Motif Al Jannah dalam Kehidupan Mukminin



إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ ، وَنَسْتَعِيْنُهُ ، وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا ، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ  أَجْمَعِيْنَ

Mengawali dirosah kali ini, kita hantarkan bersama segala syukur dan puji kepada Allah Swt. Rabb yang bukan saja atas kemurahan-Nya memilih kita dari sekian miliun manusia yang ada, menjadi ummat pilihan dan terkasih sebagai para penegak dan pemikul risalah. Dan juga karena qudrat dan irodat dan inayah-Nya, diberi-Nya kita waktu ruang dan masa sebelum datangnya ajal menjemput. 

Semua anugerah ini kita rasakan sebagai nikmat yang sebagaimana nikmat-nikmat yang lain, bila tidak kita syukuri akan menjadi suatu petaka dan siksa. Karena itu ekspresi tasyakur bin ni'mah atas anugerah yang Allah limpahkan kepada kita, kita manfaatkan seefektif mungkin.

Kita tidak ingin waktu-waktu terbatas ini lewat begitu saja tanpa nilai dan lebih-lebih kita tidak ingin waktu-waktu terbatas ini menjadi suatu bentuk kemesuman, kemaksiatan dan pendurhakaan dihadapan Allah Swt. Na’udzubillahi min dzalik.

Dalam dirosah yang lalu telah dibahas perintah Allah agar tiap-tiap diri mengibtisyar dirinya dengan suatu mitos al-jannah (Qs. 2:25). Agar tiap-tiap diri orang yang beriman dan beramal sholeh bisa memotifasi dirinya untuk tetap tegar tabah dan teguh pada pijakan yang panjang mendaki lagi sukar ini.

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٥)
 “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”  (Qs. Al Baqarah:25)

Sejarah telah membuktikan, orang-orang yang berpijak pada shirothol mustaqim ini tanpa motif yang jelas, sulit untuk bertahan. Bahkan banyak diantara diantara mereka mempertinggi tempat jatuh, karena pada awalnya tatkala belum sampai kepadanya ajakan risalah dakwah tentang wajibnya menyatukan al-izzah menyusun usaha menegakkan risalah lewat al-jama'ah al-muslimin dan keta'atan kepada Allah, Rasul dan Ulul Amri. 

Tatkala itu semua belum sampai kepada diri seseorang dan manakala seseorang baru bisa melaksanakan sholat saja, maka sholatnyapun bernilai disisi Allah Swt. Pada saat itu sekecil amal yang ia usahakan, Allah berikan perhitungan dan kendatipun dia datang dengan dosa sepenuh bumi, Allah janjikan pula ampunan.

Akan tetapi bagi mereka yang berpijak pada ash-shiroth ini, faham dan sudah sampai dakwah risalah kepadanya, tetapi Karena ash-shiroth ini panjang mendaki lagi sukar dan tidak pernah surut dari gangguan hambatan tantangan syaithon laknatullah baik dari bangsa jin dan manusia, maka tidak sedikit yang akhirnya surut kebelakang dan stagnan, bahkan ada yang murtad kembali. 

Bagi mereka yang semacam ini sholat yang pertama sekedar sholat saja bernilai dihadapan Allah tidak lagi bernilai, jangankan perbuatan sekecil apapun, sebesar apapun usaha yang ia lakukan benar-benar tidak ada pahala disisi Allah dan jangankan dosa sepenuh bumi, sekecil apapun dosa disisi Allah tak ada ampunan bagi orang yang disebutkan tadi (Qs. 3:90-91 4:80 47:33).

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ (٩٠)إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الأرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (٩١)
90. Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.
91. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun Dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (٨٠)
“ Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka Qs. 4:80
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (٣٣)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. Qs 47:33


Itulah yang dimaksud dengan mempertinggi tempat jatuh. Karena itulah Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya mengibtisyar dan memotifasi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dengan suatu mitos al-jannah (Qs. 2:25). 

Usahakan bentuk gambaran yang indah dan menyejukkan, yang dengan gambaran itu diharapkan bisa membangkitkan suatu ghiroh dalam diri orang beriman, hingga jika ujian datang bahkan sampai ke titik ekstrimitas tertinggi mereka bisa tetap tegar dan tabah. 
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (٢١٤)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat. Qs 2:214.

Tentu saja usaha-usaha pembentukan opini merindukan al-jannah bukan usaha yang mudah karena perhatian dan potensi manusia lebih cenderung terfokuskan pada hal-hal kekinian dan kedisinian, baik itu menyangkut aspek materi, kekayaan maupun kebahagiaan sementara. 

Bagi orang-orang yang belum sampai obsesinya kepada al-jannah, kerinduan dan kesahduannya tidak tertumpu disana tetapi di dunia di sini hari ini, maka pernyataan tentang warnal hayatuddunya illa mataul ghurur (Qs. 3:185) adalah suatu hal yang sulit untuk direalisasikan. 

