Pengenalan Ketentuan Syariah dan Tahkim

 

A. Kategorisasi Manusia

Kategori manusia dalam ilmu fiqih: “Dengan demikian pembagian manusia dalam Al-Ahkam As-Syar’iyah yang lebih tepat hanya mujtahid dan muqallid sesuai dengan yang di-tahqiq-kan oleh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan Al Buthi dalam kitab Al Lamadzhabiyyah (Said Rhamadhan, 2005: 43) Al-Bouty, Muhammad Sa'id, Dr. Al Lamadzhabiyah Akhthar Bid'atin Tuhaddidu Asy Syari'ah, , (Damaskus; Dar al-Farabi, 1426 H : 2005 M).. 

1. Muqallid (المقلد) - mengikuti pendapat ulama dengan tanpa tahu dalilnya 

a. muqallid muthlak

b. muqallid mutajazzi'.

c. Muttabi [المتبع]- ikut pendapat ulama dengan tahu dalilnya, faham dalil-dalil dan cara instinbat hukum dari dalil-dalil tersebut.

2. Mujtahid

a. mujtahid mutlaq mustaqil/Mujtahid Muthlaq yaitu Mujtahid yang dapat mengeluarkan semua hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, seperti para imam mazhab yang empat. (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal)

b. Mujtahid Muntasib yang derajatnya di bawah Mujtahid Mutlak dan di atas Mujtahid Mazhab. Yaitu mereka yang tidak bertaklid kepada imam mazhab ataupun dalil-dalilnya namun mereka menjadi bermazhab kepada salah satu daripada imam mazhab karena mereka dapatkan metode ijtihad imam mazhab tersebut sangat tepat dan sesuai dengan keyakinan mereka  

mazhab Hanafi: Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan AsySyaibani dan Zufar bin Al-Huzail. 

mazhab Maliki: Abdurrahman bin AlQasim Al-Misri dan Asyhab bin Abdil Aziz Al-Amiri. 

mazhab Syafi’i: Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nasr Al-Marwazi, Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan Muhammad bin Khuzaimah. 

mazhab Hanbali: Umar bin Al-Husein Al-Khiraqi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad AlKhallal.

c. Mujtahid Mazhab (Al-Buwaithi, Ar-Rabî’, Ibn Abi Hurairah dan AshShairafi)

d. Mujtahid Tarjih atau Mujtahid Fatwa yaitu: Mujtahid yang mampu memilih pendapat yang paling kuat di antara sekian banyak pendapat, namun tidak mengeluarkan hukum secara langsung dari Al-Quran dan Sunah juga dari kaidahkaidah imam mazhabnya. Mujtahid tarjih ini banyak di kalangan ulama dimulai dari para pengarang kitab-kitab mazhab yang hidup di akhir abad keempat hijriah.

e. Huffazh Al-Mazhab atau Naqalah Al-Mazhab, yaitu: mereka yang menghafal mazhab dan memahaminya lalu menyampaikannya kepada generasi selanjutnya. Mereka tidak mampu untuk memaparkan dalil dan menerapkan qiyas (Nuruddin Ali, 2011:194-199).


Kategori manusia dalam ilmu hukum syariah  Al-Ahkam As-Syar’iyah:

Muqallid 

Mujtahid

Mujtahid sebagai kapasitas, dengan peran kelembagaan punya fungsi yang berbeda, yaitu:

1. Ulul Amri

كيف تقضيِ إِذا عُرِض لك قضاء ؟  قال : أقضِي بكِتابِ اللهِ .قال : فإِن لم تجد فيِ كتِابِ اللهِ ؟ قال : فبِسُنّةِ رسُولِ اللهِ  قال : فإِن لم تجِد فيِ سُنّةِ رسُولِ الله  ولا فيِ كتِابِ الله ؟ قال : أجتهدُ رأيِ ولا آلو فضرب رسُولُ اللهِ  صدرهُ وقال : الحمدُ لِلّه الّذِي وفق رسُولُ رسُولِ اللهِ لِما يرضي رسُولُ اللهِ

