Syuro Dalam Islam

 

A. Pengertian

Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226]. Kata “musyawarah” menurut Ar-Raghib Al-Ashfihani (w. 502 H) dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an berasal dari kata ْشرت العسل yaitu apabila engkau mengambil madu dan mengeluarkan dari tempatnya. 

Sedangkan secara istilah, Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].

Dikemukaan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani:

وَالْمُشَاوَرَةُ: اِسْتِخْرَاجُ الرَّأْىِ بِمُرَاجَعَةِ الْبَعْضِ إِلَى الْبَعْضِ

(الراغب : ۲۷۰)

Dari pengertian itu dapat disimpulkan, syura artinya memusyawarahkan perbedaan-perbedaan pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan dan kebenaran yang ada di dalamnya.

Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].

Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].

Secara terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. ‘Arif Khalil, hal. 236)


B. Pengertian Majelis Syuro

Secara harfiyah, majelis adalah tembaga atau sekelompok orang yang merupakan satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama. Sedangkan syura adalah musyawarah atau meminta pendapat orang lain tentang suatu masalah yang dipertanyakan. Jadi, Majelis Syura merupakan lembaga yang memperbincangkan suatu masalah serta menetapkan keputusan bersama tentang suatu masalah menyangkut kemaslahatan umat.

Istilah ahl asy-syura, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli fikih siyasi (politik) kontemporer dari Mesir, Abdul Hamid al-Ansari, sebenarnya telah ada sejak zaman Khulafaur Rasyidin. Bahkan, sejak masa Rasulullah SAW.

Namun, peristilahan tersebut belum mengacu pada suatu lembaga yang berdiri sendiri dengan anggota tertentu sebagaimana dikenal sekarang.

Penggunaan istilah itu terkenal dan populer pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, timbul istilah lain yang semakna dengan itu, yakni ahl al-hal wa al-aqd dan ahl al-ikhtiyar, yang artinya "orang yang berkompeten untuk melepaskan dan mengikat”.

Namun, secara pasti tidak diketahui siapa yang mengemukakan peristilahan tersebut. Menurut sebagian ulama fikih siyasi, orang pertama yang mempopulerkan peristilahan itu adalah Imam al-Mawardi.

Menurut istilah fikih, ditemukan berbagai pendapat bahwa majelis syura itu sama dengan ahl al-hal wal al-aqd, yakni suatu lembaga yang terdiri atas para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah untuk mendapatkan kebenaran.

Pendapat tersebut antara lain dikemukakan seorang pakar politik Islam kontemporer Mesir, Abdur Rahman Abdul Khaliq. Dalam bukunya, Asy-Syurfi fi Zilli Nizam al-Hukm al-Islami (Musyawarah dalam Sistem Pemerintahan Islam) disebutkan, mengadakan musyawarah melalui lembaga ini akan lahir berbagai pendapat tentang masalah yang sedang dihadapi. Dan, hal itu akan lebih menghasilkan kebenaran daripada jika hanya diputuskan sendiri.

Menurut Abdul Hamid al-Ansari dalam Asy-Syura wa Asaruhu fi ad-Demoqratiyyah (Musyawarah dan Pengaruhnya terhadap Demokrasi), majelis syura adalah sarana yang digunakan rakyat atau wakilnya untuk membicarakan kemaslahatan umat.

Sejalan dengan pendapat tersebut, maka rakyatlah yang berhak untuk menentukan nasibnya serta menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai penguasa sesuai dengan kemaslahatan umum yang mereka inginkan.

Penulis kitab Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Imam al-Mawardi mengemukakan, terdapat persamaan antara majelis syura dan ahl al-hal wa al-aqd, ahl al-ijtihad, dan ahl al-ikhtiyar. Secara etimologi ahl al-hal wa al-aqd berarti orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. 

Dalam buku itu Imam al-Mawardi menguraikan bahwa ahl al-hal wa al-aqd adalah wakil rakyat yang terdiri atas para mujtahid di bidang hukum Islam. Mereka juga memiliki kemampuan di bidang lain yang menopang peran mereka sebagai wakil rakyat dalam menentukan kebijakan demi kemaslahatan, juga sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin mereka.