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (١٨٥)
185. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Qs 3:185

Orang yang sudah sampai pada visi warnai hayatud dunya illa mataul ghurur, akan melihat dunia, ayahnya, anaknya, saudaranya, istrinya, hartanya, usahanya, rumahnya, aktifitas lainnya menjadi dua sisi. Sisi pertama, jika ada nilai tambah pada usaha penegakan risalah yaitu mataun, pelengkap, penyanggah. Atau kalau tidak sisi lainnya adalah al-ghurur yang berakhir dengan segala kesia-siaan. Visi semacam ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang orientasi dan kerinduannya sudah pada al-jannah.

Dan untuk mengukur seberapa besar bobot kerinduan seseorang pada al-jannah dibanding dengan kehidupan disini hari ini adalah seberapa besar doa yang dimohonkan kepada Allah agar la menyatukan kita beserta hamba-hamba yang dijanjikan sebagai penghuni jannatun na'im dengan doa-doa yang dimohonkan tentang keduniawian seperti majunya usaha, istri, anak maupun yang lainnya.

Bahwa selain bentuk-bentuk al-jannah yang dimitoskan kepada seseorang yang menjadi motif untuk dapat berpijak pada jalan yang panjang mendaki lagi sukar ini adalah sesuatu yang rentan dan rapuh sekali. Karena itu penting untuk disimak dan dihayati kembali dialog antara Jenderal Thariq dengan para panglima Romawi.

Pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw dimana di antara para shahabat ada yang menjadikan mitosnya itu adalah Muhammad dengan mengkultuskannya. Rasulullah pernah marah tatkala seseorang bertingkah laku menghormati Rasulullah melampaui batas kewajaran. Dalam tegurannya Rasulullah mengatakan, "ajaltani lillahi nidan", teganya engkau jadikan aku sebagai tandingan selain Allah, istihfam takhriri. 

Dan teguran itu memberikan dampak, dimana suatu ketika seorang sahabat datang kepada Rasulullah dan mengatakan, "Ya Rasulullah, tidakkah aku menjadi syirik bahwa aku sangat hormat kepada engkau". Jawab Rasulullah, "Jika yang engkau hormati adalah Nabiullah dan Rasulullah, tak cacat itu, karena itu diperintahkan Allah. Tetapi jika yang engkau hormati itu adalah aku bin Abdullah disitulah syirik kamu." Jadi mestilah dibedakan misi pemikulan risalah dengan aktor pemikul risalah itu sendiri. 

Karena itu demikian pulalah dengan kehadiran seseorang di suatu al-jama'ah karena seseorang yang lain, maka hal yang demikian itu adalah sangat rentan dan rapuh sekali. Menarik untuk dicatat bahwa kelompok aridad, pemurtadan, mulai muncul ketika Rasulullah Saw mulai sakit-sakitan. Tatkala mereka tidak mendapatkan lagi Rasulullah dapat dijadikan mitos dan sesuatu yang dikultuskan. Dan tatkala Rasulullah meninggal kelompok aridad sangatlah subut.

Hal penting lainnya, yang penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi lagi dalam sejarah perjalanan manusia, khususnya perjalanan kaum muslimin, dimana hancurnya suatu koloni masyarakat akibat proses pengkultusan kepada seseorang. Kisah tentang Hitler dan semacamnya sudah semestinya menjadi pelajaran dan ibroh bagi kita semua. Mitos dan kekaguman kepada seseorang pada suatu ketika akan mengalami erosi, penurunan, dan kerinduan yang amat sangat kepada sesuatu, sisi baliknya adalah kebencian yang amat.

Pada batasan akhir dari perintah ibtisyar diatas, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan yaitu, lantas kalau orang sudah termotifasi oleh al-jannah dan menyadari bahwa tidak akan ada seseorangpun yang dapat masuk kedalam al-jannah hanya mengandalkan amalnya melainkan Allah meridhainya, lantas kenapa ada orang yang mengabdi tidak kepada Allah semata, padahal dunia ini, dirimu sendiri dan apa yang ada disekelilingmu adalah bekas-bekas ciptaan-Nya dan tanda-tanda kekuasaan-Nya. 

Lantas kenapa ada orang yang menjadikan selain Allah atau bagi Allah tandingan-tandingan padahal amat jelas bekas-bekasnya kekuasaan dan kemukjizatan Allah, amat jelas pada penciptaan manusia, amat jelas pada pembangunan suatu bangsa, amat jelas pada penghancuran manusia, amat jelas pada penghancuran suatu bangsa dan juga gambaran lainnya terhadap kekuasaan (qudrat) Allah yang bisa kamu jangkau dengan bashoiroh (pandangan) kamu atau yang tidak bisa kamu jangkau dengan bashoiroh-mu.

