Bahwa dalam kajian ushul fiqh, tidak semua hadits Nabi saw itu memiliki nilai tasyri' atau menjadi dasar pembentukan hukum-hukum syariat. Ada pula hadits-hadits Nabi yang memang harus diperlakukan sebagaimana hadits-hadits tersebut diperlakukan, yaitu harus diletakkan sesuai "tempatnya". Dalam istilah lain inilah yang disebut dengan sunnah tasyri'iyah dan sunnah ghairu tasyri'iyah. Sunnah yang berdimensi hukum (sunnah tasyri'iyah) secara umum dan tetap bagi manusia, dan harus diikuti hingga hari kiamat, serta sunnah yang berdimensi hukum secara khusus bagi situasi dan kondisi tertentu.
Orang yang pertama mengungkapkan masalah ini dengan redaksi dan judul yang jelas, yaitu pembagian Sunnah menjadi yang berdimensi hukum dan yang tidak berdimensi hukum, serta Sunnah yang berdimensi hukum secara universal dan yang tidak, menurut Yusuf Qardhawi adalah Syeikh Mahmud Syaltut, mantan syeikh al-Azhar, yaitu seperti diungkapkan dalam bukunya, Fiqh Al-Qur'an wa Sunnah: al-Qishash. Buku ini berasal dari materi kuliah yang ia sampaikan kepada mahasiswa pascasarjana fakultas hukum di Kairo pada tahun tiga puluhan. Kemudian buku ini dimasukkan dalam bukunya yang terkenal, al-Islam: Aqidah wa Syari'ah.
Bila dilihat dari "isi materi bahasan" jauh sebelumnya telah dikemukakan oleh 'Allamah Syeikh Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar. Sebelumnya juga -pada abad ke-12 Hijriyah- telah disinggung oleh seorang ulama Islam di India: Ahmad bin Abdurrahim, yang terkenal dengan Syah Waliyullah ad-Dahlawy (w. 176 H). Juga tentang dimensi hukum khusus dari Sunnah, telah disebutkan dan dijelaskan oleh Imam Abul Abbas Syihabuddin al-Qarafi (w. 684 H).
Selanjutnya Dr. Yusuf Al-Qardhawi berkomentar, sebenarnya banyak ulama-ulama lainnya dari generasi ulama klasik dan modern, baik dari fakar Fiqh maupun Ushul Fiqh telah membahas masalah ini dalam berbagai momen dan topik, bahkan disinyalir pembahasan ini sudah ada sejak masa sahabat r. a.
Penulis pertama dari kalangan ulama klasik Imam Abu Muhammad bin Qutaibah (w.276 H), seorang tokoh ulama ensiklopedik besar/tokoh pembela Ahli Sunnah. Kitabnya yang berjudul "Ta 'wil Mukhtalaf Al-Hadits " membahas tentang "tema pembagian-pembagian Sunnah ".
Pembagian "Sunnah" menurut Abu Muhammad (Ibnu Qutaibah) terbagi tiga :
a. Sunnah yang disampaikan Jibril a.s. dari Allah swt.
Seperti sabda Rasulullah saw., "Janganlah engkau kawinkan seorang wanita dengan di-madu bersama bibinya, baik bibi daripihak ayahnya atau dari pihak ibunya.(Muttafaq 'Alaih)
"Persusuan mengharamkan perkawinan seperti keharaman (perkawinan) dengan ikatan nasab. (Muttafaq 'Alaih)
"Satu-dua kali susuan tidak menyebabkan keharaman (per-katuinan dengannya). (HR Ahmad)
"Diyat harus dibayar oleh keluarga sangpelaku kejahatan pem-bunuhan (yang tidak sengaja). "(HR Bukhari Muslim)
Sunnah-sunnah semacam ini berasal dari wahyu, maksudnya, menurut Ibnu Qutaibah, sunnah semacam ini bersumber dari wahyu).
b. Sunnah berdasarkan "Ijtihad Nabi saw" dimana Allah Swt mengizinkankannya untuk menetapkannya, sehingga nabi saw bisa memberikan keringanan hukum sesuai dg alasan hukum/uzurnya sesuai dengan sebab dan halangan yang ada.
Misal sejumlah kasus sbb, Nabi saw mengharamkan bagi laki-laki memakai sutera, tetapi beliau membolehkannya untuk Abdurahman bin Auf karena alasan tertentu. Sabda beliau ketika di Makkah : "Janganlah dicabut dan ditebang pohonnya." Kemudian Abbas bin Abdul Muthalib berkata : "Wahai Rasulallah,kecuali pohon idkhir (lemon grass). Karena pohon itu digunakan untuk membuat rumah. Akhirnya Nabi bersabda : "Kecuali pohon idkhir" (Muttafaq 'alaih, dari hadits Ibnu Abbas, Al-Lu'lu' wal-Marjan).
