Kongres dan Struktur

 

Ada sebuah pandangan  bahwa menurut alam pikiran yang berkembang di kalangan Masyumi daerah Priangan, terutama yang berasal dari KPK PSII bahwa perjuangan umat Islam tidak bisa dihentikan dan harus dilanjutkan dengan tahapan dari revolusi nasional menuju revolusi Islam. Situasi pada saat itu di kalangan ulama dan satri yang tergabung dalam lasykar-lasykar dan badan-badan perjuangan dalam memperhatankan kemerdekaan nasional, timbul alam pikiran yang menyatakan apakah mereka yang gugur itu mati syahid. 


Sementara menurut ukuran fiqih dan pemahaman saat itu, bahwa syarar sahnya syahid itu harus ada yang mempertanggungjawabkan  secara hukum, maka hal ini dibutuhkan seorang Imam yang dipilih. Inilah diantaranya latar belakang religius dari pelaksanaan Konferensi Cisayong, selain juga terdapat faktor-faktor politik dan situasi eksternal.


Adapun aspek latar belakang taktis militer dari munculnya Konferensi Cisayong adalah sebagai berikut. Terjadinya Agresi Militer Belanda yang kemudian memicu lahirnya Perjanjian Renville berdampak sangat serius terhadap situasi dan kondisi politik nasional. Khusus rakyat di Jawa Barat dan daerah-daerah yang dikosongkan oleh pasukan TNI sama sekali tidak mengerti tindakan politik pemerintah Republik di Yogyakarta ketika pasukan Divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah, dan mereka merasa ditinggalkan begitu saja untuk di managsa oleh pasukan Belanda. Hal-hal inilah yang kemudian di bahas oleh para pimpinan Islam berhaluan politik hijrah yang berada di Jawa Barat. 


Pada tanggal 30 Januari 1948,  R.Oni, selaku komandan Sabilillah berangkat ke Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartosuwirjo tentang akibat dari persetujuan Renville. Saat itu Kartosuwirjo memakai nama samaran "Kalipaksi". Diputuskan bahwa pasukan Sabilillah tetap tinggal di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Pada kenyatannya hampir seluruh pasukan Hizbullah yang berjumlah 4000 pasukan tetap tinggal di Jawa Barat dan tidak ikut TNI ke Yogyakarta.  Keputusan yang terpenting adalah, bahwa pada tanggal 10 Pebruari1948  akan diadakan sebuah konferensi di Pangwedusan didekat Cisayong, di mana harus hadir semua pemimpin Islam daerah Priangan. 


Selain Sabilillah yang telah menolak meleburkan diri ke dalam tubuh TNI dan tetap tinggal di Jawa Barat, masih terdapat beberapa satuan Hizbullah di daerah Cirebon di bawah pimpinan Agus Abdullah, di Cicalengka di bawah pimpinan Ateng Kurnia, dan di Balubur Limbangan di bawah pimpinan Zainal Abidin yang mengambil langkah yang sama. Waktu Siliwangi hijrah ditinggalkan juga satu batalyon lengkap untuk bergerilya di daerah Bandung Selatan, yaitu batalyon 22 Jaya Pangrengot di bawah pimpinan Soegih Arto. 


1. Konferensi Cisayong

Maka sesuai komitmen yang di bangun sebelumnya, pada 9-10 Februari 1948  hadirlah 160 orang wakil-wakil organisasi Islam di Kampung Pamedusan, Desa Calicing Kecamatan Cisayong Tasikmalaya . 


Diantara yang hadir Kartosuwiryo (Komisaris Masyumi Jawa Barat), Kamran (Komandan Teritorial Sabilillah), Sanusi Partawijaya (Ketua Masyumi daerah Priangan), R. Oni (Komandan Sabilillah daerah Priangan), Dahlan Lukman (Ketua GPII) , Siti Murtaji’ah (Ketua GPII Putri), Abdullah Ridwan (Ketua Hizbullah daerah Priangan), pimpinan DPOI dan MPOI juga hadir. Sebagai ketua Masjumi cabang Garut hadir Saefullah yang beberapa waktu kemudian ditawan oleh pasukan Balanda, begitu juga 4 ketua DPOI yang lain. Dari Bandung dan Sumedang hadir juga masing-masing dua utusan dari cabang DPOI di sana, selain itu hadir juga dari Tasikmalaya dan Ciamis 3 orang anggota MPOI.  


Menurut sumber lain, juga hadir ketika adalah, Iyet Hidayat (Masyumi Bandung), H Sobari (Masyumi/NU Priangan); H Sulaeman (Masyumi/NU Ciamis); Samsu dari utusn Sumedang; Rusyad Nurdin (unsur Hizbullah-Muhammadiyah); Sayed Umar Nasir (utusan ulama Garut); Zaenal Hasan (utusan ulama Cirebon). Perwakilan dari MPOI bernama M Thohir, juga hadir Saefullah (Ketua Masyumi Cabang Garut); Kiai Ghozali Tusi (ulama Banten yang lama tinggal di Jakarta); beberapa perwakilan Pesindo, Pasukan Pangeran Papak dan Pasukan Elang dari Cirebon.  


Konferensi tersebut dilaksanakan di rumah Sarkani, tempat bekas rumah tersebut kini sudah menjadi kebun singkong, sedangkan mushollanya masih ada walaupun sudah direnovasi.  Menurut Dahlan Lukman konferensi akan dimulai 6 Februari tetapi SM Kartosuwiryo terlambat hadir di lokasi karena harus menghindari Tentara Belanda yang sudah memasuki daerah Garus dan Tasikmalaya.  


Konferensi Cisayong tersebut membahas perkembangan terakhir pasca perjanjian Renville, dampak-dampaknya, dan beberapa langkah kongkrit yang bisa dilakukan ummat Islam bangsa Indonesia, khususnya yang berada di Jawa Barat. Terdapat beberapa usulan radikal yang dikemukakan oleh peserta kongres, seperti perlunya menurunkan Sukarno kalau perlu dengan coup d’etat, mendirikan negara Islam untuk menggantikan negara RI, dan lain-lain, 


Maka akhirnya diputuskan untuk melakukan persiapan yang lebih sistematis menuju pembentukan negara Islam di Indonesia. Majelis Penerangan Negara Islam yang mengeluarkan buku berjudul “Sejarah Gunung Tjupu” dan “Landjoetan Sedjarah Goenoeng Tjoepoe” menjelaskan banyak peristiwa-peristiwa menjelang proklamasi Negara Islam Indonesia (NII), termasuk apa yang dibahas dalam konferensi Cisayong. 


Dalam konferensi ini Kamran menuntut supaya pemerintah RI membatalkan perjanjian Renville dan,

 "kalau pemerintah RI tidak sanggoep membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita boebarkan dan membentoek lagi pemerintah baroe dengan tjorak baroe. Di Eropa doea aliran sedang berdjoeang dan besar kemoengkinan akan terjadi perang dunia III, ja'ni aliran Roesia lawan Amerika".  


Kamran selanjutnya menerangkan, 

"kalau kita disini mengikoeti Roesia, kita akan digempoer Amerika, begitoe poela sebaliknja. Dari itoe, kita haroes mendirikan negara baroe, ja'ni negara Islam. Timboelnja Negara Islam ini, jang akan dapat menjelamatkan Negara".  


Untuk itu menurut Kamran harus diadakan persiapan, antar lain harus dapat dikuasai satu daerah tertentu yang dapat dipertahankan sungguh-sungguh. Dahlan Lukman menerang-kan, bahwa persatuan di masa lampau merupakan "persatuan ayam dan musang", dan kini ummat Islam memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi seluruh Jawa Barat. Selanjutnya dia mengusulkan supaya Masjumi dan seorang organisasinya harus menghentikan kegiatannya. 


Affandi Ridhwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta divdesak agar Jawa Barat diserahkan kepada ummat Islam. Dan dia usulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta "soepaja Soekarno ditoeroenkan, baik sandiwara atau tida' kalau perloe "Coup d'etat".  Atas usul Affandi Ridhwan tersebut Kartosuwirjo menjawab sebagai berikut, “Jawa Barat bukanlah Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya didjalankan oleh golongan ilegal, sedangkan Masjumi adalah sebuah partai yang legal”. Seterusnya Karto-suwirjo menerangkan, menurut pengamatannya, usul tersebut sekarang sukar untuk djjalankan. 


Sedangkan usul dari utusan Ciamis H. Sulaeman supaya Kartosuwiryo diangkat menjadi "Imam", yang kemudian Dahlan Lukman (GPII)  berbicara lagi "bahwa setuju dengan usulan delegasi dari kabupaten Ciamis bahwa seluruh organisasi Islam di daerah Jawa bagian sebelah barat ini dibubarkan dan dibentuk Majelis Islam untuk mempersatukan potensi umat Islam, tetapi dari pihak pemuda (GPII) keberatan dengan istilah Imam lenbih baik ketua sadja". Kemudian KH Ghozali Tusi mengatakan "Saya seorang kiai yang berasal dari Banten yang lama tinggal di Jakarta, saya berbicara atas nama umat Islam bangsa Indonesia, setuju sepenuhnya dengan usulan delegasi dari Ciamis, siapa yang tidak setuju dengan istilah Imam, lebih baik keluar dari ruangan musyawarah ini, supaya tidak mengganggu jalannya musyawarah ini". 


Menanggapi usul yang menyebutkan Kartosuwirjo menjadi Imam, Kartosuwirjo masih minta waktu untuk berpikir, dan juga dia tidak setuju dengan kata Imam.  Noer Loebis berkata, bila sekarang diangkat seorang "Imam" hendaknya diinsyafi bahwa pemimpin sekarang harus berlainan dengan pemimpin di masa lampau, karena dalam situasi segenting sekarang ini yang dibutuhkan adalah seorang diktator yang adil. Dan juga demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi Barat. 


