Kemerdekaan Bangsa Indonesia

 

Sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia, gerakan Islam yang bertujuan menegakkan negara Islam di Indonesia terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama yaitu mereka yang memperjuangkan Islam melalui Pola Parlementer, sebut saja mereka dengan kubu yang hendak mengislamkan negara yang ada atau “Islamisasi Negara”. Kubu ini diwakili oleh tokoh-tokoh PSII dan organisasi Islam lain yang bersikap kooperatif dengan penguasa. 

Kubu yang kedua ialah mereka yang memperjuangkan Islam melalui Pola Hijrah, sebut saja mereka yang hendak menegarakan Islam  atau “Institusionalisasi Islam”. Tokoh-tokohnya adalah para pimpinan KPK PSII seperti SM Kartosuwiryo, Kamran, R. Oni . 

Belum selesai pembahasan di BPUPKI, terjadi peristiwa penting di Jepang, tanggal 6 Agustus 1945 Sekutu mengebom kota Hirosima. Sekalipun kota Hiroshima sudah luluh lantak, belum membuka mata militer Jepang untuk menyerah kepada Sekutu. Dalam situasi yang genting, Penguasa Tertinggi Wilayah Selatan Jepang pada 7 Agustus 1945 mengambil inisiatif dengan membuat dekrit dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia /Dokuritsu Junbi Inkai (PPKI) sebagai ganti dari BPUPKI, mengingat tugas-tugas BPUPKI telah selesai dilaksanakan. PPKI beranggotakan 21 orang dengan ketuanya Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. M. Hatta. 

Untuk menindaklanjuti rencana di atas, pada 9 Agustus 1945 Ketua, Wakil Ketua dan Penasehat PPKI di panggil oleh Jenderal Besar Hisaici Terauci di Dalat Vietnam dan memberikan persetujuannya atas pembentukan PPKI. Tepat pada hari yang sama kota Nagasaki di bom oleh Sekutu. Ketika pimpinan PPKI tiba di Indonesia pada 14 Agustus 1945, Jepang sudah menyerah kepada sekutu dan berakhirlah Perang Asia Pasifik. 

Tepat pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang yang diwakili Kaisar Akihito menyerah kepada sekutu di hadapan Jenderal Mac Arthur. Penyerahan ini menjadikan Indonesia sebagai negara jajahan Jepang memasuki masa Vacuum of Power secara de-jure, sekalipun secara de-facto tentara Jepang masih menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan sesuai perintah sekutu. Dalam pernyataan resmi disebutkan bahwa Jepang tetap bertanggung jawab menjaga hukum dan ketertiban di wilayah Indonesia sampai tentara sekutu mendarat.

Hari-hari tersebut adalah hari-hari yang menegangkan, di mana terjadi perbedaan pandangan antara kaum muda dan tokoh-tokoh nasional dalam menyikapi perkembangan terakhir. Para pemuda yang dimotori Sukarni menginginkan Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu restu dari Jepang, sementara Sukarno dan Hatta menginginkan proklamasi dilakukan secara legal dan diakui pemerintah Jepang.

Karena perbedaan pandangan semakin keras, para pemuda pada 15 Agustus 1945 menculik Sukarno dan Hatta dan di bawa ke Rengas Dengklok. Mereka menuntut kepada keduanya untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun misi ini tidak berhasil dan kedua orang tersebut di jemput oleh Ahmad Subarjo ke Jakarta.

Pada 16 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan di salah satu rumah perwira tinggi Jepang bernama Maeda, dihadiri para anggota PPKI dan kemudian di susun naskah proklamasi yang di ketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta.  Tanggal 17 Agustus 1945 tepat pukul 10.00 WIB, naskah proklamasi dibacakan. 

Proklamasi tersebut selengkapnya berbunyi:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasan dll diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945

Atas nama bangsa Indonesia

Sukarno Hatta

Proklamasi ini secara spontan telah di sambut oleh ummat Islam dengan tahmid dan tasykirnya, dalam wujud penumpahan segala kegiatan dan pengerahan segala pengorbanan, demi untuk mempertahankan dan membela kemerdekaan itu. Memang, kemerdekaan ini telah lama mereka gandrungi.  

Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu merdeka lepas dari penjajahan bangsa lain. Dalam dokumen Kanun Asasi NII sebagaimana yang tercantum dalam Mukaddimah dinyatakan bahwa,

“Sejak mula pertama Ummat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial Belanda yang dulu, maupun pada zaman pendudukan Jepang, hingga pada zaman Republik Indonesia, sampai pada saat ini, selama itu mengandung suatu maksud yang suci, menuju suatu arah yang mulia, ialah : “Mencari dan mendapatkan Mardhotillah, yang merupakan hidup di dalam suatu ikatan dunia baru, yakni Negara Islam Indonesia yang Merdeka”.  

Dengan kata lain kemerdekaan sejati ialah kemerdekaan Islam. 

Untuk melengkapi dan menyempurnakan perlengkapan sebuah negara yang merdeka, PPKI -yang dibentuk sebelumnya pada 7 Agustus 1945- kemudian bersidang di Jakarta pada 18 Agustus 1945. Dalam sidang tersebut PPKI menetapkan tiga keputusan penting yaitu: 

1. mengesahkan dan menetapkan UUD RI,

2. memilih Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden,

3. sebelum terbentuknya MPR, pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional.

