"Kalau Saja Salim Masih Hidup, Maka Aku akan Mengangkatnya untuk Menjadi Pemimpin Setelahku” (Umar bin Khattab)
Tsubaitah bi nti Ya’ar memerdekakan budaknya yang bernama Salim yang pada saat itu ia masih berusia remaja mendekati usia baligh. Tsubaitah membebaskannya karena ia melihat dalam diri Salim terdapat kelembutan prilaku, kemurnian sifat dan tanda kecerdasan. Ia pun memiliki tanda-tanda kebaikan dan kebajikan dalam tindak-tanduknya.
Namun suami Tsubaitah yang bernama Abu Hudzaifah yang menjadi salah seorang pemuka Bani Abdi Syamsin merasa berat untuk melepaskan Salim dalam usianya yang masih dini. Maka Abu Hudzaifah mengajak Salim untuk ikut bersamanya menuju Masjidil Haram, kemudian Abu Hudzaifah berdiri di tengah keramaian bangsa Quraisy yang sedang berkumpul di sekitar Ka’bah.
Abu Hudzaifah berseru: “Saksikanlah wahai bangsa Quraisy bahwa aku telah mengadopsi Salim, setelah istriku memerdekakannya. Ia bagiku kini sudah seperti anak kepada ayahnya.” Bangsa Quraisy pun menanggapi dengan berkata: “Alangkah terpujinya tindakanmu itu, wahai Ibnu Utbah (panggilan Abu Hudzaifah)!” Sejak saat itu, anak tadi mulai dipanggil dengan Salim ibnu Abi Hudzaifah.
Tidak lama berselang, maka terpendarlah cahaya ilahi di padang pasir Mekkah. Dan Allah Swt telah mengutus seorang Nabi-nya dengan membawa ajara agama petunjuk dan kebenaran. Abu Hudzaifah dan anaknya yang bernama Salim termasuk orang pertama yang hatinya tersinari oleh cahaya suci ini.
Kedua anak-beranak ini datang untuk menghadap Rasulullah Saw dan menyatakan keislaman mereka berdua dihadapan Beliau. Keduanya bersama-sama bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan penutup para Rasul-Nya.
Tidak lama setelah Abu Hudzaifah dan anaknya yang bernama Salim masuk ke dalam Islam, maka Islam pun membatalkan sistem adopsi anak. Islam mengajarkan kepada manusia untuk mengembalikan anak kepada bapak mereka yang asli demi menjaga keturunan (nasab) dan membongkar sebuah kebiasaan kaum jahiliah. Maka turunlah firman Allah Swt dalam masalah pengadopsian anak: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 5)
Kaum muslimin pun menyambut perintah Tuhan mereka. Mereka segera mencari urutan nasab anak yang telah mereka adopsi, mencari informasi tentang ayah mereka sebenarnya, kemudian mengembalikan anak-anak adopsi kepada ayah mereka yang sejati. Akan tetapi Abu Hudzaifah tidak menemukan ayah Salim yang sebenarnya meskipun ia selalu mencari-cari informasi akan keberadaannya.
Hal itu dikarenakan Salim telah tertawan pada usia dini, kemudian dipaksa ikut ke Mekkah dan di jual di pasar perbudakan dan pada saat itu Salim dalam usia yang belum bisa mengenal siapa ayah dan ibunya. Maka karenanya, orang-orang menyebut Salim dengan panggilan Salim budak Abu Hudzaifah. Ia pun terus menyandang nama tersebut sepanjang hidupnya.
Akan tetapi hubungan Salim dengan Abu Hudzaifah bukanlah seperti hubungan seorang tuan dengan budaknya. Akan tetapi ia merupakan hubungan seorang saudara terhadap saudaranya setelah Islam menyatukan dua hati yang berbeda, dan setelah iman mempersaudarakan dua jiwa yang berpisah. Kedua hati mereka amat dipenuhi dengan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Abu Hudzaifah berniat untuk semakin mempererat dan memperdalam hubungannya kepada Salim, dan ia juga hendak memupus semua peninggalan fanatisme jahiliah yang diberantas oleh Islam.
Maka Abu Hudzaifah menikahkan Salim dengan keponakan Abu Hudzaifah yang berbangsa Quraisy (Al Absyami) yang memiliki kedudukan dan nasab terpandang. Maka kini Salim telah menjadi al akh fillah (saudara seiman) bagi Abu Hudzaifah sekaligus menjadi salah satu kerabatnya.
