Kristalisasi gerakan politik hijrah adalah suatu fase sejarah dimana gerakan Sarekat Islam secara tegas memperkuat jati dirinya sebagai gerakan Islam yang memegang teguh prinsip politik Hijrah. Fase ini dilalui setelah sebelumnya Sarekat Islam mengalami fase purifikasi idiologi, fase ini ditandai dengan dikeluarkannya idiologi-idiologi selain Islam (seperti Komunisme dan Nasionalisme) dari tubuh SI. Termasuk dalam konteks ini adalah dikeluarkannya kader-kader SI yang beridiologi komunis dan nasionalis, dimana mereka mendirikan organisasi-organisasi politik dan berjuang meraih kemerdekaan bangsa berdasar idiologi selain Islam.
Tahun 1931 PSII mengadakan kongresnya di Surabaya antara lain membicarakan soal swadesi dan keputusan tentang penyusunan Tafsir Azas dan Program Tanzhim partai yang penyusunannya diserahkan kepada HOS Cokroaminoto. Tafsir Azas dan Program Tanzhim selesai disusun di Bogor pada tanggal 26 Oktober 1931.
Mulai tahun 1931 SI mengaktifkan Central Komite Al-Islam yang sejak 1927 tidak beraktifitas. Dalam badan ini hampir seluruh ormas dan orpol Islam bergabung. Pada tahun tersebut Komite mengadakan Kongres Al-Islam untuk mempertahankan kepentingan Islam, termasuk membahas masalah Palestina. Semua kegiatan Kongres Al Islam ini menyebabkan SI mendapat simpati rakyat Indonesia dengan masuknya 4.000 anggota tahun 1931, sehingga total anggota aktif adalah 23.000 orang. Dengan perantaraan para pelajar di Universitas Al Azhar Mesir, PSII dapat pula mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok politik di Palestina.104
Pada akhir tahun 1932 terjadi perpecahan dalam tubuh SI. Dr. Sukiman dan Suryopranoto dikeluarkan dari SI oleh Agus Salim yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan SI. Sukiman, Suryopranoto dan beberapa orang lainnya telah membuka di depan umum terjadinya ketidakberesan keuangan oleh beberapa anggota pimpinan dari Serikat Pekerja Pegadain (PPPH/ Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia), termasuk mencurigai keterlibatan Cokroaminoto dalam masalah tersebut.105 Karena masalah keterlibatan Cokroaminoto tidak dapat dibuktikan, maka dalam Kongres PSII ke-19 di Jakarta pada tanggal 9-12 Maret 1933 pemecatan terhadap Sukiman diputuskan.106
Selain masalah keuangan, yang lebih prinsipil yaitu pemecatan terhadap Sukiman dkk dilakukan karena Sukiman Cs berusaha merubah haluan politik Hijrah SI. Sukiman menganggap bahwa Sikap Hijrah merupakan langkah taktis yang bisa berubah sesuai situasi dan bukan merupakan prinsip organisasi. Sukiman yang dikeluarkan dari PSII kemudian membentuk Partai Islam Indonesia (Parii) di Yogyakarta.107 Melihat sikap politik hijrah PSII tersebut, pemerintah pada 1933 menyatakan PSII sebagai organisasi yang terlarang dimasuki oleh pegawai negeri dan dikenai pula aturan pembatasan rapat untuk sebagian dari Sumatera.108
Tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan berupa larangan terbatas untuk mengadakan rapat khususnya bagi Sarekat Islam, PERMI, Partindo dan PNI Baru. Kebijakan semakin ketat dirasakan ketika Gubernur Jenderal de Jonge memulai tugasnya di Hindia Belanda sejak 1931 dan menggantikan de Graff. Sejak itulah pembatasan ruang gerak organisasi yang dianggap non kooperatif dengan pemerintah semakin dirasakan. Tahun (1935) peraturan yang lebih keras dikeluarkan pemerintah untuk semakin membatasi ruang gerak berbagai organisasi non kooperatif, termasuk SI.109
Di tengah mengetatnya aturan penjajah terhadap organisasi, pada tanggal 17 Desember 1934 (10 Romadhon 1353) HOS Cokroaminoto meninggal dunia.110 Cokroaminoto dan juga muridnya Kartosuwiryo sudah sejak tahun 1920-an memperjuangkan ide sebuah negara Islam dan pengertian mereka atas sebuah negara yang demikian itu adalah sebuah negara yang benar-benar menjalankan syari’at dan hukum Islam sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah Nabi secara konsekuen dan menyeluruh.111
Pemerintah Belanda beranggapan karena Cokroaminto sudah wafat mungkin sikap SI bisa berubah, karena itu Belanda berusaha mendekati kembali SI dengan harapan sikap politik non kooperatif SI bisa dirubah.112 Untuk memuluskan rencana ini, Pemerintah Belanda menawarkan kursi anggota Volksraad kepada Agus Salim yang ketika itu menjabat Ketua Dewan Partai.113
