Amr bin Al Ash "Kecerdasan Panglima Perang"


“Amr bin Al Ash Masuk Islam Setelah Ia Melakukan Perenungan dan Pemikiran yang Cukup Panjang. Rasulullah Saw Pernah Bersabda tentang Diri Amr: “Para Manusia telah Masuk Islam, dan Amr bin Al Ash telah Beriman.” HR. Imam Ahmad dan At Tirmidzi. Barangkali yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang masuk Islam pada tahap-tahap akhir.


“Ya Allah, Engkau dulu pernah memerintahkan kami, namun kami bermaksiat. Engkau dulu pernah melarang kami, namun kami masih saja tak berhenti melakukannya. Tidak ada daya upaya kami selain berharap ampunan-Mu, wahai Dzat Yang Paling Penyayang!” Dengan do’a yang sarat dengan kerendahan hati dan harapan ini, Amr bin Ash menutup usia dan menjelang kematian. 
    
Kisah hidup Amr bi Ash sarat dengan cerita berharga. Dalam masa hidupnya, ia telah berhasil mempersembahkan untuk Islam dua daerah besar dan makmur. Keduanya adalah Palestina dan Mesir. Ia berhasil meninggalkan sebuah riwayat berharga dan senantiasa dibaca oleh manusia sepanjang masa. 
    
Kisah ini di mulai kira-kira setengah abad sebelum hijrah saat Amr dilahirkan, dan berakhir 43 tahun setelah hijrah saat ia menutup usia. Ayahnya bernama Al Ash bin Wa’il yang menjadi salah seorang pemimpin dan  tokoh Arab terpandang pada masa jahiliah. Ayahnya juga merupakan sosok yang memiliki kedudukan tinggi pada bangsa Quraisy. Sedangkan ibunya, memiliki nasib yang berbeda. Ibunya adalah seorang budak tawanan saja. 

Oleh karenanya orang-orang yang merasa iri terhadap Amr bin Ash selalu mengungkit kisah ibunya saat Amr sudah menjabat posisi tertentu atau saat ia sedang menaiki tangga mimbar untuk memberikan khutbah. Bahkan ada seseorang yang membujuk seorang lain untuk berdiri saat Amr bin Ash hendak naik ke atas mimbar lalu menanyakan Amr tentang kisah ibunya. Orang yang menyuruh tadi menjanjikan sejumlah uang kepada orang yang berani melakukan hal ini. 

Orang yang disuruh itu bertanya: “Siapakah ibu dari pemimpin kita ini?” Amr langsung berusaha menekan emosinya dan menggunakan akal sehatnya. Ia menjawab: “Dia adalah Nabighah binti Abdullah. Ia pernah tertawan pada masa jahiliah kemudian ia dijual sebagai budak di pasar Ukadz. Kemudian ia dibeli oleh Abdullah bin Jad’an yang kemudian diberikan kepada Ash bin Wa’il (yaitu ayah Amr) sehingga membawa karunia seorang anak bagi Ash. Jika orang yang hatinya teracuni sifat dengki menjanjikan sejumlah uang kepadamu, maka ambillah!” 

Saat kaum muslimin yang menderita berhijrah  ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dari siksaan bangsa Quraisy dan tinggal di sana. Pada saat itu bangsa Quraisy bertekad untuk memulangkan mereka ke Mekkah lagi, kemudian menyiksa mereka dengan berbagai siksaan. Bangsa Quraisy menunjuk Amr bin Ash untuk melakukan tugas ini, sebab ia memiliki hubungan lama yang baik dengan An Najasy. Bangsa Quraisy juga membekali Amr dengan hadiah yang disenangi oleh An Najasy dan para pemuka agama di sana. 

