A. Pengertian Miqat
Kata miqat adalah bentuk tunggal, jama’nya adalah mawaqit. Lafadz miqat adalah bentuk mashdar miimi yang memberi keterangan tentang waktu atau tempat. Sehingga secara istilah, miqat berarti sesuatu yang terbatas atau dibatasi, baik terkait dengan waktu atau tempat.
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ : 103)
Dalam ibadah haji, miqat adalah batas waktu dan tempat. Maksudnya, ibadah haji memiliki waktu yang tertentu dan juga dilakukan di tempat tertentu. Dimana ibadah itu tidak sah apabila dikerjakan di luar waktu dan tempatnya.
B. Miqat Zamani
Sesuai dengan namanya, yang dimaksud dengan miqat zamani adalah batas waktu dimana ibadah haji itu boleh atau sah dikerjakan.
Di dalam Al-Quran Al-Kariem, Allah Swt berfirman tentang adanya batas waktu untuk mengerjakan ibadah haji. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia danhaji. (QS. Al-Baqarah : 189)
Haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan yang telah diketahui. (QS. Al-Baqarah : 197)
Al-Quran memang menyebutkan bahwa haji itu dilakukan pada bulan-bulan tertentu, namun bulan apa sajakah itu, ternyata tidak disebutkan.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, namun tidak ada masalah, karena sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam AlQurthubi dalam tafsirnya, beliau menuliskan bahwa tidak disebutkannya nama-nama bulan haji karena dianggap orang-orang Arab di masa itu sudah tahu bulan apa saja yang dimaksud di ayat itu.
Sebab ritual haji masih berlangsung sejak masa nabi Ibrahim hingga masa Rasulullah Saw diutus pada abad ketujuh masehi. Orang-orang Arab jahiliyah tidak pernah melakukan ritual haji kecuali pada tiga bulan qamariyah, yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan bulan Dzulhijjah.
Maka pemikiran untuk memindahkan waktu pelaksanaan ritual haji ke selain tiga bulan itu memang bid’ah yang tidak pernah dikerjakan manusia, bahkan tidak dikerjakan orang sepanjang ada sejarah ka’bah di muka bumi.
Kalau pun muncul pendapat-pendapat yang berbeda di antara para ulama, bukan pada ketiga bulan itu, tetapi pada apakah bulan Dzulhijjah itu seluruhnya merupakan bulan haji ataukah hanya sebagiannya saja. Pada bagian detail itulah umumnya para ulama berbeda pendapat.
1. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini berpendapat bahwa waktu yang dibenarkan untuk mulai melaksanakan ihram dalam rangkaian ibadah haji adalah sejak masuknya bulan Syawwal. Dan masuknya waktu itu ditandai sejak terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Bisa tanggal 29 atau bisa juga tanggal 30 Ramadhan, mengingat bulan qamariyah punya dua kemungkinan.
Artinya, sejak masuknya malam 1 Syawwal, sesungguhnya sudah masuk ke bulan-bulan haji, dimana kalau mau melaksanakan ibadah haji sudah dibenarkan, karena sudah masuk waktunya.
Sedangkan batas akhirnya adalah masuknya bulan Dzulhijjah itu sendiri. Dan hari itu ditandai dengan terbitnya fajar tanggal 1 Dzulhijjah. Tepatnya sesaat sebelum terbit fajar di hari pertama bulan Dzulhijjah. Itulah waktu dibolehkannya mulai berihram dalam mazhab ini.
Mereka yang baru memulai berihram setelah lewat waktu ini tidak lagi Sedangkan sejak terbitnya fajar di hari pertama bulan Dzulhijjah itu hingga menjelang terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Dzulhijjah adalah waktu untuk tahallul dari haji.
2. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Kedua mazhab ini menetapkan bahwa meski waktu haji itu tiga bulan, tetapi batas akhirnya tidak sampai akhir bulan Dzulhijjah, melainkan hingga hari kesepuluh bulan itu. Bila telah lewat hari itu sudah tidak dibenarkan lagi untuk melakukan ibadah haji. Kalau ada orang yang mulai berihram sejak tanggal 1 Dzulhijjah maka hajinya tidak sah.
Sebab selewat hari itu tidak ada lagi rukun haji, semua sudah dilaksanakan di hari tersebut. Tanggal 11, 12 dan 13 yang kita sebut hari tasyrik hanya untuk mengerjakan ritual melontar jamarat saja dan bermalam, tetapi tidak ada ritual haji yang merupakan rukun.
