Purifikasi Idiologi Islam (Sarekat Islam)

 


Purifikasi Idiologi Islam adalah proses pemurnian dan penegasan Idiologi Islam yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Bahwa sejak awal berdirinya SI telah berubah menjadi gerakan rakyat yang sangat besar sehingga mengundang berbagai pihak untuk memberikan pengaruh terhadap SI, diantaranya penganut paham komunisme dan nasionalisme. 

Dalam pergulatan pemikiran dalam tubuh SI, SI menegaskan jati dirinya sebagai organisasi yang hanya berpijak kepada idiologi Islam. Hal ini semakin nyata sejak disahkannya Politik Hijrah sebagai pedoman haluan organisasi yang menggariskan kebijakan politik dalam berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada bagian Purifikasi Idiologi Islam ini akan kami jelaskan proses sejarah yang terjadi dalam tubuh SI dan proses pemurnian idiologi yang terjadi di dalamnya.

Pada awal-awal pertumbuhan gerakannya, SI telah berubah menjadi gerakan massa yang sangat besar. Untuk mengkonsolidasikan gerakannya, SI melakukan Kongres pertama di taman kota Surabaya pada 26 Januari 1913. Kongres pertama SI ini dihadiri oleh delapan sampai sepuluh ribu orang dan dipimpin oleh Cokroaminoto.19 Kongres memutuskan untuk membagi Indonesia menjadi tiga wilayah gerakan. Kongres SI mendapat sambutan yang hebat rakyat Indonesia terbukti dengan masuknya ribuan orang sebagai anggota aktif SI.20 

Kongres membagi wilayah organisasi menjadi tiga bagian yaitu Jawa Barat (meliputi Jawa Barat, Sumatera), Jawa Tengah (Kalimantan), Jawa Timur (Sulawesi, Lombok, Bali, Sumbawa). Ketiga cabang tersebut dibawah pengawasan pengurus pusat H. Samanhudi.21 

Terlihat dalam hasil kongres ini bahwa SI menekankan kegiatannya yang bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok Nusantara. Hal ini berbeda jauh dengan gerakan Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 dan hanya merekrut kalangan priayi dari suku Jawa saja.

Tanggal 23 Maret 1913 SI mengadakan kongres umum yang kedua di Surakarta. Pertemuan diselengarakan di Taman Istana Susunuhan.22 Malam menjelang kongres di pilih pengurus besar yang selanjutnya bernama Centraal Comite. H Samanhudi terpilih menjadi ketua dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. Pengunjung kongres SI ini diperkirakan antara tujuh sampai dua puluh ribu orang yang memenuhi stasiun kereta api.23 

Sesudah kongres di Surabaya dan Surakarta, SI berkembang pesat. Propaganda secara masal dilakukan oleh perkumpulan yang baru ini. Dilaporkan ketika itu pada bulan Mei dan Juni terjadi kepanikan di kalangan orang-orang Eropa. Sebagian besar pers Eropa di Indonesia terang-terangan menentang SI, SI mereka anggap bahaya besar bagi kekuasaan Belanda di tanah jajahan dan Idenburg selaku Gubernur Jenderal dipersalahkan bertindak terlalu lemah terhadap gerakan ini.24

Tanggal 30 Juni 1913 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan yang definitive berkenaan dengan pengajuan badan hukum SI. Pemerintah menyatakan penolakan pengakuan badan hukum (recht persoon) secara menyeluruh, karena berdasarkan pengorganisasiannya perkumpulan tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Namun keberatan ini tidak berlaku “bagi perkumpulan sejenis yang bekerja dengan lingkungan terbatas seperti ibukota, distrik atau kabupaten”, dan kerjasama antar perkumpulan setempat diperkenankan.25 Dengan demikian pemerintah berusaha memperlemah kesatuan SI dengan hanya mengakui pendirian SI di tingkat local dan tidak mengakuinya secara keseluruhan.

Keputusan pemerintah ini diberikan pada tanggal 10 Juli 1913 kepada Centraal Comite SI, dan pada hari itu juga CC SI bersama wakil sejumlah besar cabang melakukan rapat untuk membahasnya.26 Rapat memutuskan untuk tetap mempertahankan organisasi yang telah ada dengan struktur terdapat SI-SI local dan terdapat Centraal Comite SI yang menjadi penaung seluruh kepemimpinan SI. Sampai akhir tahun itu, Cokroaminoto kemudian melakukan perjalanan keliling Jawa dalam rangka membentuk SI-SI tingkat local.

Kongres tahun 1914 dilangsungkan pada tanggal 18-20 Aprilv1914. Kongres ini memutuskan untuk menetapkan AD dan memilih Centraal Comite yang baru. Pengurus yang terpilih yaitu Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Cokroaminoto sebagai Ketua dan Gunawan sebagai wakil ketua.27 Pengangkatan Cokroaminoto sebagai Ketua ini menjadikan namanya semakin berkibar dalam peta politik Indonesia.