Setelah musyawarah selama dua hari maka keputusan penting pertama yang dihasilkan adalah pembekuan Masyumi, yaitu Masjumi menghentikan semua kegiatannya di Jawa Barat. 


Kejadian yang terpenting dalam konferensi ini adalah pembentukan Madjlis Islam Pusat (MI) yang dipimpin Kartosuwirjo sebagai Imam dan yang harus me¬rupakan "sebuah pemerintah Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh Umat Islam di daerah tersebut".  


Konferensi Cisayong memutuskan untuk terus melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, mengusir penjajah, berdasarkan Islam. Konferensi memutuskan untuk membekukan Masyumi wilayah Jawa Barat dan kemudian membentuk Majelis Islam (MI), Tentara Islam Indonesia (TII), Badan Keamanan Negara (BKN), Barisan Rakyat Islam (BARIS), dan Pahlawan Darul Islam (PADI). 


Konferensi menetapkan untuk melakukan persiapan yang lebih sistematis menuju pembentukan negara Islam di Indonesia, yaitu: 

1) membekukan Masyumi wilayah Jawa Barat beserta seluruh anak organisasinya.

2) membentuk Majlis Islam Pusat yang merupakan “sebuah pemerintahan Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”    

3) mengangkat SM Kartosuwiryo sebagai Imam Ummat Islam Indonesia di Jawa Barat. 

4) membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan gabungan Sabilillah, Hizbullah juga dibentuk PADI dan BARIS.

5) mengangkat R Oni menjadi pemimpin TII untuk daerah Priangan dan memberi kesempakatan kepada R Oni untuk menyusun ketentaraan dalam waktu 3 (tiga) bulan.

6) membentuk Badan Keamanan Negara

7) mempersiapkan Kanun Asasi (Undang-Undang Dasar) yang intinya menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) berbentuk Jumhuriyah (Republik) yang diketuai oleh seoang Imam dengan Al Qur’an dan Hadits Shohih sebagai dasar hukum tertinggi.


Keputusan yang penting berikutnya adalah pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang telah lama direncanakan, dan yang merupakan gabungan Sabilillah, Hizbullah dan organisasi Islam lainnya. Konferensi memberi kesempatan kepada R Oni Qital sebagai pemimpin Ketentaraan di Priangan untuk menyusun ketentaraan dalam waktu 3 bulan. 


Beberapa hari sesudah Konferensi Cisatong, pada tanggal 15 Februari 1948 diadakan rapat khusus untuk merundingkan pembentukan ketentaraan. Rapat tersebut dihadiri oleh R Oni Qital, M Oedjoe, Saefullah, Choeruddin, Boesjaeri, R. Soerjana dan yang lainnya. Rapat ini dengan tujuan memberikan bentuk yang kongkret kepada Tentara Islam Indonesia. Tidak hanya dibentuk Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, tetapi juga sejumlah korps khusus seperti BARIS (Barisan Rakyat Islam) dan PADI (Pahlawan Darul Islam) diadakan. 


Markas besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan pasukan Sabilillah yang dipimpin R Oni Qital. Dia sendiri diangkat menjadi komandan daerah Tentara Islam Indonesia di Priangan dan merangkap menjadi komandan PADI, demikian pula menjadi kepala pasukan polisi rahasia Mahdiyin. Juga dibentuk korps polisi biasa. Mulanya Badan keamamanan ini disebut Badan Keamanan Negara, tetapi namanya diubah menjadi Polisi Islam Indonesia pada Oktober 1949, sesudah proklamasi resmi Negara Islam Indonesia.


Selanjutnya PADI (Pahlawan Darul Islam) dibentuk, yang anggotanya berasal atau terdiri dari barisan pertahanan sipil yang sebelum¬nya telah dibentuk. Disamping PADI masih dibentuk kesatuan khusus seperti Algojo, tukang Rebab dan Pangkek.  


Keputusan tentang rencana pengumpulan senjata meliputi:  

a. mengumpulkan dan memusatkan segenap senjata Sabilillah yang ada

b. memerintahkan kepada seluruh umat Islam supaya menyerahkan senjata yang ada padanya dan segera dikirimkan kepada Resimen untuk dijadikan senjata Tentara Islam. 

c. memerintahkan segenap Umat Islam supaya menhumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli senjata. 

d. di Resimen akan dibentuk bagian persenjataan yang dapat membuat senjata sendiri

e. senjata-senjata liar baik yang ada pada tentara (luar Tentara Islam) atau pun pada rakyat yang tidak mau menyerahkannya kepada tentara Islam, akan dirampas.


Menurut pengakuan Kartosuwirjo, tak lama setelah TII terbentuk, mereka memiliki hanya kurang-lebih 60 senjata ringan. Tetapi segera situasi mereka menjadi baik, ketika kesatuan di bawah pimpinan Zainal Abidin, Adah Djaelani Tirtapradja, Agus Abdullah, Danu Mohammad Hasan dan kelompok-kelompok kecil lainnya yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah bergabung dengan TII. 


R. Oni yang diangkat menjadi Komandan Resimen, kini mengangkat komandan-komandan dari keempat batalyon yang direncanakan akan didirikan. Dengan demikian S. Otong dari Bandung menjadi komandan Batalyon I., Z. Abidin dari Limbangan komandan Batalyon II., M. Noor Loebis dari Sumatera Barat komandan Batalyon III. dan komando Bata¬lyon IV diserahkan kepada Adah Djaelani dari Singaparna.  


Selanjutnya PADI dibentuk yang anggotanya berasal atau terdiri dari barisan pertahanan sipil yang sebelumnya telah dibentuk R. Oni Qital yang diangkat menjadi Komandan Resimen yang kemudian diberi nama Resimen Sunan Rahmat. Seterusnya diangkat pula komandan-komandan dari daerah tempat batalyon yang direncanakan akan didirikan. Dengan demikian S. Otong dari Bandung menjadi komandan Batalyon I (Batalyon Sangkuriang), H Zainal Abidin dari Limbangan Komandan Batalyon II (Batalyon Sapu Jagad), M. Noor Loebis dari Sumatera Barat komandan Batalyon III (Batalyon Halilintar) dan Komandan Batalyon IV diserahkan kepada Adah Djaelani Tirtapradja dari Singaparna (Batalyon Kholid bin Walid). 


Struktur lengkapnya adalah sebagai berikut: 

Komandan Resimen : R Oni I. Qital

Staf Umum/Kepala Staf : R Soerjana

Sekretaris : T Bachri

Bagian ketentaraan : M. Oedjoe

Bagian Tata Usaha : E.Z. Muttaqien

Bagian Pendidikan/Kmd. Datasemen : O. Saefulloh

Bagian Perlengkapan : S. Oedin

Bagian Keuangan : Enod Lukman

Bagian Persenjataan : Soekarno

BagianKesehatan (Palang merah) : Karim (Orang Jepang)

Bagian Perhubungan : Baridji

Bagian Penyelidik : (dirahasiakan)

Bagian Perkabaran : O. Kosasih

Barisan PADI : R. Oni I. Qital

Bagian Algojo : R. Oni I. Qital

Pengawal Komandan Resimen : Abdoellah, Dimjati,

  Moehji, Sadili


Pada tanggal 15 Pebruari 1948 tersebut, R. Oni memberi nama "Sunan Rachmat" kepada resimennya dan pemberian nama tersebut dimaksudkan mempunyai arti simbolis. Dalam tulisan Madjlis Penerangan NII diterangkan bahwa nama "Sunan Rachmat" di ambil dari riwayat Kerajaan Pajajaran di mana kekuasaan Prabu Siliwangi dihancurkan oleh anaknya sendiri ialah Sunan Rachmat yang sudah memeluk agama Islam. Selanjutnya di tulis bahwa setelah lahirnya Tentara Islam Resimen Soenan Rachmat,

"Hantjoerlah kekoeasaan Tentara Siliwangi di Djawa-Barat dengan takdir Illahi, hingga pada saat ini di Djawa sebelah Barat tida' lagi kedengaran nama Tentara Siliwangi, melainkan kekoeasaan Tentara Islamlah jang merata di Djawa-Barat seloeroehnja". 


Setelah ketentaraan dibentuk dengan corak baru pada tanggal 15 Februari 1948 ditetapkan Markas besar pasukan di Cihaur. Namun karena pertempuran dengan Belanda dan pasukan ini terdesak, maka markas besarnya dipindahkan ke daerah Bojonggaok. Karena persenjataan masih terbatas daerah Bojonggaok diserang pihak Belanda, kedudukan pun dipindahkan ke Cidolog. 


Setelah Cidolog diserang pihak Belanda, pada lahir bulan Februari 1948 tempat kedudukannya dipindahkan lagi ke Kadupugur. Setelah itu tempat kedudukannya selalu beralih tempat; hanya di daerah sekitar gunung Cupu yang agak lama, bahkan di tempat itulah TII  mulai berkembang melebarkan sayapnya.


Tugas pertama yang harus dilakukan para Komandan Batalyon Resimen I, pada saat pembentukan ketentaraan, diperintahkan oleh R. Oni I. Qital. Sepulangnya dari konferensi harus segera menyusun staf Batalyon yang lengkap. Harus segera mendaftarkan senjata yang telah ada pada Sabilillah, dan mengumpulkan senjata yang masih terpencar. Harus segera mengirimkan daftar banyaknya anggota tentara, terutama calon Komandan, sedang Seksi Komandan dapat di angkat oleh Kamandan Batalyon. Daftar tentara yang harus dikirimkan ialah anggota tentara yang sudah diseleksi dalam hal kejujuran, keberanian dan kesehatannya. Laporan-laporan tersebut, selambat-lambatnya dalam 15 hari harus sudah diterima oleh komandan Resimen. 


