Memahami Hadits Berdasar Latar Belakangnya

 


Memahami hadits berdasar latar belakangnya, situasi dan kondisi ketika diucapkan serta tujuan-tujuannya

Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. 

Diantara hadis-hadis, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus, demi suatu maslahat yang diharapkan atau mudarat yang hendak dicegah, atau mengatasi suatu problem yang timbul pada waktu itu.

Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu 'illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah-nya., dan tetap berlaku jika masih berlaku 'illah-nya.


a. Misalkan tentang Hadis: "Kalian Lebih Mengerti Urusan Dunia Kalian" 

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

"Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian." (HR Muslim dari Aisyah dan Anas)

Hadis ini, oleh sebagian orang, dijadikan dalih untuk menghindar dari hukum-hukum syariat di berbagai bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Sebab semua itu, seperti yang mereka dakwakan, adalah termasuk urusan dunia kita, dan kita lebih mengerti tentangnya. Sedangkan Rasulullah sendiri telah menguasakannya kepada kita!

Apakah memang itu yang dimaksud oleh hadis tersebut? Tentu tidak! Sebab, di antara berbagai tugas yang dibebankan Allah SWT kepada para utusan-Nya, adalah meletakkan dasar-dasar dan neraca-neraca keadilan serta ketentuan-ketentuan tentang segala hak dan kewajiban dalam kehidupan dunia mereka; sedemikian sehingga mereka tidak dibingungkan oleh norma-norma yang kabur, dan tidak diceraiberaikan oleh pelbagai jalan yang saling berlawanan. 

Tentang ini, Allah SWT berfirman: "Telah Kami utus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca) agar manusia dapat melaksanakan keadilan" (Al-Hadid: 25).

Dari sinilah kemudian datangnya nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang mengatur segala urusan transaksi jual-beli, perseroan, penggadaian, persewaan, peminjaman uang, dan lain sebagainya. Bahkan ayat terpanjang dalam Al-Quran adalah yang mengatur tentang pencatatan  utang-piutang:   "Wahai orang-orang beriman, apabila kamu melakukan transaksi utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil . . . (dan seterusnya, Al-Baqarah: 282).

Adapun hadis: "Kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian" dapat ditafsirkan dengan mengetahui asbab al-wurud (latarbelakang diucapkannya). Hal itu berkenaan dengan "penyerbukan pohon kurma". Ketika itu, Rasulullah saw menyatakan pendapat behau yang berdasarkan perkiraan semata-mata, berkenaan dengan soal penyerbukan. Sedangkan beliau bukanlah seorang ahli tanaman. Bahkan beliaau dibesarkan di suatu daerah "lembah yang tak bertanaman". Namun kaum Anshar mengira pendapat beliau itu sebagai vahyu atau perintah agama, lalu meninggalkan kebiasaan penyerbukan tersebut. Hal itu akhirnya berpengaruh buruk pada buah kurma di musim itu. 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

Dari Anas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: "Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik." Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: 'Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: 'Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.'" (HR Muslim)

Maka Nabi saw. menyatakan: "Sesungguhnya (pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraan semata-mata; maka ianganlah kalian menyalahkan aku karena perkiraanku itu ..." (Pada akhir ucapannya itu, beliau mengatakan): "Kalian lebih mengerti tentang urusan-urusan dunia kalian." Begitulah kisah dari hadis tersebut.


b. Contoh lainnya tentang Hadis: "Para Imam (Haruslah) dari Suku Quraisy"

الأئمة من قريش

"Para Imam (haruslah) dari Quraisy." (HR Ahmad dari Anas)

Ketika menafsirkan hadis tersebut, lbn Khaldun menyatakan bahwa Nabi saw. mempertimbangkan keadaan kaum Quraisy di masa beliau. Yakni mereka inilah yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan kesukuan (ashabiyah) yang diperlukan sebagai sandaran kekuatan bagi kekhalifahan atau kekuasaan pemerintahan. 

