Sejak awal, kata Imamah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah negara. Dalam literatur-literatur klasik, istilah imamah dan khilafah disandingkan secara bersamaan untuk menunjuk pada pengertian yang sama, yakni negara dalam sejarah Islam.
Kata-kata imam di dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk mufrad maupun dalam bentuk jamak atau yang di-idhafah-kan tidak kurang dari dua belas kali disebutkan. Pada umumnya, kata-kata imam menunjukkan kepada bimbingan untuk kebaikan, meskipun kadang-kadang di pakai untuk seorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik.
Kata Imam di pakai untuk memimpin suatu kaum yang berada di jalan lurus terdapat dalam Qs. 25:74 2:124 28:5. Sedangkan kata imam dipergunakan untuk para pemimpin kesesatan seperti di Qs. 9:12 dan 28: 4. Sedangkan kata Imam untuk dipakai secara umum terdapat di dalam Qs. 17:71.
Imam menurut bahasa adalah, “Setiap orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau sesat”. Imam juga berarti benang yang diletakkan di atas bangunan, pada waktu membangun untuk memelihara kelurusan-nya. Pengertiannya lainnya, Imam adalah lafazh yang berarti kepemimpinan tertinggi di antara mereka, ke atas pundaknya diletakkan tanggung jawab kebaikan mereka dalam din dan dunia.
Nash-nash Al Quran dan As Sunnah mewajibkan menegakkan Imam bagi kaum muslimin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. 4:59)
Perhatikan pula hadits berikut
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Dari Abu Sa'id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!" (Kitab Abu Daud Hadist No – 2241)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرِ بْنِ بَرِّيٍّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Bahr bin Barri, Telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Abu Salamah, dari Abu Sa'id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!" (HR Abu Daud No.2241)
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ أَنْ يَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِطَلَاقِ أُخْرَى وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَبِيعَ عَلَى بَيْعِ صَاحِبِهِ حَتَّى يَذَرَهُ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ صَاحِبِهِمَا
“Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Abddullah bin Hubairah dari Abu Salim Al Jaisyani dari Abdullah bin 'Amru, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Tidak halal bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan menceraikan (isterinya) yang lain, dan tidak halal bagi seorang lelaki menjual di atas penjualan temannya sampai ia meninggalkannya, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di padang sahara kecuali jika mereka mengangkat salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin, dan tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di padang sahara dua orang di antara mereka berbicara tanpa melibatkan teman mereka (yang ketiga)." (HR Ahmad No.6360)
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَاصِمٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ashim -yaitu Ibnu Muhammad bin Zaid- dari Zaid bin Muhammad dari Nafi' dia berkata, " Abdullah bin Umar pernah datang kepada Abdullah bin Muthi' ketika ia menjabat sebagai penguasa negeri Harrah di zaman kekhalifahan Yazid bin Mu'awiyah. Abdullah bin Muthi' berkata, "Berilah Abu Abdurrahman bantal." Maka Abu Abdurrahman berkata, "Saya datang kepadamu tidak untuk duduk, saya datang kepadamu untuk menceritakan kepadamu suatu hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melepas tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati seperti mati jahiliyyah." (HR Muslim No.3441)
Dari nash-nash tersebut dapat disimpulkan kaum muslimin wajib memilih seorang Imam atau khalifah bagi mereka.
Dalam khazanah fiqih, kitab pertama yang mengkaji tema Imamah adalah Al Ahkam As Shulthaniyah fi Al Wilayah Ad Diniyah yang ditulis oleh Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi Asy Syafii atau yang dikenal dengan Imam Al Mawardi (wafat tahun 405H).
Menurut Imam Al Mawardi, “Imamah adalah
اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوْعَة لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةَ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Imamah adalah judul bagi pengganti nabi, ia diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian untuk menjaga din dan mengatur dunia.
Mengenai hukum mengangkat Imam, Ibnu Hazam dalam kitabnya Al Milal wan Nihal (4/87) mengutip kesepakatan seluruh pihak dari Ahlu Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij atas wajibnya mengangkat Imam dan bahwa umat wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Menurut ijma’ kaum muslimin, umat Islam tidak dibenarkan wujud tanpa Imam. Imam Syahrastani berkata, “Semua itu menunjukkan bahwa para sahabat dan mereka adalah kaum muslimin garda pertama, bersepakat tentang keharusan adanya Imam. Kesepakatan sahabat itu memastikan wajibnya menegakkan Imamah”.
Yusuf Musa dalam bukunya Nizhamul Hukmi fil Islam mengatakan,
“Ibnu Hazm Al-Andalusy, salah seorang Faqih yang terkenal, dalam hal ini berkata, "Seluruh Ahlussunnah, golongan Murji'ah, golongan Syi'ah dan golongan Khawarij bersepakat bahwa wajib adanya imamah dan umat mempunyai kewajiban mematuhi imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum syari'at yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW.
Yang berlainan dengan pendapat ini hanyalah golongan Najdah dari golongan Khawarij. Karena mereka berpendapat, bahwa masyarakat tidaklah harus menegakkan imamah, tetapi yang jadi kewajiban mereka hanyalah melaksanakan kebenaran di tengah mereka. Kelompok ini kami lihat tidak lagi tersisa seorang pun. Golongan Khawarij ini dikaitkan dengan tokoh bernama Najdah bin Umair Al-Hanafi. Pendapat kelompok ini adalah batil. Untuk menolaknya dan membatalkannya cukuplah dengan adanya ijma' semua golongan yang telah kami sebutkan di atas, disamping Al Quran dan Sunnah telah menyatakan adanya kewajiban mengangkat Imam, antara lain dalam Qs. 4:59.”