Selanjutnya Allah mendatangkan kepada kita kisah tentang dibuatnya berbagai contoh, kasus dan kejadian yang Allah sampaikan di dalam Al Qur'an. Kisah ini menceritakan tentang sisi-sisi orang yang daya pandangnya terbelenggu dengan kehidupan dunia, daya lihatnya hanya sebatas sosok penampilan dan potensinya, hingga muncul keraguannya yang sebenarnya, keraguan yang dibuat-buat. 

Tatkala Rasulullah mencontohkan orang-orang yang tidak beriman dengan contoh-contoh yang dalam pandangan dan bahasa orang-orang kafir tidak layak dicontohkan oleh Dzat Yang Maha Agung Sang Penguasa Alam Semesta. Menurut mereka tidalah mungkin Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa memberikan contoh-contoh yang hina dan rapuh semacam ba'udhotan, kata mereka tidak mungkin itu terjadi, pastilah Muhammad itu pembohong. Menurut mereka tidak mungkin Allah menceritakan hal-hal yang kecil dan naif semacam lalat dan laba-laba (Qs. 29:41) dalam firman-firman-Nya.
إِنَّ اللَّهَ لا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ (٢٦)
26. Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah[34], dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (Qs. 2:26)


Dari pandangan-pandangan materialis kapitalis diatas, tumbuh segolongan orang-orang yang melihat para pemikul risalah yaitu benar dan salah dengan pendekatan kapasitas potensinya 

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧)أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا رَجُلا مَسْحُورًا (٨)7. 
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?,
8. Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang Dia dapat Makan dari (hasil)nya?" dan orang-orang yang zalim itu berkata: "Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir".
9. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu). (Qs. 25:7-9). 

Dan ini jika kemudian menimpa kepada diri seseorang bukanlah hal yang luar biasa, karena itu jika kita melakukannya haruslah cepat memohon ampun kepada Allah Swt. Rasulullah sendiri pernah suatu ketika tatkala sedang berda'wah kepada para pembesar Ouraisy seperti Abu Lahab dan Abu Sufyan tapi kemudian yang menyambutnya adalah seseorang yang bahkan hanya memiliki satu mata yaitu Ummu Maktum, sampai Rasulullah abasa watawalla, Rasulullah mendapat teguran dari Allah Swt (Qs. 80:1-16).

Persoalan penting yang perlu dikemukakan adalah agar kita terobsesi oleh al-jannah maka rindukanlah, bayangkanlah, impikanlah al-jannah itu. Hanya inilah satu-satunya modal menurut Allah yang memungkinkan orang bisa bertahan. Seberapa kuat abstraksi bashoiroh seseorang ke al-jannah, itulah yang akan menjaganya. 

Tetapi kalau bashoirohnya kepada al-jannah lemah atau bahkan tidak dapat menggambarkannya, yang tergambarkan hanyalah kenikmatan duniawi saja, mana mungkin ia dapat bertahan pada pijakan ash-shiroth ini. Pada sisi lain agar kita bisa terobsesi pada gambaran-gambaran al-jannah, maka bobot perhatian, fikiran, bayangan dan impian terhadap kehidupan disini hari ini tentu harus dikurangi.

Dikurangi bukan dalam pengertian kapasitas usaha (Qs. 28:77) maupun dalam kapasitas potensi. Tetapi dikurangi dalam pandangan hakiki yaitu pandangan menjadikan kehidupan disini hari ini sebagai kehidupan mataul ghurur. Dikatakan mataul ghurur bukan sesuatu yang tidak bernilai, namanya juga mataun (pelengkap, penyanggah, penghantar). 

Mataun yang tidak menyanggah risalah dinamakan dengan mataun yang sia-sia (mataul ghurur). Apakah itu istri, anak, perniagaan, harta, rumah dan lainnya, itu semua adalah mataun, tetapi jika kita hidup untuk istri, anak, usaha, rumah dan lainnya maka yang disebut terakhir inilah yang al-ghurur.

Sebagaimana ayat-ayat yang sudah disimak pada contoh-contoh yang lalu, ayat ini (Qs. 2:17-18) dimaksudkan bagi orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang Allah sudah buatkan perumpamaan untuk mereka perumpamaan-perumpamaan kedalam ayat-ayat sebelumnya. 
  مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ (١٧)صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ (١٨)
17. perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api[26], Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
18. mereka tuli, bisu dan buta[27], Maka tidaklah mereka akankembali (ke jalan yang benar),


Matsaluhum kamatsalil ladzistauqodanaron artinya perumpa- maan mereka adalah seperti orang yang meminta/mengharap cahaya api (bukan menyalakan api). Tatkala cahaya itu menerangi sekitarnya maka Allah menghapuskan cahayanya dan meninggalkannya dalam perjalanan yang gelap dan tak dapat melihat. 

Kalau kita renungkan bagaimana jika kita dalam perjalanan yang panjang, mendaki lagi sukar bahkan asing sekali sementara itu kita kehilangan cahaya dan perjalanan tersebut harus diselesaikan tanpa cahaya. Tentu saja gambaran semacam ini akan menimbulkan dalam diri kita kekhawatiran dan kengerian.