Begitu Amr bin Ash bertemu dengan An Najasy, Amr bin Ash memberikan penghormatan kepadanya dan berkata: “Ada sebuah kelompok dari kaum kami yang telah berpaling dari agama orang tua dan kakek moyang kami, mereka kini telah membuat agama baru untuk diri mereka. Bangsa Quraisy mengutusku untuk bertemu denganmu untuk mendapatkan izin darimu agar mereka dapat dikembalikan kepada kaumnya dan kembali kepada agama mereka.” Maka An Najasy segera memanggil beberapa orang dari sahabat Nabi yang berhijrah. An Najasy bertanya kepada mereka tentang agama yang mereka anut, Tuhan yang mereka imani dan tentang Nabi mereka yang membawa ajaran agama ini. 

An Najasy mendengarkan dari penuturan para sahabat tadi yang membuat hatinya menjadi yakin dan tenang. Akidah mereka telah membuat An Najasy menjadi suka dengan ajaran agama mereka dan beriman kepadanya. Maka An Najasy menolak dengan keras permintaan Amr bin Ash. Kemudian An Najasy mengembalikan semua hadiah yang diberikan oleh Amr bin Ash.      

Saat Amr bin Ash hendak berangkat menuju Mekkah, An Najasy berkata kepadanya: “Bagaimana bisa engkau menjauh dari urusan Muhammad, ya Amr padahal aku tahu bahwa engkau adalah orang yang berpikiran cerdas dan berwawasan luas?! Demi Allah dia adalah seorang utusan Allah kepada kalian khususnya dan kepada manusia secara umum.” Amr lalu bertanya: “Apakah kau sungguh mengatakan hal demikian, wahai paduka raja?!” An Najasy menjawab: “Demi Allah, taatilah titahku, ya Amr dan berimanlah kepada Muhammad dan kepada kebenaran yang ia bawa untuk kalian!” 
     
Amr bin Ash meninggalkan Habasyah. Ia terus melanjutkan perjalanannya namun ia tidak mengerti apa yang ia lakukan. Kalimat yang telah diucapkan An Najasy meninggalkan bekas mendalam dan berhasil mengguncang hatinya. 

Ucapan An Najasy tentang Muhammad membuat dirinya ingin segera menemui Muhammad, akan tetapi ia tidak memiliki kesempatan hingga pada tahun 8 hijriyah. Pada saat Allah Swt berkenan untuk melapangkan dadanya untuk menerima agama yang baru. Maka pada saat itulah Amr berangkat menyusuri jalan yang menuju ke Madinah Munawarah untuk menemui Rasulullah Saw dan menyatakan keislaman dirinya dihadapan Beliau. 

Saat ia sedang di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Khalid bin Al Walid dan Utsman bin Thalhah. Keduanya pun memiliki tujuan yang sama. Akhirnya ketiga orang itu pun berangkat bersama-sama. Begitu mereka menjumpai Nabi Saw, Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah segera berbai’at (melakukan sumpah setia) kepada Nabi Saw. 

Kemudian Rasulullah Saw membentangkan tangannya kepada Amr, lalu Amr memegang tangan Beliau. Rasulullah Saw lalu bertanya kepada Amr: “Apa yang terjadi dengan dirimu, ya Amr?!” Ia menjawab: “Aku berbai’at kepadamu agar dosaku yang terdahulu diampuni.” Nabi Saw langsung berujar: “Islam dan hijrah keduanya menghapuskan dosa yang terjadi sebelumnya.” Pada saat itu Amr langsung berbai’at kepada Rasul Saw. 

Akan tetapi kejadian ini meninggalkan kesan pada diri Amr bin Ash yang sering ia ucapkan: “Demi Allah, mataku tidak pernah memandang Rasulullah Saw dan menatap wajah Beliau hingga Beliau kembali ke pangkuan Tuhannya.” 
     
 Dengan cahaya kenabian Rasulullah Saw melihat diri Amr bin Ash. Beliau mengetahui adanya potensi tertentu dalam dirinya. Maka Rasulullah Saw menunjuk Amr untuk menjadi pemimpin pasukan muslimin dalam perang Dzatus Salasil meski dalam pasukan tersebut banyak terdapat para tokoh Muhajirin dan Anshar yang lebih dahulu masuk Islam. 
    
