Hadits Menyerupai Suatu Kaum

Ada beberapa hadits tentang menyerupai suatu kaum.

Dari Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya” (HR Tirmidzi, hasan)

Dari Ibn Umar beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud, hasan)

Dari Umar radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله تعالى وحده لا شريك له و جعل رزقي تحت ظل رمحي و جعل الذل و الصغار على من خالف أمري و من تشبه بقوم فهو منهم
“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)

Juga terdapat hadits dalam masalah menyelisihi kaum musyrikin yaitu dari Ibn Umar dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot, pendekkanlah kumis” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Ya’la ibn Syaddad ibn Aus dari bapaknya beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
“Selisihilah kaum Yahudi karena sesungguhnya mereka tidak pernah shalat dengan memakai sandal mereka dan tidak pula dengan khuf mereka” (HR Abu Dawud, sanadnya hasan)

PENDAPAT KIAI ALI MUSTHAFA YAQUB TENTANG HADITS MENYERUPAI SUATU KAUM
Mengutip dari kitab Kasy al-Khafa’ karya Imam al-‘Ajluni, Pak Kiai Ali menulis bahwa kualitas hadis tasyabbuh ini diperdebatkan. Sebagian ulama menyebut hadis ini berkualitas sahih, sebagian menyebut berkualitas dlaif.

Kesahihan hadis ini sebenarnya masih diperdebatkan ulama. Ada yang mengatakan sahih, tapi tidak sedikit pula yang berpendapat hadis ini dhaif (lemah). Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan perbedaan pendapat ini dikarenakan perawi bernama ‘Abdul Rahman Ibn Tsabit Ibn Tsauban. Ulama berbeda pendapat dalam menilai ‘Abdul Rahman ini. Sebagaimana dicatat al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Nasa’i mengatakan ‘Abdur Rahman laysa bi tsiqah; Ahmad Ibn Hanbal berpendapat riwayat hadisnya munkar; Yahya Ibn Ma’in menilai laysa bihi ba’s; Ibnu ‘Adi mengatakan hadisnya tetap ditulis sekali pun dhaif.

Pun andai kita asumsikan bahwa hadis tersebut sahih, kata Pak Kiai Ali, hadis itu tidak menjelaskan bahwa meniru orang-orang non-Islam merupakan tindakan terlarang. Tidak.

Pak Kiai Ali mengutip pernyataan Imam al-Munawi dalam karyanya, Faidh al-Qadir. Menurut al-Munawi, makna hadis من تشبه بقوم فهم منهم adalah “orang yang meniru orang-orang saleh maka dia dianggap mengikuti mereka. Ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang saleh itu. Dan orang yang meniru orang-orang fasik atau orang-orang tak bermoral maka dia akan direndahkan dan dicibir sebagaimana orang-orang tak bermoral itu”.

Lanjut al-Munawi, “Orang yang secara lahiriah menunjukkan sikap terhormat maka dia akan dihormati—meski sebenarnya dia sama sekali tidak punya kehormatan.”

Orang-orang akan menilai Anda berdasarkan apa yang tampak secara lahiriah, meski yang sesungguhnya Anda sama sekali berbeda dari yang kelihatannya.

Kira-kira demikian.

Jadi, terkait hadis tasyabbuh tersebut, dapat diambil beberapa poin:

Pertama, hadis tasyabbuh masih diperdebatkan kualitasnya.

Kedua, pun jika hadis tasyabbuh itu sahih, ia tidak menjelaskan tentang larangan meniru atau menyerupai orang-orang non-Islam.

Ketiga, makna hadis tasyabbuh sesungguhnya “netral” saja. Hadis ini sekadar mendeskripsikan kecenderungan penilaian lahiriah.

Makna hadis ini sesederhana seperti pada masa pilpres lalu: jika Anda berfoto sambil berpose dua jari, Anda bakal dianggap sebagai pendukung Prabowo, meski, misal, sebenarnya maksud dua jari Anda adalah simbol “peace” dan Anda seorang golput.