Betapa tidak, sampai-sampai Rabbul Izzati menyimpulkan bahwa mereka itu summun bukmun 'umyun fahum la yarji'un. Bagaimana mungkin suatu perjalanan yang sedemikian itu diselesaikan oleh orang yang tuli, bisu dan buta, mau bertanya tidak bisa, mau melihat tidak bisa dan mau mendengarpun tidak bisa. Perumpamaan ini merupakan suatu perumpamaan yang sangat hina terhadap aktor-aktor kaum munafikin. 

Kita tidak ingin terjebak seperti itu dalam pandangan Allah dan karena perjalanan ini tidak bisa diulang jika kita sudah masuk ke dunia akhirat maka tidak ada pemecahan lain selain kita berhati-hati agar nantinya di akhirat tidak terjerumus pada kebinasaan yang abadan abada, kekal selama-lamanya. Na'udzu billahi mindzalik.

Perumpamaan lainnya dalam Qs. 2:19, dari perjalanan ini dapat digambarkan diiringi hujan lebat, gelap gulita, guntur memekakkan telinga dan kilat menyilaukan mata, sesekali menyinari perjalanan tersebut. Dan Allah Maha Berkuasa untuk melenyapkan penglihatan dan pendengaran mereka yang dengan itu menjadi sesatlah para munafikin itu. 

19. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati[28]. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir[29].

Perumpaman lainnya adalah Allah memberikan perumpamaan kepada orang-orang yang kufur terhadap Rabb mereka sebagaimana laba-laba (Qs. 29:41). Digambarkan dalam ayat ini bahwa rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba. Ayat ini ditujukan adalah bagi orang-orang yang beriman yaitu para pemikul risalah yang shabar dan tertib, akan tetapi bagi manusia yang kapasitas potensinya seperti baudhoh (lalat) tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa jaring laba-laba itu rapuh, sebab kenyataannya banyak lalat yang tidak bisa melepaskan diri dan bahkan banyak yang terjerat di jaing laba-laba dan menjadi santapan empuk dari sang laba-laba.

41. perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.


Gambaran diatas sering disalahfahami oleh mereka yang terpelanting dan terlempar dari pijakan shirothol mustaqim karena ketidak tertiban dan ketidak sabaran dalam melangkah. Ketika mereka membaca kammin fiatin qolilatin ghalabat fiatan katsirotan bi idznillah (Qs. 2:249), namun kemudian ketika mereka terjerat oleh fiah katsiroh, siapa yang salah. Apakah janji Allah pada ayat itu yang salah atau perumpamaannya yang tidak benar, atau apa-nya ? Sementara sudah jelas diatas bahwa janji Allah tidak mungkin salah. 

Akan tetapi sudah jelas bahwa ayat-ayat tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, para ulul albab, para pemikul risalah, jundullah, yang syariah dan manhajnya sudah jelas dan tidak bisa sekehendak nafsu dalam melangkah di jalan ini.

Dalam perumpamaan-perumpamaan yang sudah dijelaskan diatas, jelas sekali bahwa Allah Swt mengajak kaum muslimin untuk senantiasa berfikir dan melangkah secara tertib dan teratur. Hal ini perlu dilakukan agar kita dapat mengukur kapasitas potensi dan ruang hidup seseorang, terutama diri kita sendiri. Tidak bisa seseorang memandang dirinya sudah kuat dan besar jika tidak ada standar regulariti (tolak ukur) yang jelas. Dan tidak bisa pula seseorang bertingkah laku melebihi batas ruang hidupnya, sebab hal itu hanya akan merugikan dirinya sendiri.

Di dalam ajaran Islam tidak dibenarkan orang yang satu mengukur orang yang lain dengan batas ruang hidup yang berbeda. Bahkan terhadap hal-hal yang sudah nyata-nyata cacat, kalau kecacatan itu sudah dilakukan maka kewajiban yang lain hanya mengingatkan, sedangkan fonis diharamkan bagi pribadi-pribadi. 

Contoh sederhana tentang megukur orang lain dengan batas ruang hidup yang berbeda diantaranya adalah dengan mengukur kemampuan materi seseorang dengan kemampuan materi yang dimilikinya, hal ini dinamakan dengan mencibir, meremehkan.

Salah satu kisah yang pernah terjadi di zaman Rasulullah ada kisah Ka'ab bin Malik tatkala ia tidak berangkat ke perang Tabuk. Rasulullah sebelum memulai perang dimedan perang saat itu biasa melakukan absen terutama kepada para muqarrabin. Tatkala Kaab dipanggil dan ia tidak ada, nampak sekali di muka Rasulullah ketidaksenangannya. Seorang sahabat yang melihat ketidak senangan Rasulullah tersebut atas ketidak-hadiran Kaab kemudian berkata, " YA Rasulullah, paling-paling Kaab sedang membeber beberkan tangannya", maksudnya membangga banggakan bajunya. Rasulullah kemudian marah mendengar ucapan ini dan berkata," Kenapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak enak kedengarannya bagi orang yang kamu bicarakan.