Hasil sidang PPKI sebelumnya sudah menetapkan piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 namun mencoret 7 kata yang sebelumnya diperjuangkan kaum nasionalis Islam yaitu kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Keinginan menjalankan syariat Islam itu dikalahkan dengan dalih “menjaga persatuan bangsa” dalam suatu sidang yang hanya berlangsung selama 15 menit.  Dengan demikian negara RI yang terbentuk dari proklamasi 17 Agustus 1945 ini pada hakikatnya merupakan produk kompromistis politik dari kelompok Nasionalis Islam dan kelompok Nasionalis Sekuler.

Berkenaan dengan hubungan antara Proklamasi dan UUD 1945, keduanya merupakan dwi tunggal, satu sama lain tak dapat dipisah-pisahkan, laksana wadah dan isinya. Setiap penyisihan atau pengurangan atas kandungan maksud Proklamasi 1945 dan isi UUD 1945 berarti mengurangi kebulatan kemerdekaan Indonesia. Tegasnya, mengkhianati kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.  

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya akan terlihat bahwa pimpinan RI kemudian melakukan pengkhianatan terhadap Proklamasi dan UUD 1945 dengan merubah Undang-Undang Dasar dan menyerahkan wilayah Indonesia kepada pihak penjajah melalui perundingan politik.

Pada sidang kedua pada 19 Agustus 1945, menetapkan 12 kementerian dan pembagian daerah RI dalam 8 provinsi yaitu  Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.   

Namun perlu dicatat seluruh wilayah Indonesia ketika itu masih dikuasai tentara Jepang. Wilayah defacto milik Indonesia boleh dikatakan barulah sepetak rumah di Jl. Pegangsaan Timur No.56 tempat proklamasi dibacakan, di luar itu masih menjadi wilayah kekuasan Jepang sebagaimana ditugaskan Sekutu.

Setelah disahkan UUD maka dilengkapi pula badan kenegaraan yang mengurusi militer. Maka untuk melengkapi perangkat negara, tanggal 23 Agustus 1945 dibentuk pertama kalinya militer Indonesia yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pembentukan BKR ini dimaksudkan oleh para pemimpin pada waktu itu untuk tidak membangkitkan permusuhan dari kekuatan-kekuatan asing yang pada waktu itu ada di Indonesia.   Untuk itu seluruh organisasi lasykar termasuk Hizullah dan Sabilillah tidak diakui lagi dan harus bergabung dalam komando BKR. BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 dan kemudian pada 3 Juni 1947 berubah menjadi TNI. 

Sekalipun sekalipun seluruh wilayah Indonesia masih dikuasai Jepang, pada 4 September 1945 dibentuklah kabinet pertama RI. Susunan pemerintahan saat itu adalah :  

Presiden : Sukarno

Wakil Presiden : Moh. Hatta

Menteri DalamNegeri : Wiranata Kusumah

Menteri Luar Negeri : Achmad Subarjo

Menteri Keuangan : Samsi Sastrowidagdo

Menteri Kehakiman : Supomo

Menteri Kemakmuran : Surachman

Menteri Keamanan Rakyat : Supriyadi

Menteri Kesehatan : Buntaran Marto Atmojho

Menteri Pengajaran : K. Hajar Dewantoro

Menteri Penerangan : Amir Syarifudin

Menteri Sosial : Iwa Kusumah Sumantri

Menteri Perhubungan dan PU : Abikusno Cokrosuyoso

Kecuali menteri penerangan yaitu Amir Syarifudin, semua jajaran menteri sudah menduduki jabatan dalam dinas Jepang. Gubernur dan Residen yang diangkat Presiden RI adalah bekas wakil gubernur dan wakil residen pada pemerintah Jepang. Fakta ini mengecewakan rakyat umumnya dan para pemuda khususnya, sebab mereka itu termasuk yang dinamakan kolaborator Jepang, sekalipun pengangkatan itu mengandung maksud usaha “pemindahan kekuasaan secara seksama”. 

Tidak hanya struktur dan pejabat pemerintahan, produk hukum Belanda diambil sebagai acuan hukum positif yaitu KUHP (Strafrech). Bahkan untuk mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng) di Jakarta pada 19 September 1945 , perlu izin dari tentara Dai Nippon. Mohamad Roem menceritakan, “Rapat raksasa itu bubar dibawah penjagaan bayonet dan mitraliur tentara Jepang yang tidak dibunyikan”.   

Setelah menyerah dari Sekutu, Jepang mulai melucuti dan membubarkan organisasi militer bentukannya seperti PETA, Heiho, Seinendan, Hizbullah dll. Perlucutan ini memicu munculnya kelompok-kelompok lasykar. Karena berbagai kelompok lasykar tersebut dibubarkan, muncullah kebutuhan untuk melakukan koordinasi antar pasukan. 

Sesungguhnya sudah ada upaya dari Jepang untuk mengembalikan kekuasaan kepada sekutu. Pada 10 September 1945, Panglima Balatentara Jepang di Jawa mengeluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada sekutu dan tidak kepada Indonesia.  Inilah yang memicu pertempuran sengit tentara Jepang dengan rakyat di berbagai daerah. 

Maka pada 15 September 1945 Lasykar-lasykar perjuangan se-Jawa Barat membentuk koordinasi yang dinamakan Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP) di Bandung. Pimpinan MDPP diantaranya dari pimpinan Hizbullah seperti Zainal Abidin, Kadar Solihat dan Kamran, juga dari pimpinan Sabilillah seperti Isa Anshari, Ajengan Toha, Kiai Yusuf Taujiri. 