Kini Oni menempatkan batalyon-batalyon resimennya di lereng Gu¬nung Cupu di daerah Gunung Mandaladatar. Nama gunung tersebut dipilihnya menjadi nama samarannya. Seminggu setelah konferensi di Pangwedusan, terjadilah pertempuran yang pertama dengan pasukan Belanda pada tanggal 17 Pebruari. Bagi NII, hari itu merupakan awal revolusi Islam di Jawa Barat yang kemudian diperingati sebagai "Hari Angkat Senjata"¬. 


Karena sedemikian penting hasil-hasil yang dirumuskan dalam Konferensi Cisayong tersebut di atas dan juga dampak sosial politik dan militer dari Konferensi tersebut, maka Kanun Asasi NII dalam penjelasan khususnya menyebutkan peristiwa ini, 

“Pada tanggal 10 Februari 1948 di salah-satu tempat di daerah Priangan telah dilakukan musyawarat antara pemimpin-pemimpin Islam yang bertanggung jawab. Keputusan musyawarat tersebut ialah : mendirikan suatu majlis Islam yang merupakan suatu gerakan massal dalam kalangan Umat Islam bagi melanjutkan kemerdekaan dan perjuangan agama, melaksanakan cita-cita yang tertinggi, ialah berdirinya negara Islam yang merdeka”. 


Melihat hasil-hasil Syuro Cisayong, persiapan ke arah proklamasi Negara Islam Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Hasil konferensi yaitu perumusan Undang-Undang Dasar atau disebut dengan Kanun Asasi merupakan langkah tindak lanjut yang sangat penting untuk menjelaskan mekanisme negara baru yang akan di bangun ini. 


Adapun berkaitan dengan pembubaran Masyumi di Jawa Barat, hal ini dilakukan karena dua alasan: 

a. Masyumi adalah partai yang berdiri di bawah naungan RI, yang mau tidak mau di dalam segala sesuatunya harus mengikuti kedudukan RI.

b. Bahwa dengan adanya naskah Renville, maka RI tidak mempunyai alasan lagi, untuk berhubungan dengan daerah Jawa Barat karena daerah ini sudah diserahkan oleh RI sendiri kepada pihak Belanda penjajah. 


Untuk merealisasikan hasil Konferensi Cisayong, dibentuklah berbagai kesatuan militer dengan nama Tentara Islam Indonesia. Pada 15 Februari 1948 diresmikan sebuah nama bagi satu Resimen TII pimpinan Raden Oni yaitu Resimen Sunan Rahmat. Resimen ini direncanakan terbagi dalam 4 batalyon, terdiri dari Danyon I yaitu Otong (Bandung), Danyon II yaitu Zainal Abidin (Limbangan), Danyon III yaitu M. Nur Lubis (Sumatera Barat), Danyon IV yaitu Jaelani (Singaparna). Resimen ini mengkonsentrasikan pasukannya di lereng Gunung Cupu di daerah Gunung Mandaladatar.  Gunung Cupu  terletak di tepi sungai Citanduy di Ciamis Utara dan jumlah pasukan TII yang terkonsentrasi berjumlah 4.000 pasukan terdiri dari gabungan pasukan Hizbullah dan Sabilillah. 


Belanda yang mendengar adanya konsentrasi pasukan rakyat Indonesia kemudian menggempur Gunung Cupu dari berbagai arah. Kejadian ini terjadi pada 17 Februari 1948. Saat itu pasukan TII dipimpin Kamran (dengan nama samaran “Tjupu”) dan komandan pertempuran yaitu Raden Oni (dengan nama samaran “Mandaladatar”), dengan persetujuan Imam Kartosuwiryo, melancarkan perlawanan terhadap Belanda.  


Sebanyak 17.000 pasukan Belanda yang di bagi dalam 4 batalyon dengan persenjataan lengkap menggempur 4.000 pasukan TII dengan senjata seadanya di suatu medan gunung hutan yang sulit. Dalam pertempuran yang dahsyat itu pasukan TII berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Sedemikian heroiknya pertempuran itu, kemudian tanggal yang sama dijadikan sebagai “Hari Angkat Senjata” atau “Hari Angkatan Perang Negara Islam Indonesia” oleh Imam Kartosuwiryo. 


Setelah terpukul mundur, Belanda pada hari-hari berikutnya terus menggempur Gunung Cupu hingga akhir April 1948. Karena semakin terdesak, pasukan TII kemudian memundurkan dan memecah konsentrasi pasukan ke berbagai daerah yaitu Tasikmalaya-Ciamis-Garut-Indihiang.  


Namun ada kisah menarik yang disampaikan oleh Jamhur Sudrajat, seorang juru tik Imam Kartosuwiryo yang sehari-hari mendampingi Imam di markas besar, bahwa setelah Belanda mengetahui bahwa R Oni memusatkan pasukannya di Gunung Cupu, Belanda mulai menyerang pasukan itu dari segala penjuru. Maka terjadilah pertempuran di daerah Gunung Cupu sebagai pertahanana Majelis Islam, mulai tanggal 17 Februari 1948 dan bertahan selama empat bulan. Batalyon III bertahan di daerah Indihiang sampai Cihaur yang dibantu oleh Toha Arsyad dari Batalyon IV, Batalyon II dibantu pasukan dari Cirebon pimpinan Abdul Hanan. Cikoneng dan Ciahur merupakan daerah frontal Belanda berhadapan dengan Indihiang, Rajapolah dan Cibeureum, TII Berada di posisi seberang Citandus Ciamis diserang dari darat dan udara. 


Daerah sekitar Gunung Cupu yang berada di Ciamis Utara ini termasuk daerah yang sangat berarti bagi awal perjuangan NII karena di daerah inilah dikembangkan pemerintahan sipil, susunan ketentaraan dan alat-alat kekuasaan lainnya. Daerah ini diduduki oleh pasukan Sabilillah sejak meletusnya aksi militer Belanda pertama dan oleh karena daerah ini baik sekali dari sudut perbekalan dan kemiliteran. Diantaranya banyak lubang perlindungan dan pertahanan yang tadinya dibuat oleh militer Jepang untuk melakukan perlawanan gerilya dengan sekutu, sehingga R Oni Qital selaku komandan Sabilillah memilih tempat ini sebagai daerah kedudukannya.


Demikian gigihnya perlawanan melawan Belanda karena salah satunya adalah motif syuhada yang ingin diperoleh. Salah satu alam pikiran yang mendorong diadakannya Konferensi Casayong adalah perlunya seorang Imam yang akan mempertanggungjawabkan di yaumil akhir atas perjuangan yang dilakukan, sebab menurut anggapan para ulama saat itu syarat seseorang mati syahid itu perlunya seorang Imam. 


Dengan begitu lamanya mempertahankan Gunung Cupu sampai akhir Mei 1948, walau hampir setiap hari mendapat serangan dari fihak Belanda, menunjukkan beta kuatnya bentuk pertahanan yang mereka susun di daerah itu. Diantaranya yang menyebabkan mereka kuat ialah banyak para kiai yang dikejar-kejar oleh militer Belanda, meninggalkan tempat tinggalnya dan disertai para santri-santrinya melarikan diri ke daerah Gunung Cupu. Sesampainya di tempat itu para santri yang sekiranya dapat dijadikan tentara, dilatih dalam hal ketentaraan, sedang para Kiai yang tua-tua dikumpulkan di satu tempat tersendiri, dimana mereka diberi tugas; melakukan shalat isti'anah (hadjat), bacaan Al Quran sebagai doa (ayat-ayat yang bertalian dengan perang), dzikir, riyadhoh masing-masing menurut apa yang dipandang perlu; shalat tahajud, sujud syukur, dimana ada kemenangan Islam. Markas dimana para Kiai berkumpul, dinamakan "Markas Doa".  


Dengan demikian anggota-anggota pasukan Sabilillah semakin lama, semakin banyak jumlahnya sedang di dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, mereka sangat bersemangat oleh karena mempunyai kepercayaan bahwa ada yang mendoa guna keselamatan mereka dan bila yang gugur dalam pertempuran keyakinannya menjadi "syuhada". 


Di Markas Doa itu siang malam selalu mendoa sedikitnya 41 orang, diantaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus dilakukan di markas doa ialah shalat isti’anah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al Quran sebagai doa terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan shalat tahajud disamping itu mereka juga dididik dalam bidang idiologi dan politik. Kepada mereka diberi penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung.


Perlu menjadi catatan bahwa ketika konsentrasi pasukan dilakukan di Gunung Cupu, banyak pemimpin-pemimpin umat Islam berbondong-bondong datang ke tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwiryo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh kaum “komunis dan sosialis”.  


Daerah Gunung Cupu dapat mereka pertahankan sampai akhir bulan Mei 1948, barulah Belanda bisa mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk tindakan menghancurkan pertahanan Majelis Islam, setelah mengadakan persiapan matang tidak kurang dari 14 batalyon, yang diperkuat dengan tank baja serta didukung oleh angkatan udara. Belanda bermaksud untuk mengepung dan menghancurkan daerah Gunung Cupu, sebagai basis pertahanan TII. 


Jendral Spoor, yang menjabat sebagai gubernur militer sekaligus memimpin langsung gerakan penyerangan ini, yang ingin menghancurkan pertahanan gunung Cupu secara tuntas dalam waktu singkat. Mereka masuk dari segala arah, kemudian memborbardir dengan meriam dan kanon. Ternyata usaha Belanda tidak dapat terlaksana dengan secepatnya, karena daerah pertahanan Gunung Cupu dibentengi oleh sungai Citanduy yang cukup lebar dari daerah selatan, sedangkan dari daerah utara ada bukit-bukit yang sudah dijaga oleh TII. Hal ini sudah diatur oleh R.Oni, sehingga Belanda Sulit mendobrak pertahanan ini. 