Al Absyamim artinya bernasab ke Bani Abdu Syamsin.
Tidak lama sejak itu, maka kedua saudara ini dipisahkan oleh berbagai peristiwa yang telah membuat kaum muslimin tersiksa dan teraniaya. Abu Hudzaifah pergi berhijrah ke negeri Habasyah untuk menyelamatkan agama dan keimanannya serta akidahnya dari siksaan bangsa Quraisy.
Sementara Salim lebih memilih untuk tinggal di Mekkah bersama Rasulullah Saw dan menghabiskan usianya untuk mempelajari Kitabullah agar Salim dapat mengambilnya secara langsung dari Beliau begitu ayat-ayat AlQur’an turun. Maka Salim dapat membacakan ayat-ayat Al Qur’an dengan khusyuk. Kemudian ia dapat memahami dan mentadabburi surat-surat Al Qur’an yang diturunkan, sehingga ia menjadi salah seorang sahabat yang menghapalkan Al Qur’an pada zaman Nabi Saw.
Salim juga termasuk salah satu dari 4 orang yang dipesankan Nabi Saw kepada ummat ini untuk mengambil pelajaran Al Qur’an dari mereka. Sabdanya: “Pelajarilah Al Qur’an dari keempat orang ini: Abdullah bin Mas’ud, Salim budak Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’b dan Muadz bin Jabal.”
Para sahabat Nabi Saw yang mulia mengetahui kelebihan Salim dibandingkan mereka dalam menghapal Kitabullah, penguasaannya, pentadabburan ayatnya dan pemahaman akan makna dan maksudnya. Saat kaum muslimin berhijrah dari Mekkah ke Madinah, maka kaum muslimin mendaulat Salim untuk menjadi imam bagi mereka. Kaum muslimin terus shalat dengan Salim sebagai imamnya sehingga Rasulullah Saw tiba, meskipun dalam barisan muslimin saat itu terdapat Umar bin Khattab dan beberapa tokoh sahabat yang ternama.
Kemudian Allah berkenan untuk mempertemukan Salim dengan saudaranya seiman yaitu Abu Hudzaifah setelah hijrah. Allah Swt juga memperkenankan mereka berdua untuk turut-serta dalam perang Badr bersama Rasulullah Saw.
Saat pasukan muslimin hendak turun ke medan laga, Salim berkata kepada saudaranya Hudzaifah: “Lihatlah wahai Abu Hudzaifah, itu ayahmu Utbah bin Rabiah berada di barisan terdepan, ia bersiap untuk menghadapi Islam dan pasukan muslimin.” Abu Hudzaifah menjawab: “Benar, aku melihatnya. Dan itu ada dua orang musuh Allah yang bernama Syaibah bin Rabi’ah pamanku dan saudaraku yang bernama Al Walid bin Utbah, yang mengiringi ayahku.
Kalau saja Rasulullah Saw mengizinkan, maka aku akan menghadapi mereka satu demi satu dan aku akan membuat mereka mati terbunuh, atau aku akan berpulang ke sisi Tuhanku dalam kondisi ridha dan diridhai.
Begitu peperangan usai, Salim dan Abu Hudzaifah melihat orang yang tewas menjadi korban perang. Ternyata mereka menemukan Utbah ayah dari Abu Hudzaifah, Syaibah pamannya dan Al Walid saudaranya. Kesemuanya tewas tak bergerak. Abu Huzaifah lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah membuat hati Nabi-Nya tenang dengan kematian mereka semua.”
Kedua bersaudara dalam ikatan iman ini senantiasa turut-serta berjihad di bawah komando Rasulullah Saw dalam setiap peperangan pada masa Beliau. Mereka juga menunaikan hak Alah dan Rasul-Nya hingga pada saat perang Yamamah pada masa pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq ra.
Pada hari itu, Abu Bakar berniat untuk berperang menumpas Musailamah Al Kadzzab, dan mengerahkan pasukan muslimin di segala penjuru untuk memberantas fitnah buta yang hampir mencelakakan Islam dan membahayakan penganutnya. Maka Salim dan Abu Hudzaifah bersegera untuk mempertahankan agama Allah, dan berangkat untuk berperang melawan Musailamah sang musuh Allah.