Dalam waktu singkat SI menjadi organisasi besar dengan anggota aktif mencapai ratusan ribu bahkan jutaan orang. Perkembangan positif ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya pemimpin-pemimpin SI bukan pegawai pemerintahan Belanda, sehingga nampak sikap ketegasannya terhadap penjajahan. SI juga senantiasa membela kepentingan rakyat kecil, dan tidak kalah penting yaitu cita-cita SI selaras dengan agama Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia. 


Tentang keterlibatan rakyat Indonesia, pada tahun 1916 saja SI memiliki anggota aktif 800.000 orang28 dan enam tahun kemudian yaitu pada tahun 1921, anggotanya berkembang menjadi 2 juta orang dengan terbentuk cabang-cabang SI di seluruh Nusantara, kecuali Irian Barat.29 

Tercatat bahwa setelah 50 SI daerah berdiri pada tahun 1915 didirikan Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya. Tujuan badan sentral ini adalah memajukan dan membantu SI daerah, mengadakan dan memelihara perhubungan dan pekerjaan bersama diantaranya.30

Dalam pada itu pada bulan Mei 1914 dua orang Belanda yaitu Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet mendirikan Indesche Sosial Demokratische Verenezing (ISDV) di Semarang.31 ISDV adalah gerakan politik yang mengusung idiologi Komunisme/Marxisme sebagai faham pemikiran dan kenegaraan. ISDV menjadikan Semarang sebagai basis gerakannya. ISDV melihat gerakan SI sebagai gerakan kerakyatan yang potensial untuk di inviltrasi guna menanamkan komunisme dan marxisme. 

Dengan terbentuknya kepengurusan CSI, maka pada 18 Maret 1916 pemerintah Belanda memberikan pengakuan kepada pengurus CSI (rechtpersoon).32 Keputusan ini di ambil oleh Gubernur Jendral Idenburg ketika ia hampir berhenti sebagai Gubernur Jendral pemerintah Belanda untuk Indonesia.33 Boleh jadi hal ini dilakukan untuk mengambil simpati dari rakyat Indonesia.

Kebangkitan gerakan SI menarik perhatian kaum bangsawan atau pangreh raja. Di Bandung, SI yang didirikan Ki Hajar Dewantara (Ketua), Abdul Muis (Wakil Ketua) dan A. Widiadisastra (Sekretaris) mendapat dukungan dari Bupati Bandung Wiranatakusumah. Sehinga memungkinkan diselenggarakannya Kongres Nasional I Sarekat Islam di Bandung pada 17-24 Juni 1916.34 

Di tengah berkobarnya Perang Dunia I, kongres SI tersebut mengeluarkan tuntutan kepada Belanda untuk membentuk pemerintahan sendiri (Zelf Bestuur/Self Government).35 Ketua SI ketika itu HOS Cokroaminoto dalam pidatonya menuntut pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia. Bisa dibayangkan ketika kolonial Belanda masih sangat kuat-kuatnya ada tuntutan mendirikan pemerintahan sendiri dari rakyat yang dijajah, tentu menyedot perhatian yang luar biasa baik dari Belanda maupun rakyat Indonesia.

(Baca: Pidato HOS COkaminoto dalam Kongres 1916 disini)

Kongres ini di hadiri wakil-wakil dari 80 cabang SI di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, mereka mewakili 800.000 anggota aktif SI yang ada.36 SI adalah satu-satunya organisasi politik yang berhasil untuk pertama kali menyelenggarakan kongres tingkat nasional sekaligus menggerakkan kesadaran politik rakyat Nusantara. Keutuhan pergerakan SI yang mengikat lahir bathin anggotanya ialah syarat “kekuatan sumpah” (bai’at) yang dilakukan oleh orang perorang anggota SI.37 

Melalui kongres-kongres SI, rakyat telah mencapai kesadaran nasional (nationaal bewust) dan kesadaran bernegara (staats bewust).38 Kongres SI yang memperlihatkan gerakan rakyat secara menasional tersebut menarik ISDV, sehingga ISDV melakukan inviltrasi demi menanam idiologi komunis-sosialis.39 

Kongres SI dinamakan National Indisce Congres I atau disingkat NATICO CSI ke I. Kongres Nasional dalam istilah SI lainnya adalah Madjlis Tahkim. Sejak tahun 1916 pertemuan-pertemuan tahunan SI di sebut dengan Kongres Nasional, yang sebelumnya hanya di sebut Kongres saja. 

Menurut Cokroaminoto pemakaian kata nasional merupakan suatu usaha untuk, “Meningkatkan seseorang pada tingkat ‘natie’ (bangsa) … usaha pertama untuk berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang Indonesia diberi hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah politik.”40 Tegasnya, “Dengan perkataan nasional, kita bermaksud bahwa SI menuju kearah persatuan teguh dari semua bangsa Indonesia, yang harus dibawa setinggi tingkat “natie”.41 

Isu akan adanya pembentukan Volksraad yang akan di bentuk pemerintah Hindia Belanda menarik perhatian peserta kongres, sehingga masalah Volksraad ini mulai dibicarakan sejak kongres SI pertama ini. Pemerintah Belanda sendiri memutuskan untuk membentuk Dewan Rakyat pada tanggal 30 Maret 1917. Volksrad merupakan perkumpulan politik yang diikuti oleh seluruh organisasi politik di Indonesia, termasuk perkumpulan-perkumpulan pribumi.42 Kehadiran Volksraad memunculkan wacana kooperasi (kerjasama) dan non-kooperasi (tidak bekerjasama) dalam tubuh SI dalam konteks berhubungan dengan pemerintah. 

