Pada abad ke-VII H, seorang ulama besar mahzab Maliki yaitu Imam Syihabuddin Al-Qarafi dari Mesir menguraikan tentang "Sunnah Nabi saw dan perbedaan konteksnya". Al Qarafi membagi sunnah Nabi berdasarkan konteksnya, yaitu sunnah dimana Nabi saw kapasitasnya sebagai kepala negara (Imam), Hakim (qadhi), dan pemberi fatwa mufti). Ketiga situasional tersebut berimplikasi terhadap "keumuman dan kekhusuan hukum, pemutlakan dan pembatasan hukum".
Hal ini diuraikannya secara detik dalam kedua kitabnya yaitu :Al Furuq" dan "Al-Ihkam Fi Tamyizil-Fatawa minal-Ahkam ". Di dalam kitab "Al Furuq: dibahas berbagai perbedaan yang ke-36 dibahas tentang perbedaan kaidah antara perbuatan Rasul sebagai hakim (Qadhi), sebagai pemberi fatwa yaitu tabligh, dan sebagai kepala Negara.
Implikasi/dampaknya secara hukum dinyatakan bahwa setiap sabda dan perbuatan Nabi yang merupakan Tabligh menjadi hukum yang sifatnya umum berlaku untuk seluruh jin dan manusia sampai hari kiamat. Tindakan Nabi sebagai kepala negara, seorang pun tidak boleh melakukannya dengan alasan mengikuti sunnah rasul, kecuali ada izin dari kepala negara, sebab dasar perbuatan beliau di sini adalah kedudukan beliau sebagai kepala negara, bukan sebagai penyampai syariah.
Sunnah Nabi yang dilakukannya dalam posisi beliau sebagai Hakim, tak seorang pun boleh melakukannya dengan alasan mengikuti sunnah Rasul, kecuali ada keputusan dari Hakim. Misal perbedaan antara ketiga kaidah tersebut dalam sunnah Nabi saw adalah sebagai berikut.
a. Tindakan Rasulullah saw berupa hal-hal berikut:
Mengirim pasukan untuk memerangi kuffar, kaum murtad, orang-orang yang boleh diperangi, menggunakan harta baitul-mal secara proporsional, mengumpulkan dananya dari sumber-sumber yg benar, melantik para hakim dan penjabat, membagi harta rampasan perang. mengadakan perjanjian damai dan perang dengan kuffar, semua ini adalah tugas khalifah dan pemimpin tertinggi negara. Rasulullah saw melakukan hal-hal semacam ini tentunya dalam kapasitas beliau sebagai "Kepala Negara" bukan yang lain.
Kelika beliau memberikan keputusan hukum dengan menggunakan berbagai bukti, sumpah, pembelaan dan sebagainya atas orang-orang yang bertikai dalam perkara harta, penganiyaan badan, dll, maka dipahami bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitas beliau sebagai "Hakim ", bukan sebagai Kepala Negara/lainnya.Karena masalah ini adalah masalah kehakiman dan menjadi tugas para hakim.
Adapun perkataan/perbuatan beliau yang menyangkut ibadah atau jawaban terhadap pertanyaan mengenai persoalan agama, maka semua ini merupakan fatwa dan tabligh. Dengan demikian kedudukan masalah-masalah di atas sudah sangat jelas.
b. Hadits menghidupkan tanah mati
Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa menghidupkan tanah mati, tanah tersebut menjadi haknya". (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, An-Nasa'i. AI-Munawi menyebutkannya dalam Faidl Al-Qadir bahwa semua hadits ini berasal dari Sa'ad bin Zaid. Tirmizi meriwayatkannya dari hadits Jabir dan mengatakan bhw ia hasan shahih) Al-Bukhari meriwayatkan secara Mauquf sampai Umar denganungkapan ini dalam shahihnya di "Bab Al-Muzara'ah, juga dalam "Kitab Al-'Umra wa Al-Ruqba" dari Aisyah dengan ungkapan : "Barang siapa menggarap tanah yang tidak dimiliki siapa pun dia lehih berhak (atas tanah tersebut). "
Ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Apakah sabda beliau ini merupakan "fatwa" sehingga siapa pun boleh membuka lahan kosong, baik mendapat izin dari pemerintah atau tidak? Ini pendapat mazhab Maliki dan Al-Syafi'i. Atau hadis ini "keputusan beliau" sebagai "kepala negara", sehingga tidak dibenarkan "tanpa izin pemerintah". Ini mazhab Abu Hanifah. (Jika lahan tersebut dekat pemukiman penduduk menurut mazhab Maliki juga mesti ada izin imam).