C. Dasar Syar’i

Allah subhanahu wa ta’la berfirman:

وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159) 


Juga Allah subhanahu wa ta’la memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:

وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨

“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rezekikan kepada mereka.” (asy-Syura: 38)

Kedua ayat yang mulia di atas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya, seperti dalam masalah tawanan Perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi tuduhan orang-orang munafik yang menuduh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berzina, dan lain-lain. Demikian pula para sahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jika Allah subhanahu wa ta’la mengatakan kepada Rasul-Nya—padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling bagus idenya—, ‘Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan yang selain beliau?” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 154)

Rasulullah saw. menjadikan berjalannya syura sebagai indikator kepemimpinan yang baik. Beliau bersabda, “Jika para pemimpin kalian adalah orang-orang terbaik, orang-orang kayanya merupakan orang-orang yang paling dermawan, dan urusan kalian dimusyawarahkan di antara kalian, maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian dari pada perut bumi. Dan jika para pemimpin kalian adalah orang-orang paling buruk, orang-orang kaya merupakan orang-orang paling kikir, dan urusan kalian diserahkan kepada perempuan-perempuan kalian, maka perut bumi lebih baik bagi kalian ketimbang permukaannya.” (HR. At-Tirmidzi)


حَدَ ثَنَا الْاُوْسِيِ حَدَثَنَا إِبْرَا هِيْمَ بِنْ سَعِدْ عَنْ صَالِحِ عَنْ اِبْنِ شِهَابُ حَدَّثَنِيْ عُرْوَةَ وَاِبْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَلْقَمَةَ اْبنِ وَقَاصُ وَعُبَيْدِاللِه عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ ا اللهُ عَنْهَا حِيْنَ حَوْلَهَا أَهْلُ الْإِفْكِ قَالَتْ : وَدَعَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. عَلِيُ ابْنُ اَبِي طَالِبِ وَاُسَامَة اْبنِ زَيْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ اسْتَلْبَثَ الْوَ حْيَ يَسْأَلَهُمَا وَهُوَ يَسْتَشِيْرَهَا فِي فِرَاقِ أَهْلِهِ فَاَمَّا أُسَامَةَ فَأَشَارَ بِا اَّلذِيْ يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ اَهْلِهِ وَاَمَّا عَلِي فَقَاَل :لَمْ يِضَيِّقِ اللهَ عَلَيْكَ وَالّنِسَاءَ سِوَاهَا كَثِيْرٌ وَسَلِ الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ فَقَالَ :هَلْ رَاَيْتِ مِنْ شَيْءٍ يَرِيْبُكِ قَالَتْ : مَا ّرأَيْتُ أَمْرًا أَكْثَرُ مِنْ اَنَّهَا جَاِريَةُ حَدِيْثَةُ السِّنِّ تَنَاُم عَنْ عَجِيْنُ أَهٌلِهَا فَتَأْتِيْ الدَاجِنُ فَتَأْكُلُهُ فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ : يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمْينَ مَنْ يُعْذِرَنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِيْ أَذَاهُ فِي أَهْلِي وَاللهُ مَا عَلِمْتُ اِلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا فَذَكَرَ بَرَاءَةُ عَائِشَة َوَقَالَ أَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ.

“Telah menceritakan kepada kami Al Uwaisi, telah bercerita Ibrahim bin Su’aid, dari sholeh, dari Ibnu Shihab telah bercerita kepadaku ‘Urwah dan ibnu Musayyab dan Alqomah ibn Waqas, dan Ubaidillah dari Aisyah r.a. ketika berkata kepadanya orang yang suka berbohong dan ia berkata :  dan Rasulullah mengajak Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a. ketika memakai wahyu dan menannyakan kepada mereka, dan dia bermusyawarah dengan mereka atas perbedaan di dalam keluarganya, maka Usamah bermusyawarah dengan yang di pelajari dari kebebasan keluarganya. Maka Ali berkata : Allah tidak mempersempit bagimu dan perempuan melainkan wanita yang banyak, dan beramal jariyah maka Dia akan mempercayaimu. Usamah berkata : Apakah kamu tidak melihat sesuatu yang membuat kamu ragu? Aisyah menjawab : aku tidak pernah melihat suatu perkara yang lebih dari pembantu yang berusia muda tidur di samping adonan roti keluarganya maka datang seorang yang bersikap jinak dan memakannya. Maka Rasul berdiri di atas mimbar seraya bersabda : Wahai golongan orang muslim barang siapa yang memberi alasan yang berlebih-lebihan kepadaku dari laki-laki maka datang celaan dalam keluargaku dan Allah tidak mengetahui dari keluargaku melainkan hanya kebaikannya. Maka Aisyah mengingat kebebasan itu, dan Abu Usamah berkata dari Hisyam.