Pada tanggal 20-27 Oktober 1917 dilakukan Kongres Nasional SI ke-II (NATICO CSI ke II) di Jakarta. Sifat politik organisasi SI mulai dirumuskan dalam Kongres Nasional ini dengan menetapkan “Keterangan Pokok” dan Program Kerja. Keterangan pokok tersebut mengemukakan kepercayaan Centraal SI bahwa, “Agama Islam itu membuka pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri”. Kongres menetapkan suatu asas, yang diantaranya menyebutkan, sebuah tuntutan tentang “Pemerintahan sendiri (zelfbestuur) sebagai tujuan perjuangan terhadap penjajahan dan menentang semua penghisapan oleh “kapitalisme yang buruk.”43 

Central SI disebutkan, “tidak mengakui sesuatu golongan rakyat (penduduk) berkuasa diatas golongan rakyat (penduduk) yang lain.” 44 CSI mengharapkan, “hancur kuasanya satu kapitalisme yang jahat (zondig kapitalisme)”, dan memperjuangkan agar “tambah pengaruhnya segala rakyat dan golongan rakyat … diatas jalannya pemerintahan dan kuasanya pemerintah yang perlu akhirnya akan boleh mendapat kuasa pemerintah sendiri (zelfbestuur).”45

Kongres juga membahas masalah Volksraad (Dewan Rakyat) yang akan didirikan pada tahun berikutnya. Sebelumnya memang telah diumumkan oleh pemerintah pada 30 Maret 1917 tentang akan dibentuknya Volsraad, karena itu berbagai perkumpulan membentuk panitia nasional untuk menyatukan langkah dalam pemilihan anggota-anggota Volksraad.46 

Salah satu yang menolak adalah cabang SI Semarang. Tahun 1914 seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pria yang lahir pada 1899 ini kemudian pada 1916 pindah ke Semarang dimana Snefliet aktif dalam Serikat Buruh Kereta Api Dan Trem. Di bawah kepemimpinannya tahun 1917 jumlah anggota SI Semarang berkembang menjadi 20.000 orang. Cabang SI Semarang menentang peran serta SI dalam kampanye Indie Werbar dan menentang gagasan SI masuk ke dalam Volksrad.47

Penolakan tersebut diatas memunculkan perbedaan pandangan antara kubu yang menginginkan SI masuk Volksraad dan yang menentangnya. Namun kemudian SI memutuskan untuk berpartisipasi dalam Volksraad, sebagaimana yang disebutkan Abdul Muis, dengan harapan melalui Volksraad memungkinkan SI mengemukakan berbagai pandangan tentang masalah dan untuk membela hak-hak rakyat walaupun dengan kekuasaan dan kewenangan yang sangat terbatas yang dimiliki Volksraad.  

Pada tanggal 23 Februari 1918 Pemerintah Belanda menunjuk Cokroaminoto sebagai wakil SI dalam Volsraad. Cokroaminoto menyerahkan masalah penunjukan ini kepada organisasi. Setelah dibicarakan dengan satuan SI local dan Central SI, diputuskan Cokroaminoto masuk Volksraad. Satuan SI lokal di Jawa yang setuju 27 dan menolak 26, sedangkan CSI 6 setuju dan 5 menolak. Penolakan terutama dilakukan oleh kader SI yang juga aktif sebagai anggota ISDV, seperti Semaun Ketua SI Semarang.48 

Dengan demikian SI secara resmi memutuskan menyetujui pengangkatan Cokroaminoto sebagai wakil CSI di Volksraad.49 Cokroaminoto sebagai anggota SI yang diangkat, sedangkan Abdul Muis adalah anggota SI yang dipilih masuk dalam Volksraad. Selisih suara yang tipis dalam pemutusan sikap SI menunjukkan bahwa wacana “Co dan Non-Co” sudah mengeras dalam organisasi. Keterlibatan SI dalam Volksraad masih dilanjutkan dalam Volksraad periode kedua (1921-1924), ketika itu wakil CSI adalah Agus Salim sebagai anggota yang diangkat.50 

Gubernur Jendral Graaf van Limburg Stirum meresmikan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada 18 Mei 1918.51 Pembentukan Volksraad lebih banyak dipicu factor-factor eksternal yaitu : (a) Adanya pengakuan dari Belanda kepada Hindia Belanda sebagai negeri yang mempunyai badan hukum sendiri (eigen rechtspersoonlijkheid), dan pemisahan daripada yang ada di Nederland tentang hak milik (eigendommen), (b) Penghasilan dan pengeluaran (baten en lasten) dari tanah jajahan, dan juga (c) Perlunya Hindia Belanda menjadi pemerintahan sebagai dampak dari terjadinya perang dunia pertama (1914-1918)52 

Volksraad sesungguhnya bukanlah sebuah badan legislative (pembuat undang-undang), ia hanya merupakan badan yang dapat memberi nasehat (advies) dan mempunyai hak petisi (hak usul) kepada pemerintah Hindia Belanda. Badan ini tidak mempunyai hak amandemen (merubah undang-undang), hak interpelasi (meminta keterangan) dan hak angket (melaksanakan penyelidikan).53 Namun dengan kewenangan yang sangat terbatas tersebut, kehadiran badan ini disambut berbagai pergerakan di Indonesia karena inilah satu-satunya badan yang bisa mewakili kepentingan rakyat Indonesia di mata pemerintah Hindia Belanda. 

