Shalat di Kendaraan

 


Biasanya shalat dilakukan di atas tanah, baik di dalam masjid atau di dalam rumah, kali ini kita akan membahas tentang bagaimana teknis shalat di atas kendaraan. 

Mengingat seringkali seseorang tidak selalu berada di rumah, pada waktu-waktu shalat, justru sedang berada dalam perjalanan, bahkan lebih spesifik lagi, sedang berada di atas kendaraannya.  

Bangsa Arab sendiri, khususnya Kaum Quraisy, sebagai bangsa dan suku yang Allah SWT pilih sebagai penerima pertama agama Islam, yang dari tangan mereka kita menerima agama Islam, adalah bangsa dan suku pedagang. Mereka punya kebiasaan mengadakan perjalanan jauh sepanjang musim. Di musim panas mereka berniaga ke Utara, yaitu ke Negeri Syam. Sedangkan di musim dingin mereka berdagang ke Selatan, yaitu ke Negeri Yaman. 

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari 

ketakutan. (QS. Al-Quraisy : 1-4) 

Ketika mereka memeluk agama Islam, kebiasaan mengadakan perjalanan tetap mereka lakukan. Dan tentunya dalam perjalanan itu mereka tetap wajib mengerjakan shalat lima waktu, juga tetap disyariatkan melakukan shalat sunnah. 

Apalagi tatkala agama Islam kemudian mereka sebarkan ke seluruh dunia masuk ke berbagai peradaban dunia yang lain. Islam masuk ke Asia baik ke Persia, India, China bahkan Asia Tenggara hingga Indonesia.  

Islam juga menyebar ke Afrika melalui Mesir, Libya, Tunis, Maghrib, Al-Jazair, terus menyeberang ke Utara menembus benua Eropa lewat selat Giraltar, masuk ke Spanyol di Semenanjung Ibera.  

Islam juga masuk ke Eropa lewat jalur Asia, setelah penaklukkan Konstantinopel di tahun 1453 M oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, sehingga wilayah-wilayah yang kini disebut sebagai Eropa Timur menjadi negeri Islam. 

Kesemua itu merupakan perjalanan-perjalanan dakwah, dimana setiap muslim tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat 5 waktu di atas kendaraan yang membawa mereka ke berbagai negeri. 

Karena tingginya kedudukan shalat dalam syariat Islam, dan pentingnya ibadah ini sebagai ciri seorang muslim, maka secara teknis ada aturan bagaimana tata cara shalat di atas kendaraan. 

A. Pengertian 

Kendaraan di dalam banyak hadits Nabi SAW sering disebut dengan istilah rahilah (راحلة). Pada kenyataannya, yang dimaksud dengan kendaraan di masa Rasulullah adalah unta. Unta adalah kendaraan yang paling ideal di negeri Arab, selain karena mampu mengangkut manusia dan barang dalam jumlah besar, unta juga mampu menempuh perjalanan jauh selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. 

Unta juga mampu minum air dalam jumlah yang amat banyak, dan disimpan di bawah kulitnya. Sehingga selama berhari-hari perjalanan, unta tidak butuh minum.  

Di dalam Al-Quran Al-Kariem, Allah SWT memberi isyarat kepada kita untuk mempelajari unta secara khusus, karena punya banyak keunikan.  

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana 

dia diciptakan. (QS. Al-Ghasyiyah : 17)  

Selain unta, yang difungsikan sebagai kendaraan di masa itu adalah kuda, keledai, bagal (hasil kawin antara kuda dan keledai). 

Selain hewan-hewan itu, kendaraan yang juga ditumpangi di masa beliau SAW adalah kapal laut. Kapal laut sudah ada di masa Rasulullah, dan juga punya kajian khusus tentang hukum shalat di atasnya. 

Di masa sekarang ini, jenis kendaraan sudah sedemikian banyak. Di darat ada mobil, bus, kereta api. Di laut ada berbagai jenis kendaraan, mulai dari perahu, fery penyeberangan, hingga kapal laut yang besar dan mampu mengangkut ribuan orang dan barang sekalipus. Di udara ada banyak kendaraan terbang, mulai dari pesawat pengakut komersial, hingga pesawat yang menembus ruang angkasa.  Semua itu masuk ke dalam pembahasan tentang shalat di atas kendaraan. 

