Latar Belakang Konferensi

 

Kelompok "BIntang-Bulan" berpandangan bahwa lahirnya darulah Islam merupakan hasil kesekapatan yang dibentuk melalui sebuah kongres umat Islam (syuro ummah) di daerah Cisayong, Jawa Barat. Kesepakatan tersebut, menurut kelompok ini,  secara idiologis merupakan kelanjutan dari perjuangan Islam dengan prinsip Politik Hijrah yang dirintis oleh SM Kartosuwiryo melalui Sarekat Islam-PSII. Majelis Islam lahir melalui Syuro Ummah di Cisayong yang dihadiri oleh para ulama dan tokoh-tokoh pergerakan khususnya di tanah Pasundan.

Sepak terjang Majlis Islam dapat dilihat dalam 2 (dua) dokumentasi yang dikeluarkan oleh Madjlis Penerangan Negara Islam yang menjelaskan peristiwa-peristiwa menjelang proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) yang berjudul “Sejarah Goenoeng Tjoepoe” dan “Landjoetan Sejarah Goenoeng Tjoepoe”. Dari sekian banyak karya tulis tentang NII dan Kartosuwiryo, karya tulis Holk Horald Dengel berjudul “Darul Islam; Kartosuwirjos um einen islamischen Staat Indonesien” terbit tahun 1986 terbilang yang paling banyak memberikan perhatian serius atas dokumen ini. Ini bisa dilihat dari cukup banyaknya isi dokumen tersebut dikutip oleh Dengel dalam penulisan karya tulisnya, khususnya pada Bab III yaitu Jalan Menuju Sebuah Negara Islam. 

Majlis Islam sebagaimana ditulis dalam dokumen Sajarah Gunung Cupu, merupakan, “Sebuah pemerintahan Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”  dan pimpinan-pimpinannya harus menjadi pemimpin yang bertanggung jawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh Indonesia kelak”.  Melalui keberadaan Majlis Islam, rencana mendirikan negara Islam di Indonesia dipersiapkan dan dirancang dengan sangat sistematis melalui berbagai konferensi politik (syuro siyasah). 

Berdirinya Majlis Islam secara aqidah, syariah dan siyasah, dilatarbelakangi oleh keinginan umat Islam bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan memiliki pemerintahan sendiri  yang berdasar Islam. Kesadaran politik ini sudah tersemai sejak dilakukannya kongres-kongres Sarekat Islam pada awal abad XX. Di tengah berkobarnya Perang Dunia I, kongres nasional Centraal Sarekat Islam tahun 1916 telah menuntut pemerintahan sendiri (zelf bestuur-self government) . 

Keterangan Pokok Sarekat Islam (SI) yang dirumuskan tahun 1917 menetapkan suatu asas, yang diantaranya menyebutkan, sebuah tuntutan tentang, “Pemerintahan sendiri (zelfbestuur) sebagai tujuan perjuangan terhadap penjajahan dan menentang semua penghisapan oleh “kapitalisme yang buruk.”  

Keterangan Asas SI (beginsel verklaring) ini disempurnakan tahun 1921 dan pada bagian keempat Keterangan Asas disebutkan,

“Syahdan bagi keyakinan kaum Sarekat Islam, kemerdekaan rakyat Hindia ini yang sejatinya, yaitu yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat dari perhambaan macam apapun juga, ialah dengan jalan kemerdekaan yang berasaskan keIslaman…”  

Disebutkan pula, “Kemerdekaan yang berasas ke-Islaman …, yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat daripada penghambaan macam apapun juga.” 

Berdirinya Majlis Islam dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan situasi politik di Indonesia pasca Agresi Militer Belanda II dan Perjanjian Renville.  Bahwa situasi tersebut menyebabkan Indonesia berada dalam kondisi kekosongan kekuasaan (vacuum of power), saat negara RI jatuh akibat agresi Belanda. Unsur-unsur konstitutif yang membentuk negara RI seperti wilayah dan pemerintah sudah habis dan jatuh, sementara rakyat dibiarkan di managsa oleh Belanda. 

Majlis Islam, menurut terminologi yang bisa ditemukan dalam Pedoman Darma Bakti NII Jilid 1, merupakan wujud pemerintahan pertama Negara Islam Indonesia. Dengan demikian, Majelis Islam sesungguhnya merupakan pemerintahan Islam bagi Umat Islam Bangsa Indonesia. Periode Majlis Islam adalah sejak dibentuk pada Konferensi Cisayong tanggal 10-11 Februari 1948 sampai 24 Agustus 1948. Wujud kongkrit-formal pemerintahan NII sendiri terbentuk sejak dikeluarkannya Maklumat No.1 Pemerintah NII tanggal 25 Agustus 1948 yang ditandatangani oleh Imam Pemerintah NII. 

