Fenomena adanya sebagian kalangan kaum muslimin yang bersikap ekstrim terhadap sunnah sesungguhnya sudah merupakan fenomena yang telah dibanyak dibahas oleh para ulama. Fenomena tersebut menyebutkan bahwa ada sebagian kaum muslimin yang bersikap skeptis (ragu-ragu) terhadap keabsahan sunnah sebagai pedoman hidup, dan ini adalah kelompok sekuler. Sebagian lagi menyebutkan bahwa seluruh hadits yang tertulis dalam kitab-kitab sunnah adalah sumber hukum Islam, tanpa melakukan identifikasi, klasifikasi dan menemukan konteks dari hadits-hadits tersebut.
Dengan sangat baik Yusuf Qardhawi dalam bukunya (السُّنّة مَصْدرًا للمَعرفةِ والحَضارة) As-Sunnah sumber Iptek dan Peradaban, halaman 12 menyebutkan, "Sunnah Nabi yang suci telah menghadapi gempuran dari para hamba pemikiran Barat. Dengan sekuat tenaga dan upaya, mereka berusaha membunuh dan mematikannya.
Beragam cara mereka lakukan, dan beragam jalan mereka tempuh untuk mencapai tujuan itu. Ada yang berusaha mengembangkan sikap skeptis (ragu-ragu) terhadap Sunnah, yaitu dengan meragukan keabsahan seluruh Sunnah atau Sunnah yang terucapkan saja —dan ini adalah bentuk terbesar Sunnah— atau juga meragukan perawi-perawi yang masyhur, seperti Abu Hurairah r.a..
Ada yang berusaha meragukan keabsahan Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan pembentukan ajarannya. Mereka berkata, "Kita cukup berpegang kepada Al-Qur'an saja!"
Ada pula yang berusaha menghancurkan Sunnah dengan Sunnah sendiri, yaitu dengan mengambil sebagian hadits dan diletakkan bukan pada tempatnya, kemudian dijadikan sebagai dalil bagi apa yang tidak sesuai dengan kandungan Sunnah itu sendiri."
Ini point paling penting dalam mempelajari hadits yaitu MEMAHAMI DAN MELETAKKAN HADITS PADA TEMPATNYA YANG BENAR.
Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dalam menghadapi masalah semacam ini, seharusnya sikap yang benar adalah bersikap moderat dan seimbang, kemudian menelitinya secara mendalam, tekun dan jujur, dengan menggunakan nash-nash yang kuat dalam Al Quran dan Sunnah serta mempertimbangkan tujuan dan pemahaman kaum salaf, karena merekalah yang paling memahami Islam.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat para ulama tentang perlunya meletakkan dan menempatkan hadits pada tempatnya yang benar. Pertama adalah pendapat Imam Qutaibah, seorang ulama salaf yang mengklasifikasi hadits-hadits nabawiyah dan menemukan bahwa terdapat hadits yang memiliki dimensi sunnah dan pengajaran (irsyad).
Kedua adalah pendapat Imam Al Qarafi yang mengklasifikasi hadits berdasar kedudukan Rasulullah saw ketika mengucapkannya, yaitu kedudukan pemimpin (imam a'zham), hakim (qadli), dan pemberi fatwa (mufti) atau penyampai ajaran dari Allah SWT (rasul).
Ketiga adalah pendapat Syeikh Mahmud Syaltut yang mengklasifi hadits yang memiliki kandungan sunnah (tasyri') dan tidak mengandung sunnah (ghairi tasyri'). Mari kita perhatikan secara ringkas ketiga pendapat para ulama tersebut.
A. PENDAPAT IMAM QUTAIBAH (w. 276 H)
Ulama terdahulu yang pertama memberikan perhatian terhadap pembagian-pembagian substansi Sunnah adalah Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah (w. 276 H), seorang ulama ensiklopedis yang besar dan seorang pembela Ahlus-Sunnah yang tegar. Bagi Ahlus-Sunnah, ia seperti Jahizh bagi Mu'tazilah. Ia telah menyebut masalah ini dalam bukunya, Ta'wil Mukhtalaful-Hadits. Meskipun ia tidak membahasnya dengan tuntas. Ini terutama karena sifat keilmuannya yang ensiklopedik sering tampak menguasainya, dibandingkan ia sebagai seorang spesialis. Oleh karena itu, masyarakat menamainya sebagai seorang faqih yang sastrawan dan sastrawan yang faqih!