Secara umum, shalat lima waktu adalah shalat yang wajib dilakukan dimana saja, karena shalat itu adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan.    

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 

103) 

Secara umum, shalat itu wajib dikerjakan tanpa harus dilakukan di dalam masjid, bahkan di atas tanah pun boleh, karena seluruh permukaan bumi ini adalah masjid, sehingga dimana pun seorang muslim berada, dia punya masjid dan dia punya media untuk bersuci. 

B. Dasar Masyru'iyah 

Dasar masyru’iyah tentang melakukan shalat di atas kendaraan ditetapkan dari beberapa hadis nabawi, di antaranya : 

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari) 

Hadits ini adalah hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya membolehkan untuk melakukan shalat di atas punggung unta, tetapi juga langsung menegaskan bahwa beliau SAW sendiri juga melakukannya. 

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya, menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. 

Bukhari) 

Hadits ini juga shahih, namun dengan tambahan penjelasan bahwa beliau SAW ketika shalat di atas punggung unta, tidak menghadap ke arah kiblat, tetapi menghadap kemana saja arah unta itu berjalan. 

Dan yang paling penting, hadits ini juga menegaskan bahwa beliau SAW tidak melakukan shalat fardhu yang lima waktu di atas punggung unta. Shalat di atas punggung unta itu hanya manakala beliau melakukan shalat sunnah saja. Sedangkan untuk shalat fardhu 5 waktu, bila kebetulan beliau sedang dalam perjalanan, beliau kerjakan dengan turun dari untanya, menjejak kaki ke atas tanah, dan tentunya tetap dengan menghadap ke arah kiblat. Tidak menghadap ke arah mana saja untanya menghadap. 

Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan shalat witir di atas untanya. (HR. Bukhari) 

Hadits shahih di atas juga menjelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan shalat witir yang hukumnya sunnah, beliau SAW melakukannya di atas punggung untanya. 

Namun memang pernah juga beliau SAW melakukan shalat wajib di atas punggung unta, akan tetapi keadaan yang terjadi saat itu memang tidak memungkinkan beliau untuk turun ke atas tanah. Hal itu terjadi lantaran saat itu sedang terjadi hujan, yang menyebabkan tanahnya menjadi becek atau berlumpur. Sehingga dalam keadaan tertentu memang masih dimungkinkan shalat wajib yang dikerjakan di atas punggung unta. 

Dari Ya'la bin Umayyah bahwa Nabi SAW melewati suatu lembah di atas kendaraannya dalam keadaan hujan  dan becek. Datanglah waktu shalat, beliau pun memerintahkan untuk dikumandangkan adzan dan iqamat, kemudian beliau maju di atas kendaraan dan melalukan shalat, dengan membungkukkan badan (saat ruku' dan sujud), dimana membungkuk untuk sujud lebih rendah dari membungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi) 

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang lain yang mengisahkan tentang shalat-shalat Rasulullah SAW di atas kendaraan. Misalnya hadits yang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas perahu atau kapal laut, ketika menuju ke negeri Habasyah.  

Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam. 

(HR. Al-Haitsami dan Al-Bazzar) 

C. Hukum Shalat di Atas Kendaraan 

Umumnya para ulama membolehkan shalat sunnah di atas kendaraan, namun mereka mengharuskan untuk turun dari kendaraan bila yang dikerjakan shalat wajib. Kalau pun terpaksa melakukan shalat wajib di atas kendaraan, maka ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. 

1. Shalat Sunnah 

Dari dalil-dalil di atas, para ulama menyimpulkan bahwa shalat-shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di atas kendaraan umumnya hanya terbatas pada shalat yang hukumnya sunnah dan bukan shalat wajib. 

Ketika beliau SAW melakukan shalat wajib di atas punggung unta, karena keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke atas tanah. 

