Menghimpun hadits-hadits dalam Tema yang sama


 

Untuk berhasil memahami As-Sunnah secara benar,  harus dihimpun semua hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang 'am dengan yang khash. Dengan cara itu, dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.

Dan sebagaimana telah ditetapkan bersama, bahwa As Sunnah menafsirkan Al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya; dalam arti bahwa ia (As-Sunnah) merinci apa yang dinyatakan oleh Al-Quran secara garis besarnya saja, menafsirkan bagian-bagiannya yang kurang jelas, mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum dan membatasi apa yang disebutnya secara lepas (muthlaq); maka sudah barang tentu, ketentuan-ketentuan seperti itu harus pula diterapkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.

Ambillah, sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan "mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki", yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menujukan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)-nya sehingga di atas mata kaki. 

Sedemikian bersemangatnya rnereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang lalim atau da'i Muslim yang tidak memendekkan tsaub-nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang "kurang beragama"!

Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegaran sikap mereka dan tidak mcnyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.

Perhatikanlah hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi saw. pernah bersabda: 

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ   قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

"Tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari Kiamat. tidak akan diajak bicara oleh Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulut sampai di bawah kedua mata kakinya." (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar: “Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiah oleh-Nya, dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.'' (Rasulullah saw. rneng ulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata: "Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa mereka itu, ya Rasulullah? Maka jawab beliau): "Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan barang dagangannya dengan bersumpah bohong.”

Kalau begitu. apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan "orang yang menjulurkan sarung sampai ke bawah mata kaki'? Apakah mencakup siapa saja yang memanjangkan sarungnya, walaupun hal itu semata-mata karena kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat lingkungannya, dan tanpa maksud menyombongkan diri?

Mungkin saja hal itu didukung oleh hadis yang dirawikan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah: ''Sarung yang di bawah mata kaki, akan berada di neraka."

Yang dimaksud dengan "sarung" dalam hadis itu, ialah "kaki" seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.

Akan tetapi, bagi orang yang sempat membaca semua hadis yang berkenaan dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh An-Nawawi, lbn Hajar dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud di sini adalah sikap sombong yang menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras.

Untuk itu, mari kita baca hadis-hadis sahih yang dirawikan berkenaan dengan hal ini. Telah dirawikan oleh Bukhari dalam bab "Barangsiapa Menyeret Sarungnya Bukan Karena Sombong", sebuah hadis riwayat Abdullah bin Umar, dari Nabi saw.

هُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّىْ ثَوْبِى يَسْتَرْخِى إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ .فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ »

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihat dirinya pada hari kiamat.” Lantas Abu Bakr berkata, “Sungguh salah satu ujung celanaku biasa melorot akan tetapi aku selalu memperhatikannya.” “Engkau bukan melakukannya karena sombong”, komentar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr. (HR. Bukhari no. 3655)

Rasulullah pernah meng-isbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana matahari. Abu Bakrah menceritakan:

خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ

“Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada di sisi Rasulullah, maka Rasulullah pun berdiri dalam keadaan meng-isbal sarung beliau karena tergea-gesa, hingga memasuki masjid.”(HR. Bukhari no. 5785.)

Ibnu Hajar berkesimpulan, “Pada hadis ini (terdapat dalil) bahwa isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam larangan.”(Fathul Bari, 10/315)

Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab "Orang yang Menyeret Sarungnya Karena Sombong", dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: "Allah SWT tidak akan memandang kepada siapa yang menyeret sarungnya karena kesombongan."

Dan dari Abu Hurairah pula, bahwa Nabi saw. bersabda:

"Seorang laki-laki sedang herjalan dengan herpakaian amat mewah yang membuat dirinya sendiri merasa kagum, sementara ramhutnya ter-sisir rapi, ketika tiba-tiba ia ditelan oleh longsoran tanah. Maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari Kiamat." (HR Bukhari)

Dan diriwayatkan oleh Ibn Umar, dan juga dari Abu Hurairah: "Seorang laki-laki sedang berjalan sambil 'menyeret sarungnya', ketika tiba-tiba ditelan longsoran tanah, membuatnya terus-menerus berteriak ketakutan di dalamnya, sampai hari Kiamat."