Saat Rasulullah Saw sudah wafat, dan kekhalifahan berada di tangan Abu Bakar As Shiddiq ra maka Amr bin Asha berjuang keras dalam peperangan melawan gerakan kemurtadan. Amr bin Ash juga memberantas fitnah yang merebak saat itu bersama Abu Bakar As Shiddiq Ra. 

Amr bin Ash pernah singgah di Bani Amir dan bertemu dengan pemimpin mereka yang bernama Qurrata bin Hubairaj yang berniat untuk murtad. Qurrata berkata kepada Amr: “Wahai Amr, Bangsa Arab tidak menyukai kewajiban pembayaran yang kalian tetapkan kepada semua orang (maksudnya adalah zakat). Jika kalian menghilangkan zakat tersebut, maka bangsa Arab akan patuh dan taat kepada kalian. Jika kalian menolak untuk menghapuskannya, maka mereka tidak akan bersatu lagi dengan kalian setelah hari ini. 

Maka Amr pun langsung berseru kepada Bani Amir: “Celaka kamu!! Apakah engkau sudah menjadi kafir wahai Qurrata?! Apakah engkau mau menakutiku dengan murtadnya bangsa Arab?! Demi Allah, aku akan menjejakan kaki kuda di kemah ibumu!” 
    
Saat Abu Bakar As Shiddiq kembali ke pangkuan Tuhannya, dan amanah kekuasaan diserahkan kepada Umar Al Faruq. Al Faruq memanfaatkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh Amr bin Ash kemudian Umar menempatkan Amr untuk berkhidmat kepada Islam dan muslimin. 

Maka lewat Amr bin Ash, Allah Swt berkenan menaklukan satu negeri demi negeri lainnya yang berada di tepi pantai Palestina. Pasukan Romawi satu demi satu menemukan kekalahan mereka. Kemudian Amr bin Ash bersama pasukannya berniat untuk memblokade Baitul Maqdis. 

Amr bin Ash semakin memperketat blokade di sekeliling wilayah Baitul Maqdis sehingga Arthabun panglima pasukan Romawi merasa putus asa. Blokade tersebut menyebabkan Arthabun melepaskan kota suci tersebut dan lebih memilih untuk melarikan diri. Maka Jerusalem pun kembali ke pangkuan kaum muslimin. Pada saat itu, seorang pemuka agama Nashrani di sana berharap penyerahan kota suci ini dapat dihadiri oleh Khalifah sendiri. 

Maka Amr bin Ash segera menuliskan sebuah surat kepada Umar Al Faruq yang mengundang khalifah untuk menerima secara langsung penyerahan Baitul Maqdis. Khalifah Umar pun hadir dalam penyerahan tersebut dan ia menandatangani perjanjian penyerahan kota Jerusalem. Maka Jerusalem pun  diserahkan kepada kaum muslimin pada tahun 15 hijriyah berkat usaha Amr bin Ash ra. 

Umar Al Faruq jika diingatkan tentang peristiwa blokade Baitul Maqdis dan teringat akan kehebatan Amr bin Ash, ia akan berkata: “Kita telah berhasil mengusir Arthabun Romawi dengan Arthabun Arab.” Amr bin Ash masih meneruskan kemenangan besarnya dengan menaklukan Mesir. Akhirnya negeri yang subur ini menjadi bagian dari wilayah Islam. Di samping itu, Amr bin Ash berhasil menaklukan pintu-pintu benua Afrika, negeri Maroko lalu Spanyol. Semua ini dilakukan oleh Amr bin Ash untuk kaum muslimin hanya dalam setengah abad saja. 
     
Kelebihan Amr bin Ash bukan hanya pada bidang ini saja. Ia juga salah seorang ahli makar dan tipu daya bangsa Arab. Ia juga termasuk salah seorang yang paling jenius di antara mereka. Barangkali salah satu kisah kecerdikannya adalah saat ia menaklukkan Mesir. Amr bin Ash terus membujuk Umar Al Faruq agar diperbolehkan untuk menaklukkan Mesir, sehingga Umar pun mengizinkannya. Umar memberikan dukungan kepada Amr bin Ash dengan 4000 prajurit muslimin. 