2. Hakim

إِذا حكم الحاكِمُ فاجتهد فأصاب فلهُ أجرانِ وإِذا حكم فاجتهد ثُمّ أخطأ فلهُ أجرٌ

Bila seorang hakim memutuskan suatu berkara, lalu dia berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapat dua pahala. Dan bila dia salah, mendapat satu pahala. (HR. Abu Daud)

3. Ulama/Mufti

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

   مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (رَوَاهُ ابْنُ عَسَاكِرَ) 

Maknanya: “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu ‘Asakir).


B. Syarat Mufti

Syarat Memberikan Fatwa Menurut Imam Syafi'i.

Imam Syafi'i berkata dalam salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam sebuah kitab al-faqih wa al-muttafaqah lahu bahwa: "Seseorang tidak diperbolehkan memberikan fatwa dalam masalah agama, kecuali bagi seseorang yang 

  • memiliki pengetahuan tentang Al-Qur'an, baik menyangkut ayat nasikh dan mansukhnya, ayat muhkamat dan mutasyabihatnya, ta'wil (tafsir) dan tanzil (sebab turun)-nya, ayat Makiyah dan Madaniyahnya, dan isi kandungannya. 
  • Setelah itu dia harus mengetahui Hadits Rasulullah SAW, baik hadits nasikh dan mansukhnya, dan dia harus mengetahui Al-Hadits tersebut seperti dia mengetahui Al-Qur'an, serta dia harus menggunakan hal tersebut secara adil. 
  • Kemudian setelah itu dia harus mengetahui perbedaan pendapat orang yang berilmu dari berbagai penjuru, lalu mendalaminya. 
Apabila sudah seperti itu, maka diperbolehkan baginya untuk mengemukakan pendapat dan memberikan fatwa dalam masalah halal dan haram. Seandainya tidak seperti itu, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memberikan fatwa."


C. Kaidah Istinbath Ahkam

Kaidah Istinbath Hukum  ini harus dikuasai Mufti

1. Dalil ; dasar hukum (sumber hukum)

2. Mustadlil ; mufti

3. Istidlal ; prosedur/tarjih


Ada 4 (empat) sumber hukum Islam yang disepakati para ulama yaitu : al quran, sunnah, ijma' dan qiyas. Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul.

Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.

Juga terdapat 6 (enam) sumber hukum Islam yang tidak disepakati ulama yaitu: 

1. Syadd al-Dzara`i’ = menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, Sesungguhnya, setiap media (mubah) yang berujung pada sesuatu yang dianjurkan maka hukumnya juga dianjurkan, dan setiap media yang berujung pada sesuatu yang dilarang maka hukumnya juga dilarang.”

2. qaulu shahabah = perihal satu orang shahabah mengemukakan sebuah pendapat kemudian menyebar di kalangan shahabah lainnya, tanpa diketahui seorang shahabat pun yang menentang

3. Syar’u Man Qablana = hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.

4. istihsan = beralihnya seseorang mujtahid dari menghukumi suatu masalah seperti ketika ia memberi hukum terhadap masalah-masalah yang mempunyai kesamaan dengannya kepada sebaliknya karena segi yang lebih kuat yang menuntut beralih dari yang pertama

5. istishab = upaya mendekatkan satu peristiwa hukum dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama hukumnya

6. 'urf = kebiasaan yang berlaku di dalam kehidupan norma masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak mendatangkan kemudaratan

D. Bahayanya Berfatwa Tanpa Ilmu

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

   مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (رَوَاهُ ابْنُ عَسَاكِرَ) 

Maknanya: “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu ‘Asakir).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ( رضي الله عنه‎ ) Rasulullah (ﷺ) bersabda,

“Barangsiapa diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa tersebut. Barangsiapa menganjurkan satu perkara kepada saudaranya seagama sementara ia tahu bahwa ada perkara lain yang lebih baik berarti ia telah mengkhianatinya.”

