Menggabungkan Atau Mentarjih Hadits-hadits yang (Tampaknya) Bertentangan.

 

Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:

Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab pentarjihan  berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.

Penggabungan Didahulukan Sebelum Pentarjihan

Termasuk hal yang amat penting untuk memahami As-Sunnah dengan baik, ialah dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-olah saling bertentangan, demikian pula makna kandungannya, yang sepintas lalu tampak berbeda, Semua hadis itu sebaiknya dikumpulkan, masing-masing dinilai secara proporsional. sedemikian sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling bcrjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan.

Kita hanya menekankan pada hadis-hadis yang sahih saja, sebab yang dha'if atau yang kurang mantap sanadnya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Kita tidak meminta untuk digabungkan antara hadits-hadis seperti ini dengan yang telah dinilai sahih, apabila terdapat pertentangan antara keduanya; kecuali tentunya, jika kita hendak meremehkan permasalahannya.

Karena itulah, para ulama ahli (peneliti) menolak hadis yang berasal dari Ummu Salamah, dan dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, yang mengharamkan wanita memandang laki-laki walaupun laki-laki ini seorang buta. Hadis tersebut. bertentangan dengan yang ber¬asal dari Aisyah, Umm Al Mu'minin. dan Fathiman binti Qais. Kedua hadis itu ada dalam Ash-Shahih.

hadits Az Zuhri dari Nabhan, pembantu Ummu Salamah, ia berkata bahwa Ummu Salamah pernah berkata kepadanya:

أنها كانت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم وميمونة قالت: فبينما نحن عنده أقبل ابن أم مكتوم فدخل عليه، وذلك بعدما أمرنا بالحجاب، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “احتجبا منه” فقلت يا رسول الله: أليس هو أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أوعمياوان أنتما؟ ألستما تبصرانه

Ketika itu Ummu Salamah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Maimunah, lalu Ibnu Ummi Maktum hendak masuk ke rumah. Itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk berhijab (setelah turun ayat hijab). Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Kalian berdua hendaklah berhijab darinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankan Ibnu Ummi Maktum itu buta tidak melihat kami dan tidak mengenali kami?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?’ (Dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, dengan keterangan: hadis ini hasan shahih,}

Hadis tersebut., meski pun disahihkan oleh Tirmidzi, namun dalam sanadnya terdapat Nabhan maula Ummu Salamah. Ia seorang majhul (tak dikenal kepribadiannya), tak dianggap sebagai tsiqah kecuali oleh Ibn Hibban. Karena itu, Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-Mughniy menyebutnya dalam kelompok para perawi yang dhaif.

Hadis ini bertentangan dengan yang dirawikan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang membolehkan wanita memandang kepada laki-laki yang bukan mahramnya. Yang dilakukan orang Habasyah adalah menari-nari dengan alat perang mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كانَ الحَبَشُ يلعبونَ بِحِرابِهم فَسَتَرنِي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وأنَا أنْظُرُ ، فمَا زِلْتُ أنظرُ حتَّى كنْتُ أنا أَنْصَرِفُ

“Orang-orang Habasyah bermain-main dengan alat perang mereka (tombak). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menabiriku dan aku berusaha untuk tetap melihat. Hal ini terus berlangsung hingga aku sendiri yang memutuskan untuk tidak melihatnya lagi.” (HR. Bukhari, no. 5190)

Berkata Al-Qadhi 'Iyadh: "Dari hadis ini dapat disimpulkan bolehnya kaum wanita memandang kepada pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak disukai ialah memandang bagian-bagian (tubuh) yang indah serta merasa senangl dengan itu;

Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam bab "Pandangan Wanita kepada Orang-orang; Habasyah dan yang Seperti Mereka dengan Cara yang Tidak Menimbulkan Kecurigaan"

Hal itu dikuatkan oleh hadis Fathimah binti Qais yang dirawikan oleh Al-Bukhari, bahwa Nabi saw. pernah berkata kepadanya, ketika ia diceraikan oleh suaminya: "Tinggallah selama masa iddah-mu di rumah Ibnu Ummi Maktum. Ia seorang buta, dan karena itu, engkau lebih mudah menanggalkan bajumu, sementara ia tidak melihat."

(Sebelum itu, beliau pernah menyarankan kepadanya agar melewati masa 'iddah-nya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau berkata: "Ia seorang wanita yang sering dikunjungi oleh sahabat-Sahabatku. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibnu Ummi Maktum saja...") 

Bagaimanapun juga, hadis yang bersumber dari Ummu Salamah.selain adanya kelemahan dalam sanadnya, tidak mungkin disejajarkan dengan hadis-hadis sahih tersebut.

Walaupun begitu, tidak ada salahnya — demi mempermudah permasalahannya — untuk berusaha menyesuaikan antara hadis yang dlia'if dan yang sahih, meskipun hal itu tidak wajib.

Karena itu, mengenai hadis Ummu Salamah tersebut, Imam Al-Qurthubiy dan yang selainnya memberikan penjelasan:

"Kalaupun kita mengandaikan kesahihannya, hal itu hanya me-nunjukkan kenyataan betapa Rasulullah saw. lebih memperberat atas diri istri-istri beliau, demi menjaga kehormatan diri mereka, sebagai-mana beliau juga memperberat atas mereka dalam urusan hijab; seperti yang ditunjukkan oleh Abu Daud dan beberapa ahli selainnya. Dengan demikian, tetaplah makna hadis sahih yang menyebutkan bahwa Nabi saw., pada mulanya, memerintahkan Fathimah bind Qais agar manghabiskan masa 'iddah-nya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau berkata lagi: Ia adalah seorang wanita yang rumahnya sering dikunjungi oleh sahabat-sahabatku. Lebih baik engkau melewati masa 'iddah-mu di rumah Ibnu Ummi Maktum. Ia seorang buta, dan karena¬nya lebih mudah bagimu menanggalkan pakaianmu, sementara ia tidak melihatmu'}

Berkata Al-Qurthubiy: "Para ulama telah menyimpulkan dalil dari hadis ini, bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sama seperti yang boleh dilihat oleh laki-laki dari perempuan. Seperti, kepala dan bagian telinga tempat menggantungkan anting-anting. Tetapi tidak boleh melihat bagian yang termasuk aurat.

"Adapun Nabi saw. memerintahkan Fathimah binti Qais agar pindah dari rumah Ummu Syarik ke rumah Ibnu Ummi Maktum, karena hal itu lebih baik baginya, mengingat rumah Ummu Syarik sering dikunjungi orang sehingga akan banyak orang yang melihatnya. Sedangkan di rumah Ibnu Ummi Maktum, tidak ada yang melihatnya. Dan tentunya lebih mudah dan lebih utama baginya untuk 'menundukkan' pandangannya terhadap Ibnu Ummi Maktum. Maka beliau pun mengizinkannya melakukan hal itu. Walldhu a'lam."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.