakan karya Ibnu Jurair al-Tabari (w. 310 H.)
2. al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, tafsir ini ditulis Imam Qurthubi (w. 671 H)
3. Tafsir Al-Quran Al-Azhim, lebih masyhur disebut Tafsir Ibnu Katsir, karya Al-Hafiz Ibnu Katsir al-Dimasyqi (w. 774 H)
4. Al-Durr al-Mansur, Tafsir ini merupakan karya Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H)
5. Tafsir Fathul Qadir, ditulis Imām al-Syaukānī (w. 1250 H/1834 M)
6. Tafsir As Sa'di, ditulis oleh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di (w. 1957 M)
7. Fi Zhilalil Quran, ditulis oleh Sayid Qutb (w. 1966 M)
8. Tafsir Al Munir, ditulis Wahbah al-Zuhaili (w. 2015 M)
9. Tafsir Al Misbah, karya Qurais Syihab
B. MEMAHAMI SUNNAH DENGAN MEMPELAJARI SYARAH HADITS DAN KITAB FIQIH
Sebagaimana halnya Al Quran, begitu pula dengan sunnah, tidak bisa dengan hanya membaca hadits-hadits maka dipandang sudah memahami sunnah. Sekali pun saat ini sudah banyak sekali buku terjemah hadits dan aplikasi digitalnya yang memudahkan kita untuk menemukan hadits dengan cepat, namun hadits tidak bisa dibaca tanpa ilmu alat dan methode yang benar.
Mempelajari sunnah itu memerlukan banyak ilmu alat diantaranya adalah ilmu Fiqih, ilmu Ushul Fikih, ilmu Mushtholahul Hadits, Ilmu Maqashid Syariah, Ilmu Tarikh Tasyri', Ilmu Asbabul Wurud, Siroh Nabawiyah, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Al-Ma’ani wal Bayan, ilmu Balaghoh, dan ilmu-ilmu lainnya.
Tentu akan menjadi sebuah kesulitan tersendiri ketika ilmu-ilmu alat tersebut harus dipelajari terlebih dahulu untuk bisa memahami hadits dan sunnah. Akan memerlukan waktu puluhan dan mungkin ratusan tahun untuk bisa sampai ke arah itu. Langkah paling sederhana untuk mempelajari hadits dan sunnah adalah dengan mempelajari syarah hadits dan kitab-kitab fiqih.
Para ulama sudah memberikan warisan yang sangat berharga dan sangat penting dalam konteks ini. Para ulama sudah menulis ribuan kitab syarah untuk memudahkan umat Islam dalam mempelajari hadits dan sunnah.
Pada garis besarnya ada dua warisan intelektual terbesar para ulama berkaitan dengan hal ini. Pertama, yaitu berbagai syarah (penjelasan) atas hadits-hadits nabawiyah baik yang tersusuh dalam Kutubut Tis’ah (kitab sembilan imam hadits) maupun imam hadits lainnya.
Kedua, adalah kitab-kitab fiqih yang merupakan syarah tematis sebagai penjelasan atas sunnah nabawiyah yang disusun secara sistematis.
Untuk syarah hadits, kitab Fathul Bari-nya Ibnu Hajar Asqalani (w. 852 H/1449 M) sebagai syarah dari Shohih Bukhari dan Syarah Shohih Muslim-nya Imam An Nawawi (w. 676 H/1277 M) masih merupakan kitab induk karena nilai lebih hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim yang terkategori sebagai hadits shohih. Keduanya merupakan kitab-kitab yang terkategori sebagai kitab Jami’ (hadits shohih).
Selain kitab jami’, terdapat kategori lainnya dalam kitab hadits yaitu musnad, sunan dan mushanaf. Musnad yang terkenal seperti Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Musnad at-Thayalisi, musnad al-Humaidi, dst. Kitab sunan yang terkenal yaitu Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Ad-Darimi. Sedangkan kitab mushannaf yang terkenal adalah Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, dan Mushannaf Abdurrazaq.
Mempelajari dan mengkaji sunnah, khususnya fikih tidaklah boleh langsung melahap kitab-kitab fiqih yang tebal dan rumit. Tapi, harus dimulai dari yang paling mudah. Tidak boleh juga secara acak tetapi harus berurut sesuai sistematika dalam buku-buku fiqih itu sendiri.
Dalam khazanah keilmuan Islam, banyak sekali rujukan atau referensi Kitab Fikih karya para ulama besar dan sarjana muslim terkemuka, namun ketika kita belajar dan mendalami fikih maka perlu tahapan pembelajaran dan dalam waktu yang lama untuk mengakrabinya.
Berkaitan dengan buku-buku fiqih ini, ada beberapa tahapan dalam mempelajari buku-buku tersebut.
Tahap Pertama
Tahap pertama dimulai dengan mempelajari matan-matan ilmu fiqih. Disebut matan karena penulis kitab meringkas pembahasan fiqih menjadi bait-bait nadhom (mandzumah). Hal ini tentu dimaksudkan agar mudah mengingat hukum-hukum fiqih dari para ulama.
Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1. Kitab Al Ghayatu Wat Taqrib (الغاية والتقريب) atau dikenal dengan Matan Abi Syuja’ (متن أبي شجاع), karya Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Al Asfahani Asy Syafi’i atau dikenal dengan Abu Syuja’ rahimahullah (wafat 593H);
2. Matan Az Zubad (متن الزبد), karya Ahmad bin Ruslan Asy Syafi’i rahimahullah;
3. Kitab ‘Umdatul Fiqhi (عمدة الفقة), karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi rahimahullah (wafat 620H)
4. Kitab Minhajus Salikin (منهج السالكين), karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah (wafat 1376H);
5. Untuk versi Indonesia, Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid
Tahap Kedua
Pada tahap kedua, pelajar dan sarjana muslim sudah dapat memulai mempelajari dan mengakrabi kitab-kitab fiqih yang lebih tebal dan lebih luas pembahasannya, menyebutkan dalil-dalil yang lebih rinci, namun tidak atau sedikit menyebutkan khilaf-khilaf.
Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1. Al Umm, karya Imam Syafii (w. 204 H)
2. Minhaj Ath-Thalibin: Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M)
3. Kifayatul Akhyar fi Hal Ghayatul Ikhtisar, karya Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al Husayni as Syafi'i (w. 829 H)
4. Mughni Al-Muhtaj, karya Imam Khatib asy-Syirbini (w. 977H)
5. Al-Fiqhu Al-Manhaji: Mushthafa Dib al-Bugha al-Maidani ad-Dimasqi as-Syafi`i (l. 1938 M)
6. Kitab Fiqhus Sunnah (فقه السنة) karya Sayyid Sabiq rahimahullah namun dibarengi dengan kitab Tamaamul Minnah Fit Ta’liqi ‘Ala Fiqhis Sunnah (تمام المنة في التعليق على فقه السنة), karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (wafat 1420H);
Tahap Ketiga
Pada tahap ketiga, pelajar dan sarjana muslim sudah mulai mengakrabi beberapa kitab fiqih yang lebih tebal berisi perbandingan madzhab, yang di dalamnya menyebutkan khilaf-khilaf serta pembahasan dalil, serta tarjih dari penulis kitab.
Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1. Kitab Ad Darari Al Mudhi-ah Syarhud Duraril Bahiyyah (الدراري المضيئة شرح الدرر البهية), karya Imam Asy Syaukani;
2. Kitab Syarhu Umdatil Fiqhi (شرح عمدة الفقه), karya Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al Jibrin;
3. Kitab Al Mughni Fil Fiqhil Hambali (المغني في الفقه الحنبلي), karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi (wafat 620H). Kitab ini banyak merinci khilaf-khilaf diantara madzhab-madzhab;
4. Kitab Al Majmu’ Syarhul Muhadzab (المجموع شرح المهذب), karya Imam An Nawawi;
5. al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba'ah, Abdurrahman Al-Jaziri (w. 1359 H/1941 M)
6. Kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (الموسوعة الفقهية الكويتية), yang disusun oleh beberapa ulama di bawah Kementerian Agama Kuwait.
7. Untuk versi Indonesia, Silsilah Fiqih Kehidupan karya Ahmad Sarwat
C. MEMAHAMI AL QURAN DAN SUNNAH DENGAN BELAJAR KEPADA GURU, BUKAN KEPADA GOOGLE
Setelah mengetahui bahwa cara paling sederhana dan paling cepat untuk memperdalam pengetahuan tentang Al Quran dan Sunnah itu adalah dengan mempelajari tafsir al Quran dan kitab-kitab fiqih, maka langkah memulainya adalah dengan mencari guru (ustadz) yang kredibel. Al Quran memberikan panduan tentang ini.
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
43. Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Qs 16:43)
وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
7. Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Qs 21:7)
Jadi perintah ayat Al Qurannya sangat jelas yaitu cari, datangi, temui dan bertanya secara langsung kepada guru (ustadz). Tentu guru yang dimaksud disini bukan dengan membuka google, yuoutube atau media sosial lalu mendengarkan ceramahnya disana. Itu juga belajar agama namun hanya belajar materi di permukaannya saja.
Guru yang dimaksud disini juga bukan sekedar guru yang ditemui dengan belajar online, tetapi guru yang ditemui secara lansung dan bertatap muka. Ini penting karena dalam belajar Islam, yang diambil bukan hanya ilmu pengetahuan namun adab dan akhlaq, hal mana ini tidak bisa di transfer kecuali dengan bertatap muka dengan para guru.
Cara belajarnya juga bukan sambil-lalu atau belajar jika mau, tetapi ada waktu khusus yang diluangkan, dan berkelanjutan sehingga penyampaian materinya bisa kontinu, bertumbuh dan bertahap.
Setelah membaca paparan di atas, mungkin kesepahaman sudah mulai bisa kita bangun. Namun masalahnya kemudian adalah bagaimana meluangkan waktu, kemana harus bertanya dan bagaimana harus memulainya. Ini masih menjadi kendala tersendiri yang harus kita selesaikan sendiri, karena faktor utamanya lebih banyak karena faktor diri sendiri. Untuk itu membangun motivasi belajar yang kuat sangat perlu diupayakan.
Walhamdulillahi rabbil alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.