Pada masa kini banyak permasalahan yang muncul berkaitan dengan zakat, dan hal ini memunculkan berbagai istilah dan definisi baru tentang objek zakat. Pada bagian ini akan dibahas beberapa objek zakat yang memunculkan perdebatan di kalangan ulama.
1. Zakat Uang Kertas
Uang kertas termasuk yang diperbincangkan pada masa modern karena uang kertas tidak ada pada masa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam. Disini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama bahwa tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal usaha dagang.
Pendapat kedua, bahwa ada kewajiban zakat pada setiap mata uang (uang kertas) yang dimiliki oleh seseorang dengan syarat uang itu telah mencapai nishab dan berputar selama satu tahun hijriyah. Kewajiban zakat ini tanpa membedakan, apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau tujuan lainnya.
Diantara dalil-dalil pendapat kedua ini adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka. [at-Taubah/9:103]
Demikian pula berdasarkan keumuman sabda Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhialla ̅hu ‘anhu saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman :
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka “ [HR. Bukhâri dan Muslim)
Yang dimaksud dengan harta di atas adalah segala jenis harta termasuk uang kertas. Uang kertas pada masa kini telah menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam.
Uang masa kini juga sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu. Di sini berlaku kaedah yang telah ma’ruf yaitu “al badl lahu hukmul mubdal” (pengganti memiliki hukum yang sama dengan yang digantikan).
Yang jadi patokan dalam nishab mata uang adalah nishab emas atau perak. Jika mencapai salah satu nishab dari keduanya, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, maka tidak ada zakat. Jika kita perhatikan yang paling sedikit nishabnya ketika ditukar ke mata uang adalah nishab perak. Patokan nishab inilah yang lebih hati-hati dan lebih menyenangkan kaum miskin.
2. Zakat Profesi
Zakat profesi secara istilah muncul pada era modern dengan istilah zakatu kasb al-amwal wa al-mihan al-hurrah, ini adalah istilah untuk zakat yang dikeluarkan dari harta yang didapatkan dari pekerjaan atau profesi atau penghasilan yang diperolehnya. Hukum zakat penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqih.
Mayoritas ulama mazhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisab dan sudah sampai setahun (haul). Termasuk para ulama yang tidak menyetujuinya adalah Wahbah Az Zuhaili, Syeikh bin Baz dan Syekh Muhammad bin Shaleih al Utsaimin.
Adapun para ulama yang mendukungnya adalah kalangan mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Muhammad Al Ghazali. Termasuk yang mendukung di Indonesia adalah Majelis Tarjih Muhammadiyah, Didin Hafidhuddin dan hasil kajian majma' fiqh dan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 yang menegaskan zakat penghasilan itu hukumnya wajib.
Setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- bahwa zakat adalah ibadah mahdhah yang sudah tertulis ketentuan syariatnya secara jelas dalam Al Quran dan Sunnah. Sementara zakat profesi secara nash tidak tercantum dalam Al Quran dan Sunnah. Secara historis bisa disebutkan bahwa selama 14 abad belum pernah ada istilah zakat profesi sebagaimana digaungkan oleh pendukung pendapat ini.
- bahwa yang dimaksud dengan zakat profesi itu sesungguhnya bukan zakat pada profesinya tetapi zakat yang diambil dari harta yang diperoleh dari profesi tersebut. Dengan demikian yang harus dihitung adalah nishab dari harta profesi tersebut apakah sudah memenuhi ketentuan sebagaimana harta yang wajib zakat, hal mana ukurannya adalah diambil dari nishab emas dan perak.
- demikian pula ukuran haul juga harus berlaku pada harta profesi tersebut, yang dihitung dari jumlah harta yang sudah mencapai nishab dan terhitung berlangsung selama satu tahun, maka inilah yang menjadi harta wajib zakat. Jadi tidak benar apabila ada pendapat yang menyebutkan bahwa zakat harta profesi dikeluarkan setiap bulannya, sebab ini menyalahi kaidah haul sebagaimana sudah disampaikan pada bagian sebelumnya.
Namun perlu dipahami pula bahwa pekerja itu ada dua kondisi dilihat dari penghasilannya (gajinya). Orang yang menghabiskan seluruh gajinya (setiap bulan) untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak ada sedikit pun harta yang disimpan. Kondisi semacam ini tidak ada zakat.
Adapun Pekerja atau pegawai yang mampu menyisihkan harta simpanan setiap bulannya, kadang harta tersebut bertambah dan kadang berkurang. Kondisi semacam ini wajib dikenai zakat jika telah memenuhi nishab dan mencapai haul.
Adapun sebagian orang yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian yaitu setiap bulan), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat. Karena semestinya jumlah penghasilannya tetap harus dihitung sudah mencapai nishab dan juga mencapai haul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.