Pada bulan Maret 1935 Agus Salim mengeluarkan “Pedoman Politik” yang berisi permintaan kepada Lajnah Tanfidziah PSII untuk meneliti kembali politik Hijrah, sehubungan dengan peraturan-peraturan yang lebih ketat dari Pemerintah Belanda. Salim berpendapat peraturan yang lebih ketat bisa menyebabkan kelumpuhan PSII. Lajnah Tanfidziah yang ketika itu diketuai Abikusno Cokrosuyoso dan Sekjennya SMK, menolak usulan Agus Salim. Abikusno menganggap Agus Salim berambisi pribadi untuk duduk di dalam Volksraad, yang ketika itu ditawari pemerintah Belanda kursi anggota Volksraad.114
Untuk membahas terjadinya perbedaan pendapat di tubuh pimpinan SI berkaitan dengan sikap politik SI terhadap pemerintah Hindia Belanda, dilakukan pertemuan antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziah pada 9-11 Mei 1935. Rapat tersebut menyepakati bahwa usulan Agus Salim akan dibahas dalam Kongres mendatang.115 Namun sebagai sikap protesnya, pada akhir 1935 Abikusno mengundurkan diri dari Lajnah Tanfiziah dan sikap ini kemudian diikuti oleh Kartosuwiryo. Selanjutnya Abikusno memimpin PSII Jakarta, sedangkan kedudukannya di LT digantikan AM Sangaji dan Sabirin.
Sesuai komitmen dua institusi tertinggi partai, dilakukanlah Kongres Nasional SI ke-22 di Jakarta pada 8-12 Juli 1936. Kongres dengan tegas memutuskan Sikap Hijrah sebagai prinsip perjuangan partai, dan sekaligus menunjuk Abikusno sebagai Ketua Formatur yang berwenang menunjuk semua anggota Dewan Pimpinan Partai.
Abikusno menunjuk Kartosuwiryo sebagai wakil ketua (vice president) dan menugaskan beliau untuk menyusun brosur “Sikap Hijrah PSII” untuk menjadi pedoman bagi partai dan seluruh kader SI. Dokumen berjudul Sikap Hijrah selesai dibuat Kartosuwiryo pada tanggal 10 September 1936. Abikusno dalam pengantar brosur tersebut mengatakan bahwa sejak diterbitkannya Sikap Hijrah ini selanjutnya mempunyai kekuatan hukum (sanctie) bagi dunia SI.
Abikusno yang di tunjuk sebagai Ketua Formatur tidak mengangkat Agus Salim sebagai salah satu anggota pimpinan pusat PSII karena sikapnya yang menolak Politik Hijrah. Menurut Abikusno, politik hijrah harus diteruskan karena dengan ini melahirkan maksud untuk, “Mempelajari dan mencontoh Sunnah Rasulullah SAW yang terpenting dalam melakukan maatschappij opbouw (pembinaan masyarakat).”116 Seperti halnya Agus Salim, kelak ucapan Abikusno ini akan berbalik kepada dirinya sendiri.
Agus Salim yang ketika itu tidak dapat menghadiri kongres karena anaknya sakit dan harus dioperasi, merasa kecewa, karena secara halus dirinya disingkirkan dari kepemimpinan PSII dengan jalan tidak lagi di angkat sebagai pimpinan PSII periode selanjutnya.117
Sebagai reaksi atas keputusan Kongres, pada 28/30 November 1936 Agus Salim dan Sangaji mendirikan “Comite” Penyadar PSII yang bersikap kooperatif dengan Pemerintah Belanda. 118 Di pilih sebagai Ketua Penyadar yaitu Mohammad Roem. Menarik untuk dicatat, Salim-lah orang yang sebelumnya melakukan pemecatan terhadap orang-orang Muhammadiyah, Persatuan Islam, Sukiman dan Wali Al-Fattah tahun 1933 karena berseberangan dengan Sikap Hijrah, justru karena alasan yang sama ia di pecat dari jajaran pimpinan organisasi. Barisan Penyadar dibentuk untuk bergerak dalam internal partai. Disebut barisan Penyadar karena kelompok ini akan mencoba “menyadarkan” anggota dan pengurus PSII bahwa zaman sudah berubah karena itu ketetapan partai juga mesti dirubah.119
Tanggal 19 Desember 1936 Abikusno mengundang Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziah untuk membahas pergerakan Barisan Penyadar di kalangan internal PSII yang sudah membahayakan keutuhan organisasi. Diputuskan dalam rapat tersebut bahwa semua anggota PSII harus mengakhiri segala perebatan tentang masalah hijrah dan menegaskan kembali Politik Hijrah sebagai sikap politik resmi partai. Diputuskan juga untuk menginstruksikan semua pimpinan partai menyebar-luaskan kebijakan ini, melarang cabang-cabang memberi bantuan kepada Penyadar dalam kegiatan-kegiatannya.120 Ketika itu Barisan Penyadar secara nyata telah menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam PSII.