MDPP sendiri pada 12 Februari 1946 berubah nama menjadi Majlis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang terdiri dari 61 organisasi sipil dan militer, dengan ketua Kamran dan bidang pertahanan di pegang Sutoko (Pesindo). Ketika lasykar tersebut dibubarkan dan melebur ke TNI, terjadi konflik antara Kamran dan Sutoko karena Kamran tidak mau mengintegrasikan lasykarnya ke TNI. Kamran ketika itu membawahi pasukan besar Hizbullah di Jawa Barat. 

Pada 29 September 1945, terjadi pendaratan pasukan sekutu di bawah komando Asia Tenggara (South East Asia Command) dibawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Mounbatten membentuk Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Phillip Christison. Tugas AFNEI di Indonesia adalah: 

1. menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang

2. membebakan para tawanan perang dan intermiran sekutu

3. melucuti dan mengumpulkan orang jepang untuk kemudian dipulangkan.

4. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil dan

5. menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang.

Dari berbagai tugas tersebut nampak bahwa pihak sekutu masih berupaya merebut kembali wilayah Indonesia dan tidak memperdulikan bahwa di Indonesia sudah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya kehadiran AFNEI diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah RI namun kemudian menjadi curiga setelah mengetahui di dalam AFNEI ikut membonceng tentara Belanda yaitu NICA (Nederland Indies Civil Administration). Terlebih sejak NICA mempersenjatai bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Hadirnya AFNEI dengan berbagai arogansinya inilah yang ikut mendorong lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 sebagai perubahan dari BKR. 

Dalam rangka menyusun struktur politik, Pemerintah melalui wakil presiden mengeluarkan maklumat tentang pembentukan partai-partai politik pada 3 November 1945.  Sebagai tindak lanjut dari maklumat ini, tokoh-tokoh Islam dan pengurus Masyumi lama berkumpul pada 7 November 1945 dan mendirikan partai yang bernama Masyumi. Pemrakarsa berdirinya Masyumi adalah Sukiman, Abikusno, Wahid Hasyim, dan Abdul Mukti. 

Susunan pengurus Masyumi diantaranya Ketua Umum : Hasyim Asyari, Ketua : Ki Bagus Hadikusumo, Wakil Ketua : Wahid Hasyim, Ketua Dewan Eksekutif : Sukiman, Sekretaris Dewan Eksekutif : SM Kartosuwiryo, Wakil Ketua I Dewan Eksekutif : Abikusno Cokrosuyoso, dan salah seorang anggota Majelis Syuro : Agus Salim.  Melihat susunan tersebut praktis hampir semua tokoh Islam bergabung di dalamnya. 

Awalnya yang bergabung dalam Masyumi hanya NU, Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, namun kemudian seluruh organisasi Islam bergabung. Dalam kongres pertama di Yogyakarta diputuskan bergabungnya Sabilillah  dan Hizbullah. Kongres juga memutuskan bahwa umat Islam harus dipersiapkan menjalankan jihad. Dalam programnya Masyumi merumuskan tujuannya yaitu, “Untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasarkan ajaran agama Islam.”  

Yang membuat rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masyumi sendiri adalah Kartosuwiryo atas saran Dr. Sukiman. Awal bulan Oktober 1945 di Surabaya yang hadir pada perencanaan tersebut selain Kartosuwiryo juga Wahid Hasyim, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso , rancangan AD ART Masyumi inilah yang kemudian disyahkan dalam kongres pertama Masyumi 7-11 November 1945 di Yogyakarta.

Kartosuwiryo memanfaatkan kedudukannya di Masyumi dan menjadikan Masyumi sebagai lembaga taktis untuk mencapai tujuan-tujuan politik Islam yaitu mempersiapkan berdirinya negara Islam sebagaimana visi dan misi politik yang sudah digariskan sebelumnya melalui PSII-KPK yang merupakan gerakan politik Hijrah. Untuk itu Kartosuwiryo mempersiapkan pendirian kantor pusat Maysumi daerah Priangan dan mengangkat orang-orang yang dikenalnya semasa aktif di PSII-KPK.

Kartosuwiryo mengadakan mengadakan perjalanan ke Jawa Barat untuk mempersiapkan pendirian kantor pusat Masjumi Daerah Priangan. Kantor pusat ini mula-mula dipimpin oleh K. Zainuddin tetapi pada akhir tahun itu badan pengurus dibubarkan dan dalam konferensi di Cicalengka K.H. Moechtar terpilih sebagai ketua yang baru. Sebagai ketua bidang informasi terpilih Isa Anshari dan K.H. Toha, sementara kepada Kamran, pengikut setia Kartosuwirjo, diserahkan sebagai pimpinan Sabilillah.  