Imam Al Mawardi dalam Ahkam Ash Shulthaniyah menyebutkan, “Pemberian jabatan Imamah (kepemimpinan) kepada orang yang mampu menjalankan tugas di atas pada ummat adalah wajib berdasarkan Ijma’ (konsensus ulama), kendati Al Asham menyimpang dari Ijma’ mereka.
Berkaitan dengan keimamahan Nabi Muhammad SAW, belau SAW mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi perdasarkan risalah yang dibawanya.
Joesoef So’uyb menyebutkan bahwa,
“Abu Bakar Ashshidiq bersedia dipanggilkan khalifatur Rasul (pengganti rasul) itu yakni di dalam aspek Imamah. Disebabkan Nabi Besar Muhammad SAW itu mempunyai dua fungsi:
1. Risalat, yakni rasul Allah yang membawa dan menyampaikan ajaran keagamaan, dikenal dengan agama Islam berdasarkan wahyu ilahi kepadanya (Qs 5: 41)
2. Imamat, yakni pimpinan kekuasaan duniawi dan agamawi, yang segala catur kebijaksanaan berdasarkan musyawarah (Qs. 3:159 42:38)”
Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapa pun, sebab beliau adalah penutup para rasul (khataman nabiyyin). Sedangkan fungsi kedua dilanjutkan oleh pengganti beliau yaitu khulafaur rasyidin. Karena orang yang menggantikannya (Abu Bakr) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka ia dinamakan dengan khalifah Rasul Allah yaitu pengganti Rasulullah.
Imam atau Khalifah, menurut Imam Al Mawardi, memiliki sepuluh tugas sebagai berikut:
1. melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsip-nya yang establish, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan;
2. menerapkan hukum kepada dua pihak yang beperkara, dan menghentikan perseteruan di antara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, kemudian orang tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang teraniaya tidak merasa lemah;
3. melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat leluasa bekerja, dan bepergian ke tempat mana pun dengan aman dari gangguan terhadap jiwa dan harta;
4. menegakkan supremasi hukum (hudud) untuk melindungi larangan-larangan Allah Ta'ala dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-hamba-Nya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya;
5. melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh, dan kekuatan yang tangguh hingga musuh tidak mampu mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang Muslim, atau orang yang berdamai dengan orang Muslim (muahid);
6. memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya ia didakwahi hingga ia masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum Muslimin (ahlu dzimmah), agar hak Allah Ta’ala terealisir yaitu kemenangan-Nya atas seluruh agama;
7. mengambil fa’i (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan syar’at secara tekstual atau ijtihad tanpa rasa takut dan paksa;
8. menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam Baitul Mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkannya tepat pada waktunya, tidal mempercepat atau menunda pengeluarannya;
9. mengangkat orangi-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang-orang yang ahli, dan keuangan di pegang oleh orang-orang yang jujur;
10. terjun langsung menangani segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar ia sendiri yang memimpin ummat dan melindungi Din. Tugas-tugas tersebut tidak boleh ia delegasikan kepada orang lain dengan alasan sibuk, istirahat atau ibadah.
Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan. Antara keduanya terdapat hubungan integral yang sangat kuat. Dalam praktiknya, para khalifah di dunia Islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus. Kenyataan ini kemudian melahirkan pandangan di kalangan pemikir modern bahwa Islam merupakan agama dan negara sekaligus, sebagaimana antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa dengan ungkapan al Islam din wa dawlah.
Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa Kemal Attaturk (1924), timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik dalam dunia Islam. Attaturk melepaskan segala yang berbau agama dalam kehidupan Turki modern. Pada tahun berikutnya, keluar sebuah buku yang menggemparkan dunia Islam yaitu pada tahun 1925, Ali Abdul Raziq mengeluarkan buku yang berjudul Al-Islam wa Ushulul Ahkam di Mesir.
Ali Abdul Raziq yang ketika itu menjabat sebagai hakim mahkamah syariah, mantan Menteri Waqaf dan Ulama Universitas Al Azhar, menyatakan bahwa tidak ada negara Islam, Islam adalah agama moral dan tugas Nabi SAW adalah menyampaikan ajaran moral. Umat Islam tidak berkewajiban untuk mendirikan khilafah dan imamah karena keduanya adalah persoalan dunia yang tidak ada urusannya dengan Islam.
Syekh Rasyid Ridha menyebutkan pandangan yang menjadi pokok pikiran buku itu adalah pandangan yang menyeleweng dan mulhid (murtad). Muhammad Dhiyauddin Ar Rais sampai menyangsikan bahwa buku itu ditulis oleh Ali Abd Raziq, bahkan sangat mungkin ditulis oleh Margoliouth, seorang Yahudi guru besar bahasa Arab di Inggris.
Ali Abd Raziq sendiri pada akhirnya mencabut kembali pernyataannya dalam buku kontroversialnya tersebut. Ia mengakui bahwa penulisan buku tersebut dalam kondisi dirinya tidak begitu prima, tersulut oleh suasana Mesir yang saat itu serba kacau. Bahkan di kemudian hari Abd Raziq sendiri merevisi bukunya, (tentu) atas dasar desakan berbagai kalangan, khususnya para ulama tradisional.
Yang menjadi persoalan adalah bukan hanya materi buku tersebut yang menyalahi pendapat jumhur ulama berkaitan dengan khilafah dan imamah, tetapi peluncuran buku tersebut yang hanya berselang kurang dari satu tahun dari hancurnya kesultanan Utsmani oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Berkaitan dengan kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah), maka kepemimpinan Islam ini akan berlaku efektif dengan adanya negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Dalam Fiqih Siyasah, istilah negara Islam dikenal dengan ad-Daar al Islam.
Lihat juga Imamah Uzhma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.