Abu Muhammad (Ibnu Qutaibah) berkata, "Menurut kami, Sunnah terbagi tiga, yaitu sebagai berikut. Pertama: Sunnah yang dibawa oleh Jibril a.s. dari Allah SWT. Seperti sabda Rasulullah saw. berikut ini
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَخَالَتِهَا (متفق عليه)
"Janganlah engkau kawinkan seorang wanita dengan di- madu bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayahnya atau dari pihak ibunya." (Muttafaq 'Alaih)
وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ (متفق عليه)
"Persusuan mengharamkan perkawinan seperti keharam- an (perkawinan) dengan ikatan nasab." (Muttafaq 'Alaih)
لا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ
(رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن)
"Satu-dua kali susuan tidak menyebabkan keharaman (per-kawinan dengannya)." (HR Ahmad)
الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَة (رواه الشيخان وأصحاب السنن)
"Diyat harus dibayar oleh keluarga sang pelaku kejahatan pem-bunuhan (yang tidak sengaja)." (HR Bukhari Muslim)
Sunnah-sunnah semacam ini berasal dari wahyu (Maksudnya, menurut Ibnu Qutaibah, Sunnah semacam ini bersumber dari wahyu).
Kedua: Sunnah yang diperbolehkan Allah SWT untuk disunnahkan. Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. untuk menggunakan pendapatnya dalam masalah itu, serta beliau boleh memberikan keringanan bagi orang yang beliau kehendaki, sesuai dengan sebab dan halangan yang ada. Ini seperti beliau mengharamkan memakai sutra bagi kaum pria, dan mengizinkannya bagi Abdurrahman bin Auf karena alasan sakit kulit. Juga seperti sabda Rasulullah saw. tentang Makkah, "Tidak boleh ditebangi pohon-pohonnya." Lalu Ibnu Abbas berkata, 'Ya Rasulullah, kecuali al-idzkhar, karena kami sering mempergunakannya untuk mengharumkan rumah kami.' Rasulullah saw. bersabda, إلا الإذْخر "Idzkhar tidak termasuk".
Seandainya Allah SWT mengharamkan menebangi seluruh pohon di Mekkah, niscaya Rasulullah saw tidak akan mengikuti keinginan Ibnu Abbas untuk tidak memasukan pohon idzkhar dalam kelompok pohon yang dilarang untuk dipotong. Akan tetapi, Allah SWT memberikan wewenang kepada Rasulullah saw. untuk tidak memasukkan pohon yang sering dimanfaatkan manusia, maka beliau tidak memasukkan pohon idzkhar dalam kelompok itu. Rasulullah saw. bersabda tentang Umrah,
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ ، لَأَهْلَلْتُ
بعمرة (متفق عليه)
"Jika aku telah memulai mengerjakan sesuatu, aku tidak akan meninggalkan pekerjaan itu. Oleh karena itu, aku akan segera bersiap untuk melakukan Umrah." (Muttafaq'Alaih)
لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَجَعَلْتُ وَقْتَ هَذِهِ الصَّلَاةِ
هَذَا الْحِينَ (رواه البخاري ومسلم)
"Kalaulah tidak karena khawatir akan memberatkan umatku, niscaya akan aku jadikan waktu shalat ini pada saat (jam seperti ini." (HR Bukhari dan Muslim)
Beliau juga melarang memakan daging kurban setelah lewat tiga hari, berziarah ke kubur, dan meminum perasan anggur yang telah disimpan. Kemudian beliau bersabda,
وَإِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادْخَارِ لُحُوْمِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّ النَّاسَ يَتَّحِفُوْنَ ضَيْفَهُمْ ، وَيَحْتَسِبُوْنَ لِغَائِبِهِمْ ، فَكُلُوا وَأَمْسِكُوْا مَا شِئْتُمْ . وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا ، فَإِنَّهُ بَدَا لِي أَنَّهُ يَرُقُّ الْقُلُوْبَ . وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيْدِ فِي الظُّرُوفِ
فاشربوا ، وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِر الله (رواه مسلم والحاكم وأحمد)
"Aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging- daging kurban lebih dari tiga hari, kemudian aku mendapati orang-orang (di Madinah) ingin menyimpan daging itu bagi tamu yang akan datang, dan mereka juga ingin menyiapkan (jamuan untuk keluarga) yang sedang pergi. Oleh karena itu, makan dan simpanlah sesuai keinginan kalian. Aku juga pernah melarang kalian untuk berziarah ke pekuburan, maka (semenjak saat ini) berziarahlah (boleh). Dan janganlah kalian katakan, 'Aku tidak akan berziarah lagi', karena aku dapati dengan ziarah itu akan melunakkan hati. Aku juga pernah melarang meminum perasan buah anggur yang disimpan, maka minumlah, tapi jangan kalian meminum minuman yang me- mabukkan." (HR Muslim, Al-Hakim dan Ahmad)
Abu Muhammad berkata bahwa ini semua menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan wewenang kepada Rasulullah saw. untuk melarang dan memberikan keringanan setelah adanya larangan tersebut, kepada siapa yang beliau kehendaki.