Tawaf ifadhah, sa’i, jumrah aqabah, menyembelih, bercukur, seluruhnya sudah dikerjakan pada hari kesepuluh itu.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Mazhab ini punya pendapat yang kurang lebih mirip dengan kedua mazhab di atas, hanya saja ada sedikit perbedaan.
Perbedaanya adalah bahwa bila seseorang berihram di luar waktu-waktu haji itu, maka hukumnya berubah menjadi umrah biasa. Sedangkan dalam pendapat Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah, hukumnya tidak sah atau gugur.
4. Miqat Zamani Umrah
Adapun untuk umrah, jumhur ulama mengatakan tidak ada batasan miqat zamaninya. Setiap saat, setiap hari, setiap bulan adalah waktu-waktu yang sah untuk melaksanakan ibadah umrah.
Dasar pendapat itu adalah bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan umrah dua kali, yaitu di bulan Syawwal dan bulan Dzulqa’dah.
Selain itu ada banyak hadits yang menyebutkan bahwa tentang waktu-waktu umrah yang tersebar di sepanjang tahun. Misalnya beliau Saw pernah melaksanakan umrah di bulan Ramadhan. Bahkan beliau Saw menyebutkan bahwa umrah di bulan Ramadhan itu dari sisi keutamaan atau pahala, sebanding dengan pahala haji. Umrah di bulan Ramadhan pahalanya seperti pahala berhaji. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi selain itu di bulan-bulan yang seharusnya dilaksanakan ibadah haji pun, beliau Saw pernah melakukan ibadah umrah. Sebagaimana disebutkan pada hadits shahih berikut : Rasulullah Saw melaksanakan ibadah umrah empat kali, semuanya di bulan dzulqa’dah, bersama dengan perjalanan hajinya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau menganjurkan untuk memperbanyak ibadah umrah, karena antara satu umrah dengan umrah lainnya, akan menghapus dosa. Antara satu umrah dengan umrah lainnya menjadi penghapus dosa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga dalam pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah, tidak mengapa bila seorang mengerjakan umrah tidak hanya sekali dalam sehari. Semakin banyak tentu semakin baik. Dan karena umrah lebih baik dari tawaf di sekeliling ka’bah.
Namun pendapat sebaliknya datang dari mazhab AlMalikiyah. Mazhab ini cenderung berpendapat bahwa umrah itu yang dilakukan lebih dari sekali dalam setahun, hukumnya makruh.
Sedangkan Al-Hanafiyah memakruhkan dengan nilai haram bila ibadah pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah. Hal itu karena waktu-waktu itu dikhususkan hanya untuk ibadah haja saja.
C. Miqat Makani
Sesuai dengan namanya juga, yang dimaksud dengan miqat makani adalah batas tempat dimana ibadah haji itu boleh atau sah dikerjakan.
Dan sebaliknya, apabila ada orang yang niatnya mau berhaji, lalu melewati miqat makani tanpa berihram, maka hal itu merupakan pelanggaran yang mewajibkan adanya denda.
Tetapi bila melewati miqat makani tanpa niat mau melakukan ritual ibadah haji atau umrah, artinya tanpa berihram, hukumnya memang tidak ada larangan.
Jadi miqat makani itu merupakan titik batas di atas tanah dengan jarak tertentu dari Ka’bah di Mekkah, tempat dimulainya ritual ibadah haji. Dan ritual ibadah haji itu ditandai dengan mengerjakan ihram.
1. Dasar Penetapan
Penetapan batas-batas miqat makani tidak disebutkan di dalam Al-Quran, melainkan disampaikan oleh Rasulullah SAW lewat hadits yang shahih Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata,"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menetapkan batas (miqat makani) buat penduduk Madinah adalah Dzulhulaifah, Buat penduduk Syam adalah Juhfah, buat penduduk Najd adalah Qarnulmanazil, buat penduduk Yaman adalah Yalamlam. Semua berlaku buat penduduk tempat itu dan orang-orang yang melewatinya yang berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah. dan barangsiapa yang berada lebih dekat dari tempat-tempat itu, maka miqatnya adalah dari tempat tinggalnya sampaisampai penduduk Mekkah (miqatnya) dari Mekkah (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAWbersabda,"Penduduk Madinah mulai berhaji dari Madinah adalah Dzulhulaifah, Buat penduduk Syam adalah Juhfah, buat penduduk Najd adalah Qarn". Dan Abdullah bin Umar berkata,"Telah sampai kabar kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Buat penduduk Yaman mulai berhaji dari Yalamlam.". HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits-hadits shahih di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa setidaknya Rasulullah SAW menyebutkan ada lima tempat di sekitar tanah haram yang dijadikan sebagai miqat makani.
