Zakat Fitrah

 


Zakat dapat dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu zakat nafs atau zakat fitrah dan zakat maal. Pada bagian ini akan dibahas tentang zakat nafs. Zakat Nafs adalah zakat fitrah yang diberikan menjelang berakhirnya shaum bulan Ramadhan, dan paling lambat diserahkan sebelum Sholat Idul Fithri. Zakat ini mempunyai tujuan untuk mensucikan diri dan membersihkan perbuatan seseorang ketika melaksanakan shaum. 

Zakat Fitrah diwajibkan pada tahun kedua hijrah yaitu tahun diwajibkannya shaum pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah dimaksudkan untuk mensucikan orang yang melaksanakan shaum dari perkataan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada Hari Raya Fitri.

Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut ini :

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين

“Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)


أَدُّوا عَنْ كُل حُرٍّ وَعَبْدٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ

“Bayarkan untuk tiap-tiap orang yang merdeka, hamba, anak kecil atau orang tua berupa setengah sha' burr, atau satu sha' kurma atau tepung sya'ir” (HR. Ad-Daruquthni)


Zakat fitrah diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali, baik mampu atau miskin, sebagaimana terungkap dalam sebuah hadits Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam berikut.

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: (فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ)  مُتَّفَقٌ عَلَيْه 

Dari Ibnu Umar radhialla ̅hu ‘anhu bahwa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ sya'ir (gandum) atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat. (HR Muttafaq Alaihi).


وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: (كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ.)  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Abu Said Al-Khudry radhialla ̅hu ‘anhu berkata: Pada zaman Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma, atau satu sha' sya'ir, atau satu sha’ anggur kering. (HR Muttafaq Alaihi).


وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: (فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ.)  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ

Dari Ibnu Abbas radhialla ̅hu ‘anhu bahwa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).


Harta yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sha’ dari makanan pokok di negeri masing-masing, dalam hadits di atas disebut dengan صَاعًا مِنْ طَعَامٍ. Satu sha’ adalah empat mud, sekitar 3 1/3 liter, atau sekitar 2,5 Kg. 

Para ulama berbeda pendapat, apakah zakat fitrah ini bisa dikeluarkan dalam bentuk harganya. Sebagian melarang dan sebagian lagi membolehkannya. Pendapat yang melarang bersikeras bahwa hadits-hadots tentang zakat fitrah itu selalu dalam bentuk barangnya dan bukan nilainya. 

Bahwa Imam Abu Hanifah, menyatakan bolehnya zakat fitri dengan uang. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah :

 وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة

“Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya “. (Kitab Fiqih Sunnah)


Dengan mengeluarkan harganya, maka diharapkan tujuan dari diserahkannya zakat fitrah yaitu untuk mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta pada hari Ied, dapat terpenuhi. Hal ini sebagaimana disebutkan hadits dari Ibnu Umar radhialla ̅hu ‘anhu,

فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم

“Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, Beliau bersabda “Penuhilah kebetuhan mereka pada hari ini” (HR. Ad Daruquthni, 2/152)


Dalam riwayat lain:                

أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

“Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling (untuk minta-minta) pada hari ini”. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.  7528)


Dari riwayat ini, bisa dipahami bahwa yang menjadi substansi adalah terpenuhinya kebutuhan mereka ketika hari raya dan jangan sampai mereka mengemis. Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan  nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga  dengan barangnya. Apalagi untuk daerah pertanian, bisa jadi mereka lebih membutuhkan uang dibanding makanan pokok, mengingat daerah seperti itu biasanya tidak kekurangan makanan pokok. 

Ini juga menjadi pendapat dari Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah:

وَالْإِغْنَاءُ قَدْ يَكُونُ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ ، كَمَا يَكُونُ بِدَفْعِ الْأَصْل

“Memenuhi kebutuhan dapat terjadi dengan membayarkan harganya, sama halnya dengan membayarkan yang asalnya “. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi fi Fiqh Asy Syafi’i, 3/179)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.