Seandainya Allah SWT mengharamkan menebangi seluruh pohon di Mekkah, niscaya Rasulullah saw tidak akan mengikuti keinginan Ibnu Abbas untuk tidak memasukan pohon idzkhar dalam kelompok pohon yang dilarang untuk dipotong. Akan tetapi, Allah SWT memberikan wewenang kepada Rasulullah saw. untuk tidak memasukkan pohon yang sering dimanf aatkan manusia, maka beliau tidak memasukkan pohon idzkhar dalam kelompok itu.
"Jika aku telah memulai mengerjakan sesuatu, aku tidak akan meninggalkanpekerjaan itu. Oleh karena itu, aku akan segera bersiap untuk melakukan Umrah." (Muttafaq 'Alaih)
"Kalaulah tidak karena khawatir akan memberatkan umatku, niscaya akan aku jadikan waktu shalat ini pada saat (jam seperti) ini. "(HR Bukhari dan Muslim)
Beliau juga melarang memakan daging kurban setelah lewat tiga hari, berziarah ke kubur, dan meminum perasan anggur yang telah disimpan. Kemudian beliau bersabda, "Aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging-daging kurban lebih dari tiga hari, kemudian aku mendapati orang-orang (di Madinah) ingin menyimpan daging itu bagi tamu yang akan datang, dan mereka juga ingin menyiapkan (jamuan untuk keluarga) yang sedang pergi. Oleh karena itu, makan dan simpanlah sesuai keinginan kalian. Aku juga pernah melarang kalian untuk berziarah ke pekuburan, maka (semenjak saat ini) berziarahlah (boleh). Dan janganlah kalian katakan, Aku tidak akan berziarah lagi', karena aku dapati dengan ziarah itu akan melunakkan hati. Aku juga pernah melarang meminum perasan buah angguryang disimpan, maka minumlah, tapijangan kalian meminum minumanyang me-mabukkan." (HR Muslim, Al-Hakim dan Ahmad)
Abu Muhammad berkata bahwa ini semua menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan wewenang kepada Rasulullah saw. untuk melarang dan memberikan keringanan setelah adanya larangan tersebut, kepada siapa yang beliau kehendaki.
Seandainya hal itu tidak boleh baginya, niscaya beliau tidak akan melakukannya. Ini seperti ketika beliau didatangi seorang wanita yang memprotes suaminya yang telah men-zihar-nya. Maka dalam kesempatan itu Rasulullah saw. tidak memberikan kata putus, dan bersabda, "Semoga Allah SWT memberikan keputusan dalam masalah itu." (HR Ahmad, Bukhari, dan Nasa'i)
Pada kesempatan lain, seorang badui datang menemui beliau. Ia menggunakan pakaian dari woll, dan darinya tercium bau wangi. Ia meminta fatwa kepada beliau, tetapi saat itu beliau tidak langsung memberikan fatwa, hingga beliau tertidur dan mendengkur, kemudian bangun dan memberikan fatwa kepadanya.
c. Ketiga: Sunnah yang berdimensi pengajaran saja. Jika kita melakukannya maka kita mendapatkan keutamaan, dan jika kita meninggalkannya maka kita tidak mendapatkan dosa, insya Allah. Ini seperti perintah beliau untuk menggunakan sorban dengan memutamya di bawah, melarang memakan daging hewan jallalah, dan memakan uang hasil membekam."
Hadits tentang melarang memakan daging hewan jalalahini diriwayatkan oleh Daud, Tlmiizi, Ibnu Majah, dan Hakim dari Ibnu Umar, yaitu dengan redaksi, "Beliau melarang memakan daging hewan jallalah dan meminum susunya". Ini seperti tertulis dalam kitab Sahih Jami' Shagir, no. 6855.
Jallalah adalah hewan yang memakan kotoran, sehingga makanan itu mempengaruhi daging dan susunya. Ibnu Qutaibah melihat larangan di sini sebagai karahiah tanzih, makruh karena tidak layak untuk dilakukan, atau sebagai petunjuk saja. Tidak bersifat haram.
Adapun hadits larangan memakan uang hasil bekam diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Mas'ud, no 2165. Dan penahkiknya dari al-Bushiri dalam kitab Zawaid mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih dan orang-orang yang meriwayatkannya tsiqat (tepercaya), dengan syarat Bukhari.
Larangan itu tampak di sini sebagai larangan karahiah li tanzih atau petunjuk juga. Dan dalam hadits yang sahih diriwayatkan bahwa Rasu-lullah Saw telah memberikan bayaran kepada orang yang membekam -mengeluarkan darah kotor dari tubuh beliau. Hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Buyu' dan Muslim dalam al-Masaqat, dan lainnya.
Dalam melihat sunnah semacam ini, Ibnu Qutaibah lebih cenderung sepakat dg pendapat para ahli Ushul , bahwa "perintah dan larangan" disini adalah anjuran atau penyuluhan (irsyad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.