(Hasan, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (59), Abu Dawud (3657), Ibnu Majah (53), Ahmad (321 dan 365), ad-Darimi (1/57), al-Hakim (1/102-103), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiib wal Mutafaqqih (11/155)).


E. Bahayanya Memutuskan Perkara Tanpa Ilmu dan Keadilan

Menjadi hakim yang memutuskan dengan kebenaran dan keadilan merupakan perkara yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya dengan firman-Nya:

 وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ 

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [Al-Mâidah/5: 49]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ 

Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim)  yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang di dalam keputusan, maka dia di neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 2315; Tirmizi, no. 1322; Abu Dawud, no. 3573; lafazh hadits ini bagi Ibnu Majah. Dishahihkan  oleh Syaikh Albani, Ahmad Syakir, Syu’aib al-Arnauth, dll


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ 

Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim)  yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang di dalam keputusan, maka dia di neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 2315; Tirmizi, no. 1322; Abu Dawud, no. 3573; lafazh hadits ini bagi Ibnu Majah. Dishahihkan  oleh Syaikh Albani, Ahmad Syakir, Syu’aib al-Arnauth, dll

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ 

Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim)  yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang di dalam keputusan, maka dia di neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 2315; Tirmizi, no. 1322; Abu Dawud, no. 3573; lafazh hadits ini bagi Ibnu Majah. Dishahihkan  oleh Syaikh Albani, Ahmad Syakir, Syu’aib al-Arnauth, dll

Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. 

“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Muttafaq ‘alaih)


F. Bahayanya Pemimpin Bodoh Yang Berfatwa

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HR. Bukhari


F. Keutamaan, Kriteria dan Adab Hakim

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. “

Tidak boleh hasad kecuali pada dua hal; (1) seseorang yang diberi harta oleh Allah, kemudian ia menggunakannya di jalan yang benar dan (2) orang yang diberikan ilmu lalu ia memutuskan perkara dan mengajari manusia dengannya.” [Muttafaq ‘alaih)

Berarti urutannya adalah: menuntut ilmu, menjadi hakim kemudian baru mengajari manusia.

Kriteria Seorang Hakim

Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah berkata dalam al-Fat-h (XIII/146), “Berkata Abu ‘Ali al-Karabisi, pengikut Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya Aadaab al-Qadhaa’ berkata, ‘Aku tidak melihat adanya khilaf di kalangan ulama Salaf bahwa orang yang paling pantas menjadi hakim bagi kaum muslimin adalah orang yang jelas keutamaannya, 

  1. kejujurannya, ilmunya, dan kewara’annya. 
  2. Ia seorang pembaca (penghafal) al-Qur-an sekaligus mengetahui banyak hukum-hukumnya. 
  3. Mempunyai pengetahuan tentang Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan para Sahabat serta banyak menghafalnya. 
  4. Mengetahui kesepakatan, perselisihan, dan perkataan-perkataan ahli fiqih dari kalangan Tabi’in. Mengetahui mana yang shahih dan yang cacat (lemah). 
  5. Memecahkan persoalan nawazil (terkini) dengan al-Qur-an. 
  6. Apabila ia tidak mendapatkan di dalamnya, maka dengan as-Sunnah, bila tidak ada ia menggunakan apa yang para Sahabat telah bersepakat atasnya. Apabila ia dapatkan Sahabat berselisih dalam hal itu dan tidak ada kejadian serupa dalam al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka ia menggunakan fatwa pembesar Sahabat yang telah diamalkan. 
  7. Hendaknya ia pun banyak belajar (mudzakarah) dan musyawarah dengan penuh adab dan kesopanan bersama para ulama. 
  8. Menjaga lisan, perut, dan kemaluannya. Bisa memahami perkataan orang-orang yang menentangnya, kemudian ia harus tenang dan menjauhi hawa nafsu.’ Kemudian beliau berkata, ‘Inilah kriterianya, walaupun kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang memenuhi semua sifat, namun hendaknya yang diminta untuk menjadi hakim adalah orang yang paling sempurna dan mulia di kalangan masyarakatnya.’”