Maka berangkatlah Amr bin Ash dengan pasukannya dengan begitu gagah dan tanpa beban. Akan tetapi yang turut serta dalam rombongannya hanya sedikit prajurit saja, sehingga Utsman bin Affan pun menemui Umar dan berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, Amr bin Ash adalah orang yang gagah berani. Dalam dirinya terdapat kecintaan kepada jabatan. Aku khawatir ia pergi ke Mesir tanpa jumlah pasukan yang cukup dan logistik yang memadai, dan hal itu dapat membawa petaka bagi pasukan muslimin. Umar langsung menyesal telah memberikan izin kepada Amr bin Ash untuk menaklukan Mesir. Maka ia langsung mengirimkan seorang utusan yang membawa surat dari  khalifah untuk Amr tentang masalah ini. 
    
Utusan yang dikirim Umar tadi menjumpai pasukan muslimin di daerah Rafah di bagian negeri Palestina. Ketika Amr bin Ash mengetahui kedatangan seorang utusan Umar Al Faruq yang membawa sebuah surat yang ditujukan kepadanya dari Khalifah, Amr langsung merasa khawatir akan isi surat tersebut. Amr terus berpura-pura sibuk dan meneruskan perjalanannya sehingga ia masuk ke sebuah perkampungan Mesir. 

Pada saat itu, Amr baru menemui utusan khalifah. Ia langsung mengambil surat tersebut dan membukanya. Di dalamnya tertulis: “Jika engkau menerima suratku ini sebelum memasuki daerah Mesir, maka kembalilah ke tempat asalmu! Jika kau telah menginjak tanah Mesir, maka teruskanlah perjalananmu!” 

Kemudian Amr bin Ash menyeru semua prajurit muslimin dan membacakan surat dari Umar Al Faruq. Kemudian Amr bertanya: “Apakah kalian sudah tahu bahwa kita sekarang sudah berada di tanah Mesir?” Mereka menjawab: “Ya, kami tahu.” Amr berujar: “Kalau demikian, marilah kita meneruskan perjalanan ini di bawah keberkahan dan taufiq Allah Swt!” Allah Swt pun berkenan menaklukkan Mesir lewat perjuangan Amr bi n Ash. 
     
Salah satu bukti kecerdasannya juga adalah saat ia sedang mengepung salah satu benteng negeri Mesir yang kuat, tokoh agama Romawi meminta panglima pasukan muslimin untuk mengirimkan seorang negosiator dan juru runding. Beberapa orang dari pasukan muslimin rela untuk melakukan tugas ini. Akan tetapi Amr bin Ash berkata: “Aku akan menjadi utusan kaumku untuk menemuinya.” Lalu Amr bin Ash menemui tokoh agama tadi, kemudian ia berhasil memasuki benteng tadi dengan berpura-pura bahwa dirinya adalah utusan panglima pasukan muslimin. 
    
Tokoh agama itu bertemu dengan Amr dan tokoh agama tersebut tidak mengenalinya. Maka terjadilah perundingan antara mereka berdua dan Amr bin Ash berhasil memperlihatkan kecerdasan dan pengalamannya. Maka tokoh agama Romawi ini berniat untuk mengkhianati Amr. Tokoh agama tersebut memberikan hadiah yang besar kepada Amr dan menyuruh para penjaga benteng untuk membunuh Amr sebelum ia melewati parit. Akan tetapi Amr mengetahui niat jahat dari pancaran mata para penjaga tersebut. Lalu Amr kembali lagi menemui tokoh agama tadi dan berkata: “Wahai Tuan, pemberian yang engkau berikan kepadaku tidak bakal cukup untuk dibagi kepada seluruh sepupuku. Maukah engkau mengizinkan aku untuk mengajak sepuluh orang dari mereka untuk mendapatkan hadiah yang sama darimu?” 
  