1. Dzul Hulaifah
Sekarang ini tempat ini lebih dikenal sebagai Abar ‘Ali atau Bi’ru ‘Ali yang artinya sumur Ali. Tempat ini menjadi miqat bagi penduduk Madinah dan juga miqat bagi jamaah haji yang datang melalui rute tersebut. Jaraknya kurang lebih 480 km dari kota Mekkah.
Jamaah Haji Indonesia gelombang pertama akan mengambil miqat di tempat ini. Hal itu karena sebelum mendatangi Mekkah, mereka berziarah terlebih dahulu ke Masjid Nabawi di Madinah. Lalu pada hari yang telah dijadwalkan, barulah mereka bergerak dari Madinah menuju Mekkah. Dan mereka mulai niat haji, berihram dan bertalbiyah pada titik ini.
2. Al-Juhfah
Tempat ini adalah miqat bagi penduduk Arab Saudi bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, serta penduduk negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, dan Palestina) atau yang melewati rute mereka. Jaraknya sekitar 157 km dari kota Mekkah.
3. Qarnul Manazil
Di dalam salah satu hadits disebutkan dengan nama qarn saja dan dalam hadits yang lain disebut lengkap qarnulmanazil. Sekarang sering juga disebut dengan As-Sail.
Tempat ini menjadi miqat bagi penduduk Najd dan negara-negara teluk, Irak (bagi yang melewatinya), dan Iran dan juga penduduk Arab Saudi bagian selatan di sekitar pegunungan Sarat.
Jarak dari Qarnul Manazil ke kota Mekkah kalau diukur hari ini sekitar 79 km. Itu berarti para jamaah haji yang datang ke Mekkah lewat jalur ini harus sudah mulai berihram sejak jarak ini.
4. Yalamlam
Nama Yalamlam adalah nama yang digunakan di masa lalu. Sekarang sering disebut dengan As-Sa’diyyah. Tempat ini disebut oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih sebagai miqat penduduk negara Yaman dan bangsa-bangsa lain yang melaluinya.
Di masa lalu saat masih menumpang kapal laut, Yalamlam menjadi miqat buat jamaah haji dari Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya.
Jaraknya sekitar 130 km dari Kota Mekkah. Di antara semua titik yang disebut oleh Rasulullah SAW, Yalamlam adalah titik yang paling luas, berwujud seperti lembah besar yang membentang sejauh 150 km dari arah timur ke barat, pada posisi selatan kota Jeddah.
5. Dzatu ‘Irqin
Sekarang sering disebut dengan Adh-Dharibah. Tempat ini menjadi miqat penduduk negeri Irak dan wilayahnya seperti Kufah dan Bashrah, juga buat penduduk negaranegara yang melewatinya. Jaraknya sekitar 94 km dari kota Mekkah.
2. Naik Pesawat Melewati Miqat
Sepanjang 14 abad penetapan miqat ini nyaris tidak pernah menimbulkan polemik yang berarti. Sebab tempattempat itu tidak pernah berubah atau bergeser dari posisinya.
Para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia pasti akan melewati tempat-tempat yang telah disebutkan Rasulullah SAW itu. Kalau pun ada perubahan, hanya perubahan nama tempat saja, tetapi tempat miqat itu tetap pada posisinya sejak zaman nabi.
Tetapi ketika manusia sudah menemukan pesawat terbang, dan para jemaah haji mulai menumpang besi terbang ini, mulai muncul sedikit masalah. Sebab pesawatpesawat terbang ini tidak secara tepat berhenti di tempattempat yang telah disebutkan oleh Rasulullah Saw itu. Pesawat itu terbang pada ketinggian 27.000 kaki dari permukaan laut pada saat melewati batas-batas miqat itu.
Namun para ulama kontemporer memberikan jalan keluar, yaitu miqat para jamaah yang menumpang pesawat itu adalah garis-garis imajiner yang menghubungkan titiktitik yang ada pada masing-masing miqat.
Dan sangat mudah untuk menemukan garis imaginer itu dengan pesawat modern, karena pasti dilengkapi dengan alat semacam Global Positioning System (GPS) dan sejenisnya.
