Di antara pelbagai penyakit atau bencana yang dihadapi oleh As-Sunnah ialah adanya sebagian orang yang membaca sebuah hadis secara tergesa-gesa, lalu mendapati suatu makna tertentu dalam khayalannya, yang dijadikannya sebagai bahan menafsirkan hadis tersebut. Dan apabila makna tersebut tidak dapat diterima oleh akalnya, maka ia segera menolak hadis itu, semata-mata karena mengandung makna yang tidak dapat diterimanya itu.
Padahal, seandainya ia mau bersikap fair (jujur dan adil), lalu merenung dan meneliti, niscaya akan diketahui olehnya bahwa makna hadis tersebut tidaklah seperti yang ia pahami. Dan bahwa ia, sebelumnya, telah memaksakan suatu makna dari dalam pikirannya sendiri, yang tidak ada dalam Al-Quran ataupun Sunnah Nabi saw. bahkan tidak pernah ada dalam bahasa Arab, dan tidak pula pernah dinyatakan oleh seorang ulama sebelumnya.
Diantara kesalahan ini adalah sebagian orang membaca hadis yang dirawikan oleh Ibn Majah dari Abu Said Al-Khudri, dan Ath-Thabrani dari 'Ubadah bin Ash Shamit: "Ya Allah, Hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, matikanlah aku sebagai seorang miskin dan bangkitkanlah aku kelak dalam kelompok orang-orang miskin."
Maka ia memahami kata miskin dalam hadis tersebut sebagai seorang fakir yang sangat membutuhkan bantuan orang lain. Padahal makna seperti ini bertentangan dengan sabda Nabi saw. yang memohon perlindungan Allah dari fitnah (cobaan dan penderitaan) akibat kemiskinan. Juga bertentangan dengan permohonan beliau kepada Allah SWT agar diberi 'iffah (sikap menjaga kehormatan diri dengan tidak pernah menunjukkan kebutuhan) serta ghina (kecukupan atau kekayaan).
Demikian pula ucapan beliau kepada Sa'd: "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang berkecukupan (atau kaya) yang bertakwa lagi tak menonjolkan diri". Dan ucapan beliau kepada 'Amr bin 'Ash: "Alangkah baiknya harta yang baik di tangan orang yang baik."
Dan karena membaca hadis-hadis yang belakangan ini, maka ia segera menolak hadis yang pertama di atas. Padahal, kata "miskin" dalam hadis tersebut tidak bermaksud menunjuk kepada seorang yang ditimpa kemiskinan harta. Bagaimana mungkin, sedangkan Nabi saw. memohon perlindungan Allah dari kefakiran seraya menyebutnya bersama-sama dengan kekafiran. Yaitu dalam sabda beliau: "Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu dari kekafiran dan kefakiran!".
Dan Allah SWT pernah pula menunjukkan karunia-Nya kepada Nabi saw. dengan memberinya ghina (kecukupan atau kekayaan). Yakni dalam firman-Nya: "Dan la (Allah) mendapati engkau dalam keadaan serba kekurangan, maka diberi-Nya engkau ghina" (Adh-Dhuha: 8). Adapun yang dimaksud dengan miskin (dalam hadis Nabi saw.) adalah sikap tawadhu' serta rendah hati. Berkata Ibn Al-Atsir: "Yang dimaksud adalah tawadhu' serta kekhusyukan hati, dan agar ia tidak tergolong dalam kaum tiran yang angkuh."
Dan memang seperti itulah beliau menjalani hidupnya. Amat jauh dari cara hidup orang-orang yang takabur, termasuk dalam sikap dan bentuk lahiriahnya. Duduk beliau seperti duduknya para budak dan fakir miskin. Makannya pun, seperti mereka juga. Adakalanya seorang asing datang dan tidak mengenali beliau di antara para sahabatnya, sebab beliau selalu sama saja dengan mereka, tak ada sedikit pun keistimewaan yang membedakannya dengan mereka. Di rumah, beliau adakalanya menjahit alas sandalnya dengan tangannya sendiri. Kemudian juga menambal bajunya, memerah susu kambingnya dan ikut menggiling (gandum) bersama-sama para pembantu rumahnya.