Tokoh agama tadi menjadi bahagia, dan ia berharap dapat membunuh sepuluh orang dari pihak muslim daripada hanya membunuh satu orang saja.” Kemudian tokoh agama tadi memberi isyarat kepada para penjaga benteng untuk membiarkan Amr bin Ash pergi. Maka selamatlah Amr bin Ash dari ancaman pembunuhan. Ketika Mesir berhasil ditaklukan dan diserahkan kepada pihak muslimin, tokoh agama tadi berjumpa dengan Amr bin Ash dan bertanya dengan nada keheranan: “Apakah ini adalah kamu sebenarnya?” Amr menjawab: “Ya, seperti saat hendak kau khianati dulu.” 
    
Amr bin Ash adalah manusia yang amat pandai berbicara dan berdialog. Sehingga Umar Al Faruq menganggap bahwa kepandaian Amr bin Ash dalam berbicara merupakan tanda kekuasaan Allah Swt. Maka setiap kali Umar melihat ada orang yang gagap dalam berbicara, maka Umar berkata: “Sang Pencipta orang ini dan Sang Pencipta Amr bin Ash adalah Tunggal.” 

Salah satu ucapan Amr bin Ash yang sarat dengan makna adalah: “Manusia itu terbagi tiga; Manusia yang sempurna, separuh manusia dan manusia yang tak bermakna. Adapun manusia yang sempurna adalah manusia yang lengkap agama dan akalnya. Jika ia hendak memutuskan sebuah perkara, maka ia akan meminta pendapat orang-orang cerdas sehingga ia akan terus mendapatkan petunjuk. 

Sedangkan separuh manusia adalah orang yang yang disempurnakan agama dan akalnya oleh Allah. Jika ia hendak meutuskan sebuah perkara, ia tidak meminta pendapat orang lain, dan ia akan berkata: “Manusia seperti apa yang mesti aku ikuti pendapatnya kemudian aku akan meninggalkan pendapatku dan mengikuti pendapatnya?” Maka terkadang ia benar, terkadang ia salah. Adapun orang yang tak bermakna adalah orang yang tidak beragama dan tidak berakal. Maka ia akan selalu keliru dan terbelakang. Demi Allah, aku senantiasa meminta pendapat orang lain, bahkan kepada pembantuku. 
     
Saat Amr bin Ash jatuh sakit dan merasakan ajalnya telah tiba, ia meneteskan air mata dan berkata kepada anaknya: “Aku pernah menjalani tiga kondisi yang diketahui oleh diriku sendiri. Aku pernah menjadi orang kafir, kalau saja saat itu aku mati maka aku pasti akan masuk ke dalam neraka. Saat aku berbai’at kepada Rasulullah Saw, aku menjadi manusia yang amat malu terhadap Beliau, sehingga kedua mataku tak berani menatap Beliau. Kalau saja aku mati pada saat itu, pasti banyak orang yang mengatakan: ‘Selamat bagi Amr yang telah masuk Islam secara baik dan mati secara baik.’ Kemudian aku mengalami banyak kejadian setelah itu, dan aku tidak tahu bahwa semua itu akan memberi kebaikan kepadaku ataukah keburukan?” 

Kemudian Amr bin Ash menghadapkan wajahnya ke arah dinding dan berkata: “Ya Allah, Engkau dulu pernah memerintahkan kami, namun kami bermaksiat. Engkau dulu pernah melarang kami, namun kami masih saja tak berhenti melakukannya. Tidak ada daya upaya kami selain berharap ampunan-Mu, wahai Dzat Yang Paling Penyayang!” 

Kemudian ia meletakkan tangannya di bawah lehernya dan ia mengangkat pandangannya ke arah langit dan berdo’a: “Ya Allah tidak ada kekuatan yang aku miliki, maka menangkanlah aku! Tidak ada yang tidak memiliki kesalahan, maka maafkanlah! Aku bukanlah orang yang sombong akan tetapi orang yang memohon ampunan. Maka ampunilah aku, wahai Dzat Yang Maha Pengampun!” Ia terus mengulangi do’a tersebut sehingga ruhnya berpisah dari badan. 


Sumber : Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.