Dalam latar belakang ini akan diuraikan situasi politik yang terjadi di Indonesia menjelang kejatuhan Belanda di Indonesia tahun 1939, lahirnya proklamasi Indonesia tahun 1945 dan pembentukan Majlis Islam tahun 1948. 

Menjelang kejatuhan Belanda di Indonesia, berdiri sebuah organisasi politik nasional yang bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Tujuan GAPI adalah mempersatukan semua partai politik di Indonesia. Dasar-dasar aksi GAPI adalah hak mengatur diri sendiri, persatuan kebangsaan yang meliputi seluruh rakyat Indonesia dan yang bersendikan demokrasi dalam hal politik Indonesia, yang menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. 

Pengurus harian GAPI terdiri atas satu sekretariat, yang pertama kali duduk disana adalah Abikusno (PSII) sebagai penulis umum, Thamrin (Paridra) sebagai Bendahara dan Syarifudin (Gerindo) sebagai pembantu penulis. Hampir seluruh partai politik Indonesia bergabung dalam GAPI ini, termasuk didalamnya PSII pimpinan Abikusno. Konferensi GAPI yang pertama pada 19-20 September 1939 dengan tegas menuntut Indonesia berparlemen dan menyerukan kepada seluruh partai politik Indonesia untuk menyatukan langkah dalam mengambil keputusan berkaitan dengan terbentuknya parlemen Indonesia yang sesungguhnya. 

Pada 13-14 September 1941 GAPI mengadakan kongres di Yogyakarta dan memutuskan membentuk parlemen di luar Volksraad yaitu Majelis Rakyat Indonesia (MARI) yang dianggap sebagai badan perwakilan rakyat Indonesia.  MARI di pimpin oleh satu badan pengurus yang terdiri atas wakil federasi-federasi besar yang anggotanya sebagian besar jadi anggota MARI. Yang duduk sebagai badan pengurus itu adalah wakil-wakil dari: 

1. GAPI (federasi organisasi-organisasi politik) : Abikusno Cokrosuyoso (PSII), Sukarjo Wiryopranoto (Parindra), Oto Iskandardinata (Pasundan), Sartono (Gerindo) dan IY Kasimo (PPKI);

2. MIAI (federasi organisasi-organisasi Islam) : Wahid Hasyim (NU), Wondoamiseno (PSII), Sukiman (PII), KH Mas Mansur dan Umar Hubeisy (Muhammadiyah);

3. PVPN (federasi perkumpulan sekerja dari Pegawai Negeri) : Suroso, Atik Suardi, Mr. Hindromartono, Rooslan Wongsokusumo, Driyowongso.

Sekalipun mengambil jarak dengan pemerintah Belanda, GAPI dan MARI tetap merupakan pendukung setia pemerintah Belanda. Hal ini terbukti ketika Jepang mengobarkan Perang Asia Timur Raya (Dai Toa no Senso) dengan menyerang Pearl Harbour di Pasifik pada tanggal 7 Desember 1941, MARI bersama-sama GAPI mengeluarkan surat sebaran (maklumat) tertanggal 13 Desember 1941 yang isinya, "dianjurkan kepada seluruh anggota supaya berdiri di belakang pemerintah Belanda". Jadi semacam semacam pernyataan kesetiaan kepada Pemerintah Belanda untuk mempertahankan keamanan dan ketentraman.  

Atas keputusan MARI-GAPI diatas, Abikusno yang mengatasnamakan pimpinan PSII menyatakan keluar dari MARI maupun GAPI pada 25 Desember 1941. Abikusno menganggap keputusan GAPI-MARI dikeluarkan Sartono dan Sukarjo (selaku Pengurus Harian dalam Dewan Pimpinan) tanpa diketahui anggota Dewan Pimpinan lainnya ketika mengeluarkan maklumat 13 Desember 1941 diatas.  Dalam perkembangannya kemudian terlihat bahwa Abikusno sibuk dalam berbagai kedudukan politik di bawah pengawasan Jepang.  