Perlu diingat bahwa jika suatu kecacatan memerlukan memerlukan solusi dan pentahkiman maka yang berhak memutuskan adalah majelis. Dan kalau sudah diputuskan maka tidak boleh untuk dicerita-ceritakan lagi. Dan sudah semestinya tiap-tiap pribadi membatasi ruang atas ruang hidupnya. Jika hal ini dilakukan maka tidak akan ada perasaan sakit hati, sakit jiwa, putus asa maupun membenci yang lain.

Di dalam Al Qur'an sudah diperintahkan oleh Allah Swt agar tiap diri orang yang beriman untuk i'malu 'ala makanatikum (Qs. 6:135) artinya berbuatlah kamu atas makanatikum, berbuat sesuatu atas ruang hidup yang nyata. Dengan melakukan introspeksi diri dan membaca diri, kita akan menemukan ruang hidup diri kita dan dengan demikian dalam praktiknya adalah tertib dalam melangkah dan berfikir. Bukankah perintah pertama yang turun dalam wahyu adalah iqra' yaitu membaca ? Orang yang tidak bisa membaca dirinya akan sulit pula menemukan ruang hidupnya.

Selain dituntutnya seorang muslim untuk dapat membaca ruang hidupnya, ia juga dituntut untuk bisa membaca ruang hidup jama'atul muslimin. Sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur'an tentang kisah Nuh yang diperintahkan oleh Allah untuk membuat perahu (Qs. 11:37-39). 

37. dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. 38. dan mulailah Nuh membuat bahtera. dan Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek Kami, Maka Sesungguhnya Kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). 39. kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal."

Kaum muslimun juga dituntut untuk dapat membaca apakah ruang hidup jama'atul muslimun sedang menghimpun papan-paku-ikatan, apakah sedang berada di tengah lautan ataukah tinggal dua langkah lagi untuk sampai di tanah yang dijanjikan. Maqom-maqom ruang hidup tersebut tentu saja berbeda-beda dan kaum muslimin dituntut untuk mengantisipasi dan mengatasinya dengan tingkah laku yang sesuai.

Jika kiranya ruang hidup jama'atul muslimin saat ini sedang mencoba mengumpulkan papan-paku-ikatan tetapi perilaku kaum muslimin seolah-olah sedang berada di tengah lautan dengan terjangan badai, ombak, karang dan ikan buas tentu saja tidaklah tepat. Justru jika kondisinya demikian perilaku kaum muslimin mestinya diarahkan kepada pembinaan secara luas dengan tahapan-tahapan sesuai syariat dan manhaj yang telah ditetapkan dan pola dakwah yang dilakukan semestinya dilakukan semenarik mungkin dan diproses agar setiap mad'u dapat memasuki mudkhola shidqin sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dan tidak dengan mengkafirkan sekelilingnya.

Menyangkut dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang terjadi maupun yang akan terjadi, perlu ditegaskan bahwa tak mungkin ada suatu peristiwa dan kejadian di dunia ini tanpa perkenan dan izin Allah Swt. Semua itu terjadi dan pasti ada pesan dan i'tibar didalamnya, dan pesan itulah yang mesti dibaca oleh kaum muslimin. 

Sebagai misal seorang anak kecil yang belum cukup kuat untuk mengangkat suatu benda , namun ketika itu dilakukannya iapun terjatuh dan benda yang diangkatnya pun jatuh dan mungkin saja rusak. Kalau sang ibu membaca peristiwa ini dengan emosi tentu sudah dipukul sang anak karena merusak benda tadi. Namun jika sang ibu membacanya bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi atas perkenan Allah tentu saja akan mencoba mengambil pesan dan i'tibar didalamnya dan tentu saja akan melihatnya sebagai suatu keindahan dan gambaran.

Kembali kepada imtitsal di dalam Al Qur'an tadi, di dalam Al Qur'an Qs. 22:73-74, Allah membuat perumpamaan bagi yang menyeru tuhan-tuhan selain Allah, maka itu semua tidak akan dapat menciptakan bahkan seekor lalat sekalipun. Dalam pandangan Allah tidak akan pernah ada karya cemerlang sekecil apapun dilakukan oleh ornag kafir disebabkan mereka menyeru kepada ilah-ilah selain Allah.

Jangankan satu orang yang menyembah orang yang bergantung berharap dan menitipkan suatu pemecahan masalah menumpahkan harapan dan kepercayaan kepada selain Allah. Jangankan satu orang, manusia seduniapun tak akan bisa membuat suatu monumen sekedar monumen yang mereka anggap hina yaitu adubab lalat. Demikianlah dalam pandangan Allah Swt. 