Seandainya hal itu tidak boleh baginya, niscaya beliau tidak akan melakukannya. Ini seperti ketika beliau didatangi seorang wanita yang memprotes suaminya yang telah men-zihar-nya. Maka dalam kesempatan itu Rasulullah saw. tidak memberikan kata putus, dan bersabda,
يَقْضِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي ذَلِكَ
رواه أحمد والبخاري والنسائي وابن ماجة
"Semoga Allah SWT memberikan keputusan dalam masalah itu." (HR Ahmad, Bukhari, dan Nasa'i)
Pada kesempatan lain, seorang badui datang menemui beliau. Ia menggunakan pakaian dari woll, dan darinya tercium bau wangi. Ia meminta fatwa kepada beliau, tetapi saat itu beliau tidak langsung memberikan fatwa, hingga beliau tertidur dan mendengkur, kemudian bangun dan memberikan fatwa kepadanya.
Ketiga: Sunnah yang berdimensi pengajaran saja. Jika kita melakukannya maka kita mendapatkan keutamaan, dan jika kita meninggalkannya maka kita tidak mendapatkan dosa, insya Allah. Ini seperti perintah beliau untuk menggunakan sorban dengan memutarnya di bawah, melarang memakan daging hewan jallalah dan memakan uang hasil membekam. "Ibnu Qutaibah menganggap perintah dan larangan yang terdapat pada Sunnah jenis terakhir ini (seperti dinamakan oleh para pakar ushul fikih) sebagai irsyad (tuntunan) saja.
B. PENDAPAT IMAM AL-QARAFI (w. 684 H)
Pada abad ketujuh kita menemukan seorang ulama madzhab Maliki, Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Mishry, melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. beserta perbedaan kondisinya, yaitu antara beliau sebagai pemimpin, hakim, dan pemberi fatwa atau penyampai ajaran dari Allah SWT, serta pengaruh hal itu dalam keumuman hukum dan kekhususannya, serta generalitasnya atau temporernya. Semua itu ia jelaskan dengan penjelasan yang mengagumkan dalam dua buah kitab-nya yang orisinal, yaitu kitab al-Furuq dan kitab al-Ihkam fit Tamyizil-Fatawa min al-Ahkam.
Sebagai contoh, marilah kita baca tulisannya dalam kitabnya alFuruq, bagian "Farq 36" (perbedaan ke-36), yaitu al-Farqu baina qaidah tasharrufihi saw. bil qadla wa qaidah tasharrifihi bil-fatwa —wa hiat-tablig - wa qaidah tasharrufihi bil- imamah (Perbedaan antara kewenangan Rasulullah saw. dalam pemutusan hukum, ke-wenangan beliau dalam berfatwa —yaitu dalam rangka menyampaikan ajaran agama— dan kewenangan Rasul saw. saat sebagai pemimpin).
Lebih lengkap tulisan Al Qarafi dalam al Faruuq sebagai berikut:
الفرق السادس والثلاثون بين قاعدة تصرفه صلعم بالقضاء، وبين قاعدة تصرفه بالفتوى وهي التبليغ وبين قاعدة تصرفه بالإمامة
اعلم انَّ رسول الله صلى الله عليه وسلام هو الإمام الأعظم والقاضي الأحكم، والمفتي الأعلم، فهو صلعم إمام الأئمة وقاضي القضاة، وعالم العلماء فجميع المناصب الدينية فوضها الله تعالى إليه في رسالته وهو أعظم من كل من تولى منصبًا منها في ذلك المنصب، إلى يوم القيامة فما من منصب ديني إلا وهو متصف به في أعلى رتبة غير أنّ غالب تصرفه صلى الله عليه وسلام بالتبلخ لأن وصف الرسالة غالب عليه، ثم تقع تصر فاته صلى الله عليه وسلام منها ما يكون بالتبليغ والفتوى إجماعًا ومنها ما يجمع الناس على أنه بالقضاء، ومنها ما يجمع الناس على أنه بالإمامة، ومنها ما يختلف العلماء فيه لتردده. بين رتبتين، فصاعدًا فمنهم من يغلب عليه رتبة ومنهم من يغلب عليه أخرى ثم تصرفاته صلى الله عليه وسلام بهذه الأوصاف تختلف آثارها في الشريعة فكل ما قاله صلعم أو فعله على سييل التبلغ كان ذلك حكمًا عامًا على الثقلين، إلى يوم القيامة، فإن كان مأمورًا به أقدم عليه كل أحد بنفسه، وكذلك المباح، وان كان منهيًا عنه اجتنبه كل أحد بنفسه وكل ما قال
Ia berkata, "Ketahuilah, Rasulullah saw. adalah imam yang paling agung, hakim yang paling adil, pemberi fatwa yang paling handal. Nabi saw. adalah imam semua pemimpin, hakim agung semua hakim, dan pucuk semua ulama. Seluruh kedudukan keagamaan telah Allah SWT berikan kepada beliau dalam menyampaikan risalahnya. Maka beliau adalah orang yang berada paling tinggi pada seluruh kedudukan keagamaan sampai hari kiamat.
