Abu Thalhah Al Anshary (Zaid Bin Sahl); Puasa dan Jihad adalah temannya

“Abu Thalhah Menjalani Hidupnya dengan Berpuasa & Berjihad. Ia Juga Mati dalam Kondisi Berpuasa dan Berjihad…” 


Zaid bin Sahl yang dijuluki dengan Abu Thalhah mengetahui bahwa Al Rumaisha binti Milhan An Najariyah yang dikenal dengan nama Ummu Salim sudah tidak bersuami lagi setelah suaminya meninggal dunia. Maka gembiralah hati Abu Thalhah mendengarnya. 

Rumaisha binti Milhan An Najariyah, ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Al Rumaisha atau Al Ghumaisha. Yang  paling benar adalah bahwa nama tersebut adalah hanyalah sifat dari dirinya saja. Lihatlah profilnya dalam buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis.

Tidak mengherankan, karena Ummu Salim adalah seorang wanita yang amat menjaga harga diri dan terkenal kecerdasan akalnya. Maka Abu Thalhah berniat untuk meminangnya sebelum ia kedahuluan oleh orang lain yang berminat untuk mengkhitbah wanita seperti Ummu Salim ini… Abu Thalhah begitu percaya diri bahwa Ummu Salim tidak akan menolak pinangannya dan menerima pinangan pria lain. Sebab dia adalah seorang pria dewasa yang berusia matang. Memiliki status terhormat. Dan memiliki harta yang banyak. Ditambah lagi, ia adalah salah seorang patriot Bani Najjar, dan salah seorang pemanah Yatsrib yang terkenal. 
    
Berangkatlah Abu Thalhah ke rumah Ummu Salim… Saat di tengah jalan, Abu Thalhah teringat bahwa Ummu Salim telah mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh seorang Da’I dari Mekkah yang bernama Mus’ab bin Umair. Ia tahu bahwa Ummu Salim telah beriman kepada Muhammad dan masuk ke dalam agamanya. Akan tetapi masih saja Abu Thalhah berkata dalam dirinya: “Memangnya kenapa? Bukankah suami Ummu Salim yang telah meninggal pun masih berpegang teguh dengan agama kakek moyangnya, dan berpaling dari agama dan dakwah Muhammad?!” 
    
Abu Thalhah sampai di rumah Ummu Salim dan ia meminta agar diizinkan masuk. Ummu Salim pun memberinya izin. Saat itu, anak Ummu Salim yang bernama Anas turut mendampinginya. Lalu Abu Thalhah mengutarakan maksudnya dan Ummu Salim menjawab: “Orang sepertimu, ya Abu Thalhah tidak akan ditolak. Akan tetapi aku tidak akan menikah denganmu karena engkau adalah orang kafir.” Maka Abu Thalhah segera menduga bahwa Ummu Salim telah berdalih dan ia telah memilih orang lain yang lebih banyak hartanya dan lebih mulya kedudukannya. 

Kemudian ia bertanya: “Demi Allah, Siapakah orangnya yang telah membuatmu menolak ku, wahai Ummu Salim?” Ummu Salim balik bertanya: “Lalu apa yang menghalangiku?!” Abu Thalhah menjawab: “Benda yang kuning dan putih, yaitu emas dan perak mungkin?” Ummu Salim bertanya keheranan: “Emas dan perak?!” Abu Thalhah menjawab dengan dugaan: “Ya.” 

Ummu Salim berkata: “Aku bersaksi kepadamu, wahai Abu Thalhah. Dan aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa jika engkau masuk Islam maka aku akan menerimamu sebagai suami tanpa perlu diberi emas dan perak. Dan aku akan menjadikan keislamanmu sebagai maharnya!”     

Begitu Abu Thalhah mendengar ucapan Ummu Salim, maka pikirannya melayang kepada berhala yang ia buat dari kayu terbaik. Ia membayangkan berhala yang selalu ia sembah sebagaimana yang sering dilakukan oleh para pembesar kaumnya. 

Akan tetapi Ummu Salim tidak memberinya kesempatan dan langsung bertanya: “Apakah engkau tidak tahu, wahai Abu Thalhah bahwa tuhan yang kau sembah selain Allah adalah tumbuh dan berasal dari tanah?!” 

