Menjama' Shalat


Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak ada jama’ lainnya. 

Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.  

Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil : 

 Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR. Atsram)  

Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi.

Bahwa Rasulullah SAW menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.  

A. Syarat Jama’ Taqdim 

Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim. 

1. Niat Sejak Shalat Yang Pertama 

Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba. 

2. Berurutan 

Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.  

Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghrib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya. 

3. Al-Muwalat 

Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama. 

Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja. 

4. Masih Berlangsungnya Safar  

Masih berlangsungnya safar hingga takbiratul ihram shalat yang kedua. Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat Isya'.  

Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.  

B. Syarat Jama’  Ta'khir 

Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah : 

1. Niat 

Berniat untuk menmaja' ta'khir sebelum habisnya waktu shalat yang pertama. Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib. 

2. Safar Harus Masih Berlangsung  

Safar masih berlangsung hingga selesainya shalat yang kedua. 

Kita masih harus berada di dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan. 

Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib? 

Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat  Maghrib dengan berjamaah. 

C. Momen Dibolehkannya Jama' 

1. Safar 

Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara lain :  

Niat Safar  

Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.  

Keluar dari kota tempat tinggalnya  

Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat  

2. Sakit  

Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi'iyyah.  

Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama' shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.  

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab AsySyafi'iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama' shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan .  

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga AlKhattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi'iyyah.  

Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama' ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.  

Allah SWT berfirman :   “Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al- Hajj : 78)   

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak  bagi orang pincang, tidak  bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)  

Namun mazhab Al-Hanafiyah, sebagian mazhab AlMalikiyah dan Asy-Syafi'iyah menolak kebolehan menjama' shalat karena sakit. Alasannya karena tidak ada riwayat yang qath'i dari Rasulullah SAW tentang hal itu.   

3. Haji  

Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama' dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berada di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini : 

 Dari Abi Ayyub al-Anshari radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW menjama' Maghrib dan Isya' di Muzdalifah pada haji wada'. (HR. Bukhari 1674).   

4. Hujan  

 Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya'”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim) .   

Dari Nafi' maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama' antara maghrib dan isya' karena hujan, beliau ikut menjama' bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah) .   

Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha' jilid 3 halaman 40.  

Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama' qashar.  

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW menjama' zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim) .   

5. Kejadian Yang Tidak Memungkinkan  

Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif lain selain menjama', maka sebagian ulama membolehkannya.  

Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas. Allah SWT berfirman :  Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan” (QS. Al-Hajj : 78)  

Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.  

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW menjama' zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim) .    

 Namun shalat jama' karena terjadi di luar hal-hal yang tidak mampu diantisipasi tidak boleh dilakukan kecuali dengan syarat  

a. Terjadi Secara Insidental 

Seseorang tidak boleh merencanakan untuk menjama' shalat dengan alasan terjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali dengan menjama', namun dilakukannya secara terencana.  

Kejadiannya harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang Khandaq). Beliau saat itu menjama' shalat yang tertinggal setelah lewat tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat bertahan di dalam kota Madinah AlManuwwarah. 

Namun kejadian itu boleh dibilang hanya sesekali saja, bukan sesuatu yang bersifat rutin. Dan tentu saja tidak pernah direncanakan terlebih dahulu.

b. Kejadiannya Bersifat Memaksa 

Syarat kedua adalah bersifat memaksa, yang tidak ada alternatif lain kecuali harus menjama'. Sifat memaksa disini bukan disebabkan karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar. 

Sebab rapat itu hanya buatan manusia, demikian juga pesta pernikahan atau kemacetan rutin. Semua tidak termasuk hal yang bersifat memaksa yang membolehkan orang menjama' shalat. 

Yang bisa dikategorikan memaksa misalnya kejadian force majeure, yang dalam Bahasa Indonesia sebagian orang mengartikannya sebagai kejadian luar biasa (KLB). termasuk di dalamnya adalah kejadian–kejadian seperti  perang, demo anarkis, huru-hara, bencana alam, kecelakaan, banjir bandang, topan badai dan sejenisnya.  

Demonstrasi atau unjuk raja yang tertib dan dilakukan beberapa gelintir orang secara yang damai, bukan termasuk force majeure. Demikian juga banjir dan air menggenang yang sudah jadi langganan penduduk ibukota, tidak termasuk di dalamnya. 

Tsunami di Aceh dan Mentawai, banjir bandang di Wasior Papua, gampa di Padang dan Yogya, erupsi Gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah, serta terjebak di tengah kerusuhan massal tahun 1998 adalah contoh-contoh yang bisa dijadikan bahan perbandingan dari force majeur. 


Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat, 2011: Jakarta: DU Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.