Hadist dari Ibnu Majjah

 إِذَا اسْتَشَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَسَرَّ عَلَيْهِ (ابن ماجه)        

Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah. (HR. Ibnu Majah)


D. Tujuan Musyawarah

  1. Menghasilkan pendapat-pendapat dan jalan keluar untuk dapat sampai kepada penyelesaian dalam bentuk yang paling utama.
  2. Jaminan penjagaan atas kebaikan-kebaikan umum, dan tidak tersia-sianya hak-hak manusia jika direalisasikan dengan bentuk yang sempurna.
  3. Merealisasikan keadilan diantara manusia
  4. Kemampuan manhaj ini (musyawarah) untuk menyerap perselisihan-perselisihan, menjaga kegoncangan yang terkadang dihasilkan lantaran perselisihan pendapat dan pertentangannya.
  5. Mengembangkan, menggunakan dan mengatur kemampuan-kemampuan dalam bentuk yang istimewa dan sukses, sehingga menghasilkan penemuan bersamaan dengan pengembangannya.


E. Kedudukan Syuro

Al-Fakhrur-Razi, dalam tafsirnya, mendukung pendapat bahwa syura hukumnya wajib. Sebab hukum syura ditetapkan melalui perintah (amr). Sedangkan perintah menunjukkan makna wajib. Pendapat itu pula yang dipilih oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya. Abu Hurairah mengatakan, sebagaimana dicatat oleh Al-Bukhari, “Aku tidak melihat orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain Rasulullah saw.”

Perbedaan pendapat terjadi dalam membincangkan: apakah hasil syura itu mengikat? Makna syura yang mengikat adalah syura yang menjadikan pemimpin atau penanggungjawab terikat dengan keputusan yang muncul dari jama’ah yang direpresentasikan oleh majelis niyabi (majelis perwakilan atau majelis syura) atau keputusan musyawarah yang dilakukan oleh ahlul-halli wal-‘aqdi , istilah yang populer dalam fiqih Islam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa syura itu mengikat. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hanyalah memberi informasi.

Pendapat yang mengatakan bahwa syura bersifat informatif belaka konsekuensinya bahwa pemimpin, amir, atau pun amirul-mukminin boleh meminta pendapat para ulama, para fuqaha, para pemikir dan orang-orang yang mempunyai keahlian tertetu. Akan tetapi, ia tidak terikat oleh pendapat mereka. Ia boleh melakukan apa saja yang menurutnya baik dan diyakininya, selama tidak bertentangan atau keluar dengan nash.

Para fuqaha, pemikir, mujtahid, dan ahli hadits kontemporer kita telah sampai pada kesimpulan bahwa syura itu mengikat pemimpin jika syura itu muncul dari lembaga yang dikhususkan dan berkompeten untuk itu. Mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang membicarakan masalah syura. Yang pertama, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulaatkan tekad, maka bertakwakallah kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Para ulama memahami dari ayat itu bahwa imam meminta pendapat kemudian setelah itu memancangkan tekad. Atas apa dia bertekad? Untuk melaksanakan pendapat yang bukan merupakan pandangannya? Ataukah atas pendapat yang bertentangan dengan pendapat ahlus-syura? Tentu tidak. Sesungguhnya syura tidak berbenturan dengan tekad (‘azm) setelah jelas yang paling tepat dan paling maslahat.

Dan ayat kedua menggambarkan bahwa kaum mukminin dalam kehidupan mereka, shalat mereka, interaksi mereka dan dalam segala urusan penting mereka berpijak di atas landasan saling memahami dan musyawarah guna mencapai hal yang lebih baik dan lebih maslahat. Ayat tersebut terdapat pada surat Asy-Syura ayat 38.