Adapun susunan pengurus Masyumi daerah Priangan hasil Konferensi Cicalengka ada akhir tahun 1945 adalah sebagai berikut: 

Ketua:

1. Ketua Umum : K.H. Moechtar

2. Ketua I : Ismail Nafoe

3. Ketua II : Moch Syafei

Sekretaris : Aboen

Bendahara : H. Zaenoedin

Kepala Bagian :

1. Penerangan : Moh. Isa Anshari

2. Penyelidik : Moch Noer Lubis

3. Pertahanan : Amunoeddin Hamzah

4. Pimpinan Hizbullah : Zainoel Bachri

5. Pimpinan Sabilillah : K.H. Toha dan Kamran

6. GPII : ATR Hassan

Di Suffah sendiri yang terletak di Malangbong terdapat lasykar Hizbullah mendapat latihan kemiliteran dari Ateng Djaelani, seorang perwira PETA yang dulu, namun kini juga dilatih anggota-anggota Sabilillah. Kar¬tosuwirjo memperhitungkan, bahwa dengan pasti akan terjadi perjuang¬an bersenjata. Karena itu, dia mondar-mandir antara Yogyakarta, di mana terdapat pusat pimpinan Masjumi, dan Jawa Barat untuk meyakinkan rakyat akan kemungkinan meletusnya perang. Lembaga Suffah di Malangbong semakin sibuk dengan hadirnya kantor Masyumi ini beserta anak organisasinya Hizbullah dan Sabilillah. 

Pada bulan Juni 1946, di Garut kembali diadakan konferensi Mas-jumi Daerah Priangan dan akan dipilih pengurus yang baru. Karto-suwirjo oleh mayoritas anggota konferensi diminta untuk membentuk pengurus yang baru itu. Maka dia menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia sendiri menjadi wakil ketua. Sanusi Partawidjaja menjadi sekretaris badan pengurus, dan R. Oni memimpin bidang infor¬masi.   

Pada bulan Juni 1946, Kartosuwirjo mengucapkan sebuah pidato pada rapat lengkap pertemuan Masjumi Daerah Priangan yang berjudul Haloean Politik Islam. Pidato tersebut kemudian oleh SM Kartosuwiryo di buat ringkasan (chulasoh) yang selesai dirampungkan di Malangbong pada awal Ramadhan 1365 bertepatan dengan awal Agustus 1946.   Pidato tersebut menjelaskan prinsip dan sikap politik Kartosuwiryo yang tetap menjadikan berdirinya negara Islam di Indonesia sebagai cita-citanya. 

Kartosuwiryo menegaskan dalam pidatonya,

“Tiap-tiap warga Negara, terutama yang termasuk golongan umat Islam harus berpolitik, bahkan wajib berpolitik. Terlebih-lebih lagi karena berpolitik adalah mengandung kewajiban suci ialah kewajiban memerintah negeri kita sendiri dan kewajiban menjadi bangsa yang merdeka.” 

Lanjutnya, 

“Dalam hal ketata negaraan dan di dalam masyarakat suara jiwa umat Islam ini bolehlah kami terjamahkan sebagai berikut :

1. Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasarkan Islam.

2. Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum syara’ Islam dalam arti yang seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya.

3. Kiranya tiap-tiap muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya baik dalam bagian duniawi maupun dalam bagian ukhrawi.

4. Kiranya rakyat Indonesia teristimewa sekali umat Islam terlepaslah dari tiap-tiap penghambaan yang manapun jua.” 

Ditegaskan pula, 

“Dengan ringkas tapi tegas bolehlah kita katakana, bahwa cita-cita umat Islam (idiologi Islam) ialah hendak membangunkan dunia baru atau dunia Islam atau dengan kata-kata (terminology) lain Darul Islam. Sebab sepanjang keyakinan dan pendapat umat Islam, maka hanya dengan Islam di dalam bangunan Darul Islam sajalah masyarakat Indonesia khususnya dan segenap perikemanusiaan umumnya dapat terjamin keselamatannya, baik yang berhubungan dengan hidup dan peri kehidupannya maupun yang bersangkutan dengan kepentingan dan keperluan duniawian keselamatan dan kesejahteraan akhirat.” 

Keterlibatan Kartosuwiryo di dalam Masyumi muncul karena Kartosuwiryo masih menaruh harapan terhadap Masyumi yang memiliki tujuan ingin mendirikan negara hukum yang berdasarkan Islam. 

Kartosuwiryo secara jelas menjadikan Masyumi sebagai lembaga taktis untuk mencapai tujuan pokok yaitu mendirikan negara Islam di Indonesia. Sampai ketika Masyumi melalui kabinet pemerintah RI menjalankan hasil-hasil perjanjian Renville dan bahkan menandatangani Perjanjian Room Roiyen, maka sejak itulah Masyumi menjadi partai pemerintah. Maka sejak itu perpecahan antara Kartosuwiryo dan Masyumi menjadi definitif dan tidak terhindarkan lagi.  

Walaupun menentang persetujuan itu sendiri, segera sesudah penandatanganan perjanjian Renville, Masyumi menjadi partai pemerintah dan dengan demikian turut bertanggung jawab akan pelaksanaan persetujuan itu dan dengan sendirinya harus mematuhinya.

Masyumi Daerah Priangan melaksanakan konferensi berikutnya pada bulan April 1947 dan menghasilkan susunan Pimpinan Daerah Masyumi Daerah Priangan sebagai berikut: 

Ketua:

1. Ketua Umum : K.H. Moechtar

2. Ketua I : Moch Syafei

3. Ketua II : Djajarachmat

4. Ketua III : R. Oni

Sekretaris : Sanoesi Partawidjaya

Keuangan : M.A. Djoedjoe

Kepala Bagian:

Penerangan : Sar'an

Ekonomi : M.A. Djoedjoe

Politik : Djajarachmat

STII : Oto Soekmawidjaja

SDII : Kartadinata

Perburuhan : Parta

Muslimat : Nj. Ipah dan Nj. Rochani

Pertahanan : R. Oni

Hizbullah : Zaenoel Bachri

Sabilillah : K.H. Toha

GPII : Dahlan Loekman

Kalangan Masyumi Jawa Barat sangat menetang Biro Perdjuangan yang dibentuk oleh Menteri Pertahanan RI Amir Syarifuddin yang mengharuskan setiap laki laki yang berusia berusia 15 tahun ke atas untuk masuk ke dalam Biro tersebut. Hal ini menurut R. Oni, alasan untuk menentang rencana tersebut ialah, karena menurut R. Oni, usaha tersebut berusaha membuat umat Islam menjadi sosialis.  

