A. Pensyariatan
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem, As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma' (kesepakatan) seluruh ulama. Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Al-Quran
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu'ah. Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai bagian dari kewajiban dan fardhu 'ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah : 9)
2. Sunnah
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
Dari Abi Al-Ja'd Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim berkata:
“Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.
B. Yang Diwajibkan
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam, dengan kriteria sebagai berikut :
Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat.
Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat.
Mukimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan.
Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Sehingga orang-orang berikut ini yang telah disebutkan dalam nash sebagai pengecualian. Mereka ini tidak diwajibkan shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
Para budak
Wanita
Anak-anak
Orang Sakit
Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas, yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
C. Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman atau tempat-tempat yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah SAW dulu, orang-orang yang tinggal di badiyah (luar kota) harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat Jumat. Sebab shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar wilayah pemukiman yang dihuni masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat Jumat dimanapun .
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara statistik, jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat seluruh kaum muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi memang jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak ‘disulap’ menjadi masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat, tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada pendapat yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak mutlak kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat dan kepentingan umat.
D. Adzan Shalat Jumat
Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma, adzan pada shalat Jumat hanya dikerjakan sekali saja, yaitu saat khatib naik mimbar.
Kemudian pada zaman khilafah rasyidah, karena pertimbangan tertentu, maka sebelum khatib naik mimbar, jumlah adzan ditambah sebelumnya, dilakukan sebelum khatib naik mimbar dan pada saat khatib naik mimbar.
Dari As-Saib bin Yazid ra berkata, "Dahulu panggilan adzan hari Jumat awalnya pada saat imam duduk di atas mimbar, di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma. Ketika masuk masa Utsman dan manusia bertambah banyak, ditambahkan adzan yang ketiga di atas Zaura'.Tidak ada di zaman nabi SAW muazzdin selain satu orang. (HR. Bukhari)
Saat itu khalifah memandang bahwa perlu dilakukan pemanggilan kepada kaum muslimin sesaat sebelum shalat atau khutbah Jumat dilaksanakan.
Menurut para ulama yang mendukung tetap dilaksanakannya dua kali adzan ini, tindakan ini tidak bisa disalahkan dari segi hukum. Karena apa yang dilakukan oleh para shahabat nabi secara formal itu tetap masih berada dalam koridor syariah. Apa yang para shahabat nabi kerjakan secara ijma' merupakan bagian dari syariah, karena mereka sendiri juga bagian dari sumber syariah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh AsySyaukani di dala kitab Nailul Authar mengatakan bahwa praktek adzan 2 kali ini dilakukan bukan hanya oleh Khalifah Utsman rasaat itu, melainkan oleh semua umat Islam di mana pun. Bukan hanya di Madinah, melainkan di seluruh penjuru dunia Islam, semua masjid melakukan 2 kali adzan shalat Jumat.
Dan meski tidak pernah dilaksanakan di zaman Rasulullah SAW, namun apa yang dipraktekkan oleh para shahabat secara kompak ini tidak bisa dikatakan sebagai bid'ah yang mendatangkan dosa dan siksa. Lantaran tidak semua perkara yang tidak terjadi di zaman nabi termasuk sesuatu yang buruk. (1 Lihat Nailul Authar jilid III hal. 278-279 )
Sebab Khalifah Utsman adalah bagian dari sumber syariah dengan dalil berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya siapa yang hidup setelah ini, maka dia akan menyaksikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang besar. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafa' ar-rasyidin setelahku yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu." (HR Abu Daud, At-Tirmizy, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Maka tindakan seperti itu tidak bisa dikategorikan sebagai bid'ah, karena dikerjakan oleh semua shahabat nabi SAW secara sadar dan bersama-sama sepanjang masa.
Kalau tindakan itu dikatakan bid'ah, berarti para shahabat nabi yang mulia itu pelaku bid'ah. Kalau mereka pelaku bid'ah, maka haram hukumnya bagi kita untuk meriwayatkan semua hadits. Padahal tidak ada satu pun hadits nabi yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat.
Maka seluruh ajaran Islam ini menjadi batal dengan sendirinya kalau demikian. Sebab semua dalil, baik ayat Quran maupun semua hadits nabi SAW, ternyata tidak ada yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat yang dituduh tela melakukan tindakan bid'ah itu.
Maka mengatakan bahwa adzan 2 kali sebagai bid'ah sama saja dengan mengatakan bahwa para shahabat nabi SAW seluruhnya sebagai pelaku bid'ah. Dan kalau semuanya pelaku bid'ah, maka agama Islam ini sudah selesai sampai di sini.
Yang benar, praktek adzan Jumat 2 kali ini bagian dari sunnah yang utuh dalam syariah Islam, bukan bid'ah yang melahirkan dosa dan adzab. Karena telah dilakukan secara sadar oleh semua shahabat nabi SAW radhiyallahuanhum.
E. Jumlah Minimal Jama'ah
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam shalat Jumat .
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berarti setiap beberapa orang boleh menyelenggarakan sendirisendiri dengan 2 atau 3 orang. Bukan demikian pengertianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang muslim lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa shalat Jum’at boleh dilakukan oleh tiga orang, satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan pendapat sebagian ulama .
1. Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam atau khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu dalam bentuk jama'. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama’ adalah tiga orang.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama’.
2. Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri . Katakanlah: 'Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan', dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu’ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum’at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat zhuhur.
3. Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang atau lebih. (HR. Ad-Daruquthuny) .
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi'iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang.
Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat Jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi'iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
Muqim
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jumat.
Laki-laki
Keempat puluh orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
Merdeka
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
Mukallaf
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
F. Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i'tidal (bangun dari ruku') pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi) .
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
G. Shalat Dzhur Setelah Shalat Jumat?
Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat Jumat, langsung diadakan shalat Dzhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa alasan :
Pertama, tidak jauh dari masjid itu terdapat masjid lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa bila ada dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya belakangan.
Kedua, ragu kalau-kalau di antara jamaah yang ikut shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di perkotaan dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang muqim di sekitar masjid.
Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab AsSyafi'i, ada disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu.
Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum''at seperti ini juga dianggap tidak sah.
Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.
Ini merupakan beberapa masalah yang sering diajukan kepada penulis. Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus terang kepada penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di masjid, selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan karena alasan yang pertama di atas.
Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar tidak menimbulkan masalah.
Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di dalam satu wilayah tidak boleh diadakan beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal itu mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di satu tempat, sesuai dengan istilah jumat yang bersalah dari berkumpul atau berhimpun.
Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah syarat atau ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat teknis di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak. Sehingga dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung jamaah.
Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat tertampung di dalam masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu lintas jalan. Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh juga didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.
Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda boleh melakukan khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang diselenggarakan oleh pemerintah Saudi Arabia.
Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim.
Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu adalah lawan kata dari musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam status musafir. Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu memang tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir. Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.
Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi orang yang statusnya muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan shalat jama' dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir, seharusnya mereka boleh menjama' dan mengqashar shalat, dan tidak perlu ikut shalat Jumat.
Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama
Di dalam mazhab As-Syafi'i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada pengecualiannya. Pengecualiannya adalah bila di satu masjid sudah penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.
Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.
Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Kalau memang mudah, mengapa harus dibuat susah?
Sementara di sisi lain, kita sebagai umat Islam masih kebanjiran pe-er lain yang harus diprioritaskan. Ketimbang kita meributkan hal-hal yang hanya baru dalam dugaan, bukankah sebaiknya kita memikirkan hal-hal yang lebih nyata dan mendesak? □
Sumber: Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat, 2011: Jakarta: DU Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.