Sa'i

   

A. Pengertian 

1. Bahasa 

Istilah sa’i sebenarnya aslinya berbunyi as-sa’yu (السَّ عيُ). Karena huruf terakhir tidak diucapkan huruf vokalnya, maka umumnya orang menyebutnya menjadi sa’i saja.  

Secara bahasa sa’i maknanya ada banyak, di antaranya masyaa yang artinya berjalan (مَشََى). Selain itu juga bermakna qashada (قَصدَ) yang artinya menuju ke suatu arah. Dan juga bermakna ‘amila (عَمِلَ) yang artinya mengerjakan sesuatu. 

Kata sa’a – yas’a (سَعََى - یَسْعَى) juga digunakan di dalam AlQuran Al-Karim dengan makna berjalan secara sungguhsungguh.  عيوا الﹾبذﹶرا إِلﹶى ذِكﹾرِ اللَّ هِ ووعفﹶاس

Maka berjalanlah kamu menuju dzikrullah dan tinggalkan jual-beli (QS. AL-Jumuah : 9) 

Juga bisa bermakna berjalan dengan bergegas-gegas, sebagaimana disebutkna di dalam ayat berikut ini :   لِينسروا الﹾمبِعمِ اتِيا قﹶو ى قﹶالعيس لﹲجةِ ردِِينى الﹾمأﹶقﹾص اءَ مِِنجو

Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusanutusan itu”. (QS. Yasin : 20) 

Namun makna yang terkait dengan ritual ibadah haji adalah masyaa yang artinya berjalan, karena antara makna bahasa dengan makna istilah dalam manasik haji nyaris tidak ada perbedaan. 

2. Istilah 

Secara istilah fiqih, ritual ibadah sa’i didefinisikan oleh para ulama sebagai : 

قﹶطﹾع الﹾمسافﹶةِ الﹾكﹶائِنةِ بين الصفﹶا والﹾمروةِ سبع مراتٍ ذﹶهابا وِإِيابا 

بعد طﹶوافٍ فِِي نسكِ حج أﹶو عمرةٍ  

Menempuh jarak yang terbentang antara Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali pulang pergi setelah melaksanakan ibadah tawaf, dalam rangka manasik haji atau umrah. 

B. Masyru’iyah 

Ibadah sa’i adalah ibadah yang disyariatkan di dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT berfirman : 

إِنَّ  الصفﹶا والﹾمروةﹶ مِِن شعاِئرِ اللَّ هِ فﹶمن حج الﹾبيت أﹶوِ اعتمر فﹶلاﹶ 

جناح علﹶيهِ أﹶنﹾ يطوف بهِِما  

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya  mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri  kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 158) 

Selain itu juga ada hadits nabi SAW yang memerintahkan untuk melaksanakan ibadah sa’i dalam berhaji.    َّا فﹶإِنوعقﹶال : اسةِ وورالﹾمفﹶا والص نبي هِجى فِِي حعس  بِيأﹶنَّ  النِ

اللَّ ه كﹶتب علﹶيكﹸم السعي 

Bahwa Nabi SAW melakukan ibadah sa’i pada ibadah haji beliau antara Shafa dan Marwah, dan beliau bersabda,”Lakukanlah ibadah sa’i, karena Allah telah mewajibkannya atas kalian. (HR. Ad-Daruquthuny) 

C. Kedudukan Sa’i 

Secara umum ibadah sa’i adalah merupakan rukun haji, dimana ibadah haji tidak sah tanpa mengerjakan sa’i. Namun ada juga sebagian ulama yang memposisikan sa’i bukan sebagai rukun haji tetapi sebagai wajib haji. 

1. Rukun Haji 

Jumhur ulama diantaranya mazhab Al-Malikiyah, AsySyafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat menempatkan sa’i sebagai salah satu rukun dalam manasik haji dan juga rukun dalam ibadah umrah, dimana rangkaian ibadah haji dan umrah itu tidak sah tanpa adanya sa’i. 

Aisyah dan Urwah bin Az-Zubair radhiyallahuanhuma termasuk di antara kedua shahabat nabi yang mendukung hal ini. 