Ada pun dalam Sunnah kita mendapati Rasulullah saw. sebegitu jauh menggunakan syura ini. Beliau banyak sekali meminta pandangan para sahabat dan keluarganya, laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, orang-orang secara umum dengan aneka cara dan berbagai bentuk. Artinya beliau mengajari manusia secara umum untuk berpartisipasi, berpikir, dan turut bertanggungjawab.

Rasulullah saw. pernah berbicara kepada Abu bakar dan Umar, “Jika kalian berdua bersepakat atas satu urusan niscaya aku tidak akan berbeda pendapat dengan kalian.” Dalam pernyataan itu, ada isyarat yang jelas adanya prinsip mayoritas. Dan bahwa hasil syura mengikat pemimpin walaupun semua itu bukan merupakan pendapatnya.

Dalam situasi perang, tidak banyak kesempatan untuk mengembangkan iklim dialogis sehingga peran musyawarah menjadi lemah dan kecil. Namun demikian, sebagai bukti concern-nya Rasulullah saw. dalam mengokohkan tiang kehidupan masyarakat Islam, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam saat terjadi Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. 

F. Sejarah Syuro

1. Syuro di masa Kerajaan Saba’

Ratu Balqis, ratu dari Kerajaan Saba' mengadakan syuro karena adanya masalah penting berkenaan dengan sampainya surat dari Nabi Sulaiman yang meminta Balqis dan rakyatnya untuk masuk dalam Islam.[1] Kejadian ini dikisahkan dalam Al-Qur’an:[ Al-Imāmah wa al- Siyasah, jld. 1, hlm. 42.]

“Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis”. Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang kamu perintahkan”.

2. Syuro di masa Fir'aun

Raja Fir’aun dari Mesir Kuno, juga mempraktekkan syuro dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam menghadapi suatu masalah yang ia sendiri tidak biesa menyelesaikannya. Firaun meminta masukan daripara pembesarnya, terutama dalam menghadapi Nabi Musa dan Bani Israil yang dianggapnya mengancam kedudukannya.[ Al-Musannif, jld. 5 hlm. 445; Al- Thabaqāt al-Kubrā, jld. 3, hlm. 344.] Syuro di masa Fir'aun ini juga diceritakan dalam Al-Qur'an.

“Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada disekelilingnya: “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya, oleh karena itu apakah yang kamu anjurkan?”. Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dengan saudaranya, kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir), niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu”.

3. Syuro di masa Kaum Quraisy

Di Jazirah Arab, terutama pada masa Quraisy - sebelum Islam datang - Bangsa Arab sebenarnya telah megenal konsep syuro itu sendiri. Dewan Syuro Quraisy saay itu dilakukan disebuah tempat yang diberinama, Darun Nadwah. Darun Nadwah sendiri adalah gedung tempat permusyawaratan milik Kaum Quraisy, di masa Nabi Muhammad pada periode Mekkah, tempat ini sering menjadi tempat pertemuan mereka mencari mufakat untuk menghadapi Nabi Muhammad dan umat Islam. Dalam syuro Quiraisy ini sering membahas keinginan perlwanan terhadap Nabi Muhammad, sampai ada usulan bahwa Muhammad harus dipenjarakan, diusir, bahkan dibunuh. Salah satu rencanya yang pernah diputuskan dalam dewan syuro ini adalah, dipilih wakil dari setiap kabilah, seorang pemuda yang berani, kemudian diberikan sebilah pedang dan secara serempak kemudian menyerang Muhammad. Dengan demikian Bani Hasyim (Keluarga Muhammad) tidak akan mampu membalas dan hanya akan meminta diyat, namun rencana ini tidak berhasil membunuh Muhammad.[ TÄrikh al yakubi jld. 2, hlm. 160; Ansāb al-Asyraf, Baladzuri jld. 2, hlm. 261.] Usul terakhir yang diterima oleh majelis itu, juga tercatan dalam Al-Qur'an:[ Suyuthi, Tārikh Khulafā, hlm. 129 dan 137.]

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baiknya pembalas tipu daya”.


