Mengqashar Shalat

 

Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk mengqashar shalat. 

Mengqashar adalah mengurangi jumlah rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat. 

Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal mengurangi begitu saja.  

A. Masyru'iyah 

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran al-Kariem tentang keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat.  

1. Al-Quran 

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)  

2. Hadits 

Sedangkan dasar dari hadits adalah sabda Rasulullah SAW dari riwayat istri beliau ummul mukminin :  

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:” Awal mula diwajibkan shalat itu 2 rakaat kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar) (HR Bukhari Muslim) 

Dari Aisyah radhiyallahu‘anha berkata : “Diwajibkan shalat dua rakaat kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari, kemudian disempurnakan (4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar) dan ditetapkan bagi shalat safar” (HR. Ahmad) 

Dalam riwayat Al-Bukhari ada penambahan :   Kemudian beliau SAW hijrah maka diwajibkan shalat itu 4 rakaat dan ditetapkan bagi shalat safar atas yang perama (2 rakaat) (HR. Bukhari) 

Abdullah bin Umar berkata,"Aku menemani Rasulullah SAW, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman." (HR. Bukhari Muslim)  

B. Hukum 

Di kalangan ulama terdapat perrbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat dalam safat itu wajib, sunnah atau pilihan. 

1. Wajib 

Mazhab Abu hanifah mewajibkan qashar bagi orang yang melakukan perjalanan yang telah terpenuhi syaratnya. 

Istilah lain yang sering digunakan adalah azimah. 

Dan tidak boleh shalat dengan itmam, yaitu menyempurnakan dengan 4 rakaat dalam keadaan tersebut. Bila dilakukan hukumnya dosa. 

Dalil yang mereka gunakan adalah salah satu hadits di atas, dimana mereka menarik kesimpulan hukum menjadi wajib, bukan sunnah atau pilihan. 

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:” Awal mula diwajibkan shalat itu 2 rakaat kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar) (HR Bukhari Muslim) 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhu berkata:”Alah SWT telah mewajibkan di atas lidah nabi kalian bahwa shalat dalam hadhar  (tidak safar)  sebanyak4 rakaat, dalam safar 2 rakaat dan dalam keadaan kahuf (takut) satu rakaat (HR. Muslim) 

Dua hadits di atas memang tegas menyebut istilah 'mewajibkan', sehingga barangkali inilah adalan mazhab Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam perjalanan. 

2. Sunnah 

Yang masyhur berpendapat bahwa mengqashar shalat hukumnya sunnah adalah mazhab Malikiyah. 

Dasarnya adalah tindakan Rasulullah SAW yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanan beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu  

Abdullah bin Umar berkata,"Aku menemani Rasulullah SAW, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman." 

(HR. Bukhari Muslim)  

3. Pilihan 

Yang berpendapat bahwa mengqashar shalat atau tidak itu merupakan pilihan adalah mazhab As-Syafi'iyah dan AlHanabilah.  

Namun bagi mereka, mengqashar itu tetap lebih afdhal, karena merupakan sedekah dari Allah SWT.  Umar ra berkata,"(Qashar) adalah sedekah yang Allah berikan padamu, maka terimalah sedekah-Nya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi) 

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah SWT menyukai bila kita menerima sedekah-Nya  

Ibnu Mas'ud berkata,"Sesungguhnya Allah suka bila sedekahnya diterima sebagaimana Dia suka bila kewajibannya dijalankan." (HR. Ahmad)  

Mereka juga berdalil dari tindakan para shahabat Nabi SAW dalam banyak perjalanan, kadang mereka mengqashar tapi kadang juga tidak mengqasharnya. Sehingga mengqashar atau tidak merupakan pilihan. Mereka tidak saling memandang aib atas apa yang dilakukan teman mereka. 

Selain itu Aisyah dan Rasulullah SAW pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar yang lain tidak mengqashar. 

Aku pernah melakukan umrah bersama Rasullah SAW di bulan Ramadhan, beliau SAW berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak. Maka Aku berkata,"Dengan ibu dan ayahku, Anda berbuka dan aku berpuasa, Anda mengqashar dan Aku tidak". Beliau menjawab,"Kamu baik, wahai Aisyah". (HR. Ad-Daruquthuny)  

C. Kriteria Safar Yang Membolehkan Qashar 

Tidak semua safar membolehkan kita untuk mengqashar shalat. Hanya safar dengan kriteria tertentu saja yang membolehkan kita mengqasharnya. 

1. Jarak Safar 

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama' shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.  

a. Jarak 88,704 Km  

Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 2 hari perjalanan, dengan langkah yang biasanya. Malamnya tidak dihitung kecuali hanya perjalanan siangnya saja.   

Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi. 

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km .  

Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh. 

Dalilnya adalah hadits Nabi SAW berikut ini : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu,

يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان

"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny) 

Selain itu, juga praktek yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu.  

Al-Atsram berkata bahwa Abu Abdillah ditanya,"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"4 burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi 4 burud, atau 16 farsakh, sejauh perjalanan dua hari". 

Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain. 

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya, "Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km . 

b. Jarak 3 Hari Perjalanan  

Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3 hari. Dimana perjalanan itu dahulu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki. Tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.  

Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah. 

Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.  

يَمْسَحُ المـُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمـُسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا

"Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam". (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari. 

لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)

Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari. Kalau dikonversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.

c. Tanpa Batas Minimal  

Sedangkan Dzahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.  Yang mewakili kalangan ini diantaranya adalah Ibnu Taimiyah (Majmu' Fatawa jilid 12 hal. 18-14 dan 135)

Seorang musafir dapat mengambil rukhsah shalat dengan mengqashar meski tidak memenuhi jarak tertentu, bahkan bila hanya berjarak 3 mil saja. Dasarnya adalah hadits berikut ini. 

إِنَّ رَسُولَ الله كَانَ إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخِ صَلىَّ رَكْعَتَيْنِ

Anas berkata bahwa Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim) 

Namun meski hadits ini shahih dari segi periwayatannya, namun cara menarik kesimpulannya yang tidak disepakati. Umumya para fuqaha mengartikan hadits ini bukan sebagai jarak safar yang membolehkan qashar, namun kapan shalat qashar sudah boleh mulai dikerjakan. Sementara safarnya itu sendiri tetap minimal berjarak empat burud atau enambelas farsakh.

Ketika Rasulullah SAW mengadakan perjalanan dari Madinah ke Mekkah, beliau sudah mulai mengqashar sejak masih di Dzil-Hulaifah, atau yang sekarang disebut dengan Bi’r Ali. Kalau diukur jaraknya hanya beberapa kilmometer saja dari Madinah. 

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ رَسُول اللَّهِ  بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا  وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,"Aku shalat Dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tetapi sebagaimana kita ketahui, tujuan safar beliau SAW bukan semata-mata mau pergi ke Dzil-hulaifah. Beliau SAW punya tujuan yang jauh, yaitu melakukan haji atau umrah ke Mekkah.

2. Safar Yang Mubah 

Safar yang dibolehkan buat kita untuk mengqashar shalat haruslah sebuah safar yang sejak awal memang diniatkan untuk hal-hal yang mubah atau dibolehkam. Sedangkan safaf yang sejak awalnya sudah diniatkan untuk hal-hal yang haram dan tidak diridhai Allah SWT, tidak diberikan keringanan untuk mengqashar shalat.  

Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama kecuali AlHanafiyah yang mengatakan apapun tujuan safar, semua membolehkan qashar. Sedangkan As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mewakili kalangan jumhur ulama mengatakan seorang yang melakukan safar dalam rangka bermaksiat kepada Allah, bila dia shalat maka tidak sah shalatnya. Alasannya, karena seperti orang yang tahu bahwa dirinya dalam keadaan hadats (tidak punya wudhu') tetapi tetap shalat juga. Sedangkan buat Al-Malikiyah, orang itu bila mengqashar shalatnya akan berdosa, meski shalatnya tetap sah.  

Sedangkan safar yang hukumnya makruh, bagi AlHanabilah tetap tidak memperbolehkan, sedangkan AlMalikiyah dan As-syafi'iyah memperbolehkan.  

3. Melewati Batas Tempat Tinggal 

Mengqashar shalat dalam safar itu sudah boleh dilakukan meski belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu. 

Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika masih di rumahnya. 

Rasulullah SAW tidak mulai mengqashar shalatnya kecuali setelah beliau meninggalkan Madinah.  

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ رَسُول اللَّهِ  بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا  وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,"Aku shalat Dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Dalam Keadaan Safar Sepanjang Shalat 

Mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan mengqashar shalat disyaratkan harus dalam keadaan safar sepanjang shalat itu berlangsung. Berarti shalat itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan safar sejak dari awal mulai shalat hingga salam. 

Maksudnya, jangan sampai safar sudah selesai ketika shalatnya sedang berlangsung. Hal ini bisa terjadi baik secara fisik atau secara niat. 

Contoh secara fisik misalnya, orang yang shalat qashar di dalam kapal dan kapalnya bergerak pulang menuju negerinya. Dalam hal ini, kalau kapal sudah bersandar di dermaga, maka hukum safarnya sudah selesai. Maka mengqashar shalat tidak lagi berlaku kalau kapal terlanjur bersandar. 

Contoh secara niat adalah bila seseorang dalam safarnya tiba-tiba berubah niat untuk mukim di tempat tersebut. Meski secara fisik dia masih ada dalam perjalanan, tetapi kalau di hatinya ada niat bahwa dia akan menetap di tempat itu, maka status safarnya berubah. Maka kalau niatnya itu muncul saat masih shalat, dia harus menggenapkan rakaatnya. 

5. Punya Tujuan Pasti 

Safar itu harus punya tujuan pasti, bukan sekedar berjalan tak tentu arah dan tujuan.  Misalnya, orang yang melakukan perburuan hewan atau mengejar hewan yang lepas, dimana dia tidak tahu mau pergi kemana tujuan perjalanannya. 

D. Berakhirnya Kebolehan Qashar 

Tidak selamanya seorang yang pergi meninggalkan rumah atau negerinya dianggap sebagai musafir. Boleh jadi meski tidak ada di rumah atau negerinya, seseorang telah menetap di kota atau negeri lain. Ketika dia terus bergerak dalam safarnya itu, memang dia masih tetap diperbolehkan mengqashar shalat. 

Tetapi ketika seorang musafir berhenti di satu titik dalam waktu yang cukup lama, apakah masih melekat pada dirinya status musafir? Berapa lama waktu yang ditolelir buat seorang masioh dianggap musafir padahal dia diam di suatu tempat? 

Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama' dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqaha.  Imam Malik dan Imam As-Syafi'i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari. 

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari. 

Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama' dan qasharnya.  

Adapun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.  Ibnul Qayyim berkata, "Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.  

Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari) 

Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat, 2011: Jakarta: DU Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.