Adab-Adab Seorang Hakim

Dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair, ia berkata, “Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah berkata, ‘Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang berada di Sijistan: ‘Janganlah engkau mengadili dua orang sedangkan engkau dalam keadaan marah, karena aku mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لاَ يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ. 

‘Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah.’” [Muttafaq ‘alaih] 


G. TADARRUJ FIT TASYRI WAL HUKMI

Qadhi selain harus berasal dari kalangan alim juga harus punya kualifikasi mufti/mujtahid. 

Hukum Ditegakkan secara Gradual (Tadarruj fit Tasyri wal Hukmi)

  • Periode Makiyah
  • Periode Madaniyah Awal (masyarakat campur)  kepemimpinan berbasis kebangsaan “nasionalitas-teritorial”
  • Periode Madaniyah Akhir 


H. Marhalah Tanfidzhul Hukmi untuk Perkara Zina

1. Menurut Qs, 17:32

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

  • Ciri marhalah makiyah adalah tiadanya hukum waddaulah, sehingga tidak ada sanksi berkaitan pelanggaran norma positif untuk kasus zinanya
  • Pelaksanaan hukum periode makiyah adalah pembinaan moral hukum, ini harus lebih dahulu ketimbang tegaknya norma hukum. 
  • Dalam situasi di mana tiadanya daulah dan hukum positif yang berlaku secara umum, maka jika ada pelanggaran terhadap hukum pidana, maka yang ditekankan adalah pembinaan pribadi orangnya, perlunya tarbiyah khusus agar ia tidak melanggar di kemudian hari, agar ia sadar betapa berat dosanya, meminta ampun dengan serius dan melakukan apa pun yang bernilai pahala tinggi untuk bisa “mengimbangi dan mengurangi” dosa yang ia lakukan

2. Menurut Qs. 24:55

  • لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ 
  • وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ 
  • وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ 
  • يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ 

Tahapan dan Prasyarat Kondisi pelaksanaan hukum

  • Berkuasa penuh, kuat dan merdeka 
  • Tegaknya din (hukum) di wilayah yang dikuasai
  • Adanya kondisi aman
  • Kesempurnaan ibadah 

3. Menurut Qs 24:1-3

  • Tamkinud daulah
  • Menegakkan institusi politik dan hukum
  • سُوْرَةٌ اَنْزَلْنٰهَا وَفَرَضْنٰهَا 

Hukum wajib ditegakkan, kewajiban ini bersifat umum namun secara teknis formal kewajiban itu bagi ulil amri (aparatur), juga ditegakkan di dalam wilayah hukum dan institusi politik, status KKM

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ

Ini norma hukum positif, norma hukum ini berlaku di dalam wilayah hukum dan institusi politik KKM

وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ 

Penegakkan hukum harus dengan kewibawaan hukum, agar orang tidak memandang remeh, ini pentingnya proses peradilan dilaksanakan dengan tertib dan berwibawa

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

Eksekusi keputusan qadhi harus di dalam wilayah hukum, karena bersifat terbuka untuk menghadirkan efek jera bagi masyarakat di dalam wilayah hukum tersebut.

Empat hirarki tersebut sudah harus urut, intinya tidak bisa ditegakkan norma hukum positif sebelum ada prasyarat yang mendukung


Tuntutan Terhadap Institusi 4/58  4/64 (konteks Fiqih Siyasah)

a. Wajib untuk menghadirkan dan melahirkan Institusi yang melaksanakan syariat dan hukum Islam. ini prioritas Pertama.

b. Menyempurnakan Hadirnya Unsur-Unsur Syara’ di dalam institusi yang meliputi:

  • Hakim (mempertimbangan marhalah tanfidzul hukmi, sesuai kondisi institusi, sesuai dengan kadar perbuatan pelanggarannya)
  • Mahkum Alaih (mukallaf)
  • Mahkum Fih (objek perbuatan)
  • Hukum (taklifi dan wadhai)

c. Selama institusi belum futuh, kita terkategori belum memiliki wilayah hukum, sekali pun sudah memiliki hakim.