Penyerbuan Jepang atas Pearl Harbour terjadi karena Jepang terpancing profokasi Presiden Amerika Amerika Franklin Roosevelt yang mengeluarkan perintah embargo atas seluruh perdagangan Amerika dan Jepang terhitung Oktober 1941. Jepang yang sudah mengobarkan Perang Asia Timur Raya (Dai Toa no Senso) menggerakkan bala tentaranya dan merangsek masuk ke Indonesia. Tanggal 1 Maret 1942 bala tentara Jepang yang ke-16 yang di pimpin Letjend. Hitosyi Imamura mendarat di tiga tempat di Jawa.  

Pendaratan pasukan Jepang ini mengawali misi penaklukan pemerintahan Belanda. Hanya dalam waktu satu minggu, tepat pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Belanda di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Penyerahan kekuasaan dilakukan di Bandung oleh Letjend H. Ter Poorten Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama tentara Sekutu kepada Jepang. Sejak itulah dimulai masa pendudukan Jepang atas Indonesia yang berjalan dalam waktu yang sangat singkat namun memberikan kerugian sosial yang tidak sedikit. 

Dengan jatuhnya Belanda, harapan untuk bebas dari penjajahan dan memperoleh kemerdekaan sendiri semakin kuat. Namun harapan ini pupus ketika Panglima Militer Jawa Pemerintah Jepang yaitu Letjend Hitosyi pada 20 Maret 1942 mengeluarkan dekrit yang melarang seluruh struktur dan kegiatan politik di Indonesia, kecuali yang dapat digunakan untuk keperluan militer Jepang.   Dari semua kelompok politik, yang dilarang terang-terangan adalah partai politik Islam. Dengan demikian ini menandai terpisahnya Islam dari politik praktis pada masa Jepang.

PSII pimpinan Abikusno mengumumkan menutup kantor pusatnya di Jakarta tanggal 9 Mei 1941 dan memerintahkan semua cabang-cabangnya untuk segera menyusul. Abikusno sendiri menjadi pegawai pemerintah Jepang dengan menjadi penasehat pertama dan kemudian Kepala Kantor Pekerjaan Umum dan menduduki pos-pos penting dalam gerakan politik yang diperkenankan Jepang.  Berbagai kader PSII kemudian diberikan kesempatan untuk “beramal sholeh dalam lapangan” yang dipilihnya, baik dalam MIAI (seperti Wondoamiseno) maupun Dokuritsu Zumbi Tyoosakai.  

Dr. Sukiman bersama Wali Al Fatah yang memimpin Partai Islam Indonesia (PII) juga ikut membubarkan partainya.  Dengan demikian praktis seluruh partai politik Islam pada masa kolonialisme Belanda membubarkan diri atau menghentikan kegiatannya secara terpaksa. 

Adapun PSII-KPK dan Institut Suffah tetap melanjutkan aktifitasnya dan bergerak secara klandestin (tertutup).

Sekalipun Jepang menghentikan gerakan politik Islam, Jepang tetap menyadari bahwa potensi umat Islam di Indonesia perlu digerakkan demi tujuan-tujuan politik Jepang. Di tengah tekanan militer dari luar negeri, Jepang menyadari untuk memenangkan peperangan mau tidak mau harus melibatkan rakyat Indonesia yang memiliki jumlah sangat besar. Peristiwa-peristiwa berikutnya akan memperlihatkan sikap Jepang yang memberikan peluang tumbuhnya unsur-unsur kekuatan umat Islam.

Pada akhir Maret 1942 Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (Shumubu). Jepang juga membentuk Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung dan Cahaya Asia). Melalui 3A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes pada 4 September 1942, di mana hasilnya Umat Islam, atas restu Jepang, akan menghidupkan kembali MIAI dan memilih W Wondoaminseno sebagai Ketua.  

Dengan berdirinya MIAI, maka sponsor utama MIAI yaitu Muhammadiyah dan NU juga ikut bergerak. MIAI pada masa Jepang ini adalah satu-satunya badan kontak umat Islam yang diperbolehkan terus hidup dan bergerak dalam bidang keagamaan. Boleh dibilang bahwa MIAI adalah satu-satunya kekuatan politik Islam yang diizinkan Jepang. 

Kartosuwiryo sendiri memanfaatkan MIAI, ketika tahun 1943 menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul Mal, sebirah organisasi kesejahteraan dari MIAI yang baru dibentuk di bawah ketua WOndoamiseno, juga sebagai ketua MIAI. Dengan anggota komite Kasman Singodimedjo, SM Kartosuwiryo, Moh Sjafe'i, K Taufiqurrahman dan Anwar Tjokroaminoto sedangkan WIranatakusumah menjadi penasehat kehormatan. Dalam beberapa bulan Baitul Mal telah didirikan di 30 kabupaten di Jawa.  Pada bulan Mei 1943, Kartosuwiryo bersama-sama WOndoamiseno dan Safe'i bertemu dengan residen Jepang Aseha di Bandung dalam kaitannya dengan pendirian Maitul Mal di lima kabupaten di Priangan. 