Tentang keharusan untuk tidak shalat wajib di atas punggung unta, menurut para ulama, hal itu terkait dengan kewajiban untuk berdiri, ruku’ dan sujud dengan sempurna bila kita melakukan shalat wajib. Dan juga syarat yang harus dipenuhi dalam shalat wajib, yaitu menghadap ke arah kiblat.  

Sedangkan khusus untuk shalat sunnah, memang tidak diharuskan dikerjakan dengan berdiri sempurna. Shalat sunnah boleh dikerjakan dengan duduk, meski tanpa udzur syar'i. Shalat sunnah juga diperkenankan untuk tidak menghadap ke arah kiblat. 

2. Shalat Wajib 

Sedangkan dalam shalat wajib, hadits-hadits di atas tidak menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakannya di atas kendaraan. Bahkan dua hadits Jabir menyebutkan dengan tegas bahwa beliau SAW turun dari kendaraan dan shalat di atas tanah menghadap ke kiblat. 

Kalau pun beliau SAW shalat fardhu di atas punggung unta, hal itu karena memang untuk turun ke atas tanah tidak dimungkinkan, lantaran saat itu turun hujan yang membuat tanah menjadi becek atau berlumpur. 

Selain itu ada hadits Nabi SAW yang lain dimana beliau memerintahkan Ja'far bin Abu Thalib yang menumpang kapal laut ketika berhijrah ke Habasyah untuk shalat wajib sambil berdiri. 

Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam. (HR. Al-Haitsami dan Al-Bazzar) 

Sehingga para ulama mengatakan bahwa shalat wajib tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan yang tidak menghadap secara pasti ke arah kiblat. 

D. Shalat Fardhu di Atas Kendaraan 

Karena hanya shalat sunnah yang dibenarkan dikerjakan di atas kendaraan, maka bagaimana hukumnya dengan shalat wajib? 

1. Turun dari Kendaraan 

Shalat wajib tidak sah kalau dilakukan di atas kendaraan, apabila shalat di atas kendaraan itu tidak memungkinkan dilakukan dengan sempurna, seperti menghadap kiblat, berdiri, ruku', sujud, i'tidal dan sujud. Misalnya shalat di atas sepeda motor atau di mobil pribadi yang kecil, tentu semua ketentuan itu tidak bisa dilaksanakan. 

Maka jalan keluarnya ketika harus shalat wajib adalah berhenti dan turun dari kendaraan. Dan shalat bisa tetap dilakukan meski tidak ada masjid atau mushalla, karena shalat shalat boleh dilakukan di atas tanah.  

Dan hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika shalat fardhu. Beliau turun dari untanya dan shalat menghadap kiblat dengan berdiri. 

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari) 

2. Tetap Shalat di atas Kendaraan 

Ada beberapa jenis kendaraan dimana kita bisa dengan sempurna melaksanakan shalat, misalnya kapal laut, peswat udara dan kereta api.  

a. Shalat di Kapal Laut 

Di masa lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ja'far bin Abil Thalib untuk shalat sambil berdiri di atas kapal yang membawanya pergi berhijrah ke Habasyah, sebagaimana hadits di atas. 

Shalat bisa dikerjakan dengan sempurna, kita bisa berdiri tegak, ruku’ sujud dan tentunya jelas menghadap kiblat, bila kita lakukan di atas kapal laut, baik kapal besar maupun kapal kecil. 

Penulis pernah berputar-putar naik perahu kecil dengan mesin di sekeliling Sungai Nil di kota Cairo. Dan di atas perahu kecil itu Penulis bisa menunaikan dua shalat dengan dijama' dan qashar, yaitu shalat Dzhuhur dan Ashar sekaligus.  

Shalat bisa dilakukan dengan posisi tetap berdiri sempurna, dan arah shalat tetap ke arah kiblat. Ruku', i'tidal, sujud dan semua gerakan shalat berlangsung normal seperti layaknya di atas tanah. 