Semua kedudukan agama, pada pucuk yang paling tinggi di pegang oleh beliau. Mayoritas perbuatan Rasulullah saw. adalah tabligh (menyampaikan), karena fungsi sebagai penyampai risalah; tampak paling kuat dalam kedudukan beliau. Kemudian dari perbuatan-perbuatan beliau ada yang termasuk dalam kategori tabligh dan fatwa menurut ijmak umat, ada yang disepakati oleh umat sebagai qadha (pemutusan hukum dalam kapasitas sebagai hakim), ada yang disepakati oleh umat sebagai keputusan dan kebijaksanaan kepemimpinan, dan ada bagian yang diperselisihkan oleh ulama, karena dapat masuk dalam dua kategori atau lebih. Sebagian ulama ada yang melihat sisi ini lebih kuat, sedangkan yang lainnya melihat sisi yang lain lebih kuat". Kemudian, perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. dengan kategori-kategori seperti itu akan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda dalam syariat.
Apa yang beliau sabdakan dan perbuat dalam kapasitas sebagai penyampai risalah dari Allah SWT maka akan menjadi hukum yang universal hingga hari kiamat. Jika diperintahkan untuk melakukannya, maka semua individu harus melakukannya. Demikian juga halnya dengan apa yang mubah/di-bolehkan. Setiap apa yang dilarang, maka kewajiban setiap orang untuk menghindarkan diri darinya.
Apa yang beliau lakukan dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin, maka tidak ada orang yang boleh melakukannya kecuali dengan seizin imam (pemimpinnya), sesuai dengan perbuatan Rasulullah saw. Ini karena perbuatan dan perilaku beliau sebagai pernimpin, menuntut beliau untuk melakukannya, bukan dengan maksud mengajarkan atau menyampaikan perintah dari Allah SWT.
Apa yang beliau lakukan dalam kapasitas beliau sebagai hakim, maka tidak ada seorang pun yang boleh melakukannya kecuali dengan perintah dari hakim, sesuai dengan perbuatan Rasulullah saw. Ini karena kapasitas beliau sebagai hakim menuntut beliau untuk melakukannya.
Inilah perbedaan-perbedaan antara masing-masing kaidah yang tiga tersebut. Semua itu terjadi dalam empat masalah, yaitu sebagai berikut.
Masalah Pertama:
Pengiriman tentara untuk memerangi orang kafir, orang yang keluar dari Islam, dan orang yang wajib diperangi; menyalurkan harta baitul-mal menurut ketentuannya dan mengumpulkannya dari sumber-sumbemya; memegang kekuasaan kehakiman dan kekuasaan umum serta membagi rampasan perang; dan mengadakan perjanjian dengan musuh, baik damai maupun perjanjian saling menghormati. Ini semua adalah tindakan khalifah dan imam al-a'zham (penguasa tertinggi). Maka pada saat Rasulullah saw. melakukan salah satu tugas ini, kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. tersebut adalah dalam kerangka kebijaksanaan kepemimpinan, bukan lainnya.
Ketika beliau sedang memutuskan perselisihan antara dua orang yang berselisih atas harta, kriminalitas, dan sejenisnya, dengan mengajukan bukti, bersumpah, dan sebagainya, maka kita segera mengetahui bahwa saat itu beliau sedang melakukan pengadilan, bukan sebagai pemimpin umum atau sebagainya. Karena demikianlah seharusnya pengadilan berjalan. Apa yang beliau lakukan dalam masalah ibadah, dengan perkataan, perbuatan, dan jawaban atas pertanyaan tentang masalah agama, maka semua itu adalah fatwa dan tabligh (penyampaian ajaran dari Allah SWT). Semua ini dapat kita ketahui dengan jelas. Sedangkan hal-hal yang belum jelas dapat kita temukan pada bentuk-bentuk lain.