  • Ayat qishash (albaqarah) turun di awal madaniyah, namun saat itu wilayah madinah masih dikuasai bersama muslim dan yahudi, ini belum futuh 


Tuntutan Terhadap Warga 4/59  4/65,

  • Jauka
  • Menyatakan kesiapan untuk dihukum dengan hukum Islam dengan sungguh-sungguh, siap untuk di tahkim
  • Istighfar
  • Taubat 

4. Menurut Qs, 4:64-65

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

  • Kewajiban warga bukan menegakkan norma hukum positif, karena itu sudah wewenang ulil amri
  • Tugas wajib warga adalah semata taat dan patuh pada ulil amri
  • Lebih khusus lagi, tugas warga ketika “zhalimin anfusihin” adalah Jauka dan fastaghfarullah, lapor dan taubat, itu sudah “cukup”, selanjutnya ia harus banyak menambah amal, menyembunyikan aibnya dan tidak mengulangi dosa besarnya
  • Ulil amri juga punya tugas yaitu memproses peradilannya, dan memohonkan ampun kepada Allah atas perkara itu caranya dengan menegakkan sanksi secara tegas (tidak ada keraguan), namun jika kondisi institusi belum futuh maka yang dikenakan adalah sanksi dalam bentuk kafarat sumpahnya-kifarat janji, kemudian mustaghfir diperintahkan untuk berbuat baik karena perbuatan baik akan menghapus perbuatan buruk
  • Setelah prosedur diatas ditempuh, lawajadullah tawwaban rahima, itu pasti

5. Pelaksanaan Hukum 

عَنْ بُسْرِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رَوَى غَيْرُ ابْنِ لَهِيعَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ هَذَا وَيُقَالُ بُسْرُ بْنُ أَبِي أَرْطَاةَ أَيْضًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ الْأَوْزَاعِيُّ لَا يَرَوْنَ أَنْ يُقَامَ الْحَدُّ فِي الْغَزْوِ بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ مَخَافَةَ أَنْ يَلْحَقَ مَنْ يُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ بِالْعَدُوِّ فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ مِنْ أَرْضِ الْحَرْبِ وَرَجَعَ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَقَامَ الْحَدَّ عَلَى مَنْ أَصَابَهُ كَذَلِكَ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ

Dari Busr bin Arthah ia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada potong tangan dalam peperangan." Abu Isa berkata; Hadits ini gharib, ada selain Ibnu Lahi'ah yang meriwayatkan dengan sanad ini seperti hadits ini. Ia dipanggil juga dengan Busr bin Abu Arthah. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama di antaranya Al Auza'i, mereka tidak membolehkan menegakkan hukuman dalam peperangan ketika musuh datang, khawatir orang yang sedang dihukum bergabung dengan musuh. Maka jika imam telah keluar dari bumi peperangan dan kembali ke Darul Islam, maka ia harus menegakkan hukuman kepada orang yang salah, demikian yang dikatakan oleh Al Auza'i.

  • Pelaksanaan hukum di addaar alislam
  • Pelaksanaan hukum fi Waqtil Harbi

6. Ketentuan Sanksi

وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( خُذُوا عَنِّي, خُذُوا عَنِّي, فَقَدْ جَعَلَ اَللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً, اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَنَفْيُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَالرَّجْمُ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Ubadah Ibnu al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan dirajam." Riwayat Muslim. 