Dalil yang mereka kemukakan adalah dalil dari AlQuran dan As-Sunnah, di antaranya firman Allah SWt :   اِئرِ اللَّ هِعش ةﹶ مِِنورالﹾمفﹶا وإِنَّ  الص

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. (QS. Al-Baqarah : 158) 

Selain itu juga ada dalil dari sunnah nabi SAW :  يعالس كﹸملﹶيع بكﹶت ا فﹶإِِنَّ  اللَّ هوعاس

Lakukanlah ibadah sa’i, karena Allah telah mewajibkannya atas kalian. (HR. Ad-Daruquthuny) 

Hadits ini menggunakan lafadz kataba (كَتَبَ) yang secara 

umum maknanya menjadikannya ibadah yang tidak boleh ditinggalkan alias rukun. Selain itu juga melihat kepada praktek sa’i yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abu Musa Al-Asy’ari, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :  هِلﹶيع لَّ ِى اللَّ هص بِيثِﹶِنِي الِنبع قﹶالﹶ هنع اللَّ هِ ضِِيِىٍ روسأﹶبِيِ م نع  لﹶلﹾتا أﹶهاء فﹶقﹶالﹶ بِمطﹾحبِالﹾب وهو ن فﹶجِئﹾتمم بِالﹾيإِلﹶى قﹶو لَّ مسو  كعلﹾ مِقﹶالﹶ ه لَّ مسهِ ولﹶيِع لَّ ى اللَِّ هص بِيلالِ النِِكﹶإِِه لﹶلٍﹾٍتأﹶه قِﹸِلﹾت  ة ثﹸمورالﹾمفﹶا وبِالصت ويبِالﹾب نِي فﹶطﹸفﹾترلا فﹶأﹶم ي قﹸلﹾتده مِن

أﹶمرِنِي فﹶأﹶحلﹶلﹾت 

Dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahuanhu berkata,” Nabi SAW mengutusku kepada suatu kaum di negeri Yaman. Ketika aku sudah kembali aku menemui Beliau ketika Beliau berada di Batha'. Beliau berkata kepadaku,”Bagaimana cara kamu berihram (memulai hajji)?”. Aku menjawab,”Aku berihram sebagaimana Nabi SAW berihram”. Beliau bertanya lagi,”Apakah kamu ada membawa hewan qurban?”. Aku menjawab”Tidak”. Maka Beliau memerintahkan aku agar aku melakukan thawaf di Baitullah dan sa'i antara Shafa dan  Marwah lalu memerintahkan aku pula agar aku bertahallul.  

(HR. Bukhari dan Muslim) 

Hadits ini menegaskan bahwa urutan yang benar dalam haji adalah setelah melakukan thawaf diteruskan dengan sa’i. Sehingga sa’i termasuk rukun dalam haji. 

Dan ada hadits yang tegas-tegas menyebutkan bahwa Allah SWT tidak menerima haji yang tidak ada sa’i di dalamnya. 

ما أﹶتم اللَّ ه حج امرئٍ ولا عمرته لﹶم يطﹸف بين الصفﹶا والﹾمروةِ  

Allah tidak akan menerima haji atau 'umrah seseorang yang tidak melakukan sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al marwah.(HR. Bukhari) 

عمرو بن دِِينارٍ قﹶالﹶ سأﹶلﹾنا ابنِ عمِر عن رجلٍ طﹶاف بِالﹾبيتِِ الﹾعمرةﹶ ولﹶم يطﹸف بين الصفﹶا والﹾمروة أﹶيأﹾتِي امرأﹶته فﹶقﹶالﹶ قﹶدقﹶدِمِم النبِي صلَّ ى اللَّ ه علﹶيهِ وسلَّ م فﹶطﹶاف بِالﹾبيتِ سبعا وصلَّ ى خِلﹾف الﹾمقِﹶامِ رِكﹾعتينِ وطﹶاف بين الصفﹶا والﹾمروة وقﹶد كﹶانﹶ لﹶكﹸم فِي رسول اللَّ ه أﹸسوةﹲ حسنةﹲ وسأﹶلﹾنا جاِبِر بن عبدِ اللَّ هِ فﹶقﹶالﹶ لﹶا يقﹾربنها حتى يطﹸوف بين الصفﹶا والﹾمروة 