Ketika itu pemerintah RI secara jelas telah disusupi pahak komunis, perjuangan ummat Islam sendiri sangat tertindas dalam kekuasaan politik disebabkan kekuasaan tentara di bawah pimpinan sayap kiri, maka untuk memperkuat bagian 92 ketentaraannya pada akhir April 1947 diadakan Konferensi Sabilillah seluruh daerah Priangan.

Hasil keputusan konferensi Sabilillah Daerah Priangan diantaranya adalah R. Oni, sebagai Wakil Ketua Masyumi daerah Priangan dan merangkap sebagai Pejabat Pertahanan Hizbullah/Sabilillah, diangkat menjabat formatur Sabilillah Daerah Priangan dengan amanat Konferensi sebagai berikut:

1. Selambat-lambatnya dalam waktu seminggu harus menetapkan dan mengumumkan susunan Pengurus Sabilillah Daerah Priangan.

2. Dalam waktu satu bulan harus sudah dapat membubarkan Organisasi Biro Perjuangan

3. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus dapat mengorganisir ketentaraan yang sesuai dengan ketentaraan yang sebaik-baiknya.

Akhirnya R. Oni dalam waktu satu minggu dapat menyusun Pengurus Sabilillah Daerah Priangan, yang terdiri dari: 

I. Ketua

Ketua Umum : R. Oni

Ketua I : R. Maskoen

Ketua II : Chaeroedin

II. Staf Umum : Zainal Mamoen

III. Keuangan : Soelaeman

IV. Staf Bagian

Pembelaan : Boesyari

Pertahanan I : R. Maskoen

Pertahanan II : Oedjoe

Penerangan dan Pendidikan : R. Oemar Hamzah dan K.H. Toha

Penyelidik : Saefoelloh

Sekretariat : Zainal Abidin dan Syamsoedin

Persenjataan : Oeboe dan Soekar

PMI : Abdoel Salam

Pendidikan Keterangan : Endjoe

V. Penasehat

1. Kiai Abdul Hamid, Pangkalan

2. Kiai Badroezaman, Biroe Tarogong Garut

Sejak kepemimpinan dipegang oleh R Oni, efektifitas organisasi Sabilillah dalam melebarkan sayapnya dalam hal ketentaraaan, lebih mampu mengembangkan sayapnya, diantaranya dengan mendirikan SKD (Sabilillah Keamanan Desa) di tiap-tiap desa.

Ketegangan antara RI dan Masyumi, lebih meruncing setelah Persetujuan Renville dilakukan, hal mana akhirnya menyebabkan pasukan Sabilillah berubah tujuan: Pertama, oleh karena tidak menyetujui politik yang dilakukan pemerintah dengan mengadakan Persetujuan Renvilla, bagi kalangan Masyumi Jawa Barat merupakan alasan yang kuat untuk melaksanakan cita-citanya mendirikan negara dengan dasar agama Islam. Kedua, oleh karena menurut pandangan TNI dan pemerintah RI sudah terlalu banyak dipengaruhi pihak sayap kiri (komunis). 

Dalam pada itu terjadi perkembangan baru dalam Perang Asia Pasifik. Setelah mengalahkan Jepang dalam perang Asia Pasifik, tentara sekutu, terutama Inggris, bermaksud menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang. Tugas ini dilaksanakan oleh South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. 

Untuk keperluan tersebut Mountbatten membentuk komando khusus yaitu AFNEI dengan menunjuk Phillip Christison sebagai pimpinannya. Sesuai perjanjian London tahun 1945 antara Inggris dan Belanda, sekutu di beri tugas memulihkan kedaulatan Hindia Belanda di Indonesia.

Pada 29 September 1945 tentara sekutu yang tergabung dalam komando AFNEI memasuki kota Jakarta dan kota lainnya, Belanda ikut menyelinap di bawah bendera NICA (Nederland Indies Civil Administration) dengan kepentingan memulihkan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. 

Masuknya AFNEI dan NICA ini mengobarkan banyak pertempuran dengan pihak Indonesia, diantaranya pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, pertempuran Ambarawa pada 21 Nopember 1945, pertempuran “Medan Area” pada 10 Desember 1945 di Sumatera, pertempuran 19 Desember 1945 di Kerawang-Bekasi, peristiwa Bandung lautan api pada 23 Maret 1946.

Pada bulan Januari 1946 Ibukota pemerintahan RI di pindah dari Jakarta ke Yogyakarta karena alasan keamanan. Situasi di Jakarta sudah sangat berbahaya, berhubung di Jakarta terdapat kontingen pasukan Belanda yang cukup besar.  Juga terjadinya pendaratan pasukan Marinir Belanda pada 30 Desember 1945 di Tanjung Priok. Untuk itu pada 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden RI pindah ke Yogyakarta, sedangkan PM Syahrir dan lain-lain tetap di Jakarta.  Maraknya pertempuran dengan sekutu ini bagaimanapun juga memberikan tekanan politik kepada pemerintah RI. 

