Pendahuluan

 


Konsep kepemimpinan merupakan konsep paling awal yang dikenalkan Allah subhanahu wa ta’ala (SWT) kepada manusia. Sejak diciptakannya manusia pertama yaitu Adam ‘Alayhis Salam (AS), Allah SWT melantik Adam AS sebagai khalifah (pemimpin) untuk mengatur dan memimpin manusia di bumi.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)  

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Qs Al Baqarah 2:30)

Ketika Adam AS wafat, jabatan kekhalifahan ini mengalami kekosongan pimpinan sampai di lantik nabi dan rasul berikutnya. Kepada para Nabi dan Rasul ini jabatan kekhalifahan (kepemimpinan) dipergulirkan dan diestafetkan sebagaimana yang bisa kita pelajari dari sejarah para Nabi dan Rasul Allah SWT. Estafeta ini berlangsung terus sampai Nabi Isa AS dan ketika Isa AS di angkat ke langit, umat Islam mengalami masa kekosongan kekuasaan (fatratin minarrusul) hingga di utus Khataman Nabiyyin yaitu Nabi Muhammad Rasulullah SAW. 

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٩)

 “Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs Al Maidah 5;19)

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٤٠)

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs Al Ahzab 33:40)

Setelah Rasulullah SAW wafat, maka sejak itu pula tidak ada lagi Nabi yang menggantikannya, yang menggantikan kemudian adalah para khalifah yang dikenal dengan Khulafaur Rasyidin. Para khalifah ini mengemban tugas yang sama dengan Rasulullah SAW yaitu tugas Imamah. Perbedaannya adalah para khalifah ini tidak menerima wahyu sebagaimana Rasulullah SAW, juga tidak membuat syari’at yang baru. Syari’ah yang sudah sempurna sebagaimana tercantum dalam Al Quran dan Hadits Shohih dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Sunnah Rasulullah SAW dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Khulafaur Rasyidin juga melakukan ekspansi perluasan wilayah Darul Islam sehingga meluas sampai meliputi hampir dua pertiga dunia.

Adapun periode kepemimpinan pasca Khulafaur Rasyidin sesuai dengan nubuwat Rasulullah SAW yang pernah bersabda bahwa kepemimpinan di kalangan ummatnya terdiri dari 5 (lima) tahapan yaitu Nubuwah, Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah, Mulkan Adhon, Mulkan Jabriyyatan dan akhirnya akan kembali kepada Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah. 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ

“Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Ath Thiyalisi telah menceritakan kepadaku Dawud bin Ibrahim Al Wasithi telah menceritakan kepadaku Habib bin Salim dari An Nu'man bin Basyir ia berkata, "Kami pernah duduk-duduk di dalam Masjid bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. kemudian Basyir menahan pembacaan haditsnya. 

Kemudian datanglah Abu Tsa'labah Al Khusyani dan berkata, "Wahai Basyir bin Sa'd, apakah kamu hafal hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan dengan Umara` (para pemimpin)?" kemudian Hudzaifah berkata, "Aku hafal Khutbah beliau." 

Maka Abu Tsa'labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.  Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistim kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya   Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya  Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas (diktator) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya  Kemudian akan berelangsung kembali kekahalifahan menurut sistim kenabian.  Kemudian beliau berhenti”.   

Habib berkata; “Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi khalifah di mana Yazid bin an-Nu’man bin Basyir mendampinginya, aku menulis hadits ini untuknya dan aku mengisahkan hadits ini kepadanya dan aku katakan; “Aku berharap dia, maksudnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi amirul mu’minin setelah kekuasaan kerajaan yang bengis dan pemerintahan dictator”   Lalu suratku itu diberikan kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, maka dia senang dan mengaguminya”. (HR Ahmad No.17680)

Berdasar hadits tersebut maka kehadiran Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah pada akhir zaman merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini memang belum terjadi. Sekarang kaum muslimin di seluruh dunia tengah menghadapi periode Mulkan Jabriyyatan di mana sekularisme dan unsur-unsur yang asing dari peradaban Jahili masuk dan mendominasi seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Hadits Rasulullah SAW lainnya juga menjelaskan adanya perubahan dari sistem kekhalifahan ini menjadi sistem kerajaan.

حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا حَشْرَجُ ابْنُ نُبَاتَةَ الْعَبْسِيُّ كُوفِيٌّ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ ذَلِكَ

“Telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr telah menceritakan kepada kami Hasyraj bin Nubatah Al 'Absi Kufi telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Jumhan telah menceritakan kepadaku Safinah, ia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Masa khilafah dalam ummatku tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (HR Ahmad No. 20918)

Di dalam Al Quran sendiri, Allah SWT berjanji kepada orang yang beriman dan beramal shalih akan memberikan mereka kekuasaan sebagaimana berkuasanya orang-orang sebelum mereka. 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٥٥)  

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Qs. An-Nuur 24:55)

Dengan ayat Al Quran dan hadits tersebut di atas, maka kita yakin sepenuhnya, bahwa Insya Allah menjelang akhir zaman ini, Allah SWT akan menghadirkan kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah sebagai bentuk supremasi global Din al-Islam di seluruh dunia, juga sebagai wujud nyata akan hadirnya rahmatan lil ‘alamin.