Telah menceritakan kepada kami Al Humaid berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar berkata, Kami pernah bertanya kepada Ibnu 'Umar tentang seseorang yang thawaf di Ka'bah untuk 'Umrah tetapi tidak melakukan sa'i antara Shafa dan marwah. Apakah dia boleh berhubungan (jima') dengan isterinya? Maka Ibnu 'Umar berkata, Nabi SAW datang Makkah, lalu thawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali, shalat di sisi Maqam dua rakaat, lalu sa'i antara antara Shafa dan marwah. Dan sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah. Dan kami pernah bertanya kepada Jabir bin 'Abdullah tentang masalah ini. Maka ia menjawab, Jangan sekali-kali ia mendekati isterinya hingga ia melaksanakan sa'i antara bukit Shafa dan marwah.(HR. 

Bukhari) 

Dalil-dalil di atas tegas sekali mewajibkan atau menjadikan sa’i sebagai salah satu rukun dalam ibadah haji. 

2. Wajib Haji 

Namun pendapat Al-Hanafiyah agak berbeda dengan pendapat jumhur di atas. Mazhab ini meyakini bahwa sa’i bukan termasuk rukun di dalam ritual haji dan umrah. Kedudukannya dalam pendapat mereka adalah sebagai kewajiban haji.  

Perbedaan antara rukun dan wajib adalah bahwa rukun itu lebih tinggi kedudukannya dan bila ditinggalkan, ibadah haji itu rusak dan tidak sah. Seperti orang shalat tapi tidak membaca surat Al-Fatihah. Sedangkan kalau disebutkan bahwa sa’i sebagai rukun haji, meski tetap harus dikerjakan, namun bila ditinggalkan, tidak merusak rangkaian ibadah haji. Tetapi orang yang meninggalkan ibadah sa’i dalam rangkaian ibadah hajinya, diwajibkan membayar denda, yang diistilahkan dengan dam. 

Istilah dam (دم) secara bahasa artinya darah. Namun secara istilah fiqih, dam disini maknanya menyembelih seekor kambing. Jadi ibadah hajinya tetap sah asalkan dia membayar denda itu. 

Yang mendukung pendapat ini antara lain Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Az-Zubair, dan Ibnu Sirin. 

Bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal secara pribadi termasuk salah satu yang berpendapat bahwa sa’i itu hanya sunnah dalam haji. 

Dalil yang mereka gunakan antara lain dengan ayat yang sama dengan dalil jumhur ulama, hanya saja mereka beralasan bahwa ayat itu tidak secara tegas menyebutkan keharusan mengerjakan sa’i.    ابهِِم فيطَّ و هِ أﹶنﹾلﹶيع ناحفﹶلاﹶ ج رتمأﹶوِ اع تيالﹾب جح نفﹶم

Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya  mengerjakan sa'i antara keduanya. (QS. Al-Baqarah : 158) 

Ayat itu hanya menyebutkan ‘tidak ada dosa’ bila mengerjakan sa’i. Jadi kesan yang didapat adalah kalau kita mengerjakan sa’i, maka kita tidak berdosa.  

Kisah bahwa mengerjakan sa’i itu merupakan manasik haji orang-orang jahiliyah. Dahulu  mereka melaksanakan ihram untuk berhala (Manat), mereka juga melaksanakan sa'i antara bukit Shafaa dan Marwah. Ketika Allah menyebutkan thawaf di Ka’bah Baitullah tapi tidak menyebut sa’i antara bukit Shafaa dan Marwah dalam Al-Quran, mereka bertanya kepada kepada Rasulullah. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini yang intinya tidak melarang atau memperbolehkan mereka melaksanakan sa’i. 