Di masa sekarang ini, kapal laut yang besar bahkan memiliki masjid di dalamnya yang dapat menampung ratusan orang. Penulis pernah menumpang kapal laut dan bisa shalat lima waktu dengan sangat sempurna di atasnya, karena masjid di kapal itu amat luas dan nyaman. Selain karpetnya bagus, masjid itu juga dilengkapi dengan penyejuk ruangan. Bahkan masjid di depan rumah penulis kalah mewah dengan masjid di atas kapal itu. b. Shalat di Pesawat Terbang 

Shalat fardhu dengan berdiri sempurna dan menghadap kiblat tepat ke arah ka'bah juga bisa dengan mudah dikerjakan di atas pesawat terbang, asalkan jenisnya bukan helikopter atau pesawat tempur.  

Di dalam pesawat terbang komesial, selalu ada tempat yang agak luas untuk kita bisa melakukan shalat dengan sempurna dilengkapi ruku' dan sujud.  

Tempat itu adalah pada bagian pintu masuk atau keluar. Tempat itu tidak pernah diisi dengan kursi, karena merupakan jalan para penumpang masuk atau keluar ketika pesawat berada di darat.  

Pada saat pesawat sedang terbang di angkasa, tentunya tempat itu tidak berfungsi sebagai jalan keluar masuk. Di tempat itulah kita bisa melakukan shalat dengan sempurna. 

Konon menurut teman yang pernah naik maskapai Saudi Airlines, perusahaan itu secara khusus mengosongkan beberapa kursi buat khusus buat yang mau mengerjakan shalat. Tentu ini lebih sempurna, karena jadi tidak akan mengganggu aktifitas di dalam pesawat. Dan bagi yang shalat di tempat itu juga tidak akan terganggu dengan lalu lalang orang. 

Bagaimana dengan arah kiblat? 

Mudah saja. Di zaman maju sekarang ini, nyaris semua pesawat terbang dilengkapi dengan Global Positioning System (GPS). Di beberapa pesawat berbadan lebar, biasanya dipasang layar besar LCD di tengah kabin, dan salah satunya menampilkan posisi pesawat di atas peta dunia. Bahkan beberapa maskapai penerbangan yang baik menyediakan layar LCD di kursi masing-masing dan salah satu fungsinya bisa sebagai GPS.  

Asalkan kita tidak terlalu awam dengan peta dunia, maka dengan mudah kita bisa menentukan mana arah kiblat kalau diukur dari posisi pesawat. Maka ke arah sanalah kita menghadapkan badan saat berdiri melaksanakan shalat. 

Bagaimana dengan Waktu Shalat? 

Waktu shalat di atas pesawat international memang agak rancu. Mengingat kita tidak tahu di atas kota apa kita saat ini sedang terbang. Bahkan mungkin malah bukan di atas kota, tetapi di atas laut, hutan, pegunungan, padang pasir dan sejenisnya, dimana memang tidak pernah dibuatkan jadwal waktu shalatnya. 

Jadi kalau pun kita tahu kita berada di atas titik koordinat tertentu, masih ada masalah besar yaitu tidak ada jadwal shalat untuk titik koordinat tersebut. 

Maka yang jadi pertanyaan, kapan kita mulai shalat? 

Jawabannya sebenarnya sederhana. Di atas pesawat yang terbang tinggi di langit itu kita justru dengan mudah bisa mengenali waktu shalat dengan sederhana.  

Untuk shalat Dzhuhur dan Ashar yang memang boleh dijama' itu, kita bisa melihat ke luar jendela. Selama matahari sudah lewat dari atas kepala kita dan belum tenggelam di ufuk barat, kita masih bisa menjama' kedua shalat itu. Untuk yakinnya, mari kita jama' ta'khir saja.  

Kenapa?  

Karena jama' ta'khir itu kita lakukan di waktu Ashar dan waktu Ashar bisa kita kenali dengan melihat ke luar jendela pesawat. Selama matahari sudah condong ke arah Barat namun belum tenggelam, maka itulah waktu Ashar. 

Untuk shalat Maghrib dan Isya, agar kita tidak terlalu ragu, sebaiknya kita shalat jama' ta'khir di waktu isya. Jadi setelah kita menyaksikan matahari betul-betul tenggelam di ufuk barat, kita tunggu kira-kira 1-2 jam. Saat itu kita amat yakin bahwa waktu Isya sudah masuk. Maka kita shalat Maghrib dan Isya' dengan dijama' di waktu Isya'. 