4. Syuro di masa Rasulullah 

Dalam hadits disebutkan

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُوْرَةٍ لِاَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه و سلم

“Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Tirmidzi)

a. Beliau pernah bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.

Para sahabat pun satu persatu mengutarakan pendapatnya. Abu bakar berbicara, namun Rasulullah saw berpaling. Umar berbicara, namun Rasulullah saw juga berpaling. Miqdad bin Al-Aswad ra., berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa as, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu, kami akan duduk menunggu di sini’. Berangkatlah bersama dengan keberkahan Allah dan kami akan selalu bersamamu!”.

Rasulullah terdiam. Beliau menunggu komitmen dari kaum Anshar untuk ikut berperang. Apalagi ada sebagian dari kaum Anshar yang hadir pada waktu itu,. Tidak ikut baiat aqabah. Lalu salah seorang pimpinan dari kaum Anshar, Sa’ad bin Muadh angkat bicara, “Ya Rasulullah, mungkin yang engkau maksudkan adalah kami”. Rasulullah saw mengiyakan. Sa’ad kemudian berkata,

“Wahai utusan Allah, kami telah percaya bahwa engkau berkata benar, Kami telah memberikan kepadamu kesetiaan kami untuk mendengar dan taat kepadamu. Demi Allah, Dia yang telah mengutusmu dengan kebenaran. Jika engkau memasuki laut, kami akan ikut memasukinya bersamamu dan tidak ada seorangpun dari kami yang akan tertinggal di belakang. Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan kepadamu bahwa sikap kami ini akan menyukakanmu. Maka Majulah bersama-sama kami. Letakkan kepercayaan kami di dalam keberkahan Allah”.

Rasulullah sangat gembira dengan tanggapan Saad. Kemudian beliau bersabda, “Majulah ke depan dan yakinlah yang Allah telah menjajikan kepadaku untuk mendapatkan satu dari keduanya (khafilah dagang atau perang). Demi Allah, seolah olah aku telah melihat pasukan musuh kalah“.

b. Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

c. Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat tentang tawanan perang Badar

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat para Sahabatnya. Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengusulkan agar kaum Muslimin menerima tebusan, artinya para tawanan bisa dibebaskan setelah keluarga mereka membayar tebusan ; alasannya agar kaum Muslimin mendapatkan kekuatan baru dan berharap agar para tawanan ini mendapatkan hidayah dari Allah Azza wa Jalla . Berlawanan dengan usulan ini, Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu mengusulkan agar para tawanan itu dibunuh saja, karena mereka merupakan tokoh-tokoh orang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam cenderung kepada pendapat Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya yang sejalan dengan pendapat Umar Radhiyallahu anhu

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٦٧﴾ لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿٦٨﴾ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah Azza wa Jalla , niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar, karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla . Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. [al-Anfâl/8:67-69] 

Mengambil tebusan, awalnya dihalalkan dalam Islam, kemudian masalah ini diserahkan kepada imam negara untuk memilih antara membunuh, menerima tebusan atau memaafkan para tawanan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk anak-anak dan kaum wanita, karena mereka ini tidak boleh dibunuh selama tidak memiliki andil dalam peperangan. 

Tebusan masing-masing tawanan berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi tawanan. Yang memiliki banyak harta, maka tebusannya 4000 dirham,  namun ada yang kurang dari itu. Bahkan ada yang dibebaskan tanpa tebusan harta, ada pula yang dibebaskan dengan saling tukar tawanan seperti ‘Amr bin Abu Sufyân yang ditukar dengan Sa’d bin Nu’mân yang ditahan oleh Abu Sufyân saat sedang melaksanakan ibadah Umrah. Selain itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya : “Seandainya Muth’im bin ‘Adi masih hidup lalu dia berbicara kepadaku tentang masalah orang-orang busuk ini (maksudnya para tawanan-pent), maka pasti aku bebaskan mereka semua.”  Karena orang ini pernah melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekembali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mendakwahi penduduk Thaif saat tidak ada lagi yang bersedia melindungi beliau di Mekah. Juga karena peran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam merusakkan embargo yang dilakukan penduduk Mekah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan, bahwa para tawanan ini sangat mungkin dibebaskan dengan tanpa tebusan.


d. Dalam perang Uhud, 

Musyawarah Sebelum Perang Uhud Setelah mengumpulkan informasi lengkap tentang pasukan kafir Quraisy, pada Subuh Jumat, 15 Syawal 3 H, Nabi ﷺ mengumpulkan para sahabat dan bermusyawarah dengan mereka mengenai apakah mereka tetap tinggal di Madinah ataukah mereka akan keluar rumah untuk menghadapi kaum musyrikin.

