Majlis Islam Sebagai Pemerintahan Islam

 

Hasil terpenting dari Konferensi Cisayong adalah mengesahkan berdirinya Majelis Islam. Majlis Islam sebagaimana disebutkan dalam dokumentasi yang disusun oleh Majlis Penerangan Negara Islam tentang rangkaian sejarah menjelang berdirinya proklamasi NII, merupakan, “Sebuah pemerintahan Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh Umat Islam di daerah tersebut”. Kehadiran Majlis Islam di Jawa Barat memegang peranan yang sangat penting dalam rangka berdirinya negara Islam di Indonesia. 

Maklumat Imam NII No.1 tertanggal 25 Agustus 1948 berisi dua hal yaitu: 

1. menugaskan kepada seluruh pimpinan sivil dari Residen sampai Kepala Desa dan seluruh pimpinan ummat di daerah sampai MI Desa untuk menjadi komandan pertahanan di daerahnya masing-masing. 

2. menugaskan kepada kepala ketentaraan di desa, kecamatan dan selanjutnya untuk menjabat juga sebagai komandan pertempuran di tempatnya masing-masing. 

Maklumat tersebut ditandatangani oleh SM Kartosuwiryo selaku Imam Pemerintah NII Majelis Islam Pusat. Dari keputusan Imam tersebut bisa difahami bahwa organisasi MI pada awalnya di pimpin oleh struktur pemerintah sipil, di mana kepala ketentaraan tunduk kepada struktur pemerintah sipil tersebut, baik yang berada di pusat (MI Pusat) sampai ke desa (MI Desa). Namun sejak dikeluarkannya Maklumat Imam No.1 diatas, pemerintah sipil tersebut bertransformasi menjadi organisasi sipil-militer, di mana pimpinan organisasi juga menjabat sebagai komandan pertahanan, sedangkan kepala ketentaraan sekaligus menjabat sebagai komandan pertempuran. 

Dewan Imamah sendiri yang merupakan kabinet Majlis Islam Pusat, pada awalnya di angkat oleh Imam Kartosuwiryo (ketika itu berjumlah tujuh anggota pimpinan pusat) dan diputuskan oleh konferensi Majlis Islam sebagai pemimpin yang bertanggung jawab di seluruh Jawa Barat hingga di seluruh Indonesia kelak.

Pedoman Darma Bakti Jilid 1 yang memuat konstitusi tertulis NII, pada bagian akhir Kanun Asasi NII menjelaskan sejarah singkat dan kedudukan berbagai musyawarah yang dilaksanakan sebagai proses lahirnya NII sebagai berikut.

MASA PERALIHAN

1. Pada tanggal 17 Januari 1948 dilangsungkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda disebuah kapal perang, sehingga Perjanjian itu terkenal dengan Naskah Renville.

2. Pada tanggal 10 Februari 1948 disalah satu tempat didaerah Priangan telah dilakukan musyawarah antara Pemimpin-pemimpin Islam yang bertanggungjawab, keputusan musyawarah itu, ialah: mendirikan suatu Majelis Islam yang merupakan gerakan massal dalam kalangan Ummat Islam bagi melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan perjuangan Agama, melaksanakan cita-cita yang tertinggi, ialah berdirinya Negara Islam yang merdeka.

3. Pada 1 Maret 1948 disalah satu tempat di daerah Cirebon dilangsungkan konferensi daripada Pemimpin-pemimpin Islam yang ada di Jawa Barat. Keputusan konferensi tersebut ialah kelanjutan dan perluasan di Priangan, bagi menyempurnakan berlakunya perjuangan Ummat Islam.