Dalam perjalanannya kemudian ada beberapa keputusan Volksraad yang tidak bersesuai dengan garis kebijakan partai, masalah pertanahan misalnya, hal ini yang kemudian mengangkat kembali isu hubungan antara SI dan Volksraad yang pernah hangat pada awal mula disetujuinya kader SI masuk Volksraad.54 Dalam bahasa saat itu dikenal istilah Co dan Non Co, yaitu Kooperasi suatu bentuk hubungan kerjasama dan Non Kooperasi yaitu bentuk hubungan yang menolak bekerja sama antara SI dan Volksraad. 

Perdebatan antara kelompok Co dan Non Co dalam tubuh SI tentang Volsraad semakin memuncak sehingga dalam Kongres Nasional SI (NATICO CSI ke III) di Surabaya pada 29 September – 6 Oktober 1918, diputuskan bahwa kedua pihak (Co dan Non Co) setuju untuk membatasi setiap kecaman pada permasalahan dan tidak melebar menjadi persoalan pribadi. Adolf Baars ketika itu mengatakan bahwa polemik dalam tubuh SI merupakan keberhasilan tersendiri bagi ISDV.55 Sekalipun terjadi perbedaan pandangan cukup tajam, pada akhirnya diputuskan pula untuk menentang pemerintah sepanjang tindakannya “melindungi kapitalisme”, pegawai negeri Indonesia dikatakan adalat alat, penyokong kepentingan kapitalisme.56

ISDV sendiri pada 23 Mei 1920 merubah namanya menjadi Partai Komunis India (maksudnya Hindia, Indonesia). Keberhasilan Revolusi bulan Oktober 1917 di Rusia memberikan inspirasi kuat bagi PKI untuk membangun negara komunis di Indonesia. Untuk memperkuat jaringan luar negeri, PKI menjadi bagian Internasionale Komunis (Komintern) melalui keputusan partai pada 24 Desember 1920.57 Kelahiran PKI turut dibidani diantaranya oleh Semaun, seorang pengurus SI Semarang yang juga merangkap sebagai anggota PKI. Ketika itu SI masih memperbolehkan anggotanya aktif di organisasi lain (keanggotaan rangkap).58 

Kongres Nasional SI ke-IV dilaksanakan pada 26 Oktober – 2 November 1919 di Surabaya dengan agenda utama membicarakan soal serikat pekerja. Perkembangan ISDV yang yang semakin menunjukkan faham komunisme menyebabkan jumlah anggota SI turun cepat, hal ini disebabkan karena cukup banyak anggota SI yang memiliki keanggotaan rangkap di ISDV.

Dalam Kongres Nasional SI (NATICO CSI ke V) di Yogyakarta pada 2-6 Maret 1921 dibahas masalah disiplin partai (partij discpline) yaitu tidak diperbolehkannya anggota SI merangkap sebagai anggota pada organisasi lain.59 Masalah ini ditentang oleh Semaun dan sejawatnya seperti Tan Malaka, Alimin dan Darsono, karena mereka sendiri masih aktif sebagai pimpinan di PKI. Situasi ini menyebabkan beberapa cabang SI dan sekolah-sekolah SI memisahkan diri dan menjadi cabang SR dan sekolah SR (Sarekat Rakyat).60 

Pimpinan SI beranggapan bahwa disiplin SI untuk tidak memperbolehkan anggotanya aktif di organisasi lain, dalam hal ini adalah PKI, diajukan karena SI berdasarkan Islam sementara PKI berdasarkan komunisme. Menurut Agus Salim, penetrasi dasar-dasar bukan Islam yang selama itu masuk dalam lingkungan SI telah melemahkan organisasi.61 

Karena perdebatan yang alot, Kongres memutuskan untuk membahas masalah disiplin partai sebagai agenda khusus dalam Kongres Luar Biasa yang dilaksanakan pada tahun itu juga. Sesuai kesepakatan, diselenggarakan Kongres Luar Biasa SI di Surabaya pada 6-11 Oktober 1921 (NATICO CSI ke VI). Kongres SI yang ketika itu dipimpin Agus Salim dan Abdul Muis, karena Cokroaminoto sedang dipenjara, membahas dua agenda pokok yaitu masalah disiplin partai dan penyusunan kembali asas SI. Setelah perdebatan yang keras, kongres memutuskan untuk memberlakukan disiplin partai.62 Dengan demikian setelah kongres selesai orang-orang komunis dikeluarkan dari SI.63 Keputusan tersebut di tolak tiga pimpinan SI local dari Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung.64 