Setelah merasa terkurung oleh pasukan Belanda. R. Oni I. Qital selaku Komandan Resimen memerintahkan kepada K H. Zaenal Hasan dan Kiyai Masduki, masing-masing Bupati Ciamis dan Camat Cikoneng dari Majelis Islam, untuk melakukan sholat istikhoroh dengan maksud mencari jawaban bagaimana seharusnya dalam menghadapi keadaan waktu itu. 


Setelah beberapa hari berselang kedua kiai itu melaporkan hasil istiharohnya, R. Oni I. Qital mengambil keputusan untuk memindahkan pasukannya ke Buni Asih, kemudian ke Tejamaya Kecamatan Rajapolah, sedang para Kiai dan santri-santri yang dipandang tidak dapat melanjutkan perlawanan memakai senjata, diperintahkan pulang ke daerahnya masing-masing dengan diberi tugas tertentu. Belanda kemudian mengerahkan kekuatannya dibawah pimpinan Westerling dengan "Divisi 7 Desember" mendobrak Gunung Cupu masuk melalui Gunung Bongkok, pada awal Juni 1948. 


Setelah Peristiwa Gunung Cupu kekuatan Majelis Islam dibawah pimpinan S.M. Kartosoewirjo pindah ke Lewisari dan bergerak ke arah daerah Selatan daerah Sodong, kemudian S.M. Kartosoewirjo selaku Imam dari MI, mengumumkan, memerintahkan gerakan MI harus melakukan perang gerilya bukan gerakan frontal, perang gerilya ini nantinya dikenal dengan "gerakan kirikumi" , untuk menghancurkan Pos-pos TNI setelah TNI kembali ke Jawa Barat.


Sebab bila gerakannya frontal maka Belanda mampu menghimpun kekuatan. Semua kekuatan yang dikenal sebagai Mujahid Gunung Cupu (Gunung Tjupu-GT) pecah dari Gunung Cupu dan menyebar ke berbagai daerah dari Cirebon sampai ke Banten. Gerakan-gerakan yang hampir sama dengan gerakan Gunung Cupu ini, seperti Gerakan AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen yang dipimpin oleh Kiai Mahfudz Abdrurahman yang bermarkas di Somalangu, dan yang bermarkas di Brebes, Tegal yang dipimpin oleh Amir Fatah dinamakan APS (Angkatan Perang Sabil), kemudian S.M. Kartosoewirjo mengutus Kamran Hidayatullah untuk melakukan koalisi, yang kemudian baik APS maupun AOI menjadi MI yang dikoordinasikan oleh MI Pusat di Jawa sebelah bagian Barat. 


Pada waktu pasukan TII meninggalkan daerah Gunung Cupu (akhir bulan Mei 1948) banyak pelarian-pelarian pemimpin-peminpin Islam, 'ulama, Kiai dan para santri yang tadinya datang sekedar mencari perlindungan, dan petolongan karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh "komunis serta sosialis", disuruh pulang dan diberi tugas setibanya di tempat masing- masing: membentuk PADI (Pahlawan Darul Islam) dan membentuk BKN (Badan Keamanan Negara), yang mempunyai kewajiban: sebagai pelopor, menerima pasukan TII bila datang ke daerahnya, melakukan sabotase kepada Pemerintah bukan NII melakukan penculikan-penculikan; pembunuhan terhadap orang-orang penghianat agama negara dan bangsa.


Adapun ketentaraannya sejak itu dipecah-pecah sehingga tidak lagi merupakan pasukan besar yang berkumpul disatu tempat, tetapi merupakan kelompok kecil-kecil yang dapat bergerak cepat dan sangat mobiel. Disamping itu di tiap-tiap batalion diperkenankan membentuk suatu pasukan yang dinamakan "Pasukan Silam" yang diberi tugas: mengadakan penyelidikan dengan sekalian diberi kuasa untuk bertindak (menculik, membunuh, dsb); menjalankan infiltrasi dengan pura-pura untuk menjadi anggota atau bekerja pada ketentaraan, kepolisian, sipil dari pihak musuh.


Dengan demikian jelas apa sebabnya pasukan Darul Islam sangat mobiel dan pada umumnya mudah memasuki satu daerah, oleh karena hampir di tiap-tiap tempat yang dikunjungi telah ada persiapan dan ada organisasi dan jaringan. Orang-orang yang sebelumnya telah diberi tugas untuk menerimanya. 


2. Konferensi Cipeundeuy

Untuk menindaklanjuti hasil-hasil Konferensi Cisayong, pada tanggal 1-2 Maret 1948 dilakukan pertemuan lanjutan di Cipeundeuy Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka di daerah Cirebon. Dalam konferensi tersebut harus hadir semua pemimpin cabang-cabang Masjumi daerah Jawa Barat seperti dari Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Cirebon dan juga para komandan TII.  Selain Kartosuwirjo hadir juga Sanusi Partawidjaja, R. Oni, Toha Arsjad, Agus Abdullah, Djamil, Kiai Abdul Halim dan wakil cabang Masjumi Jakarta Gozali Tusi.  Tema Konferensi ini adalah “Perjuangan Suci Mutlak” (dalam bahasa Arab)”.  


Ketika semua peserta konferensi hadir setelah menempuh perjalanan dengan jalan kaki berhari-hari, Kam¬ran membuka konferensi tersebut pada jam 8 malam. Sanusi Partawidjaja menjelaskan keputusan-keputusan konferensi di Pangwedusan, Oni me¬nerangkan peleburan Tentara Hizbullah dan Sabilillah menjadi Ten¬tara Islam. 


Ketika konferensi dilanjutkan pada hari berikutnya, semua keputus¬an konferensi Pangwedusan disetujui dan Kartosuwirjo, “Ditetapkan se¬bagai Imam di Jawa Barat.”   Keputusan berikutnya adalah. Hizbullah Cirebon dilebur menjadi TII dan Kamran di angkat menjadi panglima divisi. Selanjutnya Kartosuwirjo selaku Imam di Jawa Barat mengangkat tujuh anggauta pimpinan pusat. Pimpinan Pusat tersebut di bagi tiga dan susunannya adalah sebagai berikut: 

a. Bagian agama terdiri dari Alim Ulama yang "modern", yaitu Kiai Abdoel Halim dan K.H. Gozali Tusi.

b. Bagian politik terdiri dari Sanusi Partawidjaja dan Toha Arsjad.

c. Bagian militer terdiri dari Kamran dan R. Oni.


Dalam buku resmi Madjlis Penerangan Negara Islam Indonesia, berjudul Lanjutan Sejarah Goenoeng Tjoepoe, “Ketujuh orang itu harus menjadi pemimpin yang bertanggungjawab di seluruh Jawa Barat "hingga di seluruh Indonesia kelak".  


Pada hari pertama konferensi tersebut, pimpinan sidang meninjau kembali rencana-rencana yang dibuat pada Konferensi Cisayong mengenai politik umat Islam, susunan ketentaraan dan kesatuan pimpinan. Akhirnya dalam konferensi tersebut  mengesahkan rencana-rencana tadi yang meliputi empat program utama Majelis Islam yang disebut Program Politik Ummat Islam. Kemudian ditetapkan suatu "program politik Umat Islam" yang terdiri dari butir-butir berikut ini:

a. memboeat brosoer tentang pemetjahan politik pada dewasa ini ja'ni perloenja lahir satoe negara baroe, ja'ni Negara Islam. Pengarang Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke seloeroeh Indonesia).

b. mendesak kepada Pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar membatalkan semoea peroendingan dengan Belanda. Kalau tida' moengkin, lebih baik Pemerintah diboebarkan seloeroehnja dan di-bentoek soeatoe Pemerintah baroe dengan dasar Democratic jang sempoerna (Islam).

c. mengadakan persiapan oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan, bilamana: Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Republik Indonesia boebar.

d. tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam, dengan seidzin dan petoendjoek Imam.  


Konferensi juga memutuskan beberapa hal sebagai berikut.  Selain itu di buat juga suatu "Daftar Oesaha Tjepat" yang harus menerangkan  kepada rakyat bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa  kemerdekaan bagi Indonesia. Juga seluruh pegawai Republik dan semua Umat Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua kepala desa yang berada atau tidak berada di bawah kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin "berjiwa Islam". Ditetapkan pula untuk memperhebat penerangan tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban hingga rakyat patut menjadi "warga negara Islam". Selain itu dengan segala daya upaya faham Jihad dan 'amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi.

Keputusan konferensi Pangwedusan di mana keputusan untuk membentuk "kesatuan ketentaraan Umat Islam" yang terdiri dari Hizbullah dan Sabilillah, disjahkan dan dijadikan "Tentara Negara Islam" dengan nama "Tentara Islam Indonesia". Kamran di angkat sebagai panglima Divisi TII yang ditempatkan di belakang garis demarkasi van Mook. Sebagai panglima divisi dia dengan demikian juga menjadi anggota Madjlis Islam dan seperti Oni, dia berada di bawah perintah Iangsung dari Imam.  

Kemudian diputuskan juga untuk,

"mengambil kekajaan dan hasil-hasil bekas kekajaan Negara Repoeblik Indonesia, dimasoekkan kekajaan Negara Islam. Segala pendapatan-pendapatan dari pertempoeran, ketjoeali alat perang, akan diserahkan kepada Pemerintah Islam oentoek diatoernja sepandjang peladjaran Agama Islam".  

Juga ke¬putusan konferensi Pangwedusan kini dilaksanakan, dan Masjumi ber¬sama semua organisasinya seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, Moeslimat, DPII, Poetri, STII dan Fond Sabil mulai tanggal 1 Maret 1948 jam 14.00 menghentikan segala usahanya di seluruh Jawa Barat, "sampai waktu tertentu, bila keadaan telah mengizinkan kembali, terutama kalau perundingan politik antara pemerintah RI dan Belanda telah selesai". Keputusan tersebut ditandatangani oleh Kartosuwirjo sebagai wakil Masjumi untuk Jawa Barat, Kamran sebagai wakil Sabilillah dan Hiz¬bullah, begitu juga Toha Arsjad sebagai wakil GPII.  