Abu Thalhah menjawab: “Benar.” Ummu Salim mengejar: “Apakah engkau tidak merasa malu jika engkau menyembah bagian dari pohon yang separuhnya engkau sembah dan pada saat yang sama ada orang lain yang menjadikannya sebagai kayu bakar. Orang tersebut memanfaatkan api dari kayu tadi atau membuat roti dari tepung dengan api tadi…  Jika engkau masuk Islam, wahai Abu Thalhah maka aku akan menerimamu sebagai suami, dan aku tidak meminta mahar apapun selain Islam. 

Abu Thalhah bertanya: “Siapa yang dapat membuatku masuk Islam?” Ummu Salim menjawab: “Aku yang akan melakukannya untukmu.” Abu Thalhah bertanya: “Bagaimana caranya?” Ummu Salim menjawab: “Ucapkanlah kalimat haq dan kau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Lalu akhirnya, Abu Thalhah dapat menikahi Ummu Salim. 
  
Kaum muslimin berkata: “Kami tidak pernah mendengar mahar yang lebih mulya daripada mahar Ummu Salim. Ia telah menjadikan mahar untuknya adalah Islam.” 
     
Sejak saat itu Abu Thalhah bergabung di bawah panji Islam, dan ia mendedikasikan semua potensinya untuk berkhidmat di dalamnya. Abu Thalhah lalu menjadi salah seorang dari 70 manusia yang berbaiat kepada Rasul pada peristiwa Aqabah. Dan ia ditemani oleh istrinya yang bernama Ummu Salim. 

Dia juga salah seorang dari 12 pimpinan yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw pada malam itu untuk memimpin kaum muslimin Yatsrib. Lalu Abu Thalhah turut serta dalam seluruh pertempuran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan ia melewatinya dengan begitu tegar dan gagah berani. Akan tetapi perjuangan yang diberikan Abu Thal hah dalam membela Rasulullah Saw adalah pada peristiwa Uhud. Dan Anda sesaat lagi akan mendengarkan kisah peristiwa tersebut. 
    
Abu Thalhah begitu mencintai Rasulullah Saw sehingga mengisi relung hati terdalamnya. Kecintaan tersebut hingga memenuhi setiap ruang aliran darahnya. Ia tidak pernah bosan memandang Rasulullah. Ia tidak pernah merasa jemu mendengarkan pembicaraan dan sabda Beliau… Jika Abu Thalhah sedang berada bersama Rasulullah Saw, ia akan bertekuk lutut dihadapan Beliau dan berkata: “Jiwaku adalah taruhan atas jiwamu. Wajahku akan senantiasa menjadi pelindung wajahmu.” 

Pada saat perang Uhud, pasukan muslimin kocar-kacir sehingga meninggalkan Rasulullah Saw dan membuat pihak musyrikin dapat menyerang Rasulullah Saw dari semua penjuru. Pasukan musyrikin berhasil membuat gigi geraham Rasul tanggal. Mereka dapat melukai kening Beliau dan melukai bibirnya. Dan darah mengalir deras dari wajah Rasulullah… 

Bahkan para pendusta meneriakkan bahwa Muhammad telah terbunuh, sehingga pasukan muslimin bertambah lemah dan akhirnya menyerah dihadapan para musuh Allah. Pada saat itu, hanya tersisa sedikit orang saja yang bersama Rasulullah Saw dan salah satunya adalah Abu Thalhah. 
    
Abu Thalhah berdi ri di depan Rasulullah Saw bagaikan gunung yang kokoh, dimana Rasulullah Saw berdiri melindungi diri dibelakang tubuhnya. Lalu Abu Thalhah menggenggam erat busur panahnya. Kemudian ia meletakkan anak panah yang tidak pernah meleset. Ia lalu membela Rasulullah Saw mati-matian dengan mengarahkan kepada pasukan musyrikin satu demi satu. 

Nabi Saw mengintip dari balik tubuh Abu Thalhah untuk melihat sasaran anak panahnya. Lalu Abu Thalhah berkata dengan nada khawatir kepada Beliau: “Demi, ayah dan ibuku, janganlah engkau memunculkan kepala kepada mereka sebab itu dapat membuatmu terkena panah mereka. Leherku akan menjadi pelindung lehermu. Dadaku akan menjadi tameng bagi dadamu. Aku akan berkorban untukmu… 

Lalu ada seorang pria dari pasukan muslimin yang melintasi lari dihadapan Rasulullah Saw dan ia membawa sebuah kantung berisi anak panah. Maka Rasulullah memanggilnya dan berkata: “Hamburkan anak-anak panahmu dihadapan Abu Thalhah dan janganlah kau bawa lari!” 