Dengan demikian, perintah melaksanakan sa’i datang setelah sebelumnya dianggap terlarang. Dalam ilmu ushul fiqih, bila ada suatu perintah datang setelah sebelumnya perintah itu jusrtu merupakan suatu larangan, maka hukumnya bukan wajib, melainkan hukumnya boleh.  

Dan bahwa sa’i itu digolongkan sebagai ibadah sunnah, dalilnya bagi mereka yang menyunnahkan adalah sebutan syiar-syiar Allah di dalam ayat ini. Syiar biasanya terkait dengan sunnah dan bukan kewajiban. 

D. Syarat Sa’i 

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ibadah sa’i, yaitu : 

a. Dikerjakan Setelah Thawaf 

Ibadah sa’i hanya dikerjakan sebagai rangkaian ibadah thawaf di sekeliling ka’bah yang dikerjakan setelah thawaf. Dan tidak dibenarkan bila yang dilakukan sa’i terlebih dahulu. 

Mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan bahwa thawaf yang dilakukan adalah thawaf yang sifatnya rukun atau thawaf qudum (kedatangan). Dan tidak boleh ada pemisahan antara keduanya dengan ibadah yang lain, seperti wuquf di Arafah. 

Mazhab Al-Hanafiyah membolehkan didahului dengan thawaf walau pun hanya thawaf yang sifatnyanya sunnah bukan wajib.  b. Tertib 

Yang dimaksud dengan tertib disini adalah ibadah sa’i dikerjakan dengan : 

1) Dimulai dari Shafa menuju Marwah dihitung sebagai putaran yang pertama. 

2) Dari Marwah menuju Shafa dihitung sebagai yang kedua.  

3) Dari dari Shafa menuju Marwah dihitung sebagai putaran yang ketiga. 

4) Dari Marwah menuju Shafa dihitung sebagai yang keempat.  

5) Dari dari Shafa menuju Marwah dihitung sebagai putaran yang kelima. 

6) Dari Marwah menuju Shafa dihitung sebagai yang keenam.  

7) Dari dari Shafa menuju Marwah dihitung sebagai putaran yang ketujuh atau putaran yang terakhir. 

Dengan demikian, selesailah rangkaian ibadah sa’i.  

E. Rukun Sa’i 

Rukun sa’i adalah berjalan tujuh kali antara Shafa dan Marwah menurut jumhur ulama. Dasarnya adalah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau melaksanakan sa’i tujuh kali. Dan juga didsarkan atas apa yang telah menjadi ijma’ di antara seluruh umat Islam. 

Bila seseorang belum menjalankan ketujuh putaran itu, maka sa’i itu tidak sah. Dan bila dia telah meninggalkan tempat sa’i, maka dia harus kembali lagi mengerjakannya dari putaran yang pertama. Dan tidak boleh melakukan tahallul bila sa’i belum dikerjakan. 

Sedangkan menurut Al-Hanafiyah, rukunnya hanya empat kali saja. Bila seseorang telah melewati empat putaran dan tidak meneruskan sa’inya hingga putaran yang ketujuh, dia wajib membayar dam. 

F. Sunnah Sa’i  

Ada beberapa hal yang disunnahkan ketika kita mengerjakan ibadah sa’i, antara lain : 

1. Al-Muwalat 

Istilah al-muwalat (الموالات) maksudnya bersambung, atau berkesinambungan atau tidak terputus antara satu putaran ke putaran berikutnya dengan jeda yang lama atau panjang. Ketersambungan ini bukan rukun atau kewajiban, sifatnya hanya sunnah, yang apabila ditinggalkan tidak akan merusak sa’i, namun mengurangi pahalanya. 

2. Niat 

Berniat untuk melakukan sa’i adalah termasuk sunnah menurut jumhur ulama. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa berniat termasuk syarat sa’i.  

Kalau dikatakan bahwa berniat sa’i itu hukumnya sunnah, maka bila seseorang secara tidak sengaja berjalan antara Shafa dan Marwah tanpa berniat melakukan sa’i, lalu tiba-tiba dia ingin menjadikan langkah-langkahnya yang sudah dilakukan tadi sebagai ibadah sa’i, hukumnya sudah dianggap sah. Dan ini merupakan keluasan syariat Islam. 