Hadits-hadits Rasulullah SAW sesungguhnya sudah sangat jelas membahas hal-hal yang bersifat prinsip dalam kepemimpinan ini. Diantaranya adalah bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin untuk menaati bai’at pertama mereka kepada khalifah, yaitu kepada pemimpin Islam yang memiliki legalitas syariah dan kewenangan siyasah untuk mengatur urusan-urusan kaum muslimin.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu 'anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang besabda: "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para shahabat bertanya; "Apa yang baginda perintahkan kepada kami?". Beliau menjawab: "Penuihilah bai'at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu di angkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka". (HR Bukhari no.3196)

Islam juga melarang adanya dualisme kepempimpinan (qiyadah) bagi umat Islam. Apabila sudah disahkan khalifah yang pertama secara legal maka kehadiran khalifah kedua yang menandingi khalifah yang sah wajib untuk dihancurkan. 

و حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya." (HR Muslim No. 3444)

Islam menyatakan wajibnya untuk taat dan berbai’at kepada khalifah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini.

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَاصِمٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً 

“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ashim -yaitu Ibnu Muhammad bin Zaid- dari Zaid bin Muhammad dari Nafi' dia berkata, " Abdullah bin Umar pernah datang kepada Abdullah bin Muthi' ketika ia menjabat sebagai penguasa negeri Harrah di zaman kekhalifahan Yazid bin Mu'awiyah. Abdullah bin Muthi' berkata, "Berilah Abu Abdurrahman bantal." Maka Abu Abdurrahman berkata, "Saya datang kepadamu tidak untuk duduk, saya datang kepadamu untuk menceritakan kepadamu suatu hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melepas tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan batang siapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati seperti mati jahiliyyah." (HR Muslim No.3441)

Menurut beberapa pendapat, dalam konteks akhir zaman, kerjasama global inilah yangakan menghadirkan khilafah Islamiyah ‘ala minhaj nubuwah. Hadirnya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah kelak akan di pimpin oleh Imam Mahdi yang akan memimpin perjuangan dalam penzahiran Islam di akhir zaman. mereka inilah yang akan bekerja sama untuk menghadirkan kepemimpinan Islamiyah ‘ala minhaj nubuwah.  

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ الرَّحَبِيِّ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ابْنُ خَلِيفَةٍ ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلًا لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا لَا أَحْفَظُهُ فَقَالَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya dan Ahmad bin Yusuf keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Sufyan At Tsauri dari Khalid bin Al Khadza dari Abu Qilabah dari Abu Asma Ar Rahabi dari Tsauban dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kelak tiga orang akan berperang didekat perbendaharaan kalian ini (yaitu Ka'bah), dan kesemuanya adalah anak khalifah. Dan tidak ada yang menang melainkan satu orang, lalu muncullah bendera-bendera hitam dari wilayah timur, mereka lantas memerangi kalian dengan peperangan sengit yang sama sekali belum pernah dilakukan kaum manapun. Jika kalian melihatnya, maka berbaiatlah kepadanya walaupun sambil merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah khalifah Allah Al Mahdi." (HR Ibnu Majah No.4074)

Dengan melihat apa yang terjadi pada masa kini, maka penting sekali untuk mengkaji kembali bagaimana prinsip-prinsip pokok (mabda, badihiyat, qaidah) yang berkaitan dengan kepemimpinan Islam, sebagaimana diungkap di atas. Hal ini perlu dilakukan agar kaum muslimin menempati kembali maqom yang sebenarnya yaitu kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT sebagai ummatan wahidan dan khairu ummah. 

Ini semua hanya bisa terjadi jika ummat Islam di pimpin oleh Imamah ‘Uzhma (pemimpin tertinggi) yang memiliki legality, authority and power,  sekalipun wakafa billahi syahidan, sehingga dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam serta disegani dan ditakuti oleh musuh-musuh Islam. 

Istilah Imamah ‘Uzhma  sesungguhnya berasal dari perkataan Nabi SAW sendiri yaitu al-Imam al-A’zham, perhatikan hadits berikut.

اَلْإِمَامُ الْأَعْظَمٌ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam A’zham (terbesar) yang memimpin rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya”. (HR Bukhari No.1829)

Sekalipun hampir seluruh prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan kepemimpinan Islam ini telah dimafhumi oleh jumhur fuqaha dan para ulama, bahkan telah di bahas sekian lama sehingga wacana klasik dalam kajian Fiqih Siyasah, namun kenyataannya mereka mengalami perbedaan pendapat pada methode pengukuhan dan prosedur pengesahan dari kepemimpinan Islam (Imamah) itu sendiri.