GPS akan memberitahukan dengan pasti posisi pesawat terhadap titik-titik koordinat tertentu di muka bumi, bahkan juga bisa memastikan kecepatan pesawat, ketinggian (altitude), perkiraan waktu yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan dan sebagainya.
Maka mudah saja bagi jamaah haji yang ingin memulai berihram, karena kapten akan memberitahukan bahwa dalam hitungan beberapa menit lagi pesawat akan berada di atas posisi titik miqat.
Dan tanpa harus mendarat di titik-titik yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW itu, para jemaah mulai berganti pakaian ihram, berniat dan melantunkan talbiyah, dari ketinggian sekian ribu kaki di atas permukaan laut. Ketika pesawat mendarat di Bandar Udara King Abdul Aziz di kota Jeddah, mereka memang telah rapi jali dengan pakaian ihram.
Jadi persoalannya dianggap selesai, karena sudah ada solusi yang pada akhirnya diterima semua pihak.
3. Apakah Jeddah Miqat?
Tetapi solusi seperti oleh sebagian jamaah haji masih jadi masalah. Rupanya model berihram dan mengambil miqat di angkasa puluhan ribu kaki dari permukaan laut masih dipermasalahkan, setidaknya oleh pihak yang mengurus jamaah haji dari Indonesia.
Entah apa alasannya, yang muncul adalah ketetapan untuk tidak mulai berihram di atas miqat-miqat tadi, tetapi mulai mengambil miqat dari Bandara King Abdul Aziz di kota Jeddah.
Bandara Jeddah saat ini boleh dibilang satu-satunya bandara untuk jamaah haji, kecuali pesawat-pesawat milik maskapai Saudi Arabia yang bisa langsung mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz di kota Madinah, nyaris semua pesawat haji dan umrah hanya bisa mendarat di Bandara ini.
Yang jadi masalah adalah karena posisi Bandara King Abdul Aziz ini sudah berada di sebelah barat tanah haram. Sedangkan jamaah haji Indonesia, tentunya tidak datang dari arah barat melainkan dari tenggara. Jadi kalau mendarat di Jeddah, sudah melewati garis miqat. Dan ini terlarang karena setiap orang yang melewati garis miqat wajib berihram, kalau tujuannya semata-mata menuju ke ka'bah untuk haji atau ihram.
Di zaman kapal laut, jamaah haji Indonesia bisa dengan mudah berihram dari miqat yang ditentukan. Namun agak lain ceritanya bila berihram di atas pesawat terbang.
Sebab yang namanya berihram itu adalah membuka pakaian biasa berganti dengan dua lembar handuk sebagai pakaian resmi berihram. Memang akan sedikit merepotkan, bila dilakukan di dalam pesawat terbang.
Yang jadi masalah bukan pilot tidak tahu tempat batas miqat, tetapi bagaimana memastikan bahwa sekian ratus penumpang di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di langit, bisa berganti pakaian bersama pada satu titik tertentu.
Sementara untuk berpakaian ihram sejak dari Indonesia, sebenarnya bisa saja dilakukan, namun jaraknya masih terlalu jauh. Kalau kita tarik garis lurus Jakarta Makkah di peta google earth, sekitar 9.000-an km jaraknya. Perjalanan ditempuh sekitar 8 s/d 10 jam penerbangan.
a. Kementerian Agama RI
Departemen Agama Republik Indonesia yang kini berubah nama menjadi Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai biro perjalanan haji terbesar di dunia, nampaknya lebih cenderung berpendapat bahwa Jeddah bisa menjadi alternatif miqat makani.
Hal itu bisa dibuktikan dengan seragamnya semua petunjuk yang diarahkan berupaya mencari pendapatpendapat yang membolehkan jamaah haji bermiqat dari bandara Jeddah.
Walaupun sesungughnya pendapat umumnya para ulama di dunia ini tidak sepakat dengan pendapat itu, mengingat hadits-hadits nabawi tentang ketentuan miqat itu sangat jelas, tegas dan sudah diakui oleh banyak ulama Nampaknya pihak Kementerian Agama RI ini tetap bersikukuh untuk menjadi Bandara King Abdul Aziz sebagai tempat miqat, dengan berpedangan pada beberapa pendapat berikut ini :
1. Pendapat Ibnu Hajar pengarang Kitab "Tuhfah" memfatwakan bahwa Jama'ah Haji yang datang dari arah Yaman boleh memulai ihram setelah tiba di Jeddah karena jarak Jeddah-Makkah sama dengan jarak Yalamlam-Makkah. An-Naswyili Mufti Makkah dan lainlain sepakat dengan Ibnu Hajar ini.