Di dalam ayat lain dikatakan karya-karya dari orang-orang kafir itu tak ubahnya seperti fatamorgana (kasyarobin). Dikatakan kasyarobin, tidak berarti tidak pernah ada, sebab apa yang dilihat sebagai fatamorgana itu, jika dipandang seperti ada, tetapi pada kenyataannya memang tidak ada. 

Itulah sebabnya tidaklah mengherankan dalam auditing akhir perjalanan suatu bangsa dalam pimpinan dan orde tertentu akan berakhir dengan suatu defisit dan kasyarobin, bahkan diakhiri dengan problem yang bertumpuk. Hanya saja ada yang mendapatkan bayang-bayang fatamorgana itu panjang berkelanjutan dan ada yang mendapatkan bayang-bayang fatamorgana itu hanya sebentar sudah tidak ada lagi.

Rasulullah pernah bersabda, " Sebenarnya mana yang kamu sukai mencicipi dan menjadikan rizki apa yang ada pada kamu atau menumpukkannya sebagai barang yang akan jatuh pada pewaris".   Jawab para shahabat, "Tentu saja kami mengharap itu menjadi rizki bagi kami". Jawab Rasulullah, "Dusta kamu, karena apa yang menjadi rizki kamu adalah apa yang kamu makan, apa yang kamu pakai yang kamu jadikan itu sebagai modal untuk ruku dan sujud kepada Allah Swt, selebihnya yang di luar itu adalah harta yang ingin kamu wariskan kepada para ahli waris kamu". 

Dan ingatlah sebesar apapun yang kamu wariskan, tak sedikitpun kamu mendapat nilainya, tidak orang yang meninggal mendapatkan apa yang ditinggalkannya. Tanggung jawab selanjutnya adalah pewaris. Pandangan ini bertentangan sekali dengan pandangan kaum munafikin dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Telah kita fahami bersama bahwa kaum muslimin memiliki titik pemberangkatan dan titik akhir/titik ideal. Titik ideal inilah yang perlu senantiasa kita bayangkan dan melatar belakangi seluruh aktifitas kaum muslimin. Namun ada pula titik-titik bayangan yang dapat merubah orientasi perjalanan itu sendiri, seperti aktifitas rumah tangga, aktifitas usaha dan yang lainnya yang ternyata justru dijadikan titik ideal/titik akhir. 

Ada orang yang shabar meniti titik-titik tersebut dan ada pula orang yang tidak shabar ('ajalah). Sebagaimana zat mati terkonversi menjadi zat hidup, melalui proses spermatozon-zigot-darah-daging-tulang dan demikian seterusnya. Tidak bisa memperpendek tahapan proses tanpa merusak proses itu sendiri. Manusia tidak bisa memperpendek proses penuaan yang terjadi pada dirinya selain membunuh dirinya, dan itulah namanya 'ajalah. Sunnatullah memang tidak bisa dihindari.

Dalam meniti titik-titik antara, tahapan-tahapan antara ini harus jelas dalam targetnya. Tanpa kejelasan target dari tahapan antara ini sulit untuk mengukur ruang hidup yang sesungguhnya. Misal seorang muslim dikatakan taklif mestilah secara keseluruhan, mulai dari materinya, wawasannya, pengetahuannya, aqidahnya dan seluruhnya. Perlu dicatat bahwa taklifnya kaum muslimim berbeda dengan taklifnya orang di luar kaum muslimin, seperti halnya dengan membaca Al Qur'an, seorang muslim mestilah pula taklif, baik dari makhrajnya, tajwidnya dan lainnya.

Setelah tahapan pertama yaitu pembentukan pribadi-pribadi muslim, tahapan kedua yaitu pembentukan rumah tangga. Pembentukan rumah tangga mestilah merupakan program dari jama'atul muslimin itu sendiri. Rumah tangga yang belum menjadi elemen perantara atau titik penghubung dalam jama'atul muslimin, maka ia adalah out of side dari jama'atul muslimin itu sendiri. Termasuk diantara bentukan rumah tangga yang menjadi elemen perantara adalah sang istri dan anak yang menjadi bagian dari rumah tangga tersebut. Semua pihak yang berada dalam rumah tangga mestilah terkait dengan program-program jama'atul muslimin.

Keikhlasan untuk taat dan mendengar, keikhlasan untuk menjalani perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, termasuk juga keikhlasan untuk menerima ketentuan matsna atau tsulatsa atau ruba'a jika itu memang sudah merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika ada yang apriori atau bahkan tidak mau untuk melaksanakan ayat-ayat Allah maka ia sudah masuk dalam kategori tu'minuuna bi ba'din watakfuruna biba'din (Qs. 2:85). Dan semua itulah yang akan menjadi ujian-ujian dalam meniti titik-titik diantara ini.

85. kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.