Pada 15-25 Juli 1946 dilakukan Konferensi di daerah Malino Sulawesi Selatan oleh HJ Van Mook selaku Wakil Gunernur Jenderal Hindia Belanda. Konferensi bertujuan untuk mempersiapkan pembentukan negara-negara di wilayah negara Indonesia yang akan merupakan negara-negara bagian dari suatu negara federal di timur Indonesia.  

Setelah terjadi gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan Belanda pada 20 September 1946 di Jakarta, mulailah dijajaki kemungkinan melakukan perundingan lanjutan. Maka pada 10-15 November 1946 dilakukan perundingan di kota Linggar Jati Cirebon. Perundingan di pimpin Lord Killearn dari Inggris, sedangkan dari Pihak Belanda diwakili HJ Van Mook, sedangkan delegasi Indonesia diketuai oleh perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Soetan Sjahrir, Mohamad Roem, Haji Agus Salim, Mr. Soesanto, Dr. A.K. Gani, Mr. Amir Sjarifoedin, Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Pringodigdo dan Mr. Ali Boediardjo sebagai sekertaris jenderal delegasi Indonesia. 

Perundingan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu: 

1. Pemerintah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

2. RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat ini akan meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Negara-negara yang akan berfederasi dalam NIS adalah  RI, Kalimantan, dan Timur Besar (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian)

3. RIS dan Belanda akan membentuk Unie Belanda Indonesia dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.

Perjanjian Linggar Jati ditanda tangani pada 25 Maret 1947. Dengan adanya perjanjian ini, Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dengan wawasan seluruh Nusantara, yaitu wilayah bekas jajahan Belanda, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, nasibnya semakin tidak menentu. Perjanjian Linggar Jati secara nyata akan mengakui adanya sebuah negara baru yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Undang-Undang RIS sebagai landasannya. 

Melalui perjanjian ini pula Belanda untuk pertama kalinya mengakui Republik Indonesia sebagai negara secara ¬de facto, bukan de jure. Adapun pengakuan Belanda terhadap Republik Indonesia secara de jure itu baru tercapai pada Desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 sebagai tindak lanjut persetujuan KMB. 

Bahkan dengan perjanjian Linggar Jati ini menegaskan sebuah kenyataan bahwa riwayat RI sudah hancur dan hanya menjadi bagian dari RIS yang akan membentuk Uni Belanda Indonesia dengan Ratu belanda sebagai kepala pemerintahannya.

Setelah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, mulailah bermunculan pengakuan dari Negara lain terhadap RI yang hanya meliputi Sumatera, Jawa dan Madura itu. Daftar Negara yang memberikan pengakuan  tersebut yaitu:

1. Inggris pada tanggal 31 Maret 1947

2. Amerika Serikat pada tanggal 17 April 1947

3. Mesir pada tanggal 11 Juni 1947

4. Libanon pada tanggal 29 Juni 1947

5. Suriah  tanggal 2 Juli 1947

6. Afganistan pada tanggal 23 September 1947

7. Burma pada tanggal 23 Nopember 1947

8. Saudi Arabia pada tanggal 24 Nopember 1947

9. Yaman pada tanggal 3 Mei 1948

10. Rusia pada tanggal 26 Mei 1948

Berdasar kenyataan tersebut, kemudian ada yang menyebutkan bahwa, “Pengakuan de facto Belanda kepada RI merupakan hal/pengaruh yang positif bagi RI.” 

Munculnya kesepakatan Linggar Jati menjadikan Belanda semakin meneguhkan niatnya untuk memecah belah Indonesia. HJ van Mook selaku wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda memprofokasi berdirinya negara-negara di wilayah Indonesia. Pada 18-24 Desember 1946 dilakukan Konferensi Denpasar, dalam konferensi ini didirikan Negara Indonesia Timur dengan Sukawati sebagai Presiden dan Najmudin Daeng Nalewa sebagai Perdana Menteri.  Pada 4 Mei 1947 diproklamirkan berdirinya Negara Pasundan oleh Soeria Kartalegawa selaku kepala negara.  Pada 9 Mei 1947 diproklamirkan berdirinya “Dewan Federal Borneo Tenggara” dan pada 12 Mei 1947 didirikan Daerah Istimewa Borneo barat dengan Sultan Pontianak yaitu Hamid Algadri II sebagai kepala daerahnya.  

Perjanjian Linggar Jati mengurangi kedaulatan RI, baik dalam konteks batas-batas wilayah maupun kemerdekaan menentukan nasib sendiri. Wilayah RI secara politik berarti tinggal Jawa, Sumatera dan Madura, selebihnya kembali menjadi wilayah kekuasaan Belanda. 

Belum empat bulan perjanjian Linggar Jati disahkan, Belanda secara sepihak melakukan serangan militer. Pada sejak tengah malam hingga pagi hari tanggal 21 Juli 1947  pasukan Belanda melakukan Aksi Polisionil  pertama dengan merebut paksa semua pelabuhan penting di Jawa serta daerah-daerah lumbung logistik hasil-hasil bumi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Belanda meluruskan garis depannya melalui apa yang disebutnya dengan garis demarkasi “Van Mook”. 

Kekacauan yang ditimbulkan sangat hebat bukan hanya melanda kalangan politisi juga masyarakat secara umum. Belanda rupanya menganggap Linggar Jati sebagai taktik mengulur waktu untuk menguasai Indonesia.   