Diantara kekeliruan dalam menolak setiap hadis sahih adalah semata-mata karena menganggap sulit untuk memahami makna sebuah hadits sekalipun hadits itu shahih. Ini biasanya terjadi bagi orang-orang yang belum mendalam ilmunya. Dalam masalah ini yang menjadi ukuran adalah perhatikan derajat haditsnya terlebih dahulu. Jika hadits tersebut shahih namun apabila dianggap musykil secara matan maka perlu diadakan penelitian mendalam terlebih dahulu terhadap hadits shahih tersebut. Jangan sekali-kali menolaknya semata-mata disebabkan akal tak dapat menerimanya. Sebab mungkin saja kesalahan justru berasal dari kesimpulan akal itu sendiri.
Sebagai contoh, hadis tentang "kucing" serta hukuman yang akan menimpa orang yang menyiksanya sehingga menyebabkannya mati. Imam Ahmad merawikan dari 'Alqamah, katanya: "Kami pernah di rumah Aisyah, ketika Abu Hurairah masuk. Lalu Aisyah berkata kepadanya: 'Anda yang telah menyebut adanya hadis Nabi saw., tentang seorang perempuan yang mendapat azab Allah, disebabkan ia mengikat seekor kucing dan tak memberinya makan dan minum sehingga kucing itu mati?!' Jawab Abu Hurairah: 'Saya mendengarnya dari Rasulullah saw.!'
Maka Aisyah berkata: 'Adakah Anda mengetahui siapa perempuan itu? Ia — di samping perbuatannya itu — adalah seorang kafir. Sedangkan seorang Muslim adalah terlalu mulia di sisi Allah untuk memperoleh siksaan dari-Nya, demi seekor kucing! Sebaiknya, bila Anda hendak menyampaikan hadis dari Nabi saw., telitilah dahulu apa yang hendak Anda ucapkan!"
Aisyah, Ummul-Mukminin, telah mengecam Abu Hurairah karena menyampaikan hadis dengan teks seperti ini. Ia mengira bahwa Abu Hurairah tidak menghafalnya secara tepat ketika mendengarnya dari Nabi saw. (dan karenanya tersalah dalam menyampaikannya).
Alasan Aisyah adalah bahwa ia menganggap penimpaan azab atas diri seorang Mukmin, semata-mata karena seekor kucing, sebagai suatu hal yang terlalu serius dan berlebihan. Dan bahwa seorang Mukmin terlalu mulia di sisi Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, semata-mata karena seekor binatang.
Yusuf Qardhawi menganggap bahwa Aisyah ra telah melupakan sesuatu yang amat sangat penting dalam masalah ini. Mengikat seekor kucing sampai mati karena lapar, adalah bukti yang jelas atas kebekuan hati perempuan itu, serta kekejamannya terhadap makhluk Allah yang lemah tak berdaya. Dan bahwa sinar-sinar rahmah tidak berhasil menembus sampai ke hati sanubarinya. Padahal tak seorang pun akan masuk surga selain yang menyandang sifat kasih sayang. Sedangkan Allah swt tidak menyayangi kecuali para penyayang. Maka sekiranya perempuan itu menyayangi siapa yang ada di bumi, niscaya ia pun akan disayangi oleh siapa yang ada di langit.
Sungguh, hadis ini dan makna yang dikandungnya, merupakan kebanggaan bagi Islam di bidang nilai-nilai kemanusiaan; yang meng-hormati setiap makhluk hidup, serta menyediakan pahala atas setiap kebaikan yang ditujukan kepada setiap "jantung yang berdenyut".
Di antara yang melengkapi makna ini, adalah hadis lainnya yang dirawikan oleh Bukhari; bahwa seorang laki laki memberi minum kepada seekor anjing yang hampir mati kehausan. Maka Allah swt menghargai perbuatannya itu, dan mengampuni dosa-dosanya. Dan bahwa seorang perempuan pelacur memberi minum seekor anjing, lalu Allah swt mengampuninya.
Di luar itu, sesungguhnya bukan hanya Abu Hurairah saja yang merawikan hadis tersebut, sehingga ia dapat dianggap kurang teliti mengenai redaksinya. Betapa mungkin, sedangkan ia termasuk yang paling kuat hafalannya di antara para Sahabat semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.