Dalam studi ilmu-ilmu syariah, ilmu Ushul Fiqih dikatagorikan sebagai ilmu alat yang berfungsi layaknya sebuah metodologi dalam rangka memahami teks-teks wahyu (al Qur’an dan Sunnah) dan tata cara interaksi yang benar terhadap wahyu.
Hal ini karena al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam, pada saat diturunkan tidaklah berbentuk sistematis dan baku layaknya sebuah ajaran yang aplikatif dan siap guna, meskipun pada masa kenabian dan shahabat telah dilaksanakan apa adanya berdasarkan arahan Rasulullah sebagai penafsir al Qur’an pertama.
Sebab inilah, para ulama berdasarkan bimbingan al Qur’an dan Sunnah merumuskan sebuah ilmu yang kemudian berfungsi untuk mensistematisasikan ajaran-ajaran Islam hingga siap guna. Ilmu itu kemudian dikenal dengan ilmu Fiqih, sedangkan alat untuk mensistematisasikannya dan menjadikan produk hukum dalam ilmu fiqih itu bersifat argumentatif, dikenal dengan ilmu Ushul Fiqih.
Isnan Ansory dalam artikelnya tentang Ilmu Ushul Fiqih dan Urgensinya dalam www.rumahfiqih.com memaparkan secara singkat Ilmu Ushul Fiqih berikut.
Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana didefinisikan para ahlinya (ushuliyyun) adalah:
معرفة دلائل الفقه إجمالاً وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
”Ilmu pengetahuan yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global, dan metode penyimpulan (hukum) dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi (prasyarat) mustafid/mujtahid (yang memiliki otoritas dalam proses tersebut”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari ilmu ushul fiqih adalah melakukan pemberian dalil –di antaranya al Qur’an dan Sunnah– kepada hukum fiqih. Atau ilmu yang berfungsi menganalisa sebuah dalil untuk disimpulkan hukumnya yang bersifat aplikatif (fiqih).
Di samping itu, konsep pemberian dalil tersebut tentunya membutuhkan sebuah perangkat metodologis yang jamak dikenal dalam studi ilmu Ushul Fiqih dengan Istidlal atau Thuruq Istinbath Ahkam (metode istinbath hukum) sebagai salah satu objek terpenting dalam Ilmu Ushul Fiqih.
Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana rumusan ilmu-ilmu syar’i lainnya (seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa Arab, dll) pada awalnya tidaklah berbentuk sistematis dan siap pakai pada awal perkembangannya. Setidaknya ilmu ini mulai terasa bersifat sistematis pada akhir abad kedua hijriyyah ketika Imam asy Syafi’i (w. 204 H) mulai merumuskannya dalam sebuah karya yang berjudul ar Risalah.
Dalam periode sejarah Ushul Fiqih pernah terjadi polarisasi manhaj istinbath hukum para ulama saat itu menjadi dua mazhab besar; Mazhab Ahlu al atsar yang berpusat di Hijaz dan Mazhab Ahlu ar Ra’yi yang berpusat di Irak. Hingga akhirnya ilmu ini mulai tersistematisasikan dalam bentuk awalnya oleh Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i (w. 204 H) melalui karyannya ‘ar Risalah’.
Imam Khathib ar Ray ar Razi (w. 606 H) berkata, “Seluruh manusia sepakat bahwa orang yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqih adalah imam asy Syafi’i, ialah yang mentertibkan bab-banya dan membeda-bedakan sebagian objeknya atas objek lainnya.” Dan Imam al Isnawi (w. 772 H) berkata:
"كَانَ إمامنا الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ هُوَ المبتكر لهَذَا الْعلم بِلَا نزاع وَأول من صنف فِيهِ بِالْإِجْمَاع"
“Imam kami, asy Syafi’i ra adalah orang yang pertama kali menulis ilmu ini berdasarkan ijma’”
Selanjutnya, karya-karya yang bernuansa Ushul Fiqih mulai pula bermunculan pasca masa Imam asy Syafi’i, yang menandai fase sistematisasi objek-objek ilmu ushul fiqih.
Ilmu Ushul Fiqih kaitannya sebagai bagian dari ilmu-ilmu syar’i lebih identik dengan ilmu alat yang berfungsi layaknya sebuah metodologi dalam rangka memberikan pemahaman yang benar atas al Qur’an dan Sunnah. Maka hukum mempelajarinya adalah sebagaimana hukum mempelajari ilmu-ilmu alat lainnya; ilmu Tafsir, ilmu Hadis, bahasa Arab, dll.