Dari Ibnu ‘Umar radhiyAllahu Ta’ālā ‘anhumā beliau berkata: Rasulullah saw bersabda:

لَا يَنْظُرُ الله إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ .مُتَّفَقٌ عَلَيْه

“Allah tidak akan memandang orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.”(HR. Bukhari no. 5783 dan Muslim no.2085)

Dari riwayat tersebut, secara jelas Nabi saw. menekankan soal "membanggakan diri" sebagai satu-satunya alasan. Dengan demikian, tak ada ruang bagi siapa pun untuk menakwilkannya.

An-Nawawi dikenal sebagai seorang tokoh yang tidak suka mempermudah, bahkan ia — seperti yang diketahui oleh para peneliti — cen-derung memilih penilaian yang lebih ketat dan lebih berhati-hati. Ketika menguraikan hadis tentang "orang yang menjulurkan sarungnya", ia berkata: "Adapun yang dimaksud dalam sabda Nabi saw. sebagai 'orang yang menjulurkan sarungnya', adalah orang yang melakukannya se-hingga sarungnya itu menyentuh atau hampir menyentuh tanah, sambil menyeretnya dengan sikap sombong. Makna tersebut dapat diketahui dari hadis lainnya yang berbunyi: 'Allah tidak akan memandang kepada orang yang ''menyeret tsaub-nya" dengan maksud menyombongkan diri.' Adanya keterangan tentang sikap menyombongkan diri, memhuat lingkup ancaman keras terhadapnya terbatas hanya apabila hal itu dilakukan demi menunjukkan kesombongan. Buktinya, Rasulullah saw. inengizinkannya bagi Abu Bakr dengan ucapan beliau: 'Engkau tidak termasuk mereka.' Sebab, kalaupun ia juga 'menyeret sarungnya', maka hal itu tidak disertai dengan sikap menyombongkan diri."

Dan telah berkata Al-Hafizh lbn Hajar dalam Syarh-nya atas hadis-hadis riwayat Bukhari yang berisi ancaman terhadap orang-orang yang menjulurkan sarung atau menyeret baju gamisnya:

"Dalam hadis-hadis ini, ditegaskan bahwa menjulurkan sarung {sampai ke bawah mata kaki) karena ingin menyombong, termasuk dosa besar. Dan jika hal itu bukan karena kesombongan pun, maka tetap saja hal itu haram menurut pengertian zahir hadis-hadis itu. Tetapi, mengingat adanya keterangan tambahan tentang sikap sombong dari mereka yang melakukannya, maka dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan menjulurkan sarung atau menyeretnya, tidaklah haram sepanjang tidak disertai sikap menyombong."

Dan telah berkata Al-Hafizh Al-Faqih Ibn 'Abd Al-Bar: "Yang dapat dipahami dari hadis-hadis tersebut ialah, apabila perbuatan 'menyeret' itu bukan karena kesombongan, maka ancaman terhadapnya itu, tidak berlaku. Walaupun, pada dasarnya, perbuatan 'menyeret' gamis atau jenis pakaian lainnya, tetap tercela, dalam keadaan apa pun."

Masih ada lagi yang menguatkan pemahaman seperti ini, yakni membatasi perbuatan 'menjulurkan sarung' yang terkena ancaman, lianva apabila dilakukan karena kesombongan semata-mata. Hal itu ialah kenyataan bahwa ancaman dalam hadis-hadis itu, merupakan ancaman amat keras. 

Sampai sampai menjadikan orang seperti itu, termasuk tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang dan tidak ditazkiah oleh-Nya, serta disediakan azab yang pedih bagi mereka! Dan sampai-sampai Nabi saw. mengulangi ancaman itu sebanyak tiga kali, sehingga Abu Dzar merasa ketakutan dan berkata: "Sungguh mereka telah gagal dan sangat merugi! Siapakah mereka, ya Rasulullah?"

Semua itu menunjukkan bahwa perbuatan mereka itu, termasuk dosa-dosa besar yang sangat terlarang dan mendatangkan kebinasaan. Dan itu tidak akan berlaku kecuali pada hal-hal yang berkaitan dengan "kebutuhan-kebutuhan mcndasar" yang dijamin pelaksanaan dan ke selamatannya oleh syariat, yakni yang berkenaan dengan urusan agama, jiwa, akal, kehormatan, nasab dan harta; dan itulah tujuan-tujuan pokok syariat Islam.