Serangan Belanda ini merupakan reaksi ketidakpuasan Belanda menerima jawaban dari Indonesia atas ultimatum yang disampaikan Belanda. Belanda memberikan ultimatum sebagai berikut: 

1. membentuk pemerintahan ad interim bersama,

2. mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama,

3. RI harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda,

4. menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama termasuk di darah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendermerie bersama),

5. menyelenggarakan pemilikan bersama atas impor dan ekspor.

Ultimatum Belanda ini keluar karena Belanda berpegang kepada penafsiran sendiri atas Perjanjian Linggar Jati. Sementara Ratu Whilhelmina menyatakan bahwa Indonesia akan dijadikan anggota commenwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda. 

Serangan Belanda pada akhir tahun 1947 ini menusuk sampai ke daerah Garut, sampai menyerang Malangbong dan membakar Suffah yang terletak di Cisitu, beberapa kilometer di luar kota Malangbong di jalan yang menuju Wado. Sangat disayangkan dalam serangan tersebut, seluruh perpustakaan Kartosuwiryo dengan semua catatan pribadinya terbakar habis bersama Suffah. 

Menurut Dodo Mohammad Darda, ada keanehan dari peristiwa penyerangan Belanda terhadap Institut Suffah tersebut, semua bangunan termasuk masjid yang terbuat dari kayu jati hangus terbakar, tetapi mimbar untuk khatib tidak hangus bahkan ketika diangkat mencederai dan ada yang mati tertimpa mimbar tersebut. 

Sebagai langkah taktis menghadapi agresi Militer Belanda pada bulan Desember 1947 diadakan rapat Masyumi cabang Garut yang di pimpin Kartosuwiryo dan dihadiri semua anak organisasi Masyumi. Rapat memutuskan Masyumi Cabang Garut menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI) sebagai langkah taktis menghadapi agresi militer Belanda yang mulai memasuki Garut. Sebelumnya telah di bentuk Majelis Pertahanan Oemat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan Ciamis. Bidang pertahanan yang sebelumnya di bawah pimpinan Raden Oni ditempatkan di bawah komando DPOI dan MPOI.  

Agresi militer Belanda memancing reaksi dunia internasional. Pada 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB melakukan sidang dan memerintahkan Belanda dan Indonesia menghentikan tembak menembak. Sebagai tindak lanjutnya tanggal 4 Agustus 1947 Indonesia dan Belanda mengumumkan gencatan senjata atas anjuran PBB. Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mengawasi gencatan senjata tersebut. Pada 27 Oktober 1947, KTN beranggotakan Australia, Belgia dan Amerika Serikat untuk mengawasi gencatan senjata, tiba di Jakarta pada 27 Oktober 1947. 

KTN berpandangan bahwa salah satu tugasnya adalah untuk mendamaikan Belanda dan Indonesia dan mengajak mereka ke meja perundingan. Pada 8 Desember 1947 dilakukan perundingan atas jasa KTN diatas kapal laut Amerika bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. RI diwakili Amir Syarifudin dan Belanda diwakili R Abdul Kadir Widjojoatmojo.  

Kedua delegasi menyepakati tiga hal pokok yaitu:

1. Persetujuan gencatan senjata yang antara lain berisi ketentuan diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal)

2. Pasal-pasal politik yang pada intinya berisi kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan jalan damai dan dengan bantuan KTN (12 pasal) 

3. Enam pasal tambahan dari KTN yang antara lain berisi ketentuan bahwa kedaulatan atas Indonesia tetap di tangan Belanda selama masa peralihan sampai kemudian kedaulatan diserahkan kepada pihak Negara Indonesia Serikat 

Secara ringkas perjanjian Renville menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut: 

1. wilayah RI meliputi Yogyakarta, Jawa Tengah, sebagian kecil Jawa Barat, sebagian kecil Jawa Timur dan Sumatera,

2. TNI harus keluar dan meninggalkan daerah yang telah dikuasai Belanda,

3. RI mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia sampai terbentuknya RIS.

Tanggal 17 Januari 1948  naskah Perjanjian Renville ditandatangani. Kedaulatan atas Indonesia praktis tidak lagi berada di tangan pemerintah RI tetapi di pegang oleh Pemerintah Belanda. 

Secara ringkas, persetujuan menyepakati gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi Van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indoneia, maka RI harus mengosongkan tempat-temmpat penting yang strategis bagi pasukannya di daaerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Wilayah RI tinggal Yogyakarta dan 8 keresidenan saja.  Daerah teritori RI dari semula adalah Pulau Jawa, Sumatera dan Madura, maka kini hanya menjadi tinggal 8 Keresidenan yaitu Kedu, Yogyakarta, Solo, Madiun, Kediri, Banjarnegara, Purwodadi dan Jombang.

Sebagai konsekuensi Perjanjian Renville, pemerintah pusat RI di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta, beserta seluruh pasukan TNI. TNI di beri waktu hanya 2 hari (1-2 Februari 1948) untuk mengosongkan daerah yang dikuasainya, termasuk wilayah Jawa Barat. Maka 29.000 tentara divisi Siliwangi pindah ke Yogyakarta, sebagai akibatnya muncul situasi baru di Jawa Barat. Adapun pasukan Hizbullah yang bersikeras untuk tetap tinggal bersama rakyat dan tidak ikut bersama TNI diperkirakan berjumlah 4.000 pasukan.  Adapun keseluruhan pasukan TNI di Jawa yang harus pindah dan masuk ke daerah Republik pasca Renville berjumlah 35.000 orang. 