Dengan demikian re-organisasi muslim yang diakui pemerintah Dai Nippon tersebut. Sangat beralasan bilamana organisasi Masyumi in isanga dibenci oleh golongan nasionalis, sebab popularitasnya hampir di setiap daerah mengalahkan organisasi sekuler, terutama pada tahun 1944. 

Lembaga yang mengurusi masalah kesejahteraan ummat ini tidaklah disia-siakan begitu saja oleh para pemimpin Islam Indonesia, melainkan dengan taktis sekali mereka berusaha "mendirikan jaringan sel Islam d pulau Jawa dalam usaha mempersatukan rakyat atas nama Allah, dan bukan atas nama Tenno Haika, Sang Kaisar ..." 

Tetapi sayangnya hal ini segera tercium oleh Penguasa militer Dai Nippon, dan kamudian MIAI dibubarkan pada Oktober 1943. Karena pengaruh MIAI yang semakin besar dan masih mampu menggerakkan massanya membuat Jepang berfikir ulang untuk mengganti nama MIAI.  

Maka tanggal 11 November 1943 Jepang mensponsori pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).  Pembentukan Masyumi di topang oleh kekuatan dua organisasi massa Islam yaitu Muhammadiyah dan NU. Dengan terbentuknya Masyumi, tak ayal lagi merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam.   

Hasyim Asyari dari unsur NU diangkat sebagai ketua Masyumi, pimpinan Masyumi di sumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik macam apapun. Dengan menurunkan Wondoamiseno yang merupakan tokoh PSII dari pimpinan MIAI dan mengangkat Hasyim Asyari (NU) dan A Kahar Muzakir (Muhammadiyah) sebagai pimpinan Masyumi, Jepang mengharapkan Masyumi dapat menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam dari politik.  

Maksud politik pemerintah Jepang dengan mendirikan Masyumi adalah Jepang tidak ingin gerakan rahasia Baitul Mal MIAI menjadi preseden bagi kekuatan-kekuatan Islam sejenis yang bertujuan untuk menggulingkan Jepang. Masyumi tentu diharapkan untuk memudahkan kontrol Jepang atas gerakan umat Islam. Pada akhirnya MIAI pada kongresnya sendiri pada Oktober 1945 membubarakan dirinya sendiri, dan Baitul Maal juga akhirnya dibubarkan.

Di sisi lain, Jepang juga mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada 8 Maret 1943 yang dimaksudkan sebagai sapay militer kaum nasionalis, namun dengan tujuan satu yaitu : memecah belah.  

Dalam pada itu, para pemimpin Islam juga mengusulkan kepada pemerintah Jepang agar membentuk pasukan pertahanan untuk umat muslim Jawa. Maka demikianlah tanggal 8 Desember 1944 Jenderal Kamakichi Harada, Panglima Militer Jepang di Jawa mengizinkan pembentukan korps relawan muslim "Hizbullah", demi memenuhi "kewajiban bagi rakyat Asia Timur, dan terutama rakyat Jawa, membela negeri sendiri"  dan dengan demikian resmilah ummat Islam Indonesia memiliki organ militer sebagaimana kaum nasionalis yang telah lebih dahulu memiliki PETA.

Pada 7 September 1944, dalam sidang istimewa Teikoku Gikai (parelemen Jepang) ke-85 di Tokyo, Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Perdana Menteri Tojo) mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Jepang, bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari. Ia menjanjikan kemerdekaan Indonesia “di masa depan yang dekat”.   Hal ini karena situasi Jepang semakin buruk karena dalan bulan Juli 1944 pulau Saipan yang letaknya strtageis jatuh ke tangan Amerika yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Jepang.

Pernyataan ini memberikan harapan besar kepada kalangan pergerakan di Indonesia, sekalipun sangat boleh jadi pernyataan ini dikeluarkan untuk mencari dukungan rakyat Indonesia akibat direbutnya Pulau Saipan tersebut. 