  • Hukuman berzina menikah: 100 jilid, rajam, disaksikan
  • Hukuman berzina belum nikah: 100 jilid, disaksikan, diasingkan

Untuk amat (budak) : dicambuk  dicambuk  dijual dengan harga selembar rambut


7. Kaidah taubat, 

Hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »

Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.” (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?” Beliau bersabda, “Untuk seluruh umatku.” (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763)


Marhalah Tanfizhul Hukmi

Contoh Kasus Tanfidzhul Hukmi 

  • Menshalatkan orang yang berhutang
  • Mencium wanita, ini  tidak ada tarjih dalam peradilan “4:114-115”  harus dengan islah ritual
  • Konflik antara muslim dalam kaitan hutang, ini dengan islah muamalah

Madaniyah awal

  • Yahudi yang berzina, dikembalikan kepada norma hukum yahudi sendiri

Madaniyah akhir

  • Seluruh norma hukum berlaku (termasuk kadar sanksinya)


Syarat-Syarat Tanfidzhul Hukmi  Qadhi

  1. Hakim; sebagai representasi kekuasaan islam
  2. Hukum
  3. Mahkum alaihi
  4. Mahkum Fih
  5. Wilayah hukum 
  6. Institusi Politik yang KKM

Jika persyarat tidak lengkap maka hukum tidak bisa ditegakkan sempurnya, dan harus di laksanakan sesuai kaidah marhalah tanfidzhul hukmi-nya


Kaidah-Kaidah Sanksi

Bentuk taubat

  • melalui qiyadah 4/64  lawajadullah tawwaban rahima
  • melalui ishlah ritual (taubat nasuha: langsung ke Allah) 66/8  asa rabbukum anyukaffira ankum sayyiatikum, secara syariat tidak dihukumi bersih 

Bentuk-bentuk Sanksi

  • kafarat sumpah
  • situasi munculnya zina harus ditinggalkan
  • menambah perbuatan baik untuk periode tertentu
  • menghadirkan suasanya selalu diingatkan oleh allah 
  • sanksi hukum positif sesuai ketentuan kuhpi
  • dalam kapasitas hukum yang berbasis negara, tidak bisa menurunkan kadar hukuman (contoh kasus zina ingin disanksi dengan dera 10x untuk menimbulkan efek jera), ini tidak bisa karenaitu tanggung jawab imam, juga efek jera itu untuk orang lain sehingga harus dibuat secara terbuka, yang bisa hari ini adalah pelaksanaan sanksi untuk tazir sumpahnya saja, tidak boleh ada hukum fisik, tapi penyampaian hukumnya harus sampai kepada ybs (untuk memunculkan kesadaran saja), 

Tuntutan-Tuntutan

1. Tuntutan Terhadap Institusi 4/58  4/64

a. Melaksanakan Hadirnya Institusi di Wilayah Hukum, ini prioritas Pertama

b. Menyempurnakan Hadirnya Unsur-Unsur Syara’

  • Hakim
  • Mahkum Alaih
  • Mahkum Fih
  • Hukum

2. Tuntutan Terhadap Warga 4/59  4/65

  • Jauka
  • Istighfar
  • Taubat 

Hukum ditetapkan sesuai Tahapan Tadaruj Negara

  1. Dalam kondisi ideal

    • Jilid disaksikan, dan dikucilkan
    • Jilid, dan rajam dengan disaksikan 

  1. Dalam kondisi tidak ideal

    • Istighfar dan taubat nasuha (istitabah)
    • Menjalankan amal baik untuk menghapus amal buruk, tulis saja sebaiknya
    • Sanksi yang bisa menjauhkannya dari situasi maksiat (misal situasi zina ketika bekerja, maka sanksi keluar dari tempat bekerjanya)

Kafarat Sumpah (yang dilanggar adalah sumpah)  Qs.5/89

  • memberi makan sepuluh orang miskin
  • memberi pakaian kepada mereka 
  • memerdekakan seorang budak
  • puasa selama tiga hari. 