Bagaimana dengan shalat shubuh? 

Shalat shubuh itu waktunya sejak terbit fajar hingga matahari terbit. Dan kalau kita berada di angkasa, mudah sekali mengenalinya.  

Cukup kita menengok keluar jendela, ketika gelap malam mulai hilang dan langit menunjukkan tanda-tanda terang namun matahari belum terbit, maka itulah waktu shubuh. Shalatlah shubuh pada waktu itu dan jangan sampai terlanjur matahari menampakkan diri. 

Jadi di atas pesawat yang terbang di angkasa, kita dengan mudah bisa menetapkan waktu shalat, bahkan tanpa harus melihat jam atau bertanya kepada awak pesawat. 

Bagaimana Wudhu'nya? 

Ini pertanyaan klasik tapi penting. Beberapa orang pernah berfatwa bahwa di dalam pesawat sebaiknya tidak usah wudhu' dan sebagai gantinya cukup bertayammum. Fatwa ini kelihatan bagus tetapi justru bermasalah besar. Mengapa? 

Ada dua masalah besar ketika orang mau tayammum di atas pesawat.  

Pertama, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT menegaskan bahwa tayammum itu hanya boleh dikerjakan bila seseorang tidak menemukan air. 

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa' : 43) 

Padahal di atas pesawat itu air berlimpah, baik untuk minum, juga untuk cuci muka bahkan untuk istinja'. Maka kebolehan tayammum menjadi gugur dengan sendiri dengan masih adanya air di atas pesawat. 

Kedua, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT juga menegtaskan bahwa bertayammum hanya dibolehkan menggunakan tanah yang bersih. Masalah besarnya justru di atas pesawat itu malah tidak ada tanah. Jadi kalau mau bertayammum di atas pesawat, mau tidak mau para penumpang harus membawa bungkusan berisi tanah untuk dipakai tayammum.  

Kalau semua penumpang membuka bungkusan berisi tanah di atas pesawat, lalu salah satunya ada yang bersin, maka buyarlah tanah itu. Yang lain akan tersenggol dan tanahnya tumpah. Dan akhirnya pesawat itu penuh dengan tanah. 

Bukankah tayammum bisa dengan menggunakan permukaan kursi? 

Inilah masalahnya, perintah bertayammum di dalam AlQuran itu adalah menggunakan tanah. Bunyi ayatnya fatayammamu sha'idan tayyiba, bukan fatayammamu kursiyyan thayyiba. Sebab kursi di dalam pesawat udara itu jelas bukan tanah. Segala debu dan kotoran tentunya sudah dibersihkan dengan vacum cleaner. Sehingga kursi itu menjadi steril dari debu yang kelihatan. Kalau kursi pesawat international berdebu, pastilah para penumpang langsung bersih-bersin dan terkena radang saluran pernafasan (ISPA). 

Kalau pun kita masih ngotot mengatakan bahwa di kursi pesawat itu pasti masih tersisa debu, tentunya ada debudebu ukuran mikroskopis, yang hanya bisa dilihat kalau kita mengintip lewat mikroskop. Tetapi perlu diingat bahwa debu atau molekul ukuran mikrospokis ini sesungguhnya bukan hanya ada di kursi, tetapi di udara yang kita hirup sekalipun juga ada.  

Kalau debu ukuran mikroskopis itu bisa digunakan untuk bertayammum, maka seharusnya kita bisa bertayammum cukup dengan menggeleng-gelengkan kepala dan menggerak-gerakkan tangan saja, toh di udara sekitar wajah dan tangan kita ada banyak debu mikroskopis. 

Majelis Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama secara tegas menetapkan bahwa bertayammum menggunakan kursi pesawat terbang itu hukumnya tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan tayammum.  c. Shalat di Kereta Api 

Shalat wajib di atas kereta api dalam beberapa kasus masih dimungkinkan, asalkan bisa memenuhi beberapa syarat, diantara masih bisa berdiri, ruku' dan sujud serta bisa menghadap kiblat. 

Beberapa rangkaian Kereta Api Eksekutif misalnya, masih dimungkinkan kita melaksanakan shalat wajib dengan benar. 