Adapun perbuatan memendekkan sarung atau baju gamis adalah termasuk estetika dan berkaitan dengan kesopanan pergaulan, yang dengannya hidup ini menjadi indah, dengan cita rasa yang tinggi dan budi pekerti yang luhur. Sedangkan memanjangkannya atau menjulur-kannya — tanpa suatu tujuan yang tercela — paling-paling hanya termasuk hal yang makruh (tak disukai).

Karena itu, yang sangat dipentingkan oleh agama mengenai ini, dan yang ditujukan kepadanya perhatian terbesar, adalah niat serta motivasi yang berada di balik suatu perbuatan lahiriah. Dan yang sangat ingin ditentang di sini olehnya, adalah kesombongan, keangkuhan, kepongahan, kebanggaan diri, dan sebagainya, yang semua itu termasuk penyakit-penyakit hati dan penyimpangan kcjiwaan, yang tak seorang pun akan masuk surga apabila di dalam dirinya bersemayam perasaan seperti itu, walaupun hanya sebesar zarrah.

Itulah  yang sangat menguatkan perlunya membatasi ancaman keras yang ditujukan terhadap perbuatan menjulurkan sarung, semata mata apabila hal itu bermotivasi kesombongan dan kebanggaan diri saja, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis-hadis lainnya.

Bahwa apa telah dikemukakan di atas yaitu urusan pakaian, potongan dan bentuknya, berkaitan dengan kebiasaan dan adat-istiadat manusia, yang seringkali berlainan sesuai dengan perbedaan iklim antara panas dan dingin, juga antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan yang lemah, jenis pekerjaan, tingkat kesejahteraan hidup, serta pelbagai pengaruh dan latar belakang lainnya.

Dalam hal-hal seperti ini, syariat senantiasa bersikap lunak dan tidak ikut campur kecuali dalam batas-batas tertentu, demi mencegah timbulnya penonjolan kemewahan dan kemubaziran dalam kehidupan lahiriah, ataupun kehendak menyombongkan diri yang bersemayam di dalam hati seseorang, serta dalam beberapa hal seperti itu, yang telah diketahui secara rinci.

Berkaitan dengan hal ini, Al-Bukhari — pada bab "Pakaian" — dalam Shahih-nya telah menyediakan pasal khusus tentang firman Allah SWT: "Katakanlah: 'Siapakah yang mengliaramkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya . . .?" (Al-A'raf: 32).

Demikian pula Nabi saw. telah bersabda, "Silakan kalian rnakan, minum, herpakaian dan berscdekah, tetapi jangan berlebih-lebihan dan jangan pula demi kesombongan.”

Dan telah berkata Ibn Abbas r.a.: "Makanlah makanan yang kau ingini, kenakanlah pakaian yang kau ingini, selama kau mcnghindari dua hal: pemborosan dan keangkuhan."

Ibn Hajar mengutip ucapan salah seorang gurunya, Al-Hafizh Al-'Iraqiy dalam Syarh Tirmidzi, "Pakaian yang sangat panjang sehingga menyentuh tanah, adalah termasuk kesombongan, dan hukumnya — tak diragukan lagi — adalah haram. Dan sekiranya dinyatakan tentang haramnya semua pakaian yang dipanjangkan lebih daripada ukuran yang biasa dikcnakan orang, maka pernyataan itu tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi manusia di zaman ini, telah menciptakan berbagai aturan dalam memanjangkannya. Sehingga setiap kelompok masyarakat mempunyai tanda-tanda khusus yang menunjukkan identi-tas mereka. Maka apabila hal tersebut dilakukan demi kesombongan, tentu hukumnya haram. Tetapi yang hanya mengikuti adat kebiasaan semata-mata, tidaklah dianggap haram. Kecuali yang panjangnya sedemikian rupa sehingga menyentuh tanah dan menyebabkan orang berjalan sambil 'menyeretnya'."

Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah (zahir) suatu hadis saja tanpa memperhitungkan hadis-hadis lainnya, serta nash-nash lain yang berkaitan dengan topik tertentu; seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran, serta maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.