2. Menurut mazhab Maliki dan Hanafi, jama'ah haji yang melakukan dua miqat memenuhi ihramnya dari miqat kedua tanpa membayar dam.
3. Menurut Ibnu Hazm, jamaah haji yang tidak melalui salah satu miqat boleh ihram dari mana dia suka, baik di darat maupun di laut.
b. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Di masa lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih jadi stempel pesanan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama. Maka kalau kita perhatikan fatwa yang secara resmi dikeluarkan, memang menunjukkan ke arah bolehnya bermiqat dari bandara Jeddah buat Jamaah haji Indonesia. Tercatat tiga kali MUI mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berihram dari bandara Jeddah, yaitu tahun 1980, 1981 dan 2006. Fatwa MUI ini agak berbeda dengan umumnya pendapat para ulama tentang masalah miqat makani
c. Majelis Bahtsul Masail Nadhatul Ulama
Majelis Bahsul Masail Nahdhatul Ulama (NU) pun tidak sependapat dengan fatwa MUI ini. Dalam salah satu keputusannya, lembaga yang banyak mengurusi fatwa kontemporer di kalangan nahdhiyyin ini tidak membenarkan bandara Jeddah dijadikan miqat makani buat jamaah haji Indonesia.
d. Abdul Aziz bin Baz
Mufti Kerajaan Saudi Arabia ini ketika ditanya tentang keabsahan Bandara King Abdul Aziz sebagai pengganti dari miqat menolak dan mengatakan tidak sah apabila jamaah haji. Penulis kutipkan fatwa beliau : Hal yang mewajibkan kami menjelaskan masalah ini adalah adanya buku kecil yang datang dari sebagian rekan pada akhir-akhir ini yang berjudul 'Adillatul Itsbat anna Jaddah Miqat', yaitu Dalil-dalil yang membuktikan Jeddah adalah Miqat.
Di dalam buku kecil ini penulisnya berupaya
mengadakan miqat tambahan di luar miqat-miqat yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Dia beranggapan bahwa Jeddah itu adalah miqat bagi orang-orang yang datang dengan pesawat udara di bandara atau datang ke Jeddah lewat laut atau lewat darat.
Maka menurut penulis buku ini, mereka boleh menunda ihramnya sampai tiba di Jeddah, kemudian berihram dari sana. Karena, menurut anggapan dia, Jeddah itu sejajar dengan dua miqat, yaitu Sa'diyah dan Juhfah.
Ini adalah kesalahan besar yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang realita sebenarnya. Sebab, Jeddah itu berada di dalam wilayah miqat, dan orang yang datang ke Jeddah pasti telah melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan oleh Muhammad SAW atau berada dalam posisi sejajar dengannya baik di darat, laut maupun di udara. Maka tidak boleh melewati miqat itu tanpa ihram jika berniat menunaikan ibadah haji atau ibadah umrah.
Di bagian akhir dari fatwa itu, beliau memberi kesimpulan : Sesungguhnya fatwa khusus yang dikeluarkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para penumpang pesawat udara dan kapal laut adalah fatwa batil (tidak benar) karena tidak bersumber dari nash al-Qur`an ataupun hadits Rasulullah SAW ataupun ijma' para ulama salaf, dan tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama kaum muslimin yang dapat dijadikan sandaran.
e. Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Penulis kutipkan bagian terpenting dari Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia : Tidak syak bahwa Jeddah tidak termasuk miqat. Maka siapa yang mengakhirkan ihramnya sampai ke Jeddah, maka dia telah melewati miqat menurut syar'i.
Karena itu dia terkena dam, yaitu satu kambing atau sepersepuluh unta atau sepersepuluh sapi yang disembelih di tanah haram dan dibagikan kepada orang miskin tanah haram.
Jadi untuk keluar dari khilaf ini, tidak ada salahnya berihram di atas pesawat. Dan masalah itu tidak sesulit yang dibayangkan, asalkan ada kemauan. Apa susahnya memakai pakaian ihram yang cuma dua lembar itu lalu niat. Kecuali bila memang tidak paham manasik haji atau memang tidak punya niat yang baik.
Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (6) Haji, Jakarta: DU Publishing, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.