Sclanjutnya ia berkata: "Maka apabila telah diketahui adanya persyaratan itu (bahwa seorang Imam harus dari Quraisy) semata-mata demi menghindari terjadinya pcrebutan kekuasaan, mengingat kekuatan dan kesetiakawanan kesukuan yang mereka miliki, dapatlah kita simpulkan bahwa keadaan seperti itulah yang diharapkan dari adanya persyaratan tersebut. Atas dasar itu, kita dapat menetapkan syarat bagi siapa saja yang akan menjadi pemimpin tertinggi kaum Muslim, agar ia berasal dari suatu kaum yang memiliki 'ashabiyah yang kuat, sehingga dapat menguasai orang-orang selain mereka, dan dengan demikian mampu menjamin terwujudnya kesatuan pendapat dan stabilnya pemerintahan ..." (dan seterusnya)."


c. Metodologi Para Sahabat dan Tabi'in dalam Mempertimbangkan Semua 'illah di Balik Nash-Nash serta Kondisi yang Melingkupinya

Cara ini, yang mempertimbangkan suasana ketika diucapkannya suatu hadis serta illah yang menyertainya, telah dipraktikkan sebelumnya oleh para Sahabat dan Tabi'in. Adakalanya mereka meninggalkan pengamalan apa yang sesuai dengan pengertian harfiah hadis-hadis tertentu, manakala mengetahui bahwa hadis-hadis itu diucapkan untuk menangani suatu keadaan tertentu di zaman Nabi saw., sedangkan keadaan itu kini telah berubah, scpeninggal beliau.

Di antaranya ialah bahwa Nabi saw. membagi-bagi tanah Khaibar untuk para pejuang, namun 'Umar tidak mau membagi-bagi tanah rampasan perang di daerah Irak. Ia berpendapat sebaiknya tanah-tanah itu tetap dibiarkan di tangan para pemiliknya semula, lalu menetapkan pajak tertentu (kharaj) atas mereka. Agar hal itu menjadi penghasilan tetap bagi generasi-generasi Muslim yang datang kemudian.

Mengenai itu, lbn Qudamah dalam Al Mughni menjelaskan: "Nabi saw membagi-bagi tanah Khaibar pada masa-masa awal terbentuknya masyarakat Islam dan mengingat adanya keperluan yang rnendesak. Maka cara itulah yang sesuai dengan maslahat umum. Sedangkan di masa-masa setelah itu, lebih diperlukan pewakafan tanah-tanah yang ditaklukkan, demi maslahat waktu itu. Maka itulah yang wajib dilakukan."


d. Sikap Utsman mengenai Unta-unta yang Terlepas dari Tangan Pemilik

Seperti itu pula, sikap Nabi saw. mengenai unta-unta yang terlepas (tersesat) dari tangan para pemiliknya. Beliau melarang orang menangkapnya, ketika ditanyakan kepadanya, seraya bersabda: "Apa urusanmu dengannya? Biarkanlah ia dengan kemampuannya untuk mencari air dan memakan dedaunan, sampai ia ditemukan kembali oleh pemiliknya." (Muttafaq Alaihi, dalam kitab Nailul Author)

Keadaan seperti itu terus berlangsung sepanjang zaman Nabi saw., kemudian zaman Abu Bakr dan Umar r.a. Di waktu itu, unta-unta yang tersesat dan berkeliaran tak menentu. dibiarkan menurut keadaannya, tak seorang pun berusaha menangkapnya, sampai saat ditemukan kembali oleh pemiliknya semula. Hal itu adalah demi mengikuti perintah Rasul saw., selama unta-unta itu mempunyai kemampuan untuk menjaga dirinya sendiri, mendatangi sumber-sumber air, meminum darinya dan menyimpannya di perutnya sebanyak yang diingininya, kemudian mengarungi perjalanan di padang pasir.

Setelah itu, datanglah masa Utsman, dan berlangsunglah apa yang dirawikan oleh Malik dalam Muwatha'nya; ketika ia mendengar lbn Syihab Az-Zuhriy berkata: "Di zaman 'Umar bin Khaththab, unta-unta yang tersesat dibiarkan berkeliaran dan beranak-pianak sendiri. tak seorang pun menyentuhnya. Sampai ketika tiba masa Utsman, ia memerintahkan agar unta-unta seperti itu ditangkap kemudian diumumkan di depan khalayak (untuk mengetahui siapa pemiliknya) kemudian dijual. Dan apabila pemiliknya datang, diberikanlah kepadanya harga -nya."

Memang keadaan tersebut agak berubah setelah berkuasanya Utsman r.a. Dan Ali bin Abi Thalib pun menyetujui dibolehkannya menangkap unta-unta yang tersesat itu, demi kepentingan si pemiiik. Namun ia berpendapat bahwa menjual unta-unta itu mungkin saja menimbulkan kerugian bagi para pemiiik. Sebab harga yang kelak dikembalikan kepadanya, adakalanya tidak sesuai dengan nilai sebenar-nya. Oleh sebab itu, ia menyetujui penangkapan unta-unta seperti itu lalu memeliharanya atas biaya negara [bait al-m'al), sampai si pemiiik datang dan diserahkan kembali kepadanya. 

Jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Utsman dan Ali r.a. tidak merupakan pelanggaran dari mereka berdua terhadap nash yang berasal dari Nabi saw., tetapi semata-mata demi mempertimbangkan tujuannya. Di saat perilaku manusia telah berubah dan sikap memegang amanat telah luntur, dan tangan-tangan mereka, atau sebagian dari mereka, sudah tak segan lagi mengambil sesuatu yang haram, maka tindakan membiarkan unta-unta yang tersesat berkeliaran, sama saja dengan membiarkannya dicuri orang atas kerugian si pemilik. Sudah barang tentu, bukan itu yang dimaksud oleh Nabi saw. ketika melarang penangkapan unta-unta seperti itu. Maka wajiblah mencegah mudarat yang diperkirakan akan terjadi.


e. Berubahnya adat kebiasaan yang menjadi landasan beberapa nash

Adalah perlu juga mempertimbangkan sebagian dari nash-nash (yang terkandung dalam sunnah Nabi saw.) yang berlandaskan suatu kebiasaan (tradisi) temporer, yang berlaku pada zaman beliau kemudian mengalami perubahan di masa kita kini. Tak ada salahnya jika kita memandang kepada maksud yang dikandungnya, tanpa harus berpegang pada pengertian lahiriahnya. Sebagai misal tentang emas dan Perak sebagai Ukuran Nishab untuk Uang.

Di antara contoh-contoh yang menunjukkan bahwa suatu nash adakalanya berlandaskan suatu kebiasaan ('urf) yang kemudian berubah. adalah nash tentang penetapan dua nishab bagi uang (yakni batas minimum uang yang terkena zakat). Nishab pertama menggunakan ukuran perak, yakni dua ratus dirham (sekitar 595 gram). Sedangkan yang kedua menggunakan ukuran emas, yakni dua puluh mitsqal atau dinar (sekitar 85 gram). Pada waktu itu, kurs dinar sama dengan sepuluh dirham, atau, 20 dinar sama dengan 200 dirham.

Dalam buku Fiqh Az-Zakat, Yusuf Qardhawi telah menjelaskan bahwa Nabi saw. tidak bermaksud menetapkan dua nishab yang berbeda untuk zakat. Yang beliau maksudkan adalah satu nishab; siapa saja yang memiliki uang lebih dari itu, maka ia dianggap kaya dan diwajibkan mengeluarkan zakat. Beliau menggunakan ukuran dengan dua jenis alat pembayaran yang digunakan dalam perdagangan pada waktu itu. Maka nash tersebut berlandaskan kebiasaan yang berlaku saat itu. Dan beliau pun menetapkan nishab dengan dua ukuran yang nilainya persis sama. 

Sehingga jika keadaan di masa kita sekarang berubah, dan nilai perak telah turun sangat banyak bila dibandingkan dengan nilai emas, maka kita tidak lagi dibolehkan rnengukur nishab dengan dua jumlah yang sangat berbeda nilainya satu sama lain. Tentunya kita tidak boleh mengatakan: "Nishab uang sama dengan nilai 85 gram emas, atau boleh juga diukur dengan nilai 595 gram perak." 

Sebab nilai nishab yang diukur dengan emas sekarang, akan menjadi sepuluh kali lipat lebih banyak daripada apabila diukur dengan perak. Adalah tidak masuk akal apabila kita berkata kepada seorang yang memiliki beberapa dinar Yordania atau pound Mesir, misalnya: "Anda dianggap kaya apabila nishab uang Anda kita ukur dengan perak," sementara kita berkata kepada seorang lainnya yang memiliki jauh lebih banyak uang, "Anda seorang miskin apabila kita ukur nishab Anda dengan emas."

Jalan keluarnya adalah dengan menentukan satu nishab saja, pada masa kita sekarang, untuk mengetahui jumlah minimum uang atau harta yang terkena zakat yang diwajibkan oleh syariat. Dan seperti itulah yang merupakan pendapat Al-Ustadz Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah dan kedua rekannya, Asy-Syaikh Abdul Wahhab Khallaf dan Asy-Syaikh Abdurrahman Hasan yaitu dengan menilai nishab dengan emas saja. Dan ini pula pendapat yang dipilih Yusuf Qardhawi.


f. As-Sunnah antara lafal  dan Ruhnya, atau antara Pengertian Lahiriah dan Maksudnya

Adakalanya seseorang, dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak menerapkan jiwa Sunnah itu sendiri atau pun maksudnya yang sebenarnya. Bahkan mungkin saja ia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meskipun secara lahiriah tampak berpegang padanya.