Ulama berselisih pendapat dalam memahami sabda ini, apakah ia berlaku sebagai fatwa, sehingga semua orang dapat melakukan penghidupan/penggarapan tanah yang tidak bertuan, dengan persetujuan pemerintah atau tidak? Ini menurut pendapat mazhab Maliki dan Syafi'i. Atau barangkali perilaku beliau tersebut adalah dalam kerangka kebijaksanaan kepemimpinan? Sehingga tidak boleh seorang pun menggunakan lahan yang belum dimiliki kecuali setelah mendapatkan izin dari imam (penguasa). Ini menurut pendapat mazhab Abu Hanifah.
Sedangkan pembedaan yang dilakukan oleh Imam Malik yaitu, tanah yang dekat dengan perkampungan tidak boleh digarap kecuali setelah mendapat izin dari imam (penguasa), dan tanah yang jauh dari perkampungan boleh digarap tanpa meminta izin dari imam, tidak termasuk dalam masalah yang sedang kita bicarakan ini.
Akan tetapi, hal itu masuk dalam kaidah yang lain. Karena tanah yang dekat perkampungan akan dapat mendorong terjadinya pertengkaran dan perselisihan serta hal-hal negatif lainnya, maka untuk menggarapnya harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari imam. Sedangkan tanah yang jauh, karena perselisihan dan pengaruh negatif lainnya tidak akan terjadi, maka boleh menggarapnya (tanpa meminta persetujuan dari imam).
Mazhab Maliki dan Syafi'i, dalam masalah penggarapan tanah, lebih kuat/rajih, karena sebagian besar dari perilaku yang dilakukan Rasulullah saw. adalah fatwa dan tabligh. Sedangkan kaidah mengatakan, apa yang berada dalam kategori yang 'biasanya' dan yang 'jarang', maka lebih tepat dimasukkan dalam kategori 'yang biasanya'.
Masalah Ketiga:
Sabda Rasulullah saw. kepada Hindun,"Ambillah sesuai kebutuhan kamu dan anakmu."
Sabda Rasulullah saw. kepada Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan, ketika ia mengeluh kepada Rasulullah saw, 'Abu Sufyan adalah lelaki yang amat pelit. Ia tidak memberikan (biaya hidup) yang mencukupi kepadaku dan anakku. Rasulullah saw. bersabda kepadanya, 'Ambillah (dari hartanya) bagimu dan bagi anakmu sesuai kebutuhanmu, dengan baik. (Hadits Muttafaq alaih)
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, apakah sabda Rasulullah saw. tersebut adalah fatwa, sehingga semua orang yang mempunyai hak bersama atau sejenisnya boleh mengambil haknya tanpa sepengetahuan pasangannya?
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik serta madzhab Syafi'i, sabda itu diucapkan bukan dalam rangka fatwa. Ataukah sabda beliau tersebut diberikan sebagai keputusan seorang qadli/hakim? Al-Khithabi menuturkan dua pendapat ulama dalam memahami hadits ini.
Landasan ulama yang mengatakan bahwa sabda tersebut diberikan dalam kapasitas beliau sebagai hakim adalah, karena tuntutan Hindun terhadap harta adalah terhadap orang tertentu, sehingga hal itu hanya terjadi dengan keputusan hakim. Sedangkan fatwa mempunyai jangkauan yang umum/semua orang.
Sedangkan landasan ulama yang mengatakan bahwa sabda tersebut sebagai fatwa, karena diriwayatkan bahwa Abu Sufyan saat itu sedang berada di Madinah, sedangkan keputusan hakim atas orang yang sedang berada dalam kota, dengan tanpa memberitahukannya, dan meminta penjelasan terlebih dahulu darinya, tidak boleh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sabda tersebut adalah fatwa, sesuai dengan zhahir hadits.
Masalah Keempat:
Sabda Rasulullah saw.,"Siapa yang membunuh seorang musuh (dalam peperangan) maka ia berhak atas salab (harta yang berada pada musuhnya saat ia terbunuh, penj.) nya. (HR Bukhkari)
Ulama berselisih pendapat dalam memahami hadits ini, apakah sabda beliau tersebut dalam kapasitas beliau sebagai pernimpin, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak atas salab musuh yang dibunuhnya, kecuali setelah pernimpin memperbolehkannya? Ini adalah pendapat Malik. Pendapatnya ini berseberangan dengan kaidahnya sendiri dalam masalah penggarapan tanah yang tidak bertuan, yaitu bahwa sebagian besar perilaku Rasulullah saw. adalah fatwa, maka sabda tersebut dimasukkan dalam kelompok fatwa, sesuai dengan kebiasan perilaku beliau.