Saat itu, Nabi ﷺ memilih untuk tetap tinggal di Madinah. Apabila mereka masuk, kaum muslimin akan mengadakan perlawanan di setiap jalan dan gang yang kaum muslimin sudah hafal sedang lawan masih merasa asing. Pendapat ini sejalan dengan pendapat sahabat-sahabat utama dan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik juga sependapat dengan beliau.

Namun sebagian kaum muslimin yang tidak ikut Perang Badar berkata, “Wahai Rasulullah ,ﷺ keluarlah bersama kami untuk menghadapi musuh-musuh.” Ibnu Ishak berkata, “Para sahabat bersikukuh di hadapan Rasulullah ﷺuntuk keluar menghadapi musuh, hingga beliau masuk ke dalam rumah dan memakai baju besi perangnya. Maka para sahabat saling menyalahkan, dengan berkata, “Nabi ﷺ mengusulkan suatu perkara sedangkan kalian mengusulkan yang lain.” Wahai Hamzah , temuilah beliau dan katakan, “Kita semua mengikuti pendapat Anda.” Lalu Hamzah menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Nabiyallah, para sahabat saling menyalahkan, kemudian dia berkata, “Kita semua mengikuti Anda.”

Lalu beliau bersabda, yang artinya: “Tidak pantas bagi seorang nabi jika telah memakai baju besi perangnya, untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara dirinya dengan musuhnya (berperang).”

Dari peristiwa ini tampak bahwa Rasulullah ﷺmembiasakan bersahabat untuk mengemukakan pendapat ketika sedang bermusyawarah, meski pendapat mereka menyelisihi beliau. Beliau mengajak mereka bermusyawarah dalam hal yang tidak ada dalilnya, untuk membiasakan mereka berpikir dalam urusan masyarakat dan menyelesaikan masalah keumatan.

Beliau membebaskan para sahabat mengemukakan pendapat walaupun berbeda dengan pendapat beliau karena tidak ada gunanya bermusyawarah apabila tidak dibarengi dengan kebebasan menyuarakan pendapat. Walaupun mereka bebas mengemukakan pendapat, namun mereka tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada pimpinan. Cukuplah bagi mereka menjelaskan pendapatnya, kemudian membiarkan pemimpin memilih pendapat yang paling kuat.

Hal ini terlihat ketika para sahabat sadar bahwa mereka telah mendesak Rasulullah ﷺuntuk keluar dari Madinah dan beliau harus keluar karena beliau mengikuti pendapat mereka lalu mereka meminta agar beliau mengurungkan niat untuk keluar dari Madinah, beliau tidak bersedia mengikuti keinginan mereka.

Demi melihat itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai baju besi dan menyiapkan pedangnya serta memakai surban sebagai pertanda siap perang, beliau menyarankan agar keduanya menahan diri dari pendapatnya sampai menunggu keputusan yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maksud keputusan Allah ini adalah agar pihak yang berbeda pendapat menahan diri sampai kemudian datangnya wahyu. Mendapati sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat tidak ada yang membantah dan siap sedia bersama Rasulullah shlallallahu ‘alaihi wasallam menyambut perang. Demikianlah, ketaatan para sahabat bersama Rasulillah shallallahu ‘alihi wasallam.

e. Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.

f. Rasulullah bermusyawarah dengan Sa’ad bin Waqqash dan Sa’ad bin Muadz untuk memutuskan gencatan senjata dengan Bani Ghatafan menjelang perang Khandaq. Nabi juga mengajak para sahabat beliau bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi menuruti pendapat mereka.

g. Nabi SAW mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Peristiwa Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar Al-Siddiq berkata, "Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah." Kemudian Nabi SAW menyetujui pendapat Abu Bakar itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.