Yang pertama kali kita pikirkan adalah meminimalisir shalat di atas kereta. Bila kereta bergerak dari stasiun Gambir di Jakarta pukul 21.00 malam, maka untuk shalat Maghrib dan Isya tidak perlu dilakukan di atas kereta, karena bisa kerjakan sebelumnya di rumah atau di stasiun. 

Tinggal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana shalat shubuhnya, karena pada saat waktu shubuh itu kereta tidak berhenti secara khusus untuk melakukan shalat shubuh.  

Untuk wudhu kita bisa melakukannya di toilet kereta. Karena umumnya kereta kelas bisnis dan eksekutif dilengkapi dengan toilet. 

Dan untuk tempat shalat, kita bisa memanfaatkan ruang di dekat sambungan antar gerbong, misalnya dengan menggelar koran atau jaket, kalau takut ada bekas najis. 

Dan untuk masalah arah kiblat, kita bisa sedikit memperkirakan dengan melihat kota asal dan kota tujuan. Misalnya kita naik kereta Argo Bromo Anggrek dari Jakarta ke Surabaya. Secara umum, kereta akan bergerak dari arah Barat ke Timur. Maka arah kiblat bisa kita perkirakan yaitu arah datangnya kereta, atau menghadap ke belakang.  

Dan sebaliknya, bila perjalanan kereta itu dari Surabaya ke Jakarta, maka kita shalat menghadap arah tujuan kereta, atau menghadap ke depan. 

Tentu saja arah ini tidak tepat benar ke arah kiblat, sebab biar bagaimana pun juga rel kereta api itu pasti berbelokbelok. Namun secara umum relatif arah rel kereta itu umunya lurus, kalau perlu memotong sawah, desa, lembah, ngarai, gunung bahkan sampai dibuatkan terowongan.  

Semua menunjukkan bahwa sesungguhnya arah rel kereta api cenderung lurus. 

Maka kita bisa melakukan shalat shubuh 2 rakaat yang ringan saja, dimana syarat dan rukun shalat terpenuhi dengan lengkap. 

Syarat shalat yang pertama yaitu itu suci dari hadats kecil, kita lakukan dengan berwudhu' di toilet kereta dengan menggunakan air dan bukan dengan cara bertayammum. Syarat shalat yang kedua yaitu menghadap kiblat kita penuhi dengan memperkirakan arah kereta. 

Sedangkan rukun shalat wajib yaitu berdiri, bisa kita lakukan dengan sempurna di tempat dekat sambungan gerbong. Sebenarnya di lorong tengah-tengah antara kursi juga bisa, namun takut mengganggu dan terganggu oleh orang lewat. Urusan ini kita minimalisir dengan mencari ruang yang agak lega, yaitu di dekat sambungan. 

Sesungguhnya kalau shalat shubuh bisa saja kita gunakan lorong di tengah-tengah kursi penumpang, karena umumnya pada waktu shubuh itu, para penumpang masih lelap tidur. Toh kita bisa melakukan shalat dua rakaat hanya dalam hitungan 1 atau 2 menit saja. Kita tidak perlu membaca surat Al-Baqarah atau surat Yasin ketika shalat di atas kereta api. 

d. Shalat Ketika Menumpang Bus Antar Kota 

Urusan shalat ketika kita menumpang bus umum antar kota atau antar negara, sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebab pada dasarnya, bus antar kota itu adalah kendaraan yang selalu berhenti di terminal-terminal tertentu, atau di rest area tertentu. Sehingga pada dasarnya kita dapat memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk melakukan shalat fardhu. Dan untuk lebih utamanya, lakukan shalat fardhu itu dengan dijamak dan diqashar. Selain lebih cepat, umumnya para ulama lebih mengutamakan jama’ dan qashar ketika dalam perjalanan. 

Biasanya di tempat-tempat pemberhentian yang resmi seperti restoran, terminal atau pun rest area, tersedia mushalla dan juga toilet. Namun bila fasilitas itu tidak tersedia, tetap saja kita masih bisa melakukan shalat fardhu di sembarang tempat, asalkan bisa menghadap kiblat dengan benar, berdiri, ruku’ dan sujud dengan sempurna. 