Pada bulan Januari 1937 PSII memberlakukan sangsi kepada pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar, diantarnya yaitu M. Roem dan Sabirin. Satu bulan berikutnya tanggal 13 Februari 1937 PSII memecat Agus Salim, Sangaji, Sabirin, dan M. Roem beserta 24 tokoh Barisan Penyadar.121 Dengan pemecatan ini, pada 23-26 Februari 1937 dilakukan konferensi di Jakarta dan dibentuk partai yang berdiri sendiri dengan nama Pergerakan Penyadar.122
Setelah empat tahun berlalu konflik internal partai, pada 19-23 Juli 1937 dilakukan Kongres PSII di Bandung. Kongres memutuskan untuk memberikan kesempatan kembali bergabungnya orang-orang yang di pecat tahun 1933 diantaranya Dr. Sukiman dan Suryopranoto (yang membentuk Parii).123 Kongres di Bandung ini juga memutuskan untuk menugaskan Kartosuwiryo untuk menyusun “Daftar Usaha Hijrah PSII” sebagai penjabaran lebih operasionil dari “Sikap Hijrah” sebelumnya.
Dalam pentas politik nasional terjadi perkembangan baru. Pada bulan September 1937 berdiri Majlisul Islammil A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya. MIAI merupakan suatu federasi Islam yang baru disponsori oleh Muhammadiyah dan NU.124 Kehadiran MIAI, sekalipun bukan merupakan suatu kesatuan aksi yang berdisiplin kuat, namun merupakan tandingan bagi organisasi PSII yang ketika itu memegang pucuk pimpinan Islam Indonesia.125
Segera setelah didirikan, MIAI mengundang Kongres Al Islam, dan agendanya ditentukan oleh Muhammadiyah dan NU, bukan lagi oleh PSII yang merupakan sponsor pertama berdirinya Kongres Al Islam. Konflik internal di dalam PSII menjadikan PSII bukan lagi satu-satunya organisasi Islam yang paling berpengaruh di Indonesia, terlebih dengan hadirnya MIAI ini.
Tanggal 30 Juli – 7 Agustus 1938 dilaksanakan Kongres ke-24 PSII di Surabaya, dan mengesahkan Daftar Usaha Hijrah sebagai keputusan Kongres.126 Dalam kongres tersebut Kartosuwiryo menjelaskan bahwa hijrah tidak sama dengan sikap non kooperatif. Hijrah lebih bersifat positif dan membangun dibanding sikap non kooperatif. Hijrah menurutnya merupakan suatu, “Sikap penolakan, akan tetapi disamping itu dijalankan dengan sekuat-kuatnya untuk membentuk kekuatan yang hebat yang menuju Darul Islam”.127
Kongres menyerahkan jabatan Ketua Dewan Partai kepada W. Wondoamiseno, Ketua Lajnah Tanfiziah diserahkan kepada Abikusno sedangkan Kartosuwiryo sendiri diserahi tugas untuk penyelenggaraan asas hijrah itu dalam lapangan politik, ekonomi dsb.
Kongres di Surabaya ini juga memutuskan agar di bawah pimpinan Kartosuwiryo sebagai wakil presiden PSII didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Suffah PSII” yang sudah akan dibuka pada tanggal 20 Februari 1939 khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.128 Lembaga ini direncanakan untuk melatih kader-kader partai yang militan.
Pada bulan Desember 1938 Dr. Sukiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) di Solo. Ketua PII adalah RM Wiwoho (anggota Volksraad dan pemimpin JIB), PII bergabung ke dalam GAPI. Tokoh-tokoh semacam Sukiman, Wali Al Fatah, KH Mas Mansur bergabung dalam partai ini. Sebelum mendirikan PII, mereka mengirim surat kepada pengurus besar PSII bahwa mereka akan bergabung ke PSII dengan syarat kalau PSII:
- mau melepas asas Hijrah dan menjadikannya sebagai taktik perjuangan dan bukan prinsip perjuangan.
- semata-mata mengerjakan aksi politik, sementara pekerjaan sosial dan ekonomi diserahkan kepada organisasi lainnya.
- secepatnya mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah.
