Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi; Prajurit Muslim Terpercaya

 “Tidak Ada Orang yang Begitu Percaya Kepadaku Sejak Aku Menjadi Khalifah Sebagaimana yang Dilakukan Oleh Al Rabi Bin Ziyad.” (Umar Bin Khattab) 


Madinah Rasulullah Saw masih dirundung kesedihan karena telah kehilangan seorang yang amat mulia bernama Abu Bakar As Shiddiq. Banyak utusan dan delegasi yang berdatangan dari segala penjuru setiap hari untuk membai’at Khalifah yang baru, Umar bin Khattab dan untuk menyatakan kepatuhan dan loyalitas mereka baik dalam kondisi senang maupun susah. 

Pada suatu pagi datanglah delegasi dari Bahrain untuk menghadap Amirul Mukminin dan beberapa rombongan delegasi yang lainnya. Umar Al Faruq ra senang sekali mendengar pembicaraan para delegasi dengan harapan ia akan mendapatkan nasehat yang bermanfaat, ide yang berguna atau nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan bagi ummat muslim secara keseluruhan. 

Ia meminta beberapa orang dari para hadirin saat itu untuk berbicara akan tetapi apa yang mereka sampaikan tidak begitu berarti. Kemudian khalifah menoleh kepada seorang pria yang beiau duga sebagai orang baik. Kemudian Beliau menoleh ke arahnya dan berkata: “Ungkapkanlah pendapatmu!” 

Kemudian pria tadi memuji Allah dan berkata: “Ya Amirul Mukminin amanat ummat yang telah Anda emban ini tiada lain merupakan ujian Allah yang ditimpakan kepadamu. Maka bertaqwalah kepada Allah atas amanah ini. Ketahuilah olehmu, andai ada seorang yang dombanya tersesat di tepi sungai Eufrat maka pasti enrgkau akan ditanyakan di hari kiamat nanti tentang domba tadi.” 

Maka menangislah Umar dengan suara yang keras lalu berkata: “Tidak ada orang yang berkata jujur kepadaku sejak aku menjadi khalifah sebagaimana yang telah ia lakukan. Siapakah dirimu?!” Ia menjawab: “Al rabi bin Ziyad Al Haritsi Umar bertanya: “Apakah engkau saudaranya Al Muhajir bin Ziyad?” Rabi menjawab: “Benar.” 

Begitu pertemuan itu berakhir, Umar lalu memanggil Abu Musa Al Asy’ari dan berkata: “Selidikilah siapa sebenarnya Rabi bin Ziyad! Jika ia adalah seorang sahabat maka pada dirinya terdapat kebaikan yang banyak dan ia dapat membantu kita dalam mengemban tugas ini. Angkatlah ia sebagai pegawai dan kirimkan kabar kepadaku tentang dirinya!” 
    
Tidak berlangsung lama setelah itu, Abu Musa Al Asy’ari menyiapkan sebuah pasukan untuk menaklukkan Manadzir yang terletak di daerah Al Ahwaz berdasarkan perintah Khalifah. Abu Musa Al Ays’ari mengajak serta Rabi bin Ziyad dan saudaranya yang bernama Al Muhajir. 
    
Abu Musa Al Asy’ari berhasil mengepung Manadzir dan melakukan sebuah peperangan melawan penduduknya dengan begitu keras yang jarang terjadi peperangan sedemikian keras. 

Pasukan musyrikin menunjukkan kekuatan dan keteguhan yang amat hebat yang tidak pernah terbersit sebelumnya, sehingga banyak sekali korban berguguran di pihak muslimin yang tak pernah diperkirakan. Pada saat itu kaum muslimin yang sedang melakukan perang tersebut juga sedang melakukan puasa Ramadhan 

Tatkala Al Muhajir saudara Rabi bin Ziyad melihat sudah banyak korban yang berguguran pada pasukan muslimin, ia bertekad untuk mempersembahkan dirinya demi mencari keridhaan Allah Swt. Al Muhajir lalu melumurkan badannya dengan wewangian kematian dan mengenakan kain kafan, lalu ia berwasiat kepada saudaranya… 

Lalu datanglah Rabi menghadap Abu Musa dan berkata: “Al Muhajir telah bertekad untuk mempersembahkan jiwanya mati di dalam perang dan saat ini ia masih berpuasa. Pasukan muslimin semuanya sudah begitu menderita akibat ganasnya perang dan laparnya berpuasa sehingga melemahkan semangat mereka. Namun mereka masih saja tidak mau berbuka. Apa pendapatmu?”  