Sebagai pengganti Masjumi kini dibentuk Madjlis Islam Pusat (MIP) yang dipimpin oleh Kartosuwirjo sebagai Imam. Skema organisasi Madjlis Islam Pusat tersebut dari pusat sampai ke ranting-rantingnya di tingkat desa adalah sama dengan skema organisasi Masjumi semula. 

Pada awal tahun 1950-an pemimpin Masjumi Moh. Saleh menerangkan, bahwa Kartosuwirjo se¬telah berlakunya perjanjian Renville meminta kepada pimpinan pusat partainya di Yogyakarta, untuk melepaskan dia dari jabatannya sebagai wakil Masjumi untuk Jawa Barat, karena dia tetap ingin tinggal di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda dan hal ini tidak dapat dia lakukan sebagai wakil Masjumi. 

Tentu semuanya ini juga dimaksudkan sebagai sebuah rencana karena berdasarkan perjanjian Renville tidak diperbolehkan lagi sebuah partai Republik seperti Masjumi mempunyai perwakilan di daerah yang diduduki Belanda. Juga dengan cara demikian SM Kartosuwirjo dapat terus menjaga keutuhan organisasinya (Majlis Islam) dan juga membuat segala persiapan untuk dapat mengisi vakuum kekuasaan dengan pemerintah Madjlis Islam, apabila pemerintah RI di Yogyakarta jatuh. 

Selengkapnya rencana-rencana yang disahkan dalam Konferensi Cipendeuy adalah:  

1) Program Politik

a. perlu diusahakan untuk membentuk Negara Islam

b. pemerintah RI supaya membatalkan semua perundingan dengan Belanda

c. kalau tidak mungkin membatalkan, 

(1) maka pemerintah RI bubar saja 

(2) membentuk pemerintah baru berdasarkan demokrasi yang sempurna (Islam)

d. persiapan pembentukan negara Islam bila negara ala Belanda lahir atau pemerintah RI bubar

e. tiap daerah yang telah dikuasai di atur berdasarkan peraturan Islam seizin dan dengan petunjuk Imam.

f. Daftar Usaha Cepat (program jangka pendek) yaitu:

(1) penerangan kepada masyarakat dengan tema “Dengan plebisit kita akan merdeka”

(2) mengoreksi segala pendapat pegawai RI

(3) mengadakan hubungan ke seluruh Indonesia untuk memperlancar segala sesuatu

(4) mengawasi orang-orang Islam yang bekerja pada pemerintah Belanda

(5) penerangan agama tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban

(6) kepala-kepala Desa supaya secepatnya berjiwa Islam, baik di daerah RI maupun di daerah Belanda

(7) mendidik rakyat supaya sehari-hari hidup secara Islam

(8) mendalami dan mempertinggi paham Islam

(9) menanam rasa keadilan dan kebenaran masyarakat Indonesia

2) Bidang Ketentaraan

a. Hizbullah dan Sabilillah dijadikan TII

b. di daerah demarkasi Van Mook – Jawa Barat – dibentuk satu divisi TII lengkap, senjata 1:1 

3) Bidang Organisasi

a. Kamran diangkat menjadi Panglima Divisi TII

b. stafnya dari daerah Priangan dan Cirebon

c. panglima divisi menjadi anggota staf Majlis Islam

4) Bidang Usaha

a. pemimpin-pemimpin umat Islam supaya memperkuat TII dengan orang dan senjata

b. bekas kekayaan negara RI dijadikan kekayaan NII

c. hasil pendapatan dan pertempuran, kecuali senjata diserahkan kepada pemerintah Islam untuk diatur menurut ajaran Islam

5) Kesatuan Pimpinan

a. membentuk Majlis Islam dengan seorang Imam

b. Majlis Islam merupakan pemerintahan Islam di Jawa Barat – saat itu – yang harus ditaati oleh umat Islam

c. SM Kartosuwiryo ditetapkan sebagai Imam

Dengan demikian melalui konferensi ini, pertama, Kamran ditetapkan sebagai Panglima Divisi, sedang stafnja diambil dari daerah Priangan dan Cirebon. Sementara yang menjadi koordinator dari dua daaerah tersebut. Sebelum tergabungnya Resimen yang lain; Kedua, daerah Priangan dan Cirebon bersedia membantu usaha untuk menyelenggarakannya. Ketiga, mengadakan Gestapo, Barisan-barisan, Mahkamah Tentara di masing-masing Resimen, Markas Alim Ulama yang merupakan bantuan bathin. Keempat, Panglima Divisi harus masuk salah satu staf dari Majelis Islam. Selain itu dibuat siasat dengan komando akan diberikan langsung dari Panglima Divisi sendiri dan gerakan pertama akan segera dilakukan.

Untuk itu dilakukan usaha dalam menyusun ketentaraan diantaranya  pertama, Mengadakan pemusatan tenaga bersenjata disatu tempat di tiap-tiap Resimen, supaya memudahkan segala usaha dan mengadakan gerakan. Kedua, memberikan tugas-tugas kepada Pemimpin-pemimpin Ummat Islam di tiap-tiap daerah, supaya dengan jalan kebijaksanaan memberikan kepada tentara dan/atau orang yang mempunyai senjata supaya dengan segera menggabungkan diri dan/atau memasrahkan senjatanya kepada Tentara Islam Indonesia. 

Ketiga, dengan jalan bijaksana mengambil kekayaan dan hasil-hasil bekas kekayaan Negara Republik Indonesia, dimasukkan kekayaan Negara Islam. Keempat, segala pendapatan-pendapatan dari pertempuran, kecuali alat perang, akan diserahkan kepada Pemerintah Islam untuk diaturnja sepanjang ajaran Agama Islam. Adapun alat perang yang didapat dengan koordinasi dari beberapa kesatuan akan dibagi tiga: 1/3 untuk bezettingstroep; 1/3 untuk yang mempunyai daerah; 1/3 untuk kesatuan yang membantu. 

Kelima, Panglima Divisi akan segera; Mengadakan perhubungan dengan Resimen-resimen yang ada diseluruh Jawa Sebelah Barat (Bogor, Jakarta, Pekalongan dan Banyumas); Mengadakan Konferensi kedua kali dari seluruh Resimen-resimen untuk menentukan sikap bersama.

Konferensi Cipeundeuy merupakan kelanjutan dari Konferensi Cisayong, yang telah menetapkan S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam dan membentuk Majelis Islam yang merupakan Pemerintahan Islam Sementara di Jawa Barat, hal ini disebabkan karena kekosongan pemerintahan di Jawa Barat akibat ditinggalkannya oleh Divisi Siliwangi. Disini dikukuhkan keputusan-keputusan yang telah dicapai di Pamedusan Cisayong, selanjutnya ditekankan perlunya bersiap menciptakan suatu negara Islam. Hal ini dianggap perlu agar siap siaga sekiranya Belanda melanjutkan rencananya menciptakan Negara Pasundan yang merdeka di Jawa Barat, atau bila Pemerintah Republik harus bubar . 

Negara Islam sendiri belumlah terbentuk. Hanya ditekankan, pada suatu hari, bila Pemerintah Republik umpamanya digulingkan Belanda dan tidak lagi ada ataupun kehilangan legitimasinya, negara yang demikian mungkin jadi kenyataan. 

Kehadiran Majlis Islam dan Imam Kartosuwiryo di sambut dengan antusias oleh masyarakat Jawa Barat. Pasukan TII pun di pandang mampu memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda, setelah terjadinya pertempuran yang heroik di Gunung Cupu. 

Mengingat pentingnya hasil-hasil Konferensi Cipeundeuy ini, Kanun Asasi dalam bagian akhir pada Penjelasan Khususnya menyebutkan,

“Pada tanggal 1 Maret 1948 disalah suatu tempat di daerah Cirebon dilangsungkan konferensi daripada Pemimpin-pemimpin Islam yang ada di Jawa-Barat. Keputusan konferensi tersebut ialah kelanjutan dan penelusuran dari pada konferensi serupa itu di Priangan yang diselenggarakan beberapa waktu sebelumnya bagi menyempurnakan berlakunya perjuangan Umat Islam.” 

Sebagai respon dari masyarakat atas perkembangan politik tersebut, pada bulan Maret 1948 berdiri untuk pertama kalinya Kecamatan Negara Islam di Cikoneng dengan camatnya Ajengan Masduki dan Cihaur dengan camatnya Kiai Jajoli. Berdirinya kecamatan Negara Islam juga diikuti di daerah Wado, Cadas Ngampar dan Bantarujeg, dekat Cirebon pada April 1948.   Berdirinya kecamatan Negara Islam terutama di daerah-daerah Garut yang pernah menjadi basis DPOI dan MPOI. 

Rasa simpati yang terbesar dari pihak rakyat Priangan dirasakan ketika pasukan TII menghadapi gempuran pasukan Belanda di gunung Cupu bulan Februari 1948.  Pada waktu itu Kartosuwiryo merupakan satu-satunya politikus yang terkenal yang tidak menarik diri ke Yogyakarta, melainkan di tempat dia berada, memimpin perjuangan melawan penjajah. Juga kini bagi semua orang jelas, bahwa Kartosuwirjo, yang selalu menentang segala bentuk perundingan dengan Belanda, benar dengan pendapatnya itu. Terutama setelah pembentukan Madjlis Islam yang terdiri dari partai Masjumi dan semua organisasinya maka pengikut Kartosuwirjo di lingkungan ulama-ulama bertambah sangat cepat. 

Banyak pemimpin-pemimpin umat Islam kini berbondong-bondong ke tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja di kejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh "komunis serta sosialis".  