Bentuk taubat

  • tubu ilallahi (langsung kepada Allah)
  • jauka (melalui ulil amri)

Hakikat pengampunan dari Allah

  • asa rabbukum 66/8, ini berarti secara syariat tidak dihukumi bersih
  • lawajadullah tawwaban rahima 4/65


H. Pengenalan Institusi Syariah

Kategori Produk Institusi Syariah

  • Risalah : Pedoman 
  • Fatwa : Pendapat Atas Masalah Tertentu
  • Qadha : Keputusan Pengadilan yang dikeluarkan oleh Majelis Tahkim

Kedudukan Lembaga Syariah dan Tahkim

Prosedur Peradilan

(harus formil, berwibawa karena merupakan perwujudan hakim Allah, yang hanya ada berlaku di kita, hakikat mahkama ilahi sebagai perwujudan di dunia)

Seluruh hakim mempertunjukkan wibawa institusi, harus berani berbicara (prinsip nahi munkar)

1. Hakim ketua membuka persidangan

  • Pembukaan lengkap
  • Membacakan 66/8, 4/64-65, 

2. Hakim pertama mempersilahkan hakim pertama untuk membacakan surat ajuan dari mustagfir (amplop tertutup, di luar ada kode 1/2/3)

  • Data; nama, tahun mh, siapa yang meng-mh, kualitas (a1-as, a2-ad, a3-me), kasusnya (1=hudud, 2=ahwalu syakhsiah, 3=islahu ummah), tahkim hanya untuk hudud
  • pengakuannya (contoh: saya berz) 

3. Hakim ketua mengkonfirmasikan dan mengeksplore kasus, kronologi dlsbg (bertanya langsung)

  • Motivasi mustagfir mengapa mengajukan jauka, 
  • jika salah harus dikembalikan ke struktur, acara ditutup
  • darimana ia mendapatkan form jauka, 
  • prosedur jaukanya apakah sudah sesuai tahapan 
  • sejauh mana kesiapan mustaghfir akan menerima keputusan hakim (siapkan untuk di r, misal) 
  • jika ia menolak untuk di r, misal, maka ia harus dikembalikan ke struktur untuk mendapatkan pembinaan lanjutan, jadi peradilan harus dihentikan
  • kesiapan mustagfir untuk tidak menceritakan peradilan kepada siapapun

4. hakim ketua mempersilahkan hakim kedua untuk mengeksplore kasus

  • menganalisa kronologi dan sebab musabab munculnya perkara tsb
  • menganalisa keterlibatan pihak lain dalam perkara tsb (contoh: mustagfir yang dalam kasus nya ‘membeli kemaksiatan’)

5. hakim ketua menunda persidangan untuk bermusyawarah dengan anggota majelis (musyawarah bertiga utk pengambilan keputusan)

6. hakim  ketua membuka kembali persidangan untuk membacakan keputusan, (contoh 4 point)

  • Bahwa ybs telah melakukan pelanggaran sumpah
  • Sanksi untuk menghafadz ayat ini, sebagai bentuk untuk selalu mengingat hukum Allah
  • perintah untuk mengkafarat dengan membayar kafarat dana sejumlah sekian jika berhubungan dengan dana (contoh beli narko, pelacur, tergantung kasus)- jika mampu
  • banyak istighfar, dan perintah ibadah sunnah dlsbg

7. hakim ketua menutup resmi sidang

8. tentang keputusan, bisa jadi keputusan berbeda sekalipun kasusnya sama yaitu perz


I. Menutup Aib Sendiri dan Tenggelam dalam Taubat Kepada Allah

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ حُدُودِ اللَّهِ مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِى لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ

“Wahai sekalian manusia, aku telah mengingatkan kalian untuk berhati-hati pada batasan-batasan Allah. Barangsiapa terjerumus dalam perbuatan yang jelek, hendaknya ia menutupi dirinya dengan tirai Allah. Karena barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka kami pasti akan menegakkan ketetapan hukum Allah atasnya.” (HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar, 1: 86; Al-Hakim, 4: 244; Al-Baihaqi, 8: 330. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 435 menyatakan bahwa sanad hadits ini kuat, zahirnya shahih. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.)