Kedua pasukan bertemu di bumi Yamamah, dan peperangan berlangsung dengan sengit antara keduanya yang jarang sekali ditemukan peperangan sedahsyat itu dalam sejarah. Pasukan muslimin merangsek masuk dengan komando Ikrimah bin Abu Jahl dan Khalid bin Walid dengan begitu berani yang sulit digambarkan tentang keberanian mereka. Begitu juga halnya dengan kaum murtad dengan komando Musailamah yang tidak kalah beraninya.
Akan tetapi kemenangan berada dalam pihak Musailamah Al Kadzzab, bahkan beberapa orang prajuritnya berhasil menyusup ke tenda Khalid bin Walid dan hampir menyandera istri Khalid kalau saja tidak ada salah seorang di antara mereka yang mencegahnya.
Pada saat itulah semangat pasukan muslimin mulai bangkit, dan ada di antara mereka beberapa prajurit yang gagah berani. Mereka rela menukar diri mereka yang dapat mati hari itu atau keesokannya dengan diri dan jiwa yang tidak akan mati untuk selamanya.
Pada saat itu, Khalid kembali mengatur barisan pasukan muslimin, dan ia menyerahkan panji komando pasukan Muhajirin kepada Salim budak Abu Hudzaifah sebagaimana ia menyerahkan panji komando pasukan Anshar kepada Tsabit bin Qais.
Zaid bin Khattab berdiri memberikan semangat kepada pasukan muslimin untuk bertempur seraya berseru: “Wahai manusia, gigitlah geraham kalian dengan keras! Tebaslah leher musuh kalian! Majulah terus….! Wahai manusia, Demi Allah aku tidak akan mengatakan apapun juga setelah ini, sehingga Allah Swt mengalahkan Musailamah Al Kadzzab dan para pengikutnya atau aku sendiri yang akan terbunuh, sehingga aku dapat berjumpa Allah dengan membawa alasanku.”
Kemudian Zaid lansung masuk ke dalam barisan. Ia terus berjuang melawan musuh hingga akhirnya ia mati terbunuh. Kemudian Abu Hudzaifah mengikuti jejak Zaid bin Khattab dan segera berseru: “Wahai para pengemban Al Qur’an, hiasilah Al Qur’an dengan aksi kalian!”
Kemudian ia maju ke medan laga untuk berjuang sehingga ia menjumpai ajalnya saat ia maju terus pantang mundur. Sedangkan Salim budak Abu Hudzaifah menuju barisan Muhajirin dan berkata kepada dirinya sendiri: “Seburuk-buruknya pengemban Al Qur’an adalah aku bila kaum muslimin berdatangan dan berlindung ke arahku.”
Kemudian ia langsung terjun ke medan laga untuk mempertahankan panji kaumnya sehingga tangan kanannya putus. Ia pun mengambil panji tersebut dengan tangan kirinya. Ia terus berjuang hingga tangan kirinya pun putus. Ia pun kini mengambil panji tersebut dengan kedua lengan atasnya. Ia terus mempertahankan panji tersebut sehingga ia tidak mampu lagi menanggung luka di badan, lalu ia terjatuh ke tanah dengan bersimbah darah.
Saat perang telah usai, Khalid bin Walid menemukan Salim budak Abu Hudzaifah masih dalam kondisi hidup. Salim lalu bertanya kepada Khalid: “Apa yang telah didapat oleh pasukan muslimin?” Khalid menjawab: “Allah telah memberikan kemenangan kepada mereka, Allah telah membunuh Musailamah Al Kadzzab buat kaum muslimin, dan Allah telah menghancurkan pasukan dan pendukung Musailamah.” Salim bertanya lagi: “Lalu apa yang dilakukan oleh saudaraku Abu Hudzaifah?” Khalid menjawab: “Ia telah pergi ke pangkuan Tuhannya. Ia terbunuh sebagai seorang syahid.”
Salim berkata: “Letakkanlah tubuhku disamping tubuhnya!” Khalid menjawab: “Itulah tubuhnya yang sedang berbaring dengan sebuah bantal dekat kakimu.” Kemudian Salim memekamkan kedua matanya sambil berkata: “Kita bersama disini (di dunia) ya Abu Hudzaifah, dan Insya Allah kita akan bersama di sana (di akhirat).” Kemudian Salim menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sumber : Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.