Yang mendorong Imam Malik meninggalkan kaidahnya adalah karena beberapa hal, yaitu: Karena ghanimah/harta rampasanperang menurut hukum asalnya adalah hak bagi orang yang memenangkan peperangan. Ini berdasarkan firman Allah SWT, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah(al-Anfaal: 41)
Dan mengeluarkan salab dari klasifikasi ayat tersebut jelas amat menyalahi ketentuan. Karena hal itu dapat merusak keikhlasan para mujahidin, sehingga mereka berperang untuk mendapatkan salab, bukan untuk membela agama Islam.
Juga, karena mujahidin akan memilih musuh yang mempunyai salab yang banyak, dan membiarkan musuh yang tidak mempunyai salab, sehingga dapat menimbulkan kekalahan pasukan Islam. Oleh karena itu, Imam Malik meninggalkan kaidah sebelumnya dalam masalah ini.
Dengan ketentuan dan perbedaan-perbedaan ini, kita dapat mengklasifikasikan Sunnah-sunnah Rasulullah saw.; dan ia adalah salah satu sumber hukum."
C. PENDAPAT SYEKH MAHMUD SYALTUT (w. 1963 M)
Di antara ulama kontemporer yang memberikan perhatian terhadap masalah ini adalah Syekh Mahmud Syaltut. Ia telah menyerap pendapat-pendapat ad-Dahlawi, Rasyid Ridla, al-Qarafi, dan ulama lainnya. Kemudian ia melakukan klasifikasi Sunnah dengan baik dan apik. Menurut Yusuf Qardhawi orang pertama mengungkapkan masalah ini dengan redaksi dan judul yang jelas, yaotu pembagian sunnah menjadi yang berdimensi hukum (tasyri') dan yang tidak berdimensi hukum (ghairi tayri'), serta sunnah yang berdimensi hukum secara universal dan yang tidak adalah Syekh Mahmud Syaltut, mantan Syeikh Al Azhar,
Syekh Mahmud Syaltut berkata, "Patut diperhatikan, sabda, perbuatan, dan persetujuan yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dan ditulis dalam kitab-kitab hadits terbagi menjadi beberapa bagian:
Pertama: Sunnah yang berkaitan dengan kebutuhan manusiawi, seperti makan, minum, tidur, berjalan, bertetangga, menyelesaikan perselisihan di antara dua orang dengan cara yang biasa dipergunakan manusia, memberi pertolongan, dan melakukan transaksi dalam jual beli.
Kedua: Sunnah yang berkaitan dengan pengalaman dan kebiasaan individual atau masyarakat seperti dalam bercocok tanam, pengobatan, dan panjang-pendeknya pakaian.
Ketiga: Sunnah yang berkaitan dengan strategi manusiawi yang berkaitan dengan suatu situasi dan kondisi tertentu, seperti pembagian tentara dalam medan peperangan, mengatur barisan dalam satu tempat, bersembunyi, berlari, mundur, memilih tempat singgah, dan hal-hal lainnya yang ditentukan oleh situasi dan kondisi tertentu.
Seluruh Sunnah yang berkaitan dengan tiga macam ini tidak termasuk syariat yang harus dikerjakan atau ditinggalkan. Karena hal itu hanyalah sebuah perbuatan manusia yang tidak harus disyariatkan serta dijadikan landasan syariat
Sunnah Umum dan Khusus
Keempat: Sunnah yang mengandung syariat Ini terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam kapasitas beliau sebagai penyampai risalah, seperti menjelaskan yang masih general dalam Al-Qur 'an, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak, menjelaskan satu segi ibadah atau tentang halal dan haram, tentang akidah, akhlak, atau suatu hal yang berkaitan dengan hal-hal tadi. Sunnah semacam ini adalah syariat yang berlaku secara umum hingga had kiamat; dan jika ada sesuatu yang dilarang, maka semua orang agar menjauhinya, semenjak ia mengetahui hukumnya dan mendapatkannya.
2. Yang disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin umum bagi masyarakat Islam, seperti mengirim tentara untuk berperang, membelanjakan harta baitul-mal sesuai fungsinya dan mengumpulkannya dari sumber-sumbernya, melakukan pengadilan, membagi rampasan perang, mengikat perjanjian dan hal-hal lain yang menjadi urusan pernimpin, dan strategi pencapaian kemaslahatan masyarakat.