Kongres juga memutuskan untuk menyempurnakan Keterangan Asas SI (beginsel verklaring), pada bagian keempat Keterangan Asas disebutkan,

 “Syahdan bagi keyakinan kaum Sarekat Islam, kemerdekaan rakyat Hindia ini yang sejatinya, yaitu yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat dari perhambaan macam apapun juga, ialah dengan jalan kemerdekaan yang berasaskan keIslaman…”65 

Penyempurnaan keterangan Asas SI merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sifat politik SI. Dalam kutipan lain disebutkan bahwa keterangan asas tersebut menekankan, “kemerdekaan yang berasas ke-Islaman …, yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat daripada penghambaan macam apapun juga.”66

Dengan dikeluarkannya kader-kader PKI dari tubuh SI menjadikan PKI semakin murni dan radikal. Pada tanggal 24-25 Desember 1921 diselenggarakan Kongres PKI di Semarang yang dipimpin oleh Tan Malaka (Ketua) dan Semaun (Wakil Ketua). Dalam kongres tersebut kader dan pimpinan PKI dengan terang-terangan mengakui pemimpin Sovyet ketika itu seperti Lenin dan Trotsky sebagai pahlawan-pahlawannya. Kongres PKI ini juga memutuskan untuk menyusun Cabang-cabang SI yang keluar dari CSI dan membentuknya menjadi satu CSI sendiri (CSI “Merah”), guna menentang CSI pimpinan Cokroaminoto/ “CSI Putih”.67 

Pada bulan Agustus 1922 ini Cokroaminoto keluar dari penjara. Setelah dilakukan pemeriksaan secara mendalam tidak dapat ditemukan apa kesalahan-kesalahan Cokroaminoto. Hoogerachtshof yang melakukan pemeriksaan kemudian menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut kepada Landraad. Cokroaminoto di tahan selama 9 (sembilan) bulan lamanya oleh Belanda tanpa bisa dibuktikan kesalahannya.68 Cokroaminoto dituduh terlibat dalam gerakan SI Afdeling B yang dianggap sebagai organisasi bawah tanah dan tertutup, sekalipun tidak ada hubungan apapun dengan SI.

Dalam pada itu untuk mengusahakan tercapainya persatuan aliran dan kerja sama antara semua muslimin terhadap masalah-masalah hangat yang mengenai Islam, Central SI menyelenggarakan Kongres Al-Islam pertama di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922.69 Disini SI memberikan perhatian kepada masalah-masalah dunia Islam internasional. Salah satu masalah yang diajukan adalah Pan Islamisme, yaitu usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan di bawah kepemimpinan satu Khalifah (penguasa).

Di bawah ini sekilas akan diungkapkan perkembangan kongres Al Islam. Pada awalnya kongres-kongres Al Islam yang diselenggarakan ini diikuti oleh berbagai gerakan Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, juga kelompok tradisi yang di pimpin KH Abdul Wahab dari lembaga Tasywirul Afkar (Surabaya) dan KH Asnawi (Kudus). Oleh karena kongres-kongres Al Islam membahas masalah agama maka kelompok ‘pembaharu’ dan ‘tradisi’ sepakat untuk menjadikan SI sebagai pimpinan karena dipandang lebih netral dan berpengalaman dalam organisasi. 

Namun dalam perjalanannya kemudian peserta kongres-kongres Al Islam ini terpecah. Kelompok ‘tradisi’ merasa tidak mendapat proporsi dalam pengiriman delegasi peserta ke Kongres Al Islam sedunia pertama di Mekkah dan keputusan politik SI yang mengambil langkah disiplin partai terhadap Muhammadiyah, juga oleh karena SI yang berusaha memimpin pembicaraan tentang khilafah.70

Dalam pada itu SI berusaha untuk mendorong isu Pan Islamisme di Indonesia dengan mengadakan Kongres Al Islam kedua pada tanggal 19-21 Mei 1924 di Garut, dengan pimpinan kongres yaitu Agus Salim (SI) dan PB Muhammadiyah. Maksud kongres ini adalah memajukan persatuan kaum muslimin untuk turut serta bersama-sama menyelesaikan masalah tentang Khilafah Islam.71 

Pada awalnya yang di anggap sebagai Khalifah adalah negeri Turki di bawah pemerintahan Salim I, yang merebut dan menggulingkan Khalifah Bani Abasiyah terakhir, kemudian mengangkat diri sebagai Khalifah dan pelindung dua kota suci Mekkah dan Madinah (khadimul haramain). Ketika Musthafa Kemal Pasa membubarkan Khilafah Bani Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924 atas sponsor Eropa, dan kemudian membubarkan sistem Khilafah, praktis cahaya kekhalifahan dalam dunia Islam menjadi redup. 

Pada tanggal 4 OKtober 1924, Komite Khilafat di­dirikan di Surabaya dengan ketua Wondosudirdjo (ke­mudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil-ketua K.H.A. Wahab Hasbullah.72 Hal ini merupakan sambutan dari organisasi muslim di nusantara karena adanya undangan dari Al Azhar Mesir yang bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat. 