Selain Sabilillah yang telah menolak meleburkan diri kedalam tubuh TNI dan tetap tinggal di Jawa Barat, masih terdapat beberapa Satuan Hizbullah di daerah Cirebon dibawah kepemimpinan Agus Abdullah, di Cicalengka dibawah pimpinan Atjeng Kurnia, dan di Balubur Limbangan di Bawah pimpinan Zainal Abidin yang mengambil langkah yang sama. Satuan-satuan Sabilillah yang berada di daerah Wanaraja dan Garut di bawah komando R. M. Enoch  dan di daerah sekitar Gunung Cupu, sebelah utara Tasikmalaya dibawah komando R. Oni. 

Daerah-daerah yang ditinggalkan RI dan TNI meninggalkan daerah-daerah yang secara hukum disebut dengan daerah vacum of power (kosong kekuasaan). Dan kemudian pihak Belanda yang menguasai daerah koloninya mendirikan berbagai negara-negara boneka buatannya sendiri. Dr. Moh Hatta termasuk yang kecewa dan menyalahkan Perdana Menteri Amir Syarifudin yang menyerahkan Jawa Barat ke Belanda. Sedangkan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sangat kecewa sampai ia memutuskan mengundurkan diri dari TNI. 

Penduduk di Jawa Barat sama sekali tidak mengerti tindakan politik pemerintah RI di Yogyakarta yang memindahkan pasukan TNI ke Jawa Tengah. Mereka merasa seolah-olah ditinggalkan begitu saja dan diserahkan kepada Belanda. Rasa amarah ditimbulkan oleh keputusan bahwa pasukan Republik yang hijrah ke Jawa Tengah harus membawa semua senjata mereka. Suasana di pihak pengikut Kartosuwirjo dengan realistis diceritakan kembali dalam tulisan gerakan Darul Islam, di mana "Amir Sjarifuddin la'natoellah" dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik "supaya Umat Islam khususnya dan rakyat Jawa Barat semuanya tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda".   

Bukan saja di kalangan rakyat jelata, sebagian kalangan milisi/lasykar juga menolak perintah meleburkan diri ke dalam tubuh TNI, menolak menyerahkan senjata kepada TNI dan memilih tinggal di Jawa Barat.  Pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat (lebih dari 4000 personil) menolak untuk mematuhinya. 

Pasca Renville, Belanda mendorong lahirnya negara-negara kecil di daerah kosong kekuasaan tersebut. Seperti lahirnya Negara Madura pada 23 Januari 1948 dengan Wali Negara yaitu RA Tjakraningrat yang diresmikan melalui beslit Wakil Gunernur Jeneral Hindia Belanda pada 20 Februari 1948.  Negara Jawa Barat (Pasundan) berdiri pada 5 Maret 1948 dengan dilantiknya RAA Wiranatakusumah sebagai Wali Negara.  Negara Sumatra Timur berdiri pada 24 Maret 1948 dengan dilantiknya Dr Tengku Mansyur sebagai Wali Negara.  Negara Jawa Timur lahir pada 16 Nopember 1948 dengan Wali negara RTP Achmad Kusumonegoro.  Kesemuanya itu tergabung dalam BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg). 

Adapun kalangan politisi Islam, khususnya tokoh-tokoh yang menganut haluan politik Islam berpola Hijrah mencermati perkembangan ini dan kemudian mengambil langkah-langkah taktis. Pada bulan Desember 1947 itu pula diadakan rapat Masyumi cabang Garut yang di pimpin oleh Kartosuwiryo dan dihadiri semua anak organisasi Masyumi.  

Rapat tersebut memutuskan untuk merubah Masyumi cabang Garut menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI) yang nantinya akan mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda yang sudah mulai memasuki wilayah Garut. Pada waktu sebelumnya sudah berdiri Majelis Pertahanan Oemat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan Ciamis. DPOI dan MPOI merupakan lembaga yang mengkoordinasikan perlawanan bersenjata terhadap belanda. Masalah pertahanan Sabilillah yang sebelumnya di bawah pimpinan R Oni ditempatkan di bawah komando DPOI dan MPOI. 

Sedikit tentang kemiliteran di Indonesia perlu dikemukakan bahwa pada masa itu, selain TNI yang memegang persenjataan, terdapat cukup banyak kesatuan lasykar rakyat yang juga memegang senjata dan memiliki keahlian kemiliteran. Hal ini karena pada masa pendudukan Jepang, pasukan Jepang melatih rakyat dengan keahlian militer agar sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk bertempur melawan pasukan sekutu. Berbagai lembaga diklat militer seperti yang diadakan oleh Peta dan Hizbullah juga marak diselenggarakan, termasuk lembaga Institut Suffah yang di kelola mandiri oleh Kartosuwiryo.

Melihat perkembangan pasca perjanjian Renville, situasi politik Indonesia mengalami perubahan sangat drastis. Pengurangan wilayah de-facto RI dan penarikan pasukan TNI ke Yogyakarta adalah usaha-usaha Belanda dalam rangka persiapan pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda. 

Dengan terpecahnya teritori Indonesia, diserahkannya kedaulatan RI kepada Belanda, berdirinya berbagai Negara boneka, maka berakhir-pulalah sejarah RI dalam wilayah Nusantara. Untuk selanjutnya Ummat Islam Bangsa Indonesia yang mengambil alih estafeta penyelamatan kemerdekaan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan Islam yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.