Tatkala membahas tentang Sistem Pengukuran Imamah, Abdullah Ad-Dumaiji dalam bukuya al-Imamatul ‘Uzhma ‘Inda Ahlu Sunnati wal Jama’ah menyebutkan,

“Ketika mengamati nash-nash Al Quran dan As Sunnah, kita tidak akan menemukan adanya  nash sharih (tegas) yang menentukan sistem untuk menentukan imamah bagi seorang Imam, yang ada hanyalah nash-nash umum berkenaan dengan kekuasaan dan pelantikan (pemimpin), entah itu lingkup kecil atau besar, seperti nash tentang musyawarah dan semacamnya. Oleh karena itu cara yang ada di hadapan kita ialah hanya dengan menelusuri sistem pengangkatan imamah bagi Khulafaur Rasyidin”. 

Selain tidak adanya nash yang bersifat sharih (tegas) tentang bagaimana menentukan sistem untuk menentukan imamah bagi seorang Imam, kajian dalam kepemimpinan menurut kami lebih terfokus kepada syarat-syarat Imam dan asal keturunannya, sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak ada titik temu antar pendapat-pendapat yang berbeda tersebut. 

Selain itu pada aspek politik, juga ditemui kendala tentang beragamnya pendekatan dan methode dalam perjuangan Islam itu sendiri termasuk tiadanya kesepakatan untuk mengangkat Imam yang sama dalam perjuangan. Sehingga tidak memungkinkan munculnya peluang dan kesempatan untuk duduk bersama dalam majelis yang sama, untuk menyamakan shaf (barisan) dan sesegera mungkin melantik seorang Imam yang akan memimpin perjuangan bersama. Hal ini menjadi salah satu prinsip Islam yang harus dilaksanakan, yang menurut Said Hawa,

“Dalam kondisi kekuasaan politik Islam dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia sedang mengalami kehancuran dan kelumpuhan seperti sekarang, maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk cepat-cepat melantik seorang Imam yang akan memimpin perjuangan, atau untuk mempersiapkan diri menghadapi peperangan, atau melakukan persiapan yang matang untuk memilih seorang Amir yang akan memimpin mereka. Hal ini merupakan salah satu masalah yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan.”  

Pada intinya penelitian ini bertujuan untuk mengkaji estafeta kepemimpinan (kekhalifahan) sejak awal mula maqom kepemimpinan tersebut diserahkan Allah SWT kepada manusia hingga berlanjut pada masa kini. Mengingat periode waktu yang sangat panjang, pokok bahasan yang berkenaan dengan topik ini sangatlah luas dan dalam. 

Oleh karena itu penelitian ini mencoba memfokuskan diri kepada estafeta kepemimpinan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Kekhalifahan Abu Bakar Ash Shidiq yang mengawali terbentuknya Tanzhim Khulafaur Rasyidin. Penelitian ini memfokuskan, terutama, kepada upaya mendefinisikan proses pengesahan dan methode pengukuhan estafeta kepemimpinan yang sesuai Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. 

Tulisan ini terdiri dari enam bab, yaitu Bab I. Pendahuluan, Bab II. Dasar-Dasar Kepemimpinan dalam Islam, Bab III. Dasar Legitimasi Kepemimpinan Islam, Bab IV. Kepemimpinan (Kekhalifahan) para Nabi dan Rasul, Bab V. Kepemimpinan Rasulullah SAW, dan Bab VI. Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.

Bab I. Pendahuluan, akan membahas urgensi dan nilai penting kajian tentang estafeta kepemimpinan Islam serta ruang lingkup pembahasannya.

Bab II. Dasar-Dasar Kepemimpinan dalam Islam, akan membahas prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan kepemimpinan Islam. Pada bab ini pula beberapa terma (istilah) yang berkaitan dengan kepemimpinan akan di bahas, seperti istilah Khalifah, Nabi, Rasul dan Imamah.

Bab III. Dasar Legitimasi Kepemimpinan Islam, akan membahas proses pengesahan dan methode pengukuhan kepemimpinan yang sesuai dengan Al Quran, Hadits Shohih dan Ijma’ para sahabat Rasulullah SAW. Pada bagian ini juga akan di bahas proses pengesahan Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul, serta Abu Bakar Ash Shidiq sebagai Khalifatun Nabi.

Bab IV. Kepemimpinan para Nabi dan Rasul, akan membahas secara singkat sejarah 25 Nabi, beserta periode kepemimpinannya, wilayah tugasnya dan perjuangan yang dilakukannya.

Bab V. Kepemimpinan Rasulullah SAW, akan membahas Khittoh Perjuangan Rasulullah Dalam Menegakkan Islam, Praktik Menegakkan Islam pada masa Rasulullah SAW  dan mengkaji Piagam Madinah.

Bab VI. Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, akan membahas kedudukan Khulafaur Rasyidin sebagai Pelanjut Estafeta Kepemimpinan Ummat pasca Rasulullah SAW, dan Perubahan Khilafah menjadi Kerajaan (Al-Mulk) pada terjadi pada akhir periode Khulafaur Rasyidin. 

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kaum muslimin untuk mempelajari kriteria pengesahan dan pengukuhan kepemimpinan Islam yang tegak di atas Manhaj Nubuwah sesuai tuntunan Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.