Pada tanggal 24-26 Desember 1924 dilakukan Kongres Al-Islam luar biasa di Surabaya atas undangan SI, masalah yang dibahas adalah pengiriman wakil Indonesia ke Kongres Khilafah yang diadakan di Kairo pada Maret 1925. 73 Kongres memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachroddin (Muhammadiyah) serta K.H.A. Wahab dari kalangan tradisi.74  Kongres juga memutuskan membentuk suatu badan tetap yang dinamakan Komite Kongres Al-Islam. 

Namun Kongres di Kairo ini pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz (Arab Saudi), sehingga akan sulit bagi Arab Saudi untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.75

Di Hijaz sendiri sedang terjadi peperangan, hal mana yang juga mendapat perhatian dari kaum muslimin di Nusantara, ketika itu Ibnu Su’ud mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924.76 Selanjutnya Ibnu Su’ud lah yang menguasai Mekkah dan Madinah.

Tanggal 1 Juni 1926 dilakukan Kongres di Arab Saudi atas undangan Raja Ibnu Su’ud untuk membicarakan hilangnya Khilafah Islamiyah dan masalah pemerintahan di Madinah dan Mekkah, kongres dihadiri perwakilan negara-negara muslim sedunia. Raja Ibnu Su’ud memiliki kepentingan untuk mengambil pengaruh di seluruh negara-negara muslim dunia pasca hancurnya Khilafah Bani Utsmaniyah dan hadirnya Negara Arab Saudi baru yang mengusir Syarif Husein dari Mekkah. Komite Kongres Al Islam mengutus Cokroaminoto (Central SI) dan Haji Mas Mansur (Muhammadiyah).77 

Keputusan pengiriman utusan ini diambil dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur Jawa Barat tanggal 8-10 Januari 1926.78 Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, K.H.A. Abdul Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran mazhab, di hormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Medinah.79 

Kongres di Ban­dung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama kaum tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang berubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.80 

Nahdatul Ulama melahirkan sikap tidak setuju terhadap pemerintahan Ibnu Su’ud. Organisasi ini malah menghasut kaum muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di tanah suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik Haji.81

Dengan demikian Kongres Al Islam Indonesia menggabungkan diri dengan Kongres dunia di Mekkah itu. Setelah kembali ke Indonesia, Komite berubah namanya menjadi Kongres Al Islam se-Dunia cabang Hindia Timur/MAIHS (Muktamar Al Alam Al Islam Far’al Hind Asyarqiyah). MAIHS berkantor di Surabaya dengan diketuai Agus Salim (Central SI).82 

Pada tahun 1927 diadakan kembali Kongres Al Islam sedunia di Mekkah, namun kemudian tidak jadi dilaksanakan. Agus Salim yang diutus oleh SI untuk datang ke Mekkah tidak menemui adanya kongres, dan hanya menemui sebuah organisasi bernama Jamiat Anshor Haramain yang ternyata hanya sekedar nama saja.83 

Nampaknya pemerintah Arab Saudi sekedar ingin mendapatkan legalitas dari umat Islam sedunia pasca jatuhnya Khilafah Utsmaniyah dengan mengumpulkan seluruh komponen umat Islam sedunia melalui Kongres Al Islam Dunia. Pemerintah Arab Saudi juga tidak bisa berlepas tangan dengan situasi ketika mereka tidak membantu Khilafah Utsmaniyah menghadapi serangan dari negara-negara Eropa dan membiarkan Turki jatuh ke tangan kelompok sekuler yang kemudian membubarkan Khilafah Utsmaniyah. 

Kembali kepada perkembangan structural gerakan SI. Perkembangan struktur SI mengalami kemajuan dalam Kongres Nasional SI (NATICO CSI ke VIII) di Madiun pada 17-20 Februari 1923 yang memutuskan merubah bentuk SI menjadi partai dengan nama PSI.84 Struktur lama yaitu SI Lokal dan CSI akan ditransformasi menjadi PSI tingkat Cabang dan Pusat. Jika SI lama memerlukan pengakuan dari pemerintah, maka PSI ini tidak menganggap perlunya pengakuan dari pemerintah, karena menganggap hak untuk berkumpul dan bersidang dalam arti pendapat politik telah diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1918. 85 

Dalam kongres ini diputuskan Hijrah sebagai politik kebijakan/sikap partai dalam berhubungan dengan pemerintah.86 Awalnya sikap Hijrah disamakan dengan politik non koperasi, yaitu sikap menolak bekerja sama dengan pemerintah. Bekerjasama dengan pemerintah di pandang hanya akan menyebabkan partai lebih jauh saja dari tujuannya, Namun kemudian pemikiran tentang hijrah menjadi berkembang. 

Menurut Agus Salim yang termasuk penggagas konsep hijrah menyebutkan, sikap menolak kerjasama dengan pihal lain yaitu pihak Belanda diganti menjadi, 

“Bekerja sama menyusun diri, menyebuahkan suara dan mempersatukan buatan di dalam kalangan sendiri pada seluruh padang kehidupan pergaulan : sosial, ekonomi dan politik”. Non kooperasi adalah “mentalitet pasif”, sedangkan hijrah adalah sikap “aktif”.87 

Ucapan Agus Salim ini kelak akan berbalik pada dirinya sendiri. Agus Salim adalah orang pertama yang menggunakan istilah hiijrah sebagai kebijakan politik partai dalam berhubungan dengan pemerintah.