Abu Thalhah terus melindungi Rasulullah Saw sehingga ia telah mematahkan 3 buah busur panah. Ia telah berhasil dengan izin Allah membunuh beberapa orang dari pasukan musyrikin. Lalu, berakhirlah peperangan dan Allah berkenan menyelamatkan Nabi-Nya dengan perlindungan yang telah Ia berikan kepadanya. 
    
Bila Abu Thalhah mampu berderma di jalan Allah pada saat-saat sulit, maka ia akan lebih dermawan lagi pada saat-saat lapang. Yang membuktikan hal ini adalah bahwa dirinya memiliki sebuah kebun kurma dan anggur yang tidak ditemukan di kota Yatsrib kebun yang lebih besar pohonnya, lebih bagus buahnya dan lebih jernih airnya. Saat Abu Thalhah sedang melakukan shalat dibawa daun-daun pohon yang lebat, perhatiannya tertarik dengan seekor burunng yang bernyanyi, berwarna hijau dan memiliki paruh berwarna merah. Kedua kakinya pun berwarna. 

Burung tadi melompat-lompat di dahan pohon sambil bernyanyi dan menari. Abu Thalhah menjadi kagum dengan pemandangan ini,lalu mengiringi pemikirannya dengan bertasbih. Tak lama kemudian, Abu Thalhah sadarkan diri. Ia dapati bahwa dirinya sudah tidak ingat lagi akan bilangan rakaat shalatnya? Apakah dua… tiga? Ia sendiri tidak tahu. 

Begitu ia usai melaksanakan shalat, ia mendatangi Rasulullah Saw dan menyampaikan keluhan bahwa dirinya telah diperdaya oleh kebunnya sendiri,dengan pohon yang rindang dan burung yang berkicau, sehingga membuatnya lalai dari shalat. 

Kemudian Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah Saw: “Saksikanlah, ya Rasulullah! Aku jadikan kebun ini sebagai sedekah di jalan Allah Swt. Gunakanlah sekehendak Allah dan Rasul-Nya!” 
    
Abu Thalhah menjalani hidupnya dengan senantiasa berpuasa dan berjihad. Dan ia pun mati saat berpuasa dan berjihad. Telah diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Abu Thalhah masih terus hidup sekitar 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw denan terus berpuasa kecuali pada hari-hari besar dimana puasa diharamkan. 

Ia terus hidup sehingga menjadi seorang tua-renta. Akan tetapi ketuaannya tidak menjadikan dirinya terhalang dari berjihad di jalan Allah Swt, dan mengarungi bumi untuk menegakkan kalimat Allah dan memuliakan agama-Nya. Salah satunya adalah ketikan pasukan muslimin berniat untuk melakukan sebuah peperangan di lautan pada masa khalifah Utsman bin Affan. 

Abu Thalhah bersiap-siap untuk berangkat bersama pasukan muslimin, namun anak-anaknya berkata: “Semoga Allah merahmatimu, wahai ayah kami. Engkau kini sudah amat tua. Engkau telah berjuang bersama Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Mengapa kini engkau tidak beristirahat saja dan membiarkan kami yang melakukan jihad?” Abu Thalhah menjawab: “Allah Swt berfirman:   “Berangkatlah dalam kondisi ringan maupun berat.” (QS. At-Taubah [9] : 41)  

Ia telah menyeru kita semua untuk berangkat… baik tua ataupun muda, dan ia tidak pernah memberikan batasan umur.” Kemudian ia pergi ke luar untuk berangkat… 
    
Saat Abu Thalhah yang sudah tua itu berada di atas kapal di tengah laut bersama pasukan muslimin yang lain, ia lalu jatuh sakit sehingga wafat. Maka pasukan muslimin mencoba untuk mencari sebuah pulau untuk menguburkan jasad Abu Thalhah, akan tetapi mereka tidak menemukan satu pulau pun kecuali setelah 7 hari. Abu Thalhah selama masa itu ditutupi oleh mereka namun jasadnya tidak berubah sedikitpun seolah dia hanya tertidur saja. 

Di tengah lautan, jauh dari keluarga dan rumah, disanalah Abu Thalhah dimakamkan. Jauhnya ia dikuburkan dari manusia tidak akan menyebabkan kemudharatan bagi dirinya, selagi ia senantiasa dekat kepada Allah Swt. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.