Tewasnya Laksamana Isorokku Yamamoto di atas pulau Bougaincille dan kalahnya secara telak Armada Kekaisaran ke-1 dalam pertempuran merebut Pulau Guadaicanal yang berlangsung sengit pada Agustus 1942 sampai Februari 1943, bukan saja menghentikan kemajuan mesin perang Jepang, tetapi juga membuat situasi perang terbalik. Terbukti kemudian pada bulan Desember 1944 Jepang menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai organisasi militer Masyumi.  Hizbullah di rancang oleh Jepang untuk menjadi Korps cadangan bagi PETA.  

Jika PETA merupakan tentara profesional yang di latih selama beberapa tahun, maka Hizbullah merupakan organisasi kader yang mendapat pelatihan militer selama tiga bulan. Mobilisasi yang dilakukan Jepang melalui Hizbullah mampu membentuk 5000 pejuang Muslim yang siap berperang di bawah panji Masyumi.

Meski bertindak sebagai korps cadangan PETA dan berada setingkat di bawah PETA dalam hal kualifikasi , namun kehadiran Hizbullah amatlah berarti bagi umat Islam, sebab sebagaimana terlihat nanti, inti pasukan Darul Islam yaitu Tentara Islam Indonesia berasal dari satuan Hizbullah ini, ditambah dengan "Sabilillah" sejoli Hizbullah yang dibentuk November 1945 .

Melihat situasi yang kondusif ini, dengan segera SM Kartosuwiryo sejak 1944 mengaktifkan kembali Institut Suffah secara terbuka sebagai lembaga pelatihan militer.  Jumlah yang dilatih mencapai 2000 orang, mereka inilah yang kelak mendukung perjuangan Kartosuwiryo menegakkan Negara Islam Indonesia. Alumni Institut Suffah juga menjadi anggota Hizbullah dan Sabilillah, dua sayap militer Masyumi yang kemudian dilebur menjadi TII di Jawa Barat. Kartosuwiryo memanfaatkan momentum-momentum strategis yang diberikan Jepang untuk kepentingannya melanjutkan misi PSII-KPK. 

Bulan Februari 1944, Jepang mendirikan Djawa Hokokai yaitu perhimpunan kebaktian rakyat Jawa sebagai pengganti Poetra (Poesat Tenaga Rakyat). Dalam perhimpunan ini paraa politikus Indonesia diikutsertakan. Kartosuwiryo yang saat itu bekerja di Kantor Pusat Djawa Hokokai (Djawa Hokokai Chuo Honbu) di bagian Chosakai yang tugasnya ialah mengumpulkan data-data ekonomi dan informasi lainnya yang penting. 

Panglima Tertinggi Jepang di Jawa yaitu Letjen. Saiko Syikikan Kumakici Harada pada tanggal 1 Maret 1945 mengulang janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, bahkan ia sekaligus mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dengan maklumat Gunseikanbu (Panglima Militer Jepang untuk Indonesia). 

Maksud tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan danlain-lainnya yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. 

Anggota BPUPKI di lantik oleh Gunseikanbu pada 29 April 1945. Sebagai Ketua BPUPKI adalah Dr. Rajiman Wedyodiningrat dan sekretaris AG Pringgodigdo, sedangkan wakil ada dua orang yaitu dari Jepang dan Indonesia. Tugas pokok BPUPKI adalah mempelajari dan menyusun rencana berdirinya negara dan pemerintahan Indonesia. 

BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali pada 29-31 Juni dan 10-16 Juli 1945 dengan hasil perumusan rancangan dasar negara dan rancangan undang-undang dasar. Pada saat memasuki bahasan kerangka dasar idiologis bagi negara Indonesia terjadi polemik antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Kelompok nasionalis Islam berpandangan bahwa negara Indonesia kelak harus berdasar Islam, ini di tentang oleh kelompok nasionalis sekuler yang menginginkan dasarnya adalah kebangsaan. 

Mengingat berlarutnya pembicaraan tentang kerangka dasar Negara Indonesia, pada 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk sub panitia yang terdiri dari 9 orang untuk membahas kerangka dasar negara Indonesia. 9 orang panitia tersebut adalah Sukarno, M Hatta, M Yamin, Subarjo, Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno. Panitia sembilan ini menghasilkan sebuah piagam bernama Piagam Jakarta untuk menjembatani kepentingan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dalam masalah dasar negara.  

Kehadiran kaum nasionalis Islam dalam wadah BPUPKI dan juga kelak PPKI yang merupakan wadah bentukan Jepang merupakan konsistensi sikap tokoh-tokoh nasionalis Islam dalam memperjuangkan cita-cita berdirinya negara (Islam) dengan melakukan kerjasama dengan pihak penguasa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.