4. Pada tanggal 1 hingga 5 Mei 1948, dilangsungkan rapat disalah satu daerah pendudukan Belanda, di mana diambil keputusan, bahwa Ummat Islam akan memperjuangkan Agama dan Negaranya dengan cara praktis, sehingga daerah pendudukan Belanda di Jawa sebelah barat dibagi mendjadi 3 tingkatan:

a. Daerah yang sudah berlaku kekuasaan Islam de facto 100%, baik politis maupun militer, di mana dengan berangsur-angsur dilakukan Hukum Islam. Di daerah-daerah yang seupa itu susunan ketentaraan dan sivil seperti negara yang merdeka, dengan dasar Islam (daerah I).

b. Daerah yang setengahnya, terutama politis ada dalam pengaruh Islam, pertahanan negara ditempat itu belum sempurna (daerah II).

c. Daerah yang politis dan militer masih ditangan kekuasaan Belanda (daerah III).

5. Sejak masa itu, maka perjuangan Ummat Islam Indonesia dengan cepat meningkat tinggi, terutama sekali karena dengan lambat-laun Daerah I makin hari makin bertambah luas.

6. Sekarang, tanggal 27 Agustus 1948 sudahlah sampai kepada saatnya menaikkan lagi perjuangan Ummat Islam Indonesia kepada suatu tingkatan yang lebih tinggi, ialah: “mensesuaikan segala hukum-hukum yang berlaku di daerah I dengan pedoman Kanun Asasy Negara Islam Indonesia”.

7. Proses perjuangan Ummat Islam Indonesia yang digambarkan tersebut diatas, akan berlangsung terus menerus, dengan tolong dan Kurnia Illahi, sehingga dalam masa yang mendatang tidak ada lagi daerah II dan daerah III.

8. Tegasnya, pada saat itu, berdirilah Negara Islam yang sempurna, yang mempunyai syarat dan rukun sebagai Negara; suatu Negara yang merdeka, disamping Negara-negara diseluruh dunia.

“Huwalladzi arsala rasulahu bilhuda wa dinil - haqqi, lijudzhirohu ‘aladdini kullihi, walau karihal musyrikun”. 

Dalam pandangan Darul Islam bahwa Konferensi Cisayong 1948 merupakan musyawarah atau dikenal dengan "Syuro Ummah" yang dilandasi nilai-nilai Al Quran yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang bertanggung jawab, dengan "Syuro Ummah" diambil keputusan untuk "mendirikan Majelis Islam yang merupakan perwujudan manifestasi dari gerakan Islam di kalangan ummat Islam untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan perjuangan Islam untuk merealisir berdirinya Negara Islam yang merdeka". 

Majelis Islam (MI) menurut pandangan Darul Islam adalah sebagai wadah satu-satunya organ perjuangan ummat Islam yang sah baik secara syar'i maupun secara politis melalui proses istikhlaf "syuro ummah" pada tanggal 10-11 Februari 1948 merupakan hasil ijtihad wakil ummat Islam yang representatid dari Jawa bagian sebelah Barat.  Kemudian berlanjut hingga proklamasi negara Islam Indonesia sebagai pembentukan negara basis yang akan berproses ke tingkat kekhalifahan Islam di tingkat global.

Karena sedemikian penting hasil-hasil yang dirumuskan dalam Konferensi Cisayong tersebut di atas dan juga dampak sosial politik dan militer dari Konferensi tersebut, maka Kanun Asasi NII dalam penjelasan khususnya menyebutkan peristiwa ini, 

“Pada tanggal 10 Februari 1948 di salah-satu tempat di daerah Priangan telah dilakukan musyawarat antara pemimpin-pemimpin Islam yang bertanggung jawab. Keputusan musyawarat tersebut ialah : mendirikan suatu majlis Islam yang merupakan suatu gerakan massal dalam kalangan Umat Islam bagi melanjutkan kemerdekaan dan perjuangan agama, melaksanakan cita-cita yang tertinggi, ialah berdirinya negara Islam yang merdeka”. 

Melihat hasil-hasil Syuro Cisayong, persiapan ke arah proklamasi Negara Islam Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Hasil konferensi yaitu perumusan Undang-Undang Dasar atau disebut dengan Kanun Asasi merupakan langkah tindak lanjut yang sangat penting untuk menjelaskan mekanisme negara baru yang akan di bangun ini. 