Sebagaimana tidak ada syarat niat ketika wuquf di Arafah. 

3. Mengusap Hajar Aswad Sebelumnya 

Disunnahkan sebelum memulai sa’i untuk mengusap hajar aswad sebelumnya, setelah mengerjakan shalat sunnah tawaf dua rakaat. Namun kesunnahan ini hanya berlaku manakala mengusap hajar aswad itu dimungkinkan atau tidak ada halangan. Di masa lalu hal seperti itu masih dimungkinkan, karena jumlah jamaah haji tidak terlalu membeludak. 

Namun di masa sekarang ini, dengan jumlah 3 juta jamaah haji, nyaris mustahil hal itu dilakukan oleh semua orang dalam waktu yang hampir bersamaan.  

Maka sebagai gantinya, tidak perlu mengusap secara langsung, cukup dengan melambaikan tangan saja dari kejauhan, yaitu dari atas Shafa.   

4. Suci Dari Hadats 

Disunnahkan ketika melakukan sa’i dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil atau hadats besar. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW : 

عنِ عائِشةﹶ رضِِي اللَّ ه عنها أﹶنَّ  النِبِي  قﹶاِل لﹶهِا لﹶما حاضتِِ : افﹾعلِي كﹶما يفﹾعل الﹾحاج غﹶير أﹶنﹾ لاﹶ تطﹸوفطﹸوفِيِي بِالﹾبيت حتى تطﹾهرِي  

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW berkata kepadanya ketika mendapat haidh (saat haji),”Kerjakan semuanya sebagaimana orang-orang mengerjakan haji, namun jangan lakukan thawaf di Ka’bah hingga kamu suci. (HR. Bukhari) 

Hadits ini hanya menyebutkan bahwa bagi wanita yang sedang mendapat haidh tidak boleh melakukan thawaf, namun hadits ini tidak menyebutkan larangan untuk melakukan sa’i. Sehingga sa’i tetap boleh dilakukan oleh orang yang berhadats. 

5. Naik ke Atas Bukit 

Bagi laki-laki disunnahkan untuk naik ke atas bukit Shafa dan Marwah dan saat di atas lalu menghadap ke kiblat, namun bagi perempuan tidak disunnahkan. Al-Imam AnNawawi menyebutkan bahwa setidaknya naik setinggi tubuhnya, meski tidak sampai ke atas puncaknya. 

Di masa lalu hal ini masih terasa berat karena Shafa dan Marwah memang masih berbentuk bukit. Namun di masa sekarang ini, keduanya sudah tidak lagi berbentuk bukit, kecuali hanya gundukan batu buatan yang tingginya tidak seberapa.  

Apalagi bila saat melakukan sa’i dikerjakan di lantai dua dua atau tiga, kita sama sekali sudah tidak lagi melihat gundukan batu-batuannya. Maka di masa sekarang ini, sunnahnya hanya menghadap ke kiblat atau ke ka’bah saja.  

6. Berlari Kecil Pada Bagian Tertentu 

Disunnahkan untuk berlari kecil pada bagian tertentu, khusus bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan.  

Kesunnahannya menurut jumhur ulama adalah pergi dan pulang, yaitu dari Shafa menuju Marwah atau pun dari Marwah menuju Shafa. Namun menurut Mazhab AlMalikyah, kesunnahannya hanya sebatas dari Shafa ke Marwah, sedangkan kembali dari Marwah ke Shafa tidak merupakan sunnah. 

Di masa sekarang ini, bagian tertentu itu ditandai dengan lampu berwarna hijau sejauh beberapa meter. Sepanjang beberapa meter itu, gerakan sa’i yang hanya dengan berjalan kaki biasa kemudian disunnahkan untuk diubah menjadi berlari-lari kecil, hingga batas lampu hijau itu selesai, kembali lagi dengan berjalan biasa. 