Abu Musa Al Asy’ari langsung berdiri dan menyerukan  kepada pasukannya: “Wahai ma’syaral muslimin, Aku bersumpah, agar mereka yang berpuasa agar lekas berbuka atau tidak usah ikut berperang!” Kemudian Abu Musa minum dari tempat minum yang ia bawa agar prajurit yang lain mau mengikuti apa yang telah ia kerjakan. 

Begitu Al Muhajir mendengar seruan Abu Musa, maka ia langsung meminum seteguk air dan berkata: “Demi Allah, aku tidak minum air tersebut karena merasa haus. Akan tetapi aku meminumnya demi memenuhi sumpah pemimpinku.”  Kemudian ia menghunuskan pedangnya dan mulai menerobos barisan musuh dan ia menghadapi banyak musuh dengan tanpa rasa takut dan gentar. 
  
Begitu ia masuk menerobos pasukan musuh, lalu mereka segera menyerang Al Muhajir dari segala penjuru dan menebaskan pedang mereka dari depan dan dari belakang tubuhnya sehingga ia pun menemui ajalnya. Kemudian para musuh tadi memenggal kepala Al Muhajir lalu memancangkannya pada sebuah tempat yang tinggi di medan pertempuran. 

Rabi lalu melihat kepala saudaranya itu dan berkata: “Amat beruntung engkau dan berhak mendapatkan tempat kembali yang terbaik. Demi Allah, aku akan membalas dendam untuk mu dan untuk semua korban yang gugur di pihak muslimin, Insya Allah.” 

Begitu Abu Musa melihat kesedihan pada diri Rabi akibat kematian saudaranya, dan ia mengerti apa yang dirasakan oleh Rabi terhadap para musuh Allah itu, maka Abu Musa mempersilahkan Rabi untuk memimpin pasukan dan kemudian berangkat menuju Al Sus untuk menaklukannya. 
    
Rabi beserta pasukannya menyerang pasukan musyrikin bagaikan serangan angin topan yang kencang. Mereka menghancurkan pertahanan mereka bagaikan bebatuan yang jatuh dari dataran tinggi akibat longsor. 

Rabi dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan musuh dan melemahkan kekuatan mereka. Dan akhirnya Allah berkenan menaklukan kota Al Manadzir untuk Rabi bin Ziyad. Sehingga ia dapat mengalahkan para musuh. Menawan beberapa orang untuk dijadikan budak, dan ia mendapatkan harta ghani mah sesuai kehendak Allah. 
    
Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad setelah peperangan Manadzir dan namanya mulai disebut orang. Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas berat. 

Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan, mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin Allah. 
     
Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu padang pasir sering merasa keletihan. 

Hal pertama yang ia jumpai di sana adalah Rustaq Zaliq yang terletak di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki banyak buah.

Rustaq Zaliq adalah sebuah kota yang besar dan berbenteng di negeri Sigistan
     
Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam festival saat mereka sedang tidak siaga. Kemudian Rabi akan menebas leher mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah. 

Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang Duhqan mereka juga turut menjadi tawanannya. Duhqan adalah kalimat Persia yang berarti kepala suku. Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk dibawakan kepada tuannya. 

Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab: “Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap tahun?” 

Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!” Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya. 

Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata: “Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak setinggi ini!”  Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” Kemudian ia mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan. 
    
Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan. Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang. 

Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan. 

Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota tersebut dan mengusir pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti dikeluarkan. 

Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh. 

Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin, Marbazan negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk melakukan perdamaian dengan Rabi. Marbazan adalah pemimpin dan ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Persia. Selagi Marbazam tadi memiliki kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi dirinya dan bagi kaumnya. Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian. 

Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan dilintasi Barwiz. 

Dan Rabi adalah seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang yang memandangnya. 

Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar karena merasa takut kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan Rabi. 

Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya adalah bahwa Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini. Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota tersebut yang dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil dan takbir. Hari itu adalah sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik Allah.  
     
Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali (gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh Bani Umayyah, yang kemudian membuat Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan. 

Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah tersebut. Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana adalah saat Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!” Lalu Rabi membalas surat tersebut dengan: “Aku mendapati dalam Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.” 
    
Pada hari  Jum’at setelah surat tersebut ia terima, Rabi pergi ke masjid untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh manusia. Kemudian ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus mengamini apa yang aku bacakan!” 

Kemudian ia berdo’a: “Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan diperlambat!” Maka semua manusia mengaminkan do’a tersebut. Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah kembali ke pangkuan Tuhannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.