Tafakur Aqabah Kesiapan Diri

Pernahkah saudara membayangkan, kedatangan seorang manusia yang tidak anda kenal karena memang dia tidak terkenal, atau boleh jadi anda kenal dia sebagai manusia yang seperti juga anda dan manusia lainnya yaitu dia makan, minum bahkan sakit seperti juga manusia lainnya mengalami sakit; tiba-tiba ia mengatakan kepada saudara bahwa ia seorang rosul, wakil Allah, dalam satu hal jika anda taat kepadanya sama dengan anda taat kepada Allah, ia telah menempati dirinya (tegasnya Allah telah menempatkan dia) sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Allah, yang jika manusia sedunia cinta kepada Allah, maka sebagai buktinya seluruh manusia tadi harus taat kepada dia, padahal dari status sosial, ia berada di bawah anda, padahal dari segi kekayaan bahkan umur berada di bawah anda. 

Nah ! bagaimana sikap anda kemudian ?? Modal apa yang dapat menjadikan anda beriman?!  Sebab kalau anda bermodalkan rasa atau ego diri pasti jawabannya akan seperti orang-orang kafir saat itu yang menyatakan, “.........orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, ia bermaksud menjadikan lebih tinggi daripada kamu, padahal kalau Allah berkehendak tentu menurunkan malaikat, tidak aku dengar seruan seperti ini dari nenek moyang kami dahulu.”

Dari kasus imaginer tadi, marilah kita beralih kepada kasus nyata di mana kita terlibat didalamnya. Ikhwan sekalian, satu kenyataan kini bahwa kita sudah mengikat diri ini kepada ikatan Allah, kepada tali (buhul) Allah yang tidak akan putus dari rahmat-Nya selama kita tidak memutuskan diri. Ikatan itulah yang menjadikan jaminan, hak paten dari setiap insani yang telah mengikatkan dirinya, untuk mendapatkan rahmat dan taubat pada kehidupan kini serta untuk mendapatkan kenikmatan, kebahagiaan yang hak dan abadi pada kehidupan kelak.

Adapun orang-orang yang mengikatkan dirinya pada ikatan selain tali Allah, maka kemudian Allah berlepas diri daripadanya. Sebab sudah fitrah insani bahwa kehidupannya itu tidak bisa menyendiri, melainkan membentuk kehidupan sosial, membentuk sistem sosial, karena itulah manusia disebut makhluk sosial. Dan jika tidak dengan sistem sosial yang dikehendaki Allah, maka pasti manusia tadi membentuk sistem sosial yang dikehendaki syaitan, sadar atau tidak sadar, rela atau terpaksa.

Sebagai bukti keterikatan, kita dituntut patuh kepada Allah, Rosul dan Ulil Amri Minkum, artinya pemimpin diantara kamu. Dalam kaitan ketaatan kita kepada Allah dan Rosul barangkali hampir tidak ada masalah, setidak-tidaknya problem yang terjadi seperti orang kafir kedatangan para Rosul Allah, tidak terbukti kini, sebab kita melihat Allah dan juga Rosul-Nya pada dimensi yang sakral. 

Akan tetapi bukti keterikatan kita pada “Ulil Amri minkum?! “ Hal inilah justru yang sering menjadi polemik bahkan tidak jarang menyebabkan seseorang kemudian memutuskan ikatannya dari tali Allah, karena dirinya me-RASA tidak puas. “.... Orang itu bukan dari golongan kamu ( Muhammad ) dan bukan pula dari golongan mereka ...” ( Qs. 58;14 ) Allah telah menyediakan bagi mereka adzab yang keras ....” Na’udzubillahi min dzalika!

Dapatkah kita menerima satu kenyataan yang ada bahwa jika kita taat Allah, taat Rosul, maka kemudian musti taat kepada ulil amri, padahal ia manusia biasa, yang makan seperti juga manusia lainnya, ia juga mengalami sakit, bahkan ia tidak menerima wahyu langsung dari langit seperti pada Rosulullah SAW, ia juga bukan orang yang terbebas dari segala dosa (ma’sum) seperti Rosulullah SAW. Dalam kehidupan di dunia malah ia banyak minta bantuan anda, status sosialnya lebih rendah dengan anda. Tiba-tiba ia menyatakan “.... siapa taat Allah, taat Rosul maka harus taat kepadaku !” atau ia mengatakan “ Demi Allah kamu tidak beriman sehingga kamu menjadikan aku sebagai hakim terhadap apa yang kamu perselisihkan ....” Ridhokah kita mematuhinya ?! 

Ah, rasanya tidak ridho bukan ?! Nah ! RASA itulah pula yang menjadikan orang-orang kafir dahulu menjadi musuh Allah; karena RASAnya itu tidak disadarkan pada benar dan tidak benar kepada aturan Allah SWT, melainkan disadarkan atas aturan-aturan syaithan.  Barangkali kita pernah punya asumsi ; bodoh sekali orang-orang kafir Quraisy itu, mereka tidak mau beriman kepada Rosulullah SAW. Demikian pula generasi yang akan datang mungkin mengatakan, bodoh sekali kita-kita ini kalau kita pun tidak taat kepada ulil amri.