Dr.Yusuf Al-Qardhawi mengomentari, bahwa menurutnya yang paling kuat ada;ah pendapat Abu Hanifah, karena kemaslahatan umum menuntut adanya kebijakan pemerintah terhadap "hak kepemilikan tanah" dan menetapkan "peraturan tanah-tanah tak bertuan". Karena diantara tanah-tanah tersebut ada yang merupakan kawasan militer atau semacamnya dan juga kawasan-kawasan arkeologi bersejarah. Dalam hal ini pemerintah berhak melarang/menetapkan peraturan tertentu sebagai syarat menggarap tanah itu, atau menetapkan batasan maksimal, dst.
c. Hadits tentang membelanjakan harta suami
Rasulullah saw bersabda kepada Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan, ketika Hindun mengadukan persoalannya kepada Nabi saw, "Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang suami yang pelif. Dia tidak memberiku dan anakku belanja yang cukup." Maka Rasulullah saw bersabda, "Ambillah untukmu dan untuk anakmu belanja secukupnya dengan balk (secara wajar). (Muttafaq 'alaih dari hadits Aisyah).
Dalam hal ini hal ini ulama berbeda pendapat, Apakah sabda Nabi saw tersebut merupakan "fatwa", sehingga siapapun boleh mengambil haknya dan yang sejenisnya dari lawan perkaranya tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan? Mazhab Syafi'i berpandangan demikan, sedang mazhab Imam Malik tidak demikian.
Ataukah keputusan beliau sebagai hakim, sehingga siapapun yang merasa kesulitan mengambil haknya dari orang yang berhutang padanya dan yang sejenisnya dari orang lain "tidak boleh mengambil haknya" tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan kecuali dengan "keputusan pengadilan"?
Imam Al-Khathabi meriwayatkan dua pendapat ulama mengenai hadits ini. Ulama yang berpendapat, bahwa mesti melalui putusan pengadilan ,ini menyangkut masalah harta terhadap orang lain, sehingga tidak boleh memasukkan perkara yang lain dalam perkara ini kecuali dengan putusan pengadilan. Karena bila tidak, maka status hadits itu sebagai fatwa, dan fatwa sifatnya umum. Ulama yang menstatuskan hadits itu "fatwa", karena Abu Sufyan yang berada di Madinah tidak dihadirkan, sementara putusan peradilan tidak sah tanpa kehadiran tergugat untuk dimintai penjelasan. Jadi hadits ini merupakan fatwa.
d. Hadits tentang mengambil harta orang dalam peperangan
Rasulullah saw bersabda : "Barangsiapa membunuh orang kafir dalam peperangan,maka harta yang dibawa atau dipakai orang kafir tersebut menjadi haknya. "(HR, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Malik, Ahmad, semua riwayat ini berasal dari Abu Qatadah. Menurut mereka semua, hadits tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: "Barang siapa membunuh dan dia mempunyai bukti tentang pembunuhan tersebut, dia berhak mendapalkan salabnya. " Lihat Al-Lu'lu wal-Marjan,no. 1144).
Ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Apakah hadits ini merupakan "keputusan kepala Negara" (imam), sehingga siapa pun tidak berhak memiliki harta orang kafir yang dibunuhnya, kecuali telah diizinkan oleh seorang imam? Ini adalah pendapat Imam Malik. Dalam hal ini beliau mengemukakan alasan :
1) Ghanimah pada dasarnya adalah dibagi untuk semua orang yang ikut perang.(QS.Al-Anfal: 8/41).Dengan demikian mengecualikan "Salab" adalah menyalahi pengertian lahir/eksplisit ayat diatas.
2) Kebebasan mengambil "Salab" akan merusak keikhlasan para mujahidin.
3) Disamping itu "kebebasan mengambil Salab" akan menyebabkan mereka cenderung untuk membunuh musuh yang punya harta saja. Sikap demikian ini akan melemahkan semangat para pasukan yang berperang. Boleh jadi dengan sedikit salab yang diperoleh lebih menyakitkan dan akan menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam.Karena sebab-sebab inilah Imam Malik tidak berpegang dari kaidahnya sendiri tentang pandangannya terhadap sunnah, dimana ia menyatakan bahwa "sebagian hesar perbuatan Rasul saw dianggap sebagai fatwa berdasarkan kebiasaan beliau ".
Atas dasar ketentuan dan perbedaan-perbedaan kaidah yang terdapat dalam pembahasan di atas, dapat disimpulkan dari perbuatan-perbuatan Rasulullah saw beberapa kaidah-kaidah syar'iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.