Maka di Gunung Cupu komandan Resimen TII R. Oni yang sekarang memakai nama samaran "Mandaladatar" mendirikan apa yang disebutnya sebagai "markas doa" bagi orang-orang yang dikejar-kejar oleh musuh dan pengkhianat. Madjlis Penerangan Negara Islam Indonesia mencatat,

"Siang malam kedengaran gemoeroeh soeara jang sedang memoedji, takbir, tahlil, tahmid dan doa begitoe poela segala amalan-amalan jang mewoejoedkan dorongan ba¬thin bagi segenap Tentara Islam Indonesia, sedang mendjalankan wadjibnya jang sutji, soepaja di dalam kemenangan selaloe diperlindoengi Toehan". 

Pada tanggal 7 Maret 1948 R. Oni memerintahkan komandan-komandan PADI untuk mulai dengan sebuah aksi pembersihan di Priangan terhadap segenap orang yang menjadi peng¬khianat agama, negara dan bangsa. Pelaksanaan aksi ini dalam publikasi Madjlis Penerangan gerakan DI tampak sebagai berikut:

"Sedjak keloearnja perintah terseboet, maka ditiap-tiap tempat di seloeroeh daerah Priangan, poela di seloerofch Djawa-sebelah Barat moelailah PADI mendjalankan aksinja terhadap pengchianat-pengchianat, sehingga ratoesan bahkan riboean pengchianat jang mendjadi managsanja. Hama pendoedoek, kena sasarannja toekang rebab, tidak sedikit bangkai konjol yang berkaparan di tengah djalan begitoe poela jang dihanjoetkan dikali-kali, seperti kali Tjitandoej, Tjimanoek dan soengai-soengai lainnja selaloe mengalirkan bangkai-bangkai jang penuh berloemoeran darah kena terkaman mangsanja". 

Tanggal 24 April 1948 Belanda mengumumkan secara resmi berdirinya Negara Pasundan di Jawa Barat. Maka sesuai ketetapan Konferensi Cipendeuy, persiapan pembentukan Negara Islam harus dilakukan karena negara ala Belanda telah lahir. 

3. Konferensi Cijoho

Majelis Islam kemudian menyelenggarakan konferensi lanjutan di Cijoho, Kecamatan Bantarujeg, Kawedanaan Telaga, Kabupaten Majalengka pada 1-5 Mei 1948. Konferensi ini di daerah yang diduduki oleh Belanda. Konferensi ini diantaranya dihadiri oleh Konferensi ini diantaranya dihadiri oleh SM Kartosuwiryo, KH Ghozali Toesi, Kamran, R Oni I Qital, Sanoesi Partawidjaja dan Toha Arsjad.

Keputusan penting yang dilakukan adalah membentuk Tata Negara Islam, hal mana dilakukan perubahan nama dari Majlis Islam Pusat menjadi Majelis Imamah (Kabinet) yang terdiri dari Imam dan lima kementrian yang dipimpin seorang kepala. Susunan ketatanegaraannya sebagai berikut:   

Imam/Kepala Negara : SM Kartosuwiryo

Pembantu Imam : Dewan Imamah/Kabinet

Ketentaraan : Tentara Islam Indonesia

Bendera : Merah Putih dan Bintang Bulan

Polisi Negara : Badan Keamanan Negara (BKN)

Bendera Pasukan : Merah dan Bintang Bulan

Susunan Dewan Imamah 

Majelis Pertahanan : Kamran dan wakilnya Raden Oni

Majelis Keuangan : Sanusi Partawijaya

Majelis Dalam Negeri : Sanusi Partawijaya

Majelis Luar Negeri : SM Kartosuwiryo

Majelis Penerangan : Toha Arsyad

Susunan Ketentaraan

Panglima Divisi Sunan Rahmat : Kamran

Kepala Staf : Ibnu Khotieq

Urusan Umum Ketentaraan : Danu

Komandan Resimen Sunan Rahmat : Raden Oni

Komandan Batalyon Kholid bin Walid : Nur Lubis

Konferensi Cijoho ini merupakan sidang kabinet pertama atau sidang Dewan Imamah pertama. Konferensi Cijoho memutuskan untuk: 

1) membentuk Dewan Imamah yang dipimpin oleh Imam SM Kartosuwiryo

2) membentuk Dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan)

3) mempersiapkan Kanun Asasi yang intinya menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia berbentuk Jumhuriyah (Republik) yang diketuai oleh seorang Imam dengan Al Quran dan Hadits Shahih sebagai hukum yang tertinggi.

Konferensi Cijoho juga memutuskan untuk mendirikan dan menguasai suatu “Ibu Daerah Negara Islam” yaitu sudah daerah yang berlaku kekuasaan dan hukum-hukum Islam (Daerah I/DI). Di luar DI ini dibagi menjadi Daerah II/DII yaitu daerah yang hanya setengahnya dikuasai umat Islam dan Daerah III/DIII yaitu daerah yang sepenuhnya dikuasai musuh Islam. Komunikasi antar ketiga daerah harus berjalan dengan lancar agar rakyat di semua daerah mendapat informasi yang tepat tentang situasi politik dan militer. Untuk itu semua keputusan politik dan militer serta semua pengumuman dari Majelis Imamah harus dikeluarkan dalam bentuk Maklumat. 

Selengkapnya hasil konferensi Cijoho ini adalah: 

1) Mendirikan dan menguasai suatu Ibu Daerah Islam ialah daerah-daerah dimana berlaku kekuasaan dan hukum-hukum Islam (DI)

2) Daerah-daerah di Djawa sebelah Barat diluar daerah-daerah Ibu Negara Islam (D.I) dibagi dua: 

a. Daerah jang setengah dikuasai oleh Ummat Islam (D II)

b. Daerah-daerah jang dikuasai oleh bukan filiak Islam (D III)

3) Bentuk organisasi menurut Schema jang ditentukan

4) a. Hubungan antara D I dan D II merupakan ikatan dalam negara jang Merdeka

b. Hubungan antara D I dan D II dan atau D III sebagai ikatan Ummat

5) Urgensi program D I diarahkan kepada mobilisasi dan militerisasi rakjat, sehingga tiap-tiap warga negara pandai mempertahankan Negaranja (lihat lampiran)

6) Program D II dan D III tetap program Tjipeundey (lihat lamp II)

7) Pembagian pekerjaan dalam Madjelis Imamalı diatur seperti berikut: 

a. Penerangan Sdr. Toha Arsad

b. Keuangan Sdr. Sanocsi Partawidjaya

c. Kehakiman Sdr. K.H. Gozali Toesi

d. Pertahanan Sdr. S.M. Kartosoewirjo 

e. Dalam Negeri Sdr. Sanoesi Partawidjaja 

8) Pembentukan Bataljon. 

9) Naskah Bai' at (lihat lampiran)

10) Bai'at berlaku di D I, D II dan D III

11) Rentjana Keuangan.

Nilai penting Konferensi Cijoho dijelaskan dalam Penjelasan khusus Kanun Asasi NII, sebagai berikut,

“Pada tanggal 1 sampai 5 Mei 1948, dilangsungkan rapat di salah satu tempat di daerah pendudukan Belanda, dimana diambil keputusan, bahwa Umat Islam akan memperjuangkan Agama dan Negaranya dengan cara praktis, sehingga daerah pendudukan Belanda di Jawa sebelah Barat dibagi menjadi 3 tingkatan:

1) daerah yang sudah berlaku kekuasaan Islam de facto 100%, baik politis maupun militer, di daerah ini dengan berangsur-angsur dilakukan Hukum Islam. Di daerah-daerah yang serupa itu susunan ketentaraan dan sipil berlaku seperti di negara yang merdeka, dengan dasar Islam (Daerah I)

2) daerah yang setengahnya, terutama politik ada dalam pengaruh Islam, pertahanan negara di  tempat itu belum sempurna (Daerah II)

3) daerah yang politis dan militer masih di tangan kekuasaan Belanda (Daerah III).”

Sejak masa itu, maka perjuangan Umat Islam Indonesia dengan cepat meningkat tinggi, terutama sekali karena dengan lambat-laun Daerah I makin hari makin bertambah luas.” 

Secara taktis, maka bisa disebutkan bahwa Daerah satu artinya daerah artinya daerah yang akan menjadi daerah yang didalamnya hukum Islam dan kekuasaan Islam sepenuhnya terlaksana". Daerah kedua dan ketiga masing-masing berarti "daerah yang hanya sebagian didominasi masyarakat Islam" dan "daerah-daerah yang belum dikuasai masyarakat Islam". 

Salah satu hasil yang terpenting dari konferensi di Cijoho ini adalah perubahan nama Madjlis Islam Pusat menjadi Madjlis Imamah (Kabinet) di bawah pimpinan Kartosuwirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu terdiri dari lima "kementerian" yang dipimpin oleh masing-masing se¬orang Kepala Madjlis. Kelima Madjlis tersebut adalah: 

1) Madjlis Penerangan di bawah pimpinan: Toha Arsjad

2) Madjlis Keuangan di bawah pimpinan: S. Partawidjaja

3) Madjlis Kehakiman di bawah pimpinan: K.H. Gozali Tusi

4) Madjlis Pertahanan di bawah pimpinan: S.M. Kartosuwirjo

5) Madjlis Dalam Negen di bawah pimpinan: S. Partawidjaja 

Anggota Madjlis Imamah adalah Kamran sebagai Komandan Divisi TII, Sjarif Hidajat dan Oni sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. 

Sebagai tindakan pertama untuk Daerah I segera diadakan mobilisasi dan militerisasi rakyat dan semua laki-laki berusia 16 sampai dengan 40 tahun harus mengikuti latihan militer dan bila latihan selesai, mereka dikembalikan ke tiap-tiap desanya untuk menjadi pelopor-pelopor. 

Kewajiban penduduk yang berada di ketiga Daerah itu dan kewajiban para pemimpinnya dijabarkan sebagai berikut: 

1) di Daerah I (D.I.)