Namun dalam kasus tertentu, seperti untuk shalat shubuh, seringkali bus antar kota itu tetap saja meluncur tanpa berhenti.  

Sebenarnya yang harus dilakukan oleh pengemudi adalah berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan kepada para penumpang dapat melaksanakan shalat shubuh. Sebab berhenti sejenak barang 10 menit untuk sekedar melakukan shalat shubuh tentu tidak akan membuat perjalanan jadi terlambat. Kewajiban ini terutama tertumpu di pundak sang pengemudi.  

Bila pengemudi bus itu seorang muslim, minimal dia wajib melakukan shalat shubuh untuk dirinya sendiri. Dan tentunya dia juga wajib memberi kesempatan kepada penumpangnya yang muslim untuk melakukan shalat shubuh.  

Bila pengemudi itu tidak berhenti untuk shalat shubuh, maka penumpangnya yang muslim tentu berhak sekaligus berkewajiban untuk memberitahukan hal ini kepada si pengemudi bus, yaitu agar si pengemudi berhenti sejenak sekedar untuk melakukan shalat shubuh.  

Disinilah sesungguhnya letak kualitas seorang muslim diuji, apakah dia tergerak hatinya untuk memberitahukan si pengemudi, ataukah dia hanya diam saja melihat kemungkaran terjadi di depan mata. Sayangnya yang justru paling sering kita temui, kebanyakan orang merasa sungkan untuk mengajak si pengemudi bus untuk berhenti sejenak sekedar untuk shalat. 

Bila si pengemudi adalah seorang non muslim, memang dia tidak wajib untuk mengerjakan shalat. Namun bukti bahwa dia punya niat baik mau hidup berdampingan dengan umat Islam sebagai kafir dzimmi adalah dia memberikan kesempatan kepada penumpang yang muslim untuk melakukan shalat shubuh. Bila dia tidak tahu adanya kewajiban seperti itu, maka penumpang yang muslim wajib memberitahukan. Dan tidak boleh hanya diam saja. 

E. Kendaraan Yang Tidak Memungkinkan Shalat 

Tetapi memang harus kita akui tidak semua kereta api berfasilitas yang memungkinkan kita shalat. Misalnya kereta api kelas ekonomi yang umumnya sangat parah.  

Apalagi di musim liburan atau musim mudik lebaran, praktis kita sama sekali tidak mungkin melakukan shalat, selain karena toiletnya tidak mengeluarkan air, juga toilet itu malah diisi para penumpang yang tidak kebagian kursi. 

Begitu juga tempat yang lega sudah tidak ada lagi, karena dijejali dengan ribuan penumpang yang berdesakan di setiap jengkal badan gerbong kereta. Satu-satunya tempat yang agak lapang adalah atap kereta. Tapi di musim ramai, seringkali atap kereta pun dipenuhi manusia.  

Maka kalau kita perhatikan syarat-syarat dari para ulama tentang shalat wajib di atas kendaraan, rasanya mustahil kita bisa melakukan shalat. Lalu apakah kita tidak shalat? Para ulama dalam hal ini berbeda pandangan menjadi empat pendapat. 

1. Shalat Dan Mengqadha’ Sesudahnya 

Pendapat pertama mewajibkan shalat di atas kendaraan itu sebisa-bisanya, tetapi setelah turun nanti, wajib diganti dengan shalat yang sempurna. 

Sebenarnya pendapat ini mengakui bahwa shalat di atas kendaraan yang seperti ini tidak sah hukumnya, karena tanpa wudhu’ atau tayammum, atau juga karena tidak berdiri menghadap kiblat, tidak ruku’ atau sujud dengan benar. Namun mereka tetap mengharuskannya, dengan dasar bahwa karena kita tetap wajib taat kepada Allah SWT dengan semampunya. Dalilnya adalah firman Allah SWT : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghabun : 16) 

Karena itu shalat ini dikerjakan dengan sebisa-bisanya, walau pun hanya dengan mengucapkan lafadz-lafadznya saja, atau dengan isyarat menggerakkan bagian-bagian tubuhnya. Sebagian ulama mengistilahkan shalat seperti ini adalah shalat menghormati waktu, li hurmatil-waqti ( الصلاة لحرمة

 .(الوقت

Karena shalat ini tidak sah hukumnya, maka kewajibannya belum gugur. Sehingga ketika sudah turun dari kendaraan itu dan shalat bisa dikerjakan dengan sempurna, masih ada kewajiban untuk menggantinya, meski waktunya telah lewat. 