Sunnah semacam ini bukanlah syariat yang berlaku secara umum Maka ia tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin pemimpin. Juga, seseorang tidak boleh melakukan sesuatu dari perbuatan itu dengan spontanitas dari dirinya saja dengan alasan karena Nabi saw. telah melakukannya atau memerintahkannya.
3. Yang disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim/qadli. Karena di samping sebagai rasul penyampai risalah dari Rabbnya, serta pemimpin tertinggi umat Islam yang mengatur kehidupan dan strategi politik mereka, beliau juga berperan sebagai seorang hakim yang memberikan kata putus dalam perkara-perkara dengan mengajukan bukti, sumpah, atau pengingkaran.
Hukum Sunnah seperti ini sama seperti hukum Sunnah sebelumnya, yaitu bukanlah sebuah aturan syariat yang umum. Maka siapa pun tidak boleh melakukan tindakan tersebut dengan inisiatif pribadi setelah melihat keputusan hukum yang diberikan Rasulullah terhadap orang yang mempunyai perkara saat itu. Akan tetapi, ia harus meminta keputusan dari pengadilan. Ini karena saat itu, Rasulullah saw. berperan sebagai seorang hakim.
Maka saat ini, jika seseorang menemukan masalah yang sama, ia juga harus meminta keputusan dari hakim/pengadilan. Jika seseorang mempunyai hak pada orang lain, dengan bukti-bukti yang lengkap, kemudian orang lain itu menolak untuk mengembalikan haknya kepadanya, maka ia hanya boleh mengambil kembali haknya itu dengan keputusan pengadilan, tidak dengan merebutnya sendiri. Karena seperti inilah proses pemutusan perkara perebutan hak atau harta pada masa Rasulullah saw. dilakukan.
Oleh karena itu, penting sekali diketahui, dalam kondisi apa suatu perbuatan dilakukan oleh Rasulullah saw.. Sayangnya, banyak sekali Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. tidak diketahui dalam kondisi apa dilakukan. Yang banyak disorot adalah sekadar mengenai Rasulullah saw. telah menyabdakannya, melakukannya, atau menyetujuinya.
Dari sini kita mendapati banyak Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dianggap sebagai suatu syariat atau Sunnah yang harus diikuti, meskipun (sebenamya) disampaikan bukan untuk menetapkan suatu ketentuan syariat. Hal seperti itu juga banyak terjadi dalam Sunnah tentang perbuatan-perbuatan yang beliau lakukan sebagai seorang manusia, karena tradisi/kebiasaan, atau pengalaman.
Kita juga mendapati hadits-hadits yang disampaikan dalam kapasitas beliau sebagai imam/pemimpin atau hakim, sering dipahami sebagai sebuah ketentuan syariat secara umum Dari situ terjadilah kekacauan dalam penyimpulan hukum.
Untuk mengetahui situasi dan kondisi penyampaian hadits, pada beberapa hadits dapat diketahui dari hadits itu sendiri, sehingga dengan mudah dapat diketahui dan dapat ditentukan pula substansi masing-masing hadits sesuai dengan situasi dan kondisi disabdakannya. Sedang pada bagian lain, ulama-ulama yang menekuni hadits menemukan ketidakjelasan dalam me-nentukan situasi dan kondisi disampaikannnya beberapa hadits, sehingga terjadilah ikhtilaf/perselisihan antara ulama dalam menentukan nilai hukum hadits-hadits tersebut, sesuai dengan perselisihan mereka dalam menentukan situasi dan kondisi penyampaian hadits itu."
Ini adalah tulisan Syeikh Syaltut dalam kitabnya, Fiqh Al-Qur'an wa As-Sunnah: al-Qishash. Ia mengumpulkan beberapa bahan kuliah yang ia sampaikan sebelumnya bagi mahasiswa pascasarjana di Universitas Fuad I (kemudian menjadi Cairo University), selanjutnya ia masukkan ke dalam bukunya, al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah (terbit tahun 1966 M)
Yusuf Qardhawi memberikan komentar sedikit atas pendapat Syeikh Syaltut yang berkaitan dengan bagian pertama diatas, "yang menurut Syeikh Syaltut tidak berkaitan dengan syariat sama sekali."