PSII membalas surat itu dengan menolak permintaan tersebut, kecuali masalah Muhammadiyah masih bisa dibicarakan.129
Tahun 1939 tercatat sebagai tahun yang penting dalam dunia PSII karena tahun itu menjadi awal munculnya gerakan PSII dengan format kooperatif. Abikusno yang menjabat Ketua LT PSII berminat untuk masuk ke dalam aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) sekaligus memutar haluan PSII dari politik Hijrah menjadi politik kooperatif dengan Belanda. Untuk melanggengkan misinya tersebut, Abikusno mengadakan sidang Komisi Eksekutif partai (Lajnah Tanfiziah) pada tanggal 30 Januari 1939 dan memutuskan untuk mengeluarkan Kartosuwiryo dari organisasi.130
Kartosuwiryo sebagai tokoh sangat berpengaruh di PSII, karena menjadi konseptor Sikap Hijrah PSII, dikeluarkan karena sikapnya yang menentang rencana keinginan Abikusno untuk menggabungkan PSII ke dalam aksi parlementer, yang berarti bertentangan dengan seluruh garis kebijakan partai yaitu Politik Hijrah.131
Langkah politik Abikusno semakin nyata ketika pada bulan Maret 1939 di bentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang merupakan federasi partai politik. GAPI muncul karena adanya tuntutan untuk membentuk suatu parlemen tersendiri yang terdiri dari unsur kekuatan politik dalam masyarakat. GAPI melibatkan seluruh gerakan dan partai politik besar di Indonesia, diantaranya Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII dan PII. GAPI dikelola oleh satu sekretariat, jajaran ketuanya adalah Abikusno (PSII), Thamrin (Parindra) dan Syarifudin (Gerindo).132 GAPI hadir sebagai respon dari gagalnya petisi Sutarjo yang meminta diberikannya pemerintahan sendiri kepada Indonesia, yaitu menggantikan Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya di pilih oleh rakyat.
Untuk memperkuat keputusan pimpinan eksekutif PSII, pada bulan Januari 1940 dilaksanakan Kongres PSII di Palembang yang memutuskan:
1. menyetujui untuk mengeluarkan Kartosuwiryo (Ketua-muda Dewan Partai) dari partai, sebagai penguat atas keputusan Lajnah Tanfiziah sebelumnya.
2. pelaksanaan program aksi hijrah tidak dilanjutkan dan membubarkan komisi yang dibentuk untuk itu.
3. membatalkan seluruh kebijakan organisasi tentang Sikap Hijrah.
Kongres ini merupakan kongres PSII pertama dengan corak parlementer, PSII sudah bergabung ke dalam GAPI. Setelah kongres tersebut Kartosuwiryo bersama kawan-kawannya seperti Yusuf Taujiri dan Kamran membentuk PSII Komite Pertahanan Kebenaran (PSII-KPK) dan awalnya hanya didukung oleh 2 cabang PSII.133
Untuk memobilisir kekuatan yang masih ada, pada tanggal 24 Maret 1940 dilakukan pertemuan pertama PSII-KPK dalam sebuah rapat umum di Malangbong Garut. Pertemuan tersebut menyatakan kebulatan tekad untuk melanjutkan politik Hijrah sebagaimana keputusan PSII sebelumnya. PSII-KPK menggunakan semua ketentuan partai termasuk politik hijrah dan menganggap diri sebagai PSII yang sebenarnya.134
Menurut Disjarah VI Siliwangi, “Di dalam KPK PSII inilah tumbuh dan berkembang konsepsi-konsepsi yang akan menjadi dasar dari pergerakan DI/TII/SMK di kemudian hari”.135
PSII-KPK dengan demikian mengusung mainstream idiologi Sarekat Islam yang sudah di bentuk sekian lama melalui proses sejarah. Dalam pertemuan pertama ini PSII-KPK mendapat dukungan dengan bergabungnya 21 Cabang PSII.136 Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pendapat Cabang tetap menginginkan PSII menjalankan politik Hijrah.
Dalam pertemuan tersebut juga dilahirkan “Daftar Usaha Hijrah PSII” yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosuwiryo ketika masih menjabat sebagai wakil presiden PSII.137 Di dalam KPK PSII itulah tumbuh dan berkembang konsepsi-konsepsi yang akan menjadi dasar dari pergerakan NII di kemudian hari.138
Dengan melihat perkembangan tersebut diatas, gerakan politik umat Islam di Indonesia sejak akhir masa kolonial Belanda tahun 1940 terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu yang memperjuangkan Islam melalui system parlementer (tergabung dalam GAPI. Dan kubu yang memperjuangkan Islam dengan system Hijrah/Furqon dan mengharamkan kolaborasi dengan system di luar Al-Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.