Ikhwan sekalian, masalah inilah yang menjadi kerangka dasar bagi pembentukan masyarakat Islam seperti yang Allah kehendaki. Lengkapnya marilah kita mulai dengan Al Qur’an surat 43 : 85-86, “Dan Maha berkah Dzat yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantaranya; dan disisi-Nya adalah ilmu tentang saat hari kiamat dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan. Dan tidak memiliki syafaat yang mereka seru selain Allah, kecuali orang yang menyaksikan terhadap kebenaran dan mereka mengetahui.” 

Dari ayat ini dan juga dari ayat-ayat lainnya yang sejenis yang bertebaran dalam Al Qur’an dapatlah kita mengambil satu pemahaman bahwa satu keyakinan bahwa kita menyakini, mengimani adanya Allah sebagai raja, bukan hanya raja manusia seperti yang ditegaskan dalam salah satu dari dari tiga essensi tauhid, “Aku berlindung kepada Allah, raja manusia”. Akan tetapi raja semua makhluk baik yang dhohir maupun makhluk yang goib. Demikian pula kerajaan Allah bukanlah hanya meliputi sekitar langit dan bumi saja, tapi juga inter dunia-akhirat, tegasnya bukan inter bumi dan langit saja, tapi juga inter dunia-akhirat, semua itu dalam kekuatan sang Raja.

Semua makhluk baik yang ghaib atau pun yang dhohir semua telah patuh, telah taat kepada aturan-aturan raja tadi, tanpa reserve sedikitpun, kecuali jin dan manusia, Allah telah memberikan kemerdekaan yang mutlak didunia ini, apakah mereka hendak patuh kepada aturan-aturan raja tadi atau sebaliknya mengingkari, terserah manusia atau jin tersebut, namun kehidupan di kerajaan akherat mereka kembali tidak dapat menolak, yaitu mendapati siksa, bahkan puncak dari segala siksa bagi orang atau jin yang ketika di dunia mengingkari aturan Rajanya. Na’udzubillahi min dzalika. 

Hal itu ditegaskan Rosulullah SAW, “ Akan melipat Allah kepada langit pada hari qiyamah kemudian memegangnya dengan tangan kanan, kemudian bersabda Ia “Aku Raja” kemudian bersabda Ia, “Mana orang-orang yang sombong itu, mana orang-orang yang besar kpala itu”. (H.R. Muslim). 

Firman Allah dalam Al Qur’an surat 39 ayat 67 mempertegas lagi, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari qiyamah dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya...” Imam Bukhori pun meriwayatkan salah satu sabda Rosul yang berbunyi “Akan mengumpulkan Allah terhadap abdi-abdi (hamba-hamba), maka ia menyeru mereka dengan suara, mendengar kepada suara itu orang yang jauh, seperti mendengarnya orang yang dekat, “Aku Raja, Akulah yang punya aturan” 

Akan tetapi indra manusia tidak akan sampai untuk mengabstraksi selain bumi dan langit, begitupun dalam tiga esensi tauhid, tidak disebut “Aku berlindung kepada rajanya jin, melainkan katakan, “aku berlindung kepada rajanya manusia”. Yang tempat kedudukannya adalah bumi (Q.S. 7;10). Dan kenyataannya bumi yang kita diami adalah “Bumi Indonesia”. 

Perhatikan sabda Rosul yang diriwayatkan Imam Bukhori tadi ; bukan saja kita dituntut beriman kepada Allah sebagai raja saja, sebagai salah satu dari tiga dasar keimanan, melainkan juga kita dituntut untuk mengimani aturan-aturan-Nya (ana dayyaan). Untuk mewujudkan, mengawasi pelaksanaan, serta pelaksanaan dari aturan-aturan ( din dayyaan) tadi Allah telah mengangkat manusia seluruhnya sebagai khalifah-khalifah (wakil pengganti) di bumi, dan mengangkat anda dan juga saudara-saudara anda untuk wakil di bumi Indonesia (QS.35;39). Itulah tugas semua rosul-rosul yaitu mendzohirkan aturan-aturan Allah diatas segala aturan-aturan yang lainnya. Nah ! Sekitar itulah nanti kita akan diminta pertanggung jawaban yaitu bukti dari ketaatan kita kepada Allah SWT serta bukti diri ikut andil dalam mendzohirkannya (jamaah).

Kita semua dituntut patuh, taat, serta disiplin baik dalam arti khusus maupun umum kepada Allah, kepada Rosul serta kepada ulil amri (QS. 4;59) agar kepatuhan, ketaatan serta kedisiplinan terasa indah serta dijiwai, maka harus disertai rasa cinta, rasa yang didasarkan atas mahabbah lillahi, sebab taat, patuh, disiplin tanpa rasa cinta setia akan terasa kaku, tegang dan kurus kering “tandus” laksana suara tanpa irama. Bahkan kadang kala terasakan sebagai suatu yang keras dan kejam, kasar dan bengis, maka untuk memperoleh hasil amal yang sempura, jiwa-jiwa yang besar, maupun mashlahat untuk umum, untuk ummat, kuncinya terletak dalam jiwa, atau tegasnya dalam jiwa mujahid yang harmonis, selaras dengan tugasnya.

Mujahid yang memiliki keselarasan jiwa semacam ini akan menunaikan segala macam tugas wajibnya dengan sepenuh jiwanya, dengan tekun, dengan khusyu dan khudlu tanpa menghiraukan atau terpengaruh oleh sesuatu di luarnya. Maka pokok pangkal daripada keselarasan jiwa itu terletak pada rasa cinta ialah rasa suci murni, yang bersemayam dalam lubuk kalbu setiap mujahid sejati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.