Kongres juga memutuskan dibicarakan tentang kemungkinan SI mengundurkan diri dari partisipasinya dalam Volksraad, berkenaan dengan terjadinya penahanan terhadap Ketua SI yaitu Cokroaminoto karena tuduhan keterlibatannya dalam SI Afdeling B. 88 Cokroaminoto memang akhirnya dibebaskan dari penjara, namun kalangan Sarekat Islam menganggap kurang cukup bagi pemulihan prestise dan namanya. Partai tidak segera memutuskan hubungan dengan pemerintah, namun ia hanya dapat diwakili oleh Cokroaminoto, yang mana telah di tahan tanpa bisa dibuktikan kesalahannya.

Pada tanggal 8-10 Agustus 1924 diselenggarakan Kongres Nasional SI di Surabaya yang memutuskan bahwa SI tidak akan mempunyai seorang wakilpun di dalam Dewan Rakyat. Seorang anggota SI yang di tunjuk Pemerintah di Dewan Rakyat yaitu Panji Suroso, di minta partai untuk berhenti.89 Sikap ini di ambil karena pemerintah Belanda tidak memperdulikan harapan SI untuk mengangkat Cokroaminoto menjadi anggota Volksraad sebagai wujud “permintaan maaf” karena sudah memenjarakan Cokroaminoto selama berbulan-bulan (1921-1922) tanpa bisa membuktikan kesalahan Cokroaminoto yang dituduh terlibat dalam SI Afdeling B. 

Karena Panji Suroso tetap menerima pengangkatan dirinya sebagai wakil SI di Volsraad, SI kemudian memecat keanggotaan Panji Suroso. SI memandang bahwa pemerintah tidak memperdulikan harapan SI untuk membersihkan nama Cokroaminoto sekaligus telah memenjarakannya tanpa bisa membuktikan kesalahannya. Sampai menjelang batas dibukanya Volksraad periode ketiga (1924-1926),  Pemerintah Belanda tidak juga mengangkat Cokroaminoto.90 Perseteruan SI dengan Belanda ini semakin memantapkan pemikiran tentang perumusan sikap politik SI dalam berhubungan dengan pemerintah Belanda. Hal ini pulalah yang menjadi latar belakang dari perumusan Sikap Hijrah PSII yang merupakan pengembangan dari Tafsir Asas dan Program Tanzhim SI yang telah dirumuskan sebelumnya. 

Tanggal 21-27 Agustus 1925 dilakukan Kongres SI di Yogyakarta, melalui kongres SI akan disempurnakan bentuknya dalam format organisasi gerakan “tanzhim” untuk penyusunan kehidupan rakyat dalam ekonomi, sosial dan kebudayaan menurut dasar-dasar Islam. Kongres memutuskan mengambil sikap non kooperasi terhadap Volksraad secara total.91 Cokroaminoto yang ketika itu menjadi pimpinan SI mengangkat SMK menjadi sekretaris pribadinya pada bulan Agustus 1925. Hal ini dilakukan untuk memperlancar tugas-tugasnya selaku pimpinan partai.92 

Di dalam negeri sendiri terjadi pemberontakan yang dilakukan PKI. Pada tahun 1926 PKI melakukan pemberontakan di Jakarta, Jatinegara dan Tangerang (12-14 November), Banten (12 November – 5 Desember), Priangan (12-18 November), Solo (17-23 November) dan Kediri (12 November –15 Desember).93 Pemberontakan PKI yang gagal ini menginspirasi beberapa tokoh nasional untuk kembali mewacanakan gagasan kemerdekaan bagi Indonesia. Dalam tubuh SI sendiri, wacana kemerdekaan muncul dengan pertanyaan atas dasar apa kemerdekaan itu. Kelompok pertama mengusung dasar Islam, sebagian lagi mengusung dasar nasionalisme.

Wacana kemerdekaan semakin mengental dalam benak pimpinan SI sehingga dirumuskan lebih lanjut. Pada tanggal 14-17 Januari 1927 dilangsungkan kongres kombinasi SI – MAIHS di Pekalongan. Anggaran Dasar SI oleh kongres disebutkan maksudnya sebagai, “Menuju kemerdekaan kebangsaan yang berdasarkan agama Islam.”94 SI menetapkan visinya bahwa kemerdekaan bangsa yang dicita-citakan itu harus berdasarkan Islam, bukan komunisme atau nasionalisme. 

Dua bulan menjelang pembukaan Volksraad periode keempat (1927-1929) tepatnya pada tanggal 14 Maret 1927 Gubernur Jendral A.C.D. de Graff mengirim sebuah Besluit (surat keputusan) pengangkatan OS Cokroaminoto sebagai anggota Volksraad. SI menganggap pengangkatan ini sebagai pengakuan bersalah pemerintah karena telah menangkap dan memenjarakan Cokroaminto tanpa salah. Namun karena sikap Hijrah telah ditetapkan sebelumnya, SI tetap tidak mengirim wakilnya di Volksraad.95 Sejak tahun 1924, sikap hijrah dengan tegas dijalankan. 