Kewajiban para pemimpin daerah ini adalah, mempertahankan daerah yang dikuasai serta meluaskan daerah itu dan berusaha menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I. Penduduk setiap minggu berkewajiban dinas satu hari dan satu malam dan menyerahkan 2,5% dari pendapatannya sebagai pajak (infaq) kepada instansi sipil dan militer (TII).

Di Daerah I didirikan markas doa bagi para ulama dan "orang-orang yang suci hidupnya". Di markas doa itu siang-malam selalu mendoa sedikit-dikitnya 41 orang, diantaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus dilakukan di markas doa ialah shalat istianah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al-quran sebagai doa, terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan solat tahajud. Di samping itu mereka juga di didik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka di beri penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung.

2) di Daerah II (D.II)

Kewajiban semua pemimpin di Daerah II adalah, mengadakan pemberontakan yang langsung hubungannya dengan DI dan mengusahakan dengan segala cara supaya D III berubah menjadi D II. Setoran mingguan (infaq) yang 2,5% oleh penduduk diserahkan hanya kepada militer (TII), sementara wajib dinas di Daerah II berlangsung selama seminggu. 

3) di Daerah III (D.III)

Kewajiban umat Islam di Daerah II adalah mengusahakan dengan segala cara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tertarik kepada perjuangan Nil dan mereka harus juga berusaha supaya Daerah III menjadi Daerah II. Juga di Daerah III semua harus menyerahkan 2,5% dari pendapatannya yang langsung dikumpulkan oleh militer (TII). 

Sebuah dokumentasi militer menyebutkan bahwa sistem perluasan daerah ini dapat berfungsi berdasarkan sebuah prinsip yang sederhana, tapi efisien, dan dalam prakteknya berjalan sebagai berikut. Setelah sebuah daerah dimasukkan ke dalam Daerah I, menurut luas daerah tersebut ditempatkan seorang kepala desa, lurah atau camat. Pemimpin lokal tersebut sekarang berusaha memperluas daerahnya sesuai dengan kedudukannya, karena daerah yang dikuasai jarang seluas seperti yang diharapkan, dan dia juga berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di daerahnya. Bila kepala desa, lurah atau camat yang bersangkutan yang sekarang - setelah komando sipil dan militer disatukan - juga bertanggung jawab terhadap operasi militer didaerahnya telah berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya, maka selanjutnya dia berusaha untuk dapat mengontrol Daerah II yang berbatasan dengan daerahnya. Untuk mencapai tujuannya, dia menggunakan TII, PADI dan Gestapo. Sistem ini memberikan motivasi yang cukup kuat kepada masing-masing penguasa lokal untuk memperluas daerah mereka, sebab bila mereka berhasil memperluas daerah mereka, mereka akan naik satu tingkat dalam hirarki administrasi. Dengan demikian seorang kepala desa naik menjadi lurah, lurah menjadi camat dan camat menjadi bupati. 

Pada permulaan, terutama di daerah Priangan Timur, sistem ini berjalan relatif lancar sampai pada akhir tahun 1949. Di daerah ini penduduk secara rela atau tidak rela menempatkan diri di bawah kontrol Majelis Islam (Darul Islam) karena pengaruh Darul Islam (NII) yang sudah meluas di Priangan. Lagi pula, tujuan Kartosuwirjo untuk mendirikan sebuah Negara Islam dengan hukum-hukum Islam yang dijalankan secara menyeluruh, bagi penduduk Jawa Barat yang terkenal soleh tentu merupakan tujuan yang ideal. 

Dengel mencatat bahwa,

“Sistem yang dirancang Kartosuwirjo itu menjadi salah satu faktor Gerakan Darul-Islam dapat berkembang relatif cepat dan juga menjamin kontinuitasnya pada tahun-tahun berikutnya. Konsep Kartosuwirjo tentang pembagian daerah-daerah jelas di-pengaruhi oleh hukum Islam, yang membagi dunia ke dalam Dar-al Islam, di mana hidup umat Islam dan di mana hukum Islam dipraktekkan sepenuhnya. Sedangkan Dar-al-harb adalah daerah yang dihuni fihak bukan Islam. Karena tugas sebuah Negara Islam ialah menjalankan hukum-hukum Islam dan menetapkan Islam sebagai ideologi yang dominan bagi setiap masyarakat, maka secara teoritis Dar-al-Islam berada dalam keadaan perang yang terus menerus dengan Dar-al-harb, di manaa jihad merupakan alat bagi negara untuk mengubah Dar-al-harb menjadi Dar-al-Islam. 

Maka bagi SM Kartosuwirjo Daerah I (D.I.) adalah Dar al-Islam, sementara Daerah II dan Daerah III merupakan Dar al-harb yang harus digabungkan ke dalam Dar al-Islam melalui dakwah dan jihad. Faktor penting yang berikutnya yang membantu keutuhan dan menegakkan disiplin Gerakan Darul Islam adalah keputusan konferensi Cijoho yang mengharuskan bagi setiap anggota gerakan D.I. untuk mengangkat sumpah setia (bai'at) terhadap pimpinannya masing-ma¬sing.  

Berdasarkan peraturan tersebut di Daerah I orang-orang berikut ini harus mengangkat sumpah:

1) Imam terhadap Madjlis Imamah (Kabinet)

2) Kepala Madjlis (menteri) terhadap Imam

3) Residen terhadap Imam

4) Staf Residen terhadap residen

5) Bupati terhadap Imam

6) Staf Bupati terhadap Bupati

7) Camat terhadap Bupati

8) Staf Camat terhadap Camat

9) Kuwu (pimpinan lokal) terhadap Bupati. 

Prinsip yang sama berlaku juga bagi Daerah II, dan Daerah III. Dalam daerah-daerah ini hanya pegawai tinggi langsung harus mengangkat sumpah terhadap Imam. Begitu juga bagi militer berlaku prinsip yang sama, mulai dari Komandan Divisi yang harus mengangkat sumpah terhadap Imam, hingga ke tentara bawahan yang harus mengangkat sumpah terhadap atasannya. Dalam sumpah tersebut, setiap orang mengikrarkan, bahwa dia bersedia berkorban untuk: 

“ … melaksanakan berdirinja Negara Islam jang Merdeka, sehingga berlakoe Sjari'at Islam. Saja akan ta'at kepada perintah Allah, perintah Rasoelnja dan perintah Oelil Amri saja dan mendjauhi larangannja dengan toeloes dan setia hati. Saja sanggoep membela kesoetjian agama Islam, kebenaran Oemat Islam dan pemimpin-pemimpin Islam daripada bentjana, bahaja dan chianat dari mana dan apapoen djoega. 

Berdasar penjelasan tentang susunan bay’at tersebut, maka bisa digambarkan susunan organisasi Majlis Islam mulai dari Dewan Imamah di tingkat pusat sampai ranting adalah sebagai berikut: 

1) Imam 

2) Kepala Madjlis (menteri) 

3) Residen

4) Bupati 

5) Camat 

6) Kuwu (pimpinan local) 

Dari struktur tersebut nampak bahwa penyusunan struktur tata negara Islam memang sudah semakin dijelaskan bentuknya.


4. Konferensi Cijoho Ke-Dua

Pada 9-10 Mei 1948 Majelis Imamah bersidang untuk kedua kalinya di tempat yang sama di Cijoho. Sidang tersebut memutuskan perubahan nama Majelis Imamah menjadi Dewan Imamah, dan keputusan tentang bendera Negara Islam harus ditunggu sampai pada sidang Dewan Imamah yang berikutnya sebelum proklamasi Negara Islam dilakukan. 

Dalam konferensi ini diputuskan bahwa Majelis Imamah diganti menjadi Dewan Imamah dengan susunan: S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam merangkap Kepala Majelis Pertahanan, Sanoesi Partawidjaja sebagai Kepala Majelis Dalam Negeri dan Merangkap Majelis Keuangan. Kepala Majelis Kehakiman dipegang K.H. Gozali Toesi. Kepala Majelis Penerangan dipimpin oleh Toha Arsjad, sedangkan R. Oni. I Qital dan Kamran sebagai anggota.

Anggota-anggota Majelis Islam memang tidak menyebut dirinya menteri karena kepala majelis memiliki pengertian sama dengan menteri dalam sudut pandang Tata Negara Islam. Pemerintahan yang dibentuk merupakan pemerintahan persiapan yang sudah beroperasi Tugas pokok Dewan Imamah adalah melanjutkan dan memimpin perang gerilya melawan Belanda di daerah-daerah yang telah dilepaskan kepada pengawasan Belanda oleh Tentara dan Pemerintah Republik, R. Oni I. Qital dengan tugas merencanakan suatu struktur yang kongkret bagi Tentara Islam Indonesia yang akan segera didirikan.

Tetapi Kartosoewirjo tidak segera memproklamasikan negara Islamnya karena dia menunggu saat "vacum of power' yang memang telah diprediksinya. Langkah yang harus dilakukannya adalah melengkapi struktur Pemerintah Islam. Mereka berkeyakinan perjuangannya adalah kelanjutan dari revolusi nasional bukan menentang Pemerintah Republik. Proklamasi yang akan dilakukan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Dengan demikian Majelis Islam Pusat itu adalah sebuah pemerintah sementara untuk Jawa Barat, yang sesungguhnya memiliki banyak ciri suatu negara merdeka. Namun, mereka tidak secara resmi menentang Republik selama kira-kira satu tahun berikutnya. Dalam teori, tindakan-tindakan mereka semata-mata direncanakan untuk menghadapi pembentukan Negara Pasundan. Karena itu, hanya Belanda dan Negara Pasundan, dan bukan Republik, yang merupakan musuh nyata Tentara Islam Indonesia. 