Menurut Qardhawi, "tidak semua Sunnah yang berkaitan dengan makan, minum, tidur, berjalan, duduk, bertetangga, dan sebagainya, termasuk dalam kategori perilaku sehari-hari manusia biasa. Akan tetapi, harus dilakukan pembedaan antara Sunnah yang diriwayatkan dilakukan oleh beliau dengan Sunnah yang disabdakan oleh beliau.
Apa yang dilakukan beliau, seperti telah saya singgung se- belumnya, tidak menunjukkan akan kewajiban atau kesunnahannya secara spontan, seperti makan dengan tangan dan sebagai- nya, selama perbuatan itu tidak ditujukan untuk beribadah.
Akan tetapi, orang yang berusaha melakukan perbuatan itu untuk mencontoh Rasulullah saw, serta sebagai ungkapan cinta kepada beliau, berarti ia telah melakukan kebaikan dan ia berhak mendapatkan pahala, seperti telah saya singgung sebelumnya, dan seperti dikatakan oleh Rasyid Ridla dalam tulisannya. Selain itu, menunjukkan akan hubungan yang kuat antara orang yang melakukan itu dengan Rasulullah saw., seperti dilakukan oleh Ibnu 'Umar r.a."
D. KESIMPULAN
نتابج مستخلصة :
وبهذاتبين لنا من خلال هذا البحث، أن من السنة النبوية المنقولة إلينا : ما لا يدخل في باب التشريع ، وإنما هومن امر دنيانا المحض الذي ترك تدبيرة وتنظيمه إلى عقولنا واجتهادنا — ونحن آعلم به — كا أن منها ما لا يحمل صفة التشريع العام المطلق الدائم ، الذي يخاطب الناس به في كل زمان ومكان ، بل قصد به حالات جزئية في ظروف معينة ، وهوما قاله أوفعله صلعم بصفة الإمامة والرئاسة التي كانت له ، فهو إمام المسلمين ورئيس دولتهم ، والقائم بأمر سياستهم ، وبيده سلطة التنفيذ، أوبصفة القضاء والحكم التي كانت له ايضًا ٠
واالظر إلى السنة المشركة بهذا المنظار الفاحص : يحللنا كثيرا من المشكلات في الفقهي العريض ٠
Dari penjelasan tadi, kita menemukan, sebagian dari Sunnah Nabi saw. yang diriwayatkan kepada kita ada yang tidak termasuk dalam bagian syariat. Dan hanya berkaitan dengan perkara duniawi kita semata yang kita diberikan kebebasan untuk mengatur, menyusun dan mengolahnya dengan akal dan upaya kita sendiri, dan dalam hal ini kita lebih tahu dari beliau.
Dan di antara Sunnah itu pula, ada yang tidak mengandung syariat secara general, mutlak dan universal, yang berlaku bagi seluruh manusia di seluruh zaman dan tempat, sebaliknya Sunnah itu hanya diperuntukkan bagi suatu tujuan tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Sunnah seperti itu adalah apa yang disabdakan dan dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam kapasitas beliau sebagai imam dan pemimpin negara, karena beliau adalah imam dan pemimpin negara umat Islam, yang mengatur strategi politik mereka, dan pemegang kekuasaan eksekutif negara itu. Atau dapat pula itu beliau lakukan dalam kapasitas beliau sebagai qadli dan hakim, yang juga beliau pegang.
Melihat Sunnah dengan pandangan seperti ini akan menyelesaikan banyak masalah yang terdapat dalam warisan fikih kita yang demikian luas. (hal 136)
Al Qardhawi memandang pengklasifikasian sunnah seperti ini merupakan suatu keniscayaan sehingga termasuk salah satu prinsip dasaar berinteraksi dengan sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak akan dapat memahami sunnah dengan baik dan benar apabila ia tidak mampu membedakan antara kedua jenis sunnah tersebut, yaitu tasyri' dan ghairu tasyri'. Klasifikasi antara keduanya menjadi lebih penting agar kita tidak memberlakukan sesuatu kepada manusia apa yang tidak diberlakukan oleh Allah (Taisir al Fiqh li al Muslim al Ma'ashir (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004) hal 58.
Dari perspektif seperti ini pula kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa umat Islam tetap bagaimana pun juga harus memiliki Imam a'zham (pemimpin tertinggi, mulia) yang dengan kapasitasnya tersebut memiliki kewenangan untuk menjalankan hadits-hadits Nabawiyah, yang mana dikeluarkan oleh Nabi Muhammad saw juga dalam kapasitas beliau sebagai Imam a'zham. Jika tidak ada Imam a'zham maka sesungguhnya tidak akan pernah sunnah nabawiyah dijalankan dengan sempurna.
Referensi: Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul; Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta: GIP, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.