Atau, jika Anda berpose satu jari, Anda bakal dianggap sebagai pendukung Jokowi, meski, misal, sebenarnya pose satu jari Anda maksudnya adalah “salam tauhid”. (Nah, jangan-jangan, salam tauhid dengan mengacungkan satu jari pada masa pilpres lalu untuk sementara libur dulu, sebab tidak mau dianggap sebagai pendukung Jokowi—Ya, kan para pengacung “salam tauhid” kebanyakan bukan pendukung Jokowi. Ya enggak sih?).

Jadi, kira-kira seperti itulah ilustrasi pemaknaan hadis tasyabbuh. “Orang yang meniru suatu kaum maka dia akan dianggap menjadi bagian kaum itu”.

Kedua, Tasyabbuh dalam Hadis

Seperti sudah disampaikan, kualitas hadis من تشبه بقوم فهو منهم masih problematik. Karena masih problematik, hadis tersebut, menurut Pak Kiai Ali, tidak punya legitimasi untuk menjadi dalil larangan tasyabbuh. Tidak dapat digunakan sebagai dalil larangan tasyabbuh. Jika ingin berargumentasi tentang larangan tasyabbuh, gunakan dalil lain.

Tapi, ada riwayat Nabi Muhammad pernah bertasyabbuh dengan Ahlul Kitab. Nabi pernah meniru kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani soal gaya rambut. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Begini, pada masa Nabi, soal rambut, kaum Yahudi dan Nasrani berbeda gaya dengan kaum musyrik. Model rambut kaum Yahudi dan Nasrani masa itu berjambul di depan. Mereka menjulurkan rambut hingga ke bagian jidat. Sementara, model rambut kaum musyrik saat itu dibelah. (Saya agak kesulitan menjelaskan soal kedua gaya rambut ini. Untuk mempermudah gambaran, pokoknya, rambut Ahlul Kitab itu berjambul dan rambut kaum musyrik itu dibelah).

Nah, di antara kedua gaya rambut itu, Nabi lebih menyukai gaya rambut Ahlul Kitab—sebagai sesama penganut syariat langit—ketimbang gaya rambut kaum musyrik. Maka, Nabi pun meniru gaya rambut Ahlul Kitab, kaum Yahudi dan Nasrani. Prinsip Nabi, selama tidak ada wahyu yang melarang, Nabi senang saja meniru perilaku dan kebiasaan Ahlul Kitab.

Ibnu ‘Abbas pernah berkata: 
    إن رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر به 
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan)” (HR: al-Bukhari)

Kata Ibnu Abbas,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر به
Dalam terjemahan Pak Kiai Ali, “Rasulullah senang menyamai kaum Yahudi dan Nasrani selama tidak ada perintah untuk menjauhi—selama tidak ada larangan.”

Termasuk dalam perkara model rambut.

Menurut Ibnu Bathal dalam Syarh Shahih al-Bukhari, juga Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Nabi meniru model rambut kaum Yahudi dan Nasrani itu demi menarik simpati mereka. Nabi sangat berharap kaum Yahudi dan Nasrani itu kembali kepada Islam. Itu terjadi pada masa awal-awal Islam.

Namun, akhirnya, Nabi mengubah gaya rambutnya—kembali dengan gaya rambut belah, tidak lagi berjambul seperti Ahlul Kitab. Itu dilakukan setelah Islam mapan. Saat itulah Nabi diperintah untuk tampil berbeda dengan Ahlul Kitab. Mulai dari gaya rambut tadi hingga soal sandang—soal sandang, misal, Nabi memerintahkan para sahabat agar tidak meniru kaum Yahudi yang sembahyang tanpa menggunakan alas kaki. Sementara, dengan kaum musyrik, Nabi berbeda soal jenggot dan kumis. Nabi memerintahkan para sahabat agar memelihara jenggot dan tak memanjangkan kumis sebab kaum musyrik memotong jenggot mereka.

Jadi, demikianlah.

Pertama, pada masa awal-awal Islam, Nabi berupaya menarik simpati Ahlul Kitab dengan cara meniru kebiasaan mereka, terutama soal gaya rambut, dengan harapan mereka tertarik pada Islam. Namun, setelah Islam mulai mapan, Nabi diperintahkan untuk tampil berbeda dengan mereka.