7. Al-Idhthiba’ 

Mahzab As-Syafi’iyah mensunnahkan al-idhthiba’ ketika melakukan sa’i. Yang dimaksud dengan al-idhthiba’ (الاضطباع) adalah mengenakan pakaian ihram dengan cara kain mengenakan baju ihram di bagian bawah ketiak kanan dan dililitkan ke atas pundah kiri. Sehingga pundak kanan tidak tertutup, yang tertutup adalah pundak kirinya. 

Kesunnahan ini sebenarnya berlaku pada saat melakukan ibadah tawaf. Namun mazhab Asy-Syafi’iyah mengqiyaskannya dengan sa’i.  

8. Shalat Dua Rakaat Sesudahnya 

Mazhab Al-Hanafiyah mensunnahkan bagi mereka yang telah selesai menjalani ibadah sa’i untuk mendekati ka’bah dan melakukan shalat sunnah 2 rakaat. Maksudnya agar sa’i itu diakhiri dengan shalat sunnah sebagaimana yang disunnahkan pada tawaf.  

Dalam masalah ini, para ulama di mazhab Asy-Syafi’iyah berbeda pendapat. Al-Juwaini menyatakan bahwa hal itu hasan (baik) dan menambahkan ketaatan. Sebaliknya, Ibnu Shalah mengatakan justru hal itu kurang disukai karena dianggap mengada-ada.  

Al-Imam An-Nawawi mengomentari bahwa apa yang dikatakan Ibnu Shalah itu lebih kuat.   

H. Larangan Sa’i dan Kebolehan 

Larangan-larangan yang berlaku ketika sedang melakukan sa’i diantaranya : 

1. Berjual-beli 

Di masa sekarang ini tidak terbayang orang melakukan jual-beli ketika sedang melaksanakan ibadah sa’i, karena secara fisik, semua tempat sa’i sekarang ini telah dijadikan satu tempat khusus, tidak ada pasar atau warung tempat berjualan. 

Namun di masa lalu, tempat untuk melakukan sa’i memang melewati para pedagang, dimana orang biasa berjual-beli. Maka sangat dimungkinkan orang-orang yang sedang melaksanakan sa’i berhenti sejenak sekedar untuk berbelanja. Dan hal itu termasuk di antara larangan sa’i yang banyak disebutkan oleh para ulama di masa lalu. 

2. Menunda Sa’i 

Di antara larangan dalam ibadah sa’i adalah menunda pelaksanaannya dari waktu yang utama, sehingga terpisah jauh waktunya dari ibadah tawaf sebelumnya, yang seharusnya bersambung atau berdekatan. 

Kecuali bila terputusnya karena ada keharusan untuk mengerjakan shalat fardhu yang sudah waktunya untuk dikerjakan. Hal ini tidak membatalkan sa’i dan tidak perlu mengulanginya dari awal.  

Adapun hal-hal yang dibolehkan dalam sa’i adalah semua hal yang dibolehkan dalam thawaf, seperti berbicara, makan dan minum.  

I. Jarak Shafa dan Marwah 

Jarak antara Shafa dan Marwah tidak terlalu jauh, tidak sampai 400 meter jaraknya.  

Kalau kita lakukan penelusuran di berbagai literatur, jarak antara Shafa dan Marwah memang berbeda-beda. 

Disebutkan di dalam kitab mazhab Al-Hanafiyah, AlBahru Ar-Raiq Syarh Kanzi Ad-Daqaiq bahwa jarak antara Shafa dan Marwah adalah 750 dzira’. 

Sedangkan di dalam kitab mazhab Asy-Syafi’iyah, Fathu Al-Wahhab bi Taudhih Syarh Minhaj Ath-Tuhllab, disebutkan jaraknya adalah 777 dzira’.  

Dalam kitab Akhbaru Makkah karya Abul Walid Muhammad bin Abdullah Al-Azraqi, disebutkan bahwa jarak antara Shafa dan Marwah kurang lebih 766,5 dzira’ atau setara dengan 383,25 meter. Dan kalau tujuh putaran berarti setara dengan 2.687,5 meter.  

Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (6) Haji, Jakarta: DU Publishing, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.