Walaupun tidak diucapkan secara terang-terangan, cita-cita suatu negara Islam Indonesia tidak pernah lenyap dari pikiran S.M. Kartosoewirjo. Struktur militer dan pemerintah yang disusun S. M. Kartosoewirjo dan R. Oni I. Qital, yang secara resmi terbatas pada Jawa Barat, jelas dimaksudkan sebagai pemerintah bayangan, yang akan berfungsi jika Pemerintah Republik kalah dalam perang melawan Belanda.  Tanda rencana-rencana mereka ke arah ini adalah keputusan Cipeundeuy untuk membagi daerah operasi gerakan ini dalam tiga bagian, menjadi D.I, D.II, dan D.III.

Berdasarkan program politik yang disusun pada konferensi tanggal 1 Maret di Bantarujeg, kini saat yang tepat untuk memproklamirkan Negara Islam sebenarnya telah hampir datang, setelah semua persiapan untuk proklamasi tersebut sudah rampung, dan Belanda juga sudah mendirikan negara boneka di Jawa Barat, yaitu "Negara Pasundan" pada tanggal 26 Februari 1948. 

Menurut Holk H. Dengel, Kartosuwirjo tetap berusaha untuk memperoleh dukungan dari pemerintah RI di Yogyakarta untuk rencananya mendirikan Negara Islam, setidak-tidaknya dia berharap untuk mendapat persetujuan dari pihak Masjumi. Perhitungan Kartosuwirjo ialah, bila Masjumi menye¬tujui rencana-rencananya, akhirnya pemerintah Republik juga akan menyetujuinya. Pada tanggal 8 Juli dia mengutus Abdul Hadi, Soelaiman dan Nanggadisoeara sebagai kurir ke Yogyakarta untuk membawa pesan-pesan pribadi kepada sejumlah politikus di sana, yang oleh karena alasan keamanan disampaikan secara lisan. 

Pada satu pesan rahasia, dua hari sebelumnya, Imam Kartosuwirjo memberitahukan rencananya kepada Komandan Divisi I./TII Tjakrabuana (Kamran), bahwa ia akan menyampaikan pesan-pesan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta. Dalam pesan-pesan tersebut dia ingin menjelaskan tindakan militer dan politik yang telah diambilnya untuk menghindarkan timbulnya salah pengertian di masa yang akan datang.  

Dengel menganggap bahwa Kartosuwirjo memainkan peranan ganda, sebab dia tidak memberitahukan perkembangan yang terakhir kepada teman-teman par¬tainya di Yogyakarta, yaitu perubahan Madjlis Islam Pusat menjadi Dewan Imamah yang dia pimpin sendiri sebagai Imam. Juga surat pengantar yang diberikannya kepada kurir tersebut sebagai bukti legitimasi, dia tandatangani dua bulan setelah pembentukan Dewan Ima¬mah, masih tetap atas nama "Pimpinan Umum Madjlis Islam Pusat Djawa sebelah Barat." Sebaliknya pesan rahasia yang dia kirim kepada Kamran dua hari sebelumnya yaitu pada tanggal 6 Juli 1948, dibuat Kartosuwirjo atas nama "Pemerintah Negara Islam Indonesia" dan pesan tersebut ditandatanganinya sebagai Imam."  Boleh jadi ini adalah merupakan salah satu siasat politik yang sedang dijalankan SM Kartosuwiryo, demikian tinjauan Dengel.

Pesan-pesan lisan Kartosuwirjo disampaikan antara lain kepada An¬war Tjokroaminoto, Ramlan, A.H. Soebakin, Soedardjo, Soemadhi dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam surat pengantarnya Kartosuwirjo me¬minta agar mereka datang ke Jawa Barat untuk bersama-sama membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Surat pengantar yang singkat tersebut hanya berisi 6 butir:

1) Sedjak ditandatanganinja Renville kami ummat Islam di Djawa Barat telah menentukan sikap jang tegas.

2) Akibat daripada sikap itu, terdjadilah perdjuangan jang dahsjat, sehingga darah sjuhada terus mengalir.

3) Tjita-tjita perdjuangan kami ini, tidak hanja merupakan Perdjuangan regional akan tetapi hendaknja merata ke seluruh kepulauan In¬donesia.

4) Dari itu untuk mensatukan bentuk dan langkah perjoeangan kita, disamping keterangan-keterangan jang disampaikan oleh utusan kami, diharap supaja diantara saudara-saudara jang bertanggung djawab kepada Perdjuangan ummat disini datang ke tempat saja untuk membicarakan bentuk dan langkah Perdjuangan pada dewasa ini. 

5) Semoga dengan djalan ini, karunia Allah, lahirnja Negara Islam jang Merdeka, akan datang setjepat-setjepatnja. 

6) Selesai. 

Sekalipun berbagai program politik untuk mempersiapkan kelahiran Negara Islam Indonesia telah dipersiapkan dengan matang dan sangat teliti, sejak dilangsungkannya Kongres Cisayong sampai Konferensi Bantarujeg, SM Kartosuwiryo tetap menyadari bahwa Revolusi Islam yang sedang di bangun untuk mempersiapkan lahirnya Negara Islam Indonesia tersebut juga harus menjadi concern dari para pimpinan RI. Bahwa pimpinan RI juga  harus disadarkan terhadap apa yang sedang terjadi di Jawa Barat. 

Dari surat Kartosuwirjo kepada Kamran juga dengan jelas dapat dilihat bahwa untuk Kartosuwirjo suatu hubungan yang tidak terputus-putus dengan daerah Republik adalah penting sekali. Dia juga memberitahukan Kamran, bahwa dia telah mengirim surat kepada pemimpin-pemimpin di daerah Republik, di mana dia menjelaskan situasi politik dan militer agar supaya mereka "jangan salah paham dan dapat pula menghilangkan salah paham". 

Kartosuwirjo pada 6 Juli 1948 menulis sebagai berikut:

"Djoega saja ingin sekali memperingatkan kepada soeatoe hal jang tampaknja ketjil, tapi amat penting sekali dalam perdjoeangan kemerdekaan dan perdjoeangan agama, ja'ni terbentuknya pos-pos di se-pandjang djalan antara kita dengan daerah Republik. Satoe djalan doeloe (route) boleh dimoelai, asal sempoerna. Djangan poetoes-poetoes. Selain dari pada itoe, djoega tentang bentoekan koerir jang tetap, jang berangkat dan datang pada waktoe jang tentoe. Saja harap, soepaja hal-hal ini lekas dibentoek oleh Divisi. Agar soepaja kita dengan kawan-kawan di daerah Repoeblik meroepakan rantai jang erat sekali. Insja Allah, itoelah salah satoe djalan dan oesaha, menoejoe kepada Revolusi Islam Totaliter, di manaa komando kita akan dihargakan oleh Oemmat dan Ra'jat seloeroehnja, dan beberharga poela dalam pandangan doenia internasional seloeroehnja. Lebih-lebih lagi, di manaa-mana tempat dan di tiap-tiap penjoeroe doenia soedah moelai tampak menjala-njala api, jang agaknja akan menjadi pangkal timboelnja Perang Doenia Ketiga". 

Yang jelas, beberapa hari kemudian, tepatnya pada 25 Agustus 1948, Pemerintah NII / Majelis Islam Pusat mengeluarkan Maklumat Imam No.1 yang berisi mobilisasi dan militerisasi rakyat, juga perubahan susunan organisasi NII di Daerah I, II dan III. Inilah awal mula dari hadirnya eksistensi Pemerintah NII secara tegas melalui sebuah maklumat negara. Dan tepat dua hari kemudian pada tanggal 27 Agustus 1948 bertepatan dengan  22 Syawal 1367 H, penyusunan "Kanun Azasi" yaitu Undang-undang Dasar Negara Islam Indonesia telah selesai dirumuskan , sehingga segala hukum-hukum yang berlaku di daerah I disesuaikan dengan pedoman Kanun Asasi ini. 

Dari berbagai konferensi yang dilakukan sejak Cisayong sampai Konferensi Cijoho ke-dua di atas, maka berbagai persiapan yang dilakukan untuk proklamasi Negara Islam Indonesia sudah rampung. Berdasarkan program politik yang diputuskan di Bantarujeg (1 Maret 1948) semua persiapan proklamasi sudah rampung, terlebih Belanda sudah mendirikan negara boneka di Jawa Barat yaitu Negara Pasundan pada tanggal 26 Febuari 1948. 

Berbagai program politik yang dirumuskan sejak Syuro Cisayong sampai Cijoho ini menjadi sebuah fakta sejarah bahwa kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) merupakan sebuah langkah aqidah (idiologis) Umat Islam Bangsa Indonesia mengatur kehidupannya berdasar aturan Allah dan Rasul-Nya.  

Kehadiran NII bukan semata respon politik karena kekecewaan Umat Islam atas dihapusnya 9 kata dalam Piagam Jakarta, bukan pula karena jatuhnya RI sebagai sebuah negara pasca berbagai Perjanjian politik dengan Belanda dan berbagai aksi poliosionil Belanda, juga bukan karena negara Jawa Barat ala Belanda lahir. 

Peristiwa-peristiwa politik tersebut hanya merupakan momentum strategis-politis yang diberikan Allah SWT bagi ummat Islam bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya. Berdirinya sebuah negara Islam di Indonesia sudah menjadi cita-cita dan idiologi umat Islam bangsa Indonesia sejak berdirinya Sarekat Islam yang kemudian mengkristal menjadi PSII KPK. Cita-cita mendirikan negara Islam semakin kental ketika PSII mengeluarkan dokumen Sikap Hijrah. 

Cita-cita tersebut kemudian turun dalam bentuk program-program politik melalui wadah Majlis Islam. Dan akhirnya secara hukum dan politik Pemerintah Negara Islam Indonesia muncul dan efektif berjalan melalui Maklumat No.1 tertanggal 25 Agustus 1948. Persis setahun kemudian Imam Pemerintah NII memproklamirkan NII kepada masyarakat dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.