Misalnya bus tadi tiba di kota tujuan sudah lewat jam 08.00 pagi, maka sesampainya di kota tujuan itu, menurut pendapat ini kita masih tetap diwajibkan untuk melakukan shalat shubuh. Dan karena waktu shubuh telah lewat, maka shalat yang dilakukan di luar waktunya disebut dengan istilah shalat qadha’. 

2. Shalat Tapi Tidak Mengqadha’ Sesudahnya 

Pendapat kedua ini sebenarnya mirip dengan pendapat di atas, yaitu mewajibkan kita shalat sebisa-bisanya di atas kendaraan. Meski pun shalat itu tanpa wudhu’ atau tayammum, juga tanpa menghadap kiblat, atau berdiri, ruku’ dan sujud. 

Perbedaannya dengan pendapat pertama, pendapat ini cenderung mengatakan bahwa bila shalat di atas kendaraan ini telah dikerjakan, maka kewajiban shalat telah gugur. Sehingga tidak perlu lagi shalat itu diulangi setibanya di tempat tujuan. Karena dianggap sudah sah dan diterima Allah SWT. Dan Allah SWT lebih tahu apa yang ada di dalam hati hamba-Nya.  

3. Tidak Shalat dan Mengqadha’ Sesudahnya 

Pendapat ketiga agak berbeda dengan pendapat pertama dan kedua. Dalam pandangan pendapat yang ketiga ini, karena semua syarat dan ketentuan sah-nya shalat tidak terpenuhi, maka kewajiban shalat menjadi gugur dengan sendirinya dalam keadaan seperti itu. Sehingga kita tidak perlu melakukan shalat apa pun, tidak juga shalat untuk menghormati waktu. 

Dasarnya karena Rasulullah SAW pun tidak pernah memberi contoh seperti apa shalat untuk menghormati waktu, yang tanpa memenuhi semua persyaratan yang diwajibkan. 

Namun kalau kewajiban shalat itu gugur, sifatnya hanya ketika sedang ada halangan. Sedangkan bila halangan itu sudah tidak ada lagi, maka kewajiban shalat kembali berlaku, meski sudah lewat waktunya. 

Dasar pendapat ini karena seseorang tetap akan ditanya di hari kiamat tentang shalat yang belum dikerjakannya. Maka untuk itu tetap wajib untuk mengganti shalat yang tidak dikerjakan itu, meski waktunya sudah lewat. Dengan kata lain, tetap wajib untuk mengqadha’ shalat meski waktunya sudah lewat. 

Dasar yang lain adalah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW ketika berkecamuk perang Ahzab (Khandaq), dimana beliau pernah tidak mengerjakan empat shalat fardhu berturut-turut, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Namun setelah itu, beliau menggantinya di tengah malam, ketika keadaan telah memungkinkan. 

4. Tidak Shalat dan Tidak Mengqadha’ Sesudahnya 

Pendapat yang keempat punya kemiripan dengan pendapat yang ketiga, yaitu tidak perlu mengerjakan shalat untuk menghormati waktu, karena tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW. 

Bedanya, pendapat keempat ini juga tidak mewajibkan untuk mengganti shalat yang tidak dikerjakan itu setelah tiba di tempat tujuan. Alasannya, karena mereka memang bahwa shalat qadha’ itu tidak disyariatkan. 

Kesimpulan 

Dari keempat pendapat di atas, pendapat yang paling hati-hati adalah pendapat yang pertama, yaitu tetap shalat sebisa-bisanya di atas kendaraan, namun setibanya di tempat tujuan, shalat itu diganti dengan shalat qadha’.  

Wallahua’lam bishshawab. 

Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat, 2011: Jakarta: DU Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.