Dalam konteks ini, maka hukum mempelajari ilmu Ushul Fiqih tergantung kepada peran setiap individu umat Islam. Yang mana umat Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan besar: mujtahid dan muqallid. Bagi mujtahid atau seseorang yang hendak menjadi mujtahid/mufti maka mempelajari ilmu Ushul Fiqih adalah fardhu ‘ain baginya, karena ilmu ini merupakan salah satu syarat utama seseorang berijtihad dalam rangka melakukan istinbath hukum syara’.
Sedangkan bagi umat Islam secara umum yang dikatagorikan sebagai muqallid, di mana kewajibannya terkait mengamalkan al Qur’an dan Sunnah melalui ijtihad mujtahid, maka mempelajari ilmu Ushul fiqih hukumnya berkisar antara fardhu kifayah dan sunnah mu’akkadah. Hukum fardhu kifayah berlaku jika tidak ada seorangpun yang mempelajarinya, dan menjadi sunnah mu’akkadah jika telah ada yang mempelajarinya.
ilmu Ushul Fiqih berfungsi sebagai sebuah metodologi dalam rangka memahami al Qur’an dan Sunnah dengan benar. Di samping itu, Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana ditegaskan oleh Abd al Karim an Namlah merupakan ilmu yang juga berfungsi untuk meluruskan kekeliruan dalam memahami nash-nash wahyu –al Qur’an dan Sunnah– sebagaimana ilmu manthiq dan logika yang berfungsi meluruskan kekeliruan dalam memaparkan sebuah argumentasi. Ini merupakan fungsi Ilmu Ushul Fiqih secara umum dalam bangunan ajaran Islam.
Sedangkan secara mendetail, fungsi Ilmu Ushul Fiqih dapat dilihat secara berbeda berdasarkan kapasitas pembalajarnya. Bagi mujtahid, maka Ushul Fiqih berfungsi layaknya sebuah metodologi dan kumpulan kaedah-kaedah syar’i dalam rangka melakukan ijtihad dan proses pemahaman yang argumentatif atas sumber-sumber hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab setiap problematika kehidupan manusia berbasiskan wahyu.
Adapun bagi muqallid, maka dengan mempelajari ilmu Ushul Fiqih dapat menghadirkan sebuah ketenangan jiwa ketika melaksanakan ijtihad dan produk hukum yang dihasilkan mujtahid. Sebab sang muqallid bukan saja sekedar mengetahui masalah ini hukumnya wajib atau sunnah, tetapi juga dapat mengetahui latar belakang dan sebab-sebab kelahiran hukum tersebut.
Di samping itu, secara umum dengan mempelajari ilmu Ushul Fiqih selain menambah pahala dalam mengamalkan produk ijtihad ulama, juga dapat berfungsi dalam rangka membantah setiap syubhat dan tasykik atas hukum Islam yang dilontarkan musuh-musuh Islam.
Objek ilmu Ushul Fiqih mencakup empat tema dan objek pokok:
a. Dalil atau sumber-sumber hukum Islam; di mana secara umum yang dikaji adalah aspek legalitasnya, pembagian-pembagiannya, dan perdebatan ulama terkait statusnya sebagai sumber hukum syar’i.
b. Hukum Syar’i (Madlul); yaitu terkait konsep hukum syara’ dalam ajaran Islam, siapa pembuat hukum yang hakiki, konsep taklif dan mukallaf, dll.
c. Metode Istinbath Hukum (Dalalah); yaitu tata cara bagaimana menyimpulkan hukum syar’i dari sumber-sumbernya yang legal.
d. Mustadil (Ijtihad dan Taqlid); yaitu status kewajiban umat Islam sebagai mukallaf terkait interaksi mereka terhadap sumber-sumber hukum Islam. Di mana kewajiban mujtahid adalah mengamalkan hukum Islam berdasarkan ijtihad yang dilakukan terhadap sumber-sumbernya sedangkan kewajiban muqallid adalah mengamalkan hukum Islam melalui ijtihad para mujtahid.
Penjelasan tentang Ilmu Ushul Fiqih ini membuktikan bahwa dalam mengamalkan ajaran Islam, umat Islam tidak hanya mengandalkan iman dan doktrin semata, tetapi hukum Islam tersebut diamalkan berdasarkan logika dan argumentasi yang dapat diterima oleh akal sehat sebagai salah satu anugrah Allah kepada manusia.
Dalam konteks ini, syaikh Ali Jum’ah dalam bukunya Ilmu Ushul al Fiqih wa ‘Alaqatuhu bi al Falsafah al Islamiyyah, menyatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki Islam dan Umat Islam, sebagaimana ilmu sanad merupakan keistemawaan lainnya dalam rangka menjaga orisinalitas ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw hingga akhir zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.