Tidak dipungkiri bahwa ada masa dimana istri kita diberi ruang hidup yang sempit, dengan problematika rutin yang dihadapi sehari-hari belum lagi tekanan-tekanan yang sering muncul. Pagi-pagi sudah mengurusi anak-anak, siangnya memasak, mencuci, membersihkan rumah, sorenya menidurkan si kecil, membersihkan rumah. Belum malam hari harus mengurus suami dan hal-hal itu terjadi dengan rutin sekali bisa menyebabkan istri tidak terkendali emosinya. Visi hidup istri perlu dirubah untuk merubah pula nuansa hidup yang sehari-hari dialaminya.

Perlu disampaikan kepadanya bahwa aktifitas yang dilakukannya itu semua, mulai dari mengurusi anak sampai suami adalah perlu dirasakan sebagai bagian dari usaha-usaha penegakan risalah, sebagai bagian dari sumbangsihnya meneguhkan Dinul Islam yang diakhirat kelak itu semua akan memperoleh balasan dari Allah Swt dengan al-jannahNya yang dijanjikan-Nya. Dengan merubah visi yang demikian itu maka sang istri tidaklah kemudian mengharapkan belas kasihan suami, tetapi yang diharapkan ini dapat dirasakan di tiap rumah tangga kaum muslimin.

Kesadaran diatas perlu senantiasa diingatkan dan ditumbuhkan dalam tiap rumah tangga kaum muslimin. Permasalahannya adalah kesadaran semacam ini penting agar nanti manakala ujian datang didapat tabah dan tahan, sebab kalau hidup kita terbelenggu disekitar problem saja, maka kita tidak akan pernah keluar dari problem itu sendiri. Tetapi kalau seluruh problem itu sudah diserahkan kepada Allah, intanshurullah yanshurkum, Allah berjanji wa yutsabbit 'aqdamakum (Qs. 47:7).

Manakala hal-hal diatas sudah dilakukan dengan baik, apakah itu sosialisasinya, sebobot sepenanggungan, maka apa yang terjadi pada zaman Rasulullah tidak mustahil akan terjadi lagi. Tahapan selanjutnya yang tidak boleh dilupakan adalah pembentukan masyarakat hukum, sebab proses pembentukan addawlah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw tidak akan pernah tercapai tanpa melalui pembentukan masyarakat hukum. 

Menyimak sejarah perjalanan pembentukan masyarakat hukum di berbagai wilayah di dunia, dapat disimpulkan bahwa proses yang tidak tertib mulai dari pembentukan pribadi muslim dan seterusnya tidaklah akan bertahan lama, sebagai proses tumbuhnya pohon (Qs. 14:24-25) akan senantiasa dimulai dari penumbuhan akar yang baik.

Jika pohon itu tidak ditumbuhkan tetapi hanyalah dengan menempelnya dengan barang-barang dari plastik, seperti daun plastik atau bunga plastik, tentu tidak bisa dikatakan pohon yang baik (kasyajaroh thoyyibah), akar inilah yang akan mempengaruhi bentukan pohon selanjutnya, sebab tidak mungkin pohon semangka berdaun sirih. 

Model lainnya seperti pembentukan wayang golek, tentu tidak bisa dijadikan sebagai model yang tepat, sebab wayang golek dibuat dari unsur-unsur yang terpisah kemudian disatukan, ini jelas tidak bisa disebut kaljasadil wahid.

Ayat-ayat yang telah dikemukakan kepada orang munafik dan termasuk didalamnya orang kafir dan musyrikun, mereka sudah mendapatkannya pada kelayakan mereka sendiri, yaitu ragu terhadap benarnya wahyu. Orang yang berbicara Al Qur'an tetapi kehidupannya menyimpang dari Al Qur'an, Allah menyebutnya sebagai tasykik yaitu orang-orang yang ragu merupakan karakter orang-orang munafik. 

Termasuk kita saat ini perlu melakukan introspeksi, apakah kita sudah menerapkan al Qur'an kedalam diri kita sendiri, kepada istri dan anak kita, rumah tangga kita. Apakah rumah tangga kita selama ini sudah benar-benar diarahkan kepada nilai-nilai Islam, atau masih pada kebiasaan jahiliyyah, dimana bentukan rumah tangganya adalah bentukan saling mengeksploitir, merampas hak-hak subjektif orang lain tanpa mengikuti syari'at dan manhaj yang jelas. 

Perlu diingat bahwa rumah tangga Islam bukanlah bentukan untuk merampas hak-hak subjektif sang istri atau mengeksploitir yang lain, tetapi ia merupakan aspek sinergistik antara dua hamba Allah yang merdeka. Jadi berikanlah istri itu lahannya, dan maqomnya, jangan merampas hak subjektifnya, kecuali pada hal-hal yang menyimpang dari hal-hal yang dikehendaki Allah.