Untuk merespon pengangkatan dirinya, Cokroaminoto kemudian mengirimkan surat balasan pada tanggal 17 April 1927 yang berisi penolakan atas tawaran tersebut.96  Keputusan Cokroaminoto ini didukung oleh kongres partai pada tahun yang sama. Kongres bahkan menetapkan bahwa politik hijrah harus diteruskan sampai ke dewan-dewan daerah, terutama dewan-dewan desa.97 

Pembentukan wacana kemerdekaan juga diikuti kelompok Nasionalis. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Sartono memproklamirkan berdirinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang kemudian diikuti Ishaq Sanusi, M. Yamin dan Amir Syarifudin. Kader SI berhaluan nasionalis dan kader PKI yang gagal memberontak tahun 1926 banyak bergabung ke PNI. Dengan pembentukan PNI ini maka dimulailah sebuah partai yang menantang kedudukan Sarekat Islam ataupun kepemimpinan Islam umumnya dalam rangka pergerakan perjuangan kemerdekaan. 

Posisi yang penting dari pemimpin-pemimpin PNI di dalam gerakan kemerdekaan menyebabkan terjadinya dua sayap di dalam lingkungan gerakan itu, yaitu nasionalis Islam di satu pihak dan nasionalis yang netral agama di pihak lain. Secara idiologi adanya kedua sayap ini dapat di catat terus sampai masuknya tentara Jepang di Indonesia pada tahun 1942, bahkan sampai masa merdeka.98

Perseteruan antara kelompok Islamis dengan nasionalis nampak dari pertentangan antara SI dan Studi Club. Pada bulan Desember 1927 SI Cabang Surabaya menentang dengan keras Dr. Sutomo (pemimpin Studieclub) yang menerangkan bahwa ada baiknya bekerja bersama-sama dengan pemerintah jajahan. 

Pihak SI menganggap bahwa kaum nasionalis dari Studieclub hanya bermaksud mendapat pangkat yang bergaji besar pada Gubernemen dan bahwa kaum nasionalis itu bersikap koperasi atau non-koperasi tidak berdasarkan keyakinan yang kokoh. Oleh karena itu SI memberlakukan disiplin partai terhadap Studieclub. Anggota SI tidak diperbolehkan ikut menjadi club itu.99 Disiplin partai ketika itu artinya adalah dikeluarkannya status keanggotaan karena ia juga aktif di organisasi lain. 

Perselisihan SI dengan golongan nasionalis, berhubung cara golongan nasionalis ini memperbincangkan di depan umum soal naik haji dan soal poligami dan lagi beberapa kejadian di luar negeri (aksi Italia di Tripoli).100 

Tanggal 27 September – 2 Oktober 1927 dilangsungkan Kongres Partai Syarikat Islam Hindia Timur ke XIV di Pekalongan.101 Dalam kongres ini nama Partai SI berubah menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Timur, di singkat PSIHT. SI tidak menggunakan nama Hindia Belanda sebagaimana nama yang dipakai oleh pemerintah kolonoal atas tanah jajahannya. Hal ini menunjukkan sikap konfrontasi SI terhadap pemerintah Belanda.

Tahun 1929 melalui sebuah Kongres partai diputuskan bahwa nama PSIHT berganti nama menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yaitu akibat daripada bertambah majunya aliran cita-cita Indonesia Raya.102 Penambahan nama Indonesia di belakang PSI semakin mempertajam visi SI untuk meraih kemerdekaan kebangsaan yang berdasar agama Islam di wilayah Indonesia. 

Tahun 1930 terjadi perkembangan dalam tubuh organisasi PSII. Tepat pada tanggal 24-27 Januari 1930 dilakukan Kongres PSII yang memutuskan untuk membentuk Dewan Partai sebagai badan pembuat aturan partai yang diketuai Cokroaminoto (anggota antara lain Agus Salim dan Suryopranoto) dan Lajnah Tanfiziah sebagai badan yang menjalankan ketetapan/aturan partai diketuai Sangaji dan ketua muda Dr. Sukiman.103 

Footnote:
19) 
20) 
21) 
22) 
23) 
24) 
25) 
26) 
27) 
28) 
29) 
30) 
31) 
32) 
33) 
34) 
35) 
36) 
37) 
38) 
39) 
40) 
41) 
42) 
43) 
44) 
45) 
46) 
47) 
48) 
49) 
50) 
51) 
52) 
53) 
54) 
55) 
56) 
57) 
58) 
59) 
60) 
61) 
62) 
63) 
64) 
65) 
66) 
67) 
68) 
69) 
70) 
71) 
72) 
73) 
74) 
75) 
76) 
77) 
78) 
79) 
80) 
81) 
82) 
83) 
84) 
85) 
86) 
87) 
88) 
89) 
90) 
91) 
92) 
93) 
94) 
95) 
96) 
97) 
98) 
99) 
100) 
101) 
102) 
103) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.