Khalifah sebagai wakil Allah subhanahu wa ta'ala yang sah (legal) untuk memimpin dan mengatur bumi merupakan bentuk syar'i dari sistem pemerintahan yang dikehendaki Islam. Abul Ala Maududi dengan mengacu kepada Q.S. 5: 48 dan Q.S. 38: 26 menyebutkan,
"Bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan Al-Quran, ialah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah subhanahu wa ta'ala."26
Lebih lanjut Maududi menyebutkan bahwa,
"Doktrin tentang khilafah yang di sebutkan di dalam Al-Quran al-Karim ialah, Bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia, hanyalah karunia dari Allah subhanahu wa ta'ala. Dan Allah telah menjadikan manusia dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian-pemberian dan karunia-karunia yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-Nya. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya".27
Perhatikan kembali Q.S. 2:30 dan Q.S. 7:129
Kaum Musa berkata: "Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada Kami dan sesudah kamu datang [556]. Musa menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu". (QS 7:129)
Setiap umat yang dikaruniai bagian kekuasaan di suatu tempat di atas bumi ini, pada hakikatnya adalah khalifah Allah di dalamnya. (Qs. 7:69 10:14 7:74)
وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاَكُمْ فِى الْاَرْضِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْ سُهُوْلِهَا قُصُوْرًا وَّتَنْحِتُوْنَ الْجِبَالَ بُيُوْتًا ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
"Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan". (Qs7:74)
Maududi menegaskan,
"Namun khilafah ini tidak menjadi khilafah yang benar selama tidak mengikuti hukum Sang Pemilik yang sebenarnya. Adapun sistem pemerintahan yang memalingkan dhi dari Allah, lalu menjadi sistem yang terlepas bebas, memerintah dengan dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri, maka itu bukanlah khilafah, tapi itu adalah pemberontakan atau kudeta melawan Sang Penguasa yang hakiki".28 (Q.S. 35:39) (Q.S. 89:6, 9, 10 dan 11 Q.S. 79:17 dan 24 Q.S. 24:55
"Adapun khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, tapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang telah di sebutkan tadi dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar ini. Kata-kata dalam ayat 55 surat an-Nur yang berbunyi: . . Allah akan menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah di atas bumi...." jelas dan tegas menyatakan hal ini."29
"Setiap individu di dalam kelompok kaum mukminin, ditinjau dari pandangan ayat ini, adalah sekutu di dalam khilafah dan tidak seorang manusia atau kelas pun berhak mencabut kekuasaan kaum mukminin di dalam khilafah ini, lalu memusatkannya di tangannya sendiri. Begitu pula, tidak seseorang atau kelas pun dapat mengklaim bahwa khilafah Allah hanya cukhususkan baginya dan bukan bagi kaum mukminin lainnya.
Inilah yang membedakan khilafah Islamiyah dari sistem kerajaan, peme-rintahan kelas atau pemerintahan para pendeta agama. Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dengan demokrasi Barat -yaitu bahwa dasar pemikiran demokrasi Barat bertumpu atas prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Adapun demokrasi dalam khilafah Islamiyah, rakyat mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah dan, dengan sukarela dan atas keinginannya sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah subhanahu wa ta'ala".30
Dalam konteks sejarah, praktik yang terjadi dalam perjalanan sejarah Islam memperlihatkan adanya dua sistem pemerintahan dalam ummat Islam. Pemerintahan yang berlangsung sepeninggal Nabi, khususnya pada masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib), ini barangkali sepadan dengan bentuk republik dalam konsep politik modem. Tetapi pada kurun berikutnya, sejak pemerintahan Umayyah, Abbasiyyah, sampai dengan Turki Usmani, dan pemerintahan Islam di wilayah yang lainnya, termasuk di Indonesia, adalah bercorak kerajaan atau monarki.31
Ciri utamanya adalah pergantian kekuasaan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak bersifat keturunan (hereditas) dan satu sama lain tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sementara pemerintahan selanjutnya (mulkan, mamlakah) pergantian kekuasaannya berlangsung secara turun-temurun, meskipun tidak mesti antara bapak dan anak. Tidak jarang pula pergantian itu terjadi berdasarkan pada seberapa kuat pengaruh seorang anggota (pangeran) istana atas pusaran politik yang ada di istana atau pusat pemerintahan.
Imam Najmuddin An-Nasafi menjelaskan peran khalifah di kalangan ummat Islam sebagai berikut,
"Ummat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian di-bagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan oran| yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya."32
Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa peran seorang khalifah atau Imam dalam masyarakat Islam sangat besar sekali. Peran ini merambah mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, sampai pelaksanaan aspek ibadah mahdhoh dan muamalah sangat tergantung dari khalifah atau Imam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.