Kedua, saat Islam telah mapan, Nabi tidak hanya berpenampilan berbeda dengan penampilan Ahlul Kitab, tetapi juga dengan penampilan kaum musyrik. Perbedaan penampilan dengan kaum musyrik itu terkait “politik identitas” saat kaum muslim dan kaum musyrik mulai sering berseteru, bersitegang, dan berperang. Nabi memerintahkan agar kaum muslim tampil berbeda dari kaum musyrik agar mudah membedakan kawan dan lawan, terutama dalam peperangan. Jenggot dan kumis itulah yang menjadi identitas pembeda: saat kaum musyrik memotong jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka, Nabi memerintahkan kaum muslim melakukan sebaliknya.

Jadi, kira-kira demikianlah konteks terkait penyerupaan maupun perbedaan penampilan atau kebiasaan antara kaum muslim dan nonmuslim (Ahlul Kitab dan kaum musyrik) pada masa Nabi. Baik ketika Nabi meniru nonmuslim maupun saat Nabi tampil berbeda dengan mereka, semuanya tak lepas dari konteks.

Perbedaan dan pembedaan kaum muslim dan nonmuslim pada masa Nabi tidak hanya terkait hal-hal prinsip tentang ajaran agama, tetapi perbedaan dan pembedaan antara mereka juga ditegaskan sampai pada hal-hal terkait budaya dan kebiasaan karena konteks yang menuntut demikian.

Dan, pada hari ini, kaum muslim dan kaum nonmuslim mana pun tidak sedang berada dalam konteks yang sama sebagaimana kaum muslim dan kaum nonmuslim pada masa Nabi. Pada hari ini, kaum muslim dan kaum nonmuslim telah sama-sama tersebar di segala penjuru dunia dan sama-sama menjadi warga dunia yang sama. Perbedaan dan pembedaan antara muslim dan nonmuslim pada masa Nabi yang dapat tetap dipertahankan pada hari ini hanyalah yang terkait syariat-syariat inti agama. Inilah yang tetap selamanya. Selebihnya, soal budaya, antara kaum muslim dan nonmuslim, tak perlu dipaksakan berbeda, juga tak perlu dipaksakan sama.

Pada hari ini, satu-satunya identitas pembeda antara kaum beragama hanyalah prinsip agama masing-masing. Selebihnya, soal budaya dan kebiasaan duniawi, antar kaum beragama atau umat manusia secara keseluruhan, bisa saja saling tasyabbuh, saling meniru, saling menyerupai. Fleksibel dan biarkan terjadi secara alamiah saja. Dalam kehidupan yang terkoneksi seperti sekarang, memengaruhi dan terpengaruh budaya hampir tidak dapat dihindari. Dalam kehidupan yang terkoneski, kehidupan yang kosmopolitan tidak dapat dihindarkan.

“Jadi, sebenarnya Islam itu sangat lentur sekali,” kata Pak Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam sebuah sarasehan seniman dan budaya Islam. “Yang bikin [Islam tampak] sumpek dan kaku itu ya sebagian orang Islam.”

Tapi ya memang selalu ada orang-orang yang “tasyaddud”. Orang-orang yang—dalam pandangan sebagian kita—mempersulit diri. Sebuah pilihan hidup yang mesti dihormati, meski kadang sikap tasyaddud itu merepotkan orang lain.

Walhasil, dalam Islam, ada yang tetap dan ada yang berubah. Yang tetap adalah yang menyangkut hal-hal prinsip, seperti rukun iman dan rukun Islam. Yang berubah adalah yang menyangkut budaya dan kebiasaan, seperti gaya berpenampilan atau relasi budaya antara muslim dan nonmuslim.

Yang tetap akan tetap sepanjang zaman. Yang berubah akan mengikuti perubahan zaman. Yang tetap akan tetap seperti adanya sejak semula hingga kiamat. Yang berubah akan berganti, berevolusi, atau hilang sama sekali.


Sumber: 
https://muslim.or.id/22750-fatwa-ulama-batasan-dalam-menyerupai-orang-kafir.html
https://jumanrofarif.wordpress.com/2019/12/31/hadis-tasyabbuh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.