Dengan pandangan-pandangan kapitalisme, pandangan-pandangan intrik bisik yang lahir atas kelebihan dan kelemahan seseorang sebetulnya apa yang diekspresikan orang-orang munafik tadi adalah unsur perpalingan dari sekian keraguan dan kegelisahan mereka sendiri. Bagaimana mereka tidak sempit, dari satu sisi mereka yakin yang dibawa adalah kitabullah (alhaq) tetapi dari sisi lain tokohnya adalah Muhammad yang dalam pandangan mereka tak layak dimitoskan, tak layak ditokohkan dan bukan sosok yang layak dilebihkan. 

Keraguan ini terus menghantui dan berkelanjutan mempersempit ruang dadanya dan akhirnya muncullah suatu bentuk perpalingan, karena itu orang yang ragu tidak pernah berakhir mulus, kecuali dia berpaling pada akhirnya. Karena keraguan yang ada pada diri seseorang setiap harinya bergelora dan mempersempit ruang dadanya, akhirnya membuat ulah kemudian mencoba mempengaruhi yang lainnya.

Maka hadirlah ayat ini sebagai benteng, pelindung terhadap tipu daya dan muslihat orang-orang munafik, ayat ini sekaligus memberikan kewaspadaan bagi orang-orang mukminin terhadap tipu daya orang-orang munafik. Karena Islam telah mengajarkan orang kafir untuk berburuk sangka terhadap muslimin dan menjadikan alat penambah keimanan bagi orang beriman. 

Karena itulah secara personal Al Qur'an mengajarkan kum muslimin untuk mengevaluasi dirinya sendiri (Qs. 59:16), sedangkan secara kesisteman dan struktural ada penanggung jawab yang menjadi saksi di akhirat (Qs. 17:71 16:89). Jadi ada pengawasan fungsional bagi tiap pribadi dan ada pengawasan struktural yang biasanya berlanjut dengan sangsi dan semacamnya.

Kalau saja hal diatas bisa kita lakukan dengan mengharap perkenan dan kemurahan Allah Swt, maka tahapan-tahapan yang ada harus dilampaui berdasarkan sunnatullah dan janji Allah, tentu akan bisa diselesaikan. Tetapi kalau kita menghimpun an-naas dalam jumlah yang besar tanpa ada evaluasi, monitoring, tanpa ada stratifikasi tentang spesifikasi kemampuan, justru akan merusak jadinya. 

Dalam kondisi stratifikasi kita juga harus lapang, artinya apa yang kita dapatkan nilai terhadap diri kita sepanjang itu dari manusia, mungkin saja ada salahnya. Tetapi bagaimana suatu penilaian itu kemudian berubah menjadi baik dan kemudian merubah juga hasil penilaian lewat usaha kita sendiri.

 Perjalanan yang akan ditempuh ini teramat sangat panjang sekali. Kita juga belum tentu sampai ketitik akhirnya yang kita saksikan fatah falahnya. Karena sedemikian panjang inilah orang-orang yang tidak bersabar kemudian ber'ajalah, frustasi dan menyimpang dari syariat yang sudah Allah tetapkan. Kemudian muncul gerakan untuk menghalalkan segala cara.

Sedangkan Allah adalah Rabb bagi makhluk-makhluk yang kecil dan Rabb bagi makhluk yang besar. Dan Allah yang menciptakan lalat dan gajah. Zat mukjizat, yang Allah menciptakan lalat, yang dengan zat itu Allah juga menciptakan gajah. Jadi jangan menganggap enteng terhadap barang yang kecil, kecil fisiknya, kecil materinya, kecil wawasannya, karena unsur-unsur zat mukjizatnya sama dengan yang menciptakan orang yang besar, kaya dan pintar. Jangan sampai ada teguran untuk kedua kalinya, abasa watawalla.

Penegasan akhir dari dirosah ini, bahwa dalam menemukan gambaran yang indah tentang al-jannah, silahkan baca kembali ayat-ayat Allah tentang al-jannah, baca kembali hadits-hadits Rasulullah tentang al-jannah. Alihkan seluruh kerinduan, kesahduan, kesenduan dari kehidupan disini hari ini kepada kehidupan di akhirat, kepada al-jannah. Apakah mewujud dalam kepekaan kita, dalam jerit doa kita, apakah kita memohon kepada Allah agar kita dimasukkan kedalam al-jannah atau kita termasuk orang yang apriori terhadap al-jannah, ataukah kita masih mengganggap kita sudah otomatis masuk kedalam al-jannah ?

Rasulullah mengatakan, mintalah olehmu al-jannah. Kalau kita sudah temukan kesahduan-kesahduan ini, insya Allah kita bisa mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Rasul Allah yaitu warnai hayatud dunya illa mataul ghurur. Insya Allah dirosah ini bersambung dan semoga dirosah ini ada manfaatnya. Amin Ya Rabbal 'Alamin.

Catatan Dirasah di Pintu Dua
Jakarta, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.