Dengan melihat fakta-fakta saat dilakukannya Konferensi Cisayong, maka Konferensi Cisayong dapat ditinjau dari tiga aspek. 

Pertama, konferensi Cisayong merupakan proses ijma’ (consensus) dari sebuah musyawarah ummat Islam (syuro ummah) yang secara representatif dihadiri oleh seluruh pimpinan Islam yang bertanggung jawab. 

Kedua, bahwa produk konferensi Cisayong melahirkan lembaga Imamah (Daulah) dengan nama Majlis Islam yang merupakan “sebuah pemerintahan Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”, dengan pimpinan yang “bertanggung jawab di seluruh Jawa Barat hingga di seluruh Indonesia kelak”. Majelis Islam dengan demikian berkedudukan sebagai Lembaga Imamah (Daulah) untuk ummat Islam bangsa Indonesia yang akan melanjutkan peran sebagai pelanjut estafeta kepemimpinan pasca Nubuwah untuk menjaga Diin dan mensiyasati Dunia.

Ketiga, bahwa dalam tinjauan ilmu politik, pembentukan Majelis Islam merupakan pengesahan institusi kepemimpinan (Imamah/Daulah) melalui proses musyawarah yang secara politik dapat dilakukan mengingat di wilayah tersebut sedang berada dalam status vacuum of power (kekosongan kekuasaan) pasca perjanjian Renville. Ini pula yang menyebabkan Belanda mengerahkan ribuan tentaranya untuk masuk wilayah kosong kekuasaan. Sehingga pasukan TII berhadapan dengan pasukan Belanda dalam suatu medan perang gunung hutan yang sangat dahsyat. 

Konferensi Cisayong dapat disebut sebagai syuro ummah (syuro siyasah) dengan mengacu kepada Syuro Ummah yang pernah dilakukan oleh para sahabat pada saat pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifatun Nabi. Ketika itu syuro yang mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nubuwah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 

1. dihadiri oleh seluruh perwakilan sahabat Nabi, dalam konteks saat itu adalah kaum Muhajirin dan Anshar.

2. tujuan syuro adalah mengangkat Khalifah sebagai institusi pengganti nubuwah untuk menjaga keaslian Diin dan mensiyasati dunia (fi hirasati addiin wa siyasati addunya).  

3. proses pengangkatan Khalifah dilakukan secara musyawarah dan pengesahannya dilakukan dengan jalan bay’at (bay’atul inqaad). 

Dengan memperhatikan proses dan hasil-hasil Konferensi Cisayong maka dapat disimpulkan bahwa Konferensi Cisayong memiliki kesamaan dengan Syuro Saqifah yang pernah mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifatun Nabi. Unsur-unsur yang membentuk Syuro Saqifah ditemukan pula dalam Konferensi Cisayong yaitu:

1. dihadiri oleh pimpinan Islam yang bertanggung jawab, tidak kurang dari 150 orang pimpinan, tokoh-tokoh Islam dan mujahidin (tentara) yang selama itu memimpin perjuangan menegakkan kemerdekaan berdasar Islam.

2. tujuan syuro adalah mengangkat kepemimpinan untuk mengatur urusan-urusan ummat Islam bangsa Indonesia, sehingga berkedudukan pula sebagai Khalifah yaitu institusi pengganti nubuwah untuk menjaga keaslian Diin dan mensiyasati dunia (fi hirasati addiin wa siyasati addunya). Sejak awal Majelis Islam merancang pembentukan negara Islam karena hanya melalui institusi negara, syariah dan hukum Islam bisa dijalankan secara sempurna

3. proses pengangkatan Imam (pemimpin tertingg) dilakukan secara musyawarah dan pengesahannya dilakukan dengan jalan bay’at oleh seluruh peserta musyawarah (bay’atul inqaad).

Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa hasil ijma’ Syuro Ummah Cisayong yaitu pembentukan lembaga imamah Majlis Islam dan menetapkan Kartosuwiryo sebagai Imam, dan berbagai produk ijtihadi lembaga Majelis Islam tersebut, adalah legitimed (syah) secara syariah dan mengikat secara hukum bagi ummat Islam bangsa Indonesia. 

Dalam konteks politik, Konferensi Cisayong merupakan langkah strategis mengatasi dampak politik dan hukum dari Perjanjian Renville. Dengan hilangnya secara bertahap kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan UUD 1945 nya, maka perlu di ambil langkah strategis untuk menyelamatkan keutuhan wilayah dan kemerdekaan bangsa sebagaimana maksud Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Upaya penyelamatan itu tidak lain adalah dengan menghantarkan kemerdekaan bangsa menuju kemerdekaan Islam, yaitu menghadirkan kedaulatan Allah SWT atas seluruh tatanan sosial politik kemasyarakatan.

Berbagai kebijakan politik Majlis Islam yang dijalankan sampai sampai dikeluarkannya Maklumat No.1 Pemerintah Negara Islam Indonesia merupakan langkah-langkah strategis dan signifikan dalam usaha pembentukan Negara Islam Indonesia. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah:

1. pembentukan Dewan Imamah yang merupakan kabinet pemerintahan pertama Majlis Islam

2. perumusan Kanun Asasi NII yang merupakan Undang-Undang Dasar (UUD) bagi Negara Islam Indonesia yang akan didirikan kelak. Kanun Asasi diputuskan untuk di susun sejak Konferensi Cisayong dan selesai pada 27 Agustus 1948

3. pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan organ militer NII yang melindungi setiap kepentingan NII dan lebih dari itu mempertahankan proklamasi NII. Pembentukan pasukan TII dalam jumlah besar sehingga memungkinkan terbentuk dalam eselonitas mulai dari regu, batalyon, resimen, sampai divisi

4. pembentukan daerah-daerah basis yang ketika itu di kenal dengan Daerah Islam (Darul Islam) di mana berlaku hukum dan kekuasaan Islam secara sempurna

5. pembentukan struktur pemerintahan sampai tingkat yang paling kecil yaitu kecamatan-kecamatan dan desa-desa Islam. Bahkan Majlis Islam terbentuk sampai ke Jawa Tengah yang kemudian diproklamirkan secara sektoral untuk wilayah Jawa Tengah pada 22-23 April 1949 di daerah Pengarasan

6. mempersiapkan rakyat menjadi rakyat Negara Islam, diantaranya dengan melakukan kontrak sosial politik melalui bay’atut tho’ah (bay’atul ummah) di berbagai daerah. Langkah lain adalah mempersiapkan rakyat untuk siap menjadi tentara negara

7. mulai memberlakukan peraturan-peraturan Islam (hukum Islam) di daerah-daerah yang telah dikuasai dengan seizin dan petunjuk Imam.

Dengan berbagai langkah politik tersebut, maka semakin matanglah persiapan dan program yang disusun untuk terbentuknya negara baru yaitu Negara Islam Indonesia. Berdirinya NII merupakan realisasi dari berbagai keputusan, program dan langkah politik Majlis Islam sejak Februari 1948 sampai Agustus 1948. 

Berdirinya NII merupakan wujud dari aqidah (idiologi) yang sudah tertanam sejak masa Sarekat Islam yaitu kehendak untuk mewujudkan Negara Islam yang tunduk di bawah hukum Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah kehendak untuk semata menghambakan diri kepada Allah SWT dan menghancurkan penghambaan manusia atas manusia yang lain. Berdirinya NII untuk mencapai kemerdekaan Islam yaitu kemerdekaan melaksanakan hukum Allah dan Rasul-Nya, merupakan tahapan yang harus dilalui setelah kemerdekaan bangsa yaitu merdeka dari para penjajah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.