Dari Abdullah bin Umar c berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap dalam doanya tatkala memasuki waktu petang dan pagi; di mana beliau tidak pernah meninggalkannya hingga beliau meninggalkan dunia ini, atau sampai beliau wafat:

 اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي 

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku dan dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan  ke dalam bumi). [HR. Abu Daud, An-Nasâ’i, Ibnu Mâjah]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menutupi dosa seorang hamba di dunia, maka Allah akan menutupinya pula pada hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 2590)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pula, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari, no. 6069 dan Muslim, no. 2990).

Dari Ummu Salamah berkata: Tidaklah sekali-kali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahku melainkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat pandangannya ke langit dan berdoa:

 اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ 

Ya Allâh, sungguh aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak jatuh dalam kesesatan atau disesatkan; agar tidak jatuh dalam ketergelinciran (kesalahan) atau digelincirkan, tidak berbuat zalim atau dizalimi, dan agar aku tidak berlaku seperti perbuatan orang-orang bodoh (menyakiti dan mengganggu) atau orang lain bertindak bodoh terhadapku. [HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ حُدُودِ اللَّهِ مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِى لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ

“Wahai sekalian manusia, aku telah mengingatkan kalian untuk berhati-hati pada batasan-batasan Allah. Barangsiapa terjerumus dalam perbuatan yang jelek, hendaknya ia menutupi dirinya dengan tirai Allah. Karena barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka kami pasti akan menegakkan ketetapan hukum Allah atasnya.” (HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar, 1: 86; Al-Hakim, 4: 244; Al-Baihaqi, 8: 330. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 435 menyatakan bahwa sanad hadits ini kuat, zahirnya shahih. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.)

Dari Abdullah bin Umar c berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap dalam doanya tatkala memasuki waktu petang dan pagi; di mana beliau tidak pernah meninggalkannya hingga beliau meninggalkan dunia ini, atau sampai beliau wafat:

 اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي 

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku dan dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan  ke dalam bumi). [HR. Abu Daud, An-Nasâ’i, Ibnu Mâjah]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ »

Dari Aisyah, ia berkata, saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca, “Allahumma haasibnii hisaabay yasiiroo (Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah).” Ketika beliau berpaling saya bekata, “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang Allah melihat kitabnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman Allah akan menghapus (dosanya) karenanya, bahkan sampai duri yang menusuknya.” [HR. Ahmad 6/48. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih selain perkataan: “Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca: “Allahumma haasibnii hisaabay yasiiroo”. Ini adalah tambahan di mana Muhammad bin Ishaq bersendirian dalam meriwayatkannya]

Dari Shafwan bin Muhriz bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Ibnu Umar, “Bagaimana Anda mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang An Najwa (bisikan di hari kiamat)?” Ibnu Umar menjawab,

يَدْنُو أَحَدُكُمْ مِنْ رَبِّهِ حَتَّى يَضَعَ كَنَفَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . وَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . فَيُقَرِّرُهُ ثُمَّ يَقُولُ إِنِّى سَتَرْتُ عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

“Yaitu salah seorang dari kalian akan mendekat kepada Rabb-nya. Kemudian Dia meletakkan naungan-Nya di atasnya. Kemudian Dia berfirman, “Apakah kamu telah berbuat ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia berfirman lagi, “Apakah kamu telah melakukan ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia pun mengulang-ulang pertanyannya, kemudian berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa tadi (merahasiakannya) di dunia dan pada hari ini aku telah mengampuninya bagimu.”[HR. Bukhari no. 6070)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.