Ambil sebagai contoh, sikap tegar sebagian orang yang menolak dengan keras untuk mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang seharga makanan yang wajib dikeluarkan. Sedangkan hal seperti itu dibenarkan sesuai dengan mazhab Abu Hanifah dan kelompoknya, juga sejalan dengan pendapat Umar bin Abdul-Aziz serta sebagian fuqaha' dari kalangan salaf.

Alasan yang dikemukakan mereka yang bersikap keras itu adala bahwa Nabi saw. telah mewajibkannya dalam jenis-jenis makanan tertentu, yakni kurma, kismis, gandum dan sya'ier. Maka kewajiban kita adalah membatasi diri pada apa yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw., dan tidak mempertentangkan As-Sunnah dengan akal (atau penalaran).

Namun, seandainya saudara-saudara kita itu, mau merenungkan permasalahamiya sebagaimana mestinya, niscaya akan mendapati diri mereka — pada hakikatnya — telah mcnyimpang dari Sunnah beliau, walaupun tampaknya — secara lahiriah — mereka mengikutinya. Atau dengan kata lain, mereka hanya menaruh perhatian pada "tubuh" As-Sunnah sementara mengabaikan "ruh''-nya.


Pada hakikatnya, Rasulullah saw. mempertimbangkan suasana lingkungan dan kondisi masa itu, ketika mewajibkan pengeluaran zakat fitrah dari jenis makanan yang berada di tangan masyarakat. Sebab, hal itu lebih ringan bagi si pemberi, dan lebih berfaedah bagi si penerima.

Di masa itu, uang kontan adalah sesuatu yang tidak mudah diperoleh bangsa Arab, terutama orang-orang Badui yang hidup di sekitar padang pasir. Sedangkan pengeluaran makanan adalah lebih mudah bagi mereka, sementara orang-orang miskin memerlukannya. Karena itulah, beliau mewajibkan zakat fitrah dari apa yang mudah bagi mereka mengeluarkannya. Sampai-sampai beliau mengizinkan pengeluaran zakat dengan makanan bernama aqith (susu yang dikeringkan setelah dikeluarkan lemaknya). Yakni bagi mereka yang mempunyainya dan lebih ringan baginya, seperti para pemiiik unta, sapi atau domba, dari kalangan orang-orang Badui.

Akan tetapi, apabila kondisi masyarakat berubah, sehingga uang kontan lebih mudah tersedia daripada makanan; atau si miskin tidak memerlukannya untuk hari raya, bahkan lebih memerlukan barang-barang lainnya, untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya, maka pengeluaran uang kontan menjadi lebih mudah bagi si pemberi dan lebih bermanfaat bagi si penerima. Tindakan seperti ini, jelas merupakan pengamalan inti bimbingan Nabi saw. serta maksud beliau.

Di sebuah kota seperti Kairo, misalnya, terdapat lebih daripada sepuluh juta Muslim. Sekiranya diwajibkan atas mereka semuanya mengeluarkan sepuluh juta sho' (kira kira dua puluh lima ribu ton.) zakat fitrah dari gandum, kurma atau kismis, dari mana mereka akan memperolehnya? Betapa besarnya kesulitan yang akan mereka hadapi sekiranya mereka harus mencarinya di pelbagai desa untuk memperolehnya, semuanya ataupun sebagiannya? Padahal Allah SWT telah menjauhkan agama-Nya dari segala kesempitan, sementara Ia menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak menghendaki kesulitan bagi mereka.

Katakanlah mereka dapat memperolehnya dengan mudah; apa kiranya faedah yang didapat oleh si miskin, sedangkan ia kini tidak lagi terbiasa menumbuk, mengadoni dan membakar roti, tetapi cukup membelinya dari toko roti dalam keadaan siap untuk dimakan?

Sungguh kita hanya menambah bebannya ketika memberinya gandum dalam bentuk biji-bijian, untuk kemudian ia menjualnya lagi. Dan siapa yang akan membelinya, sedangkan semua orang sekitarnya, sudah tidak lagi memerlukan biji gandum?

Beberapa kawan, dari sebagian negeri yang ulamanya melarang pengeluaran zakat fitrah dalam bentuk uang — sebagai pengganti makanan yang diwajibkan — berkata, "Seringkali seorang yang hendak mengeluarkan zakatnya, membeli satu slid' kurma atau beras, misalnya, dengan harga sepuluh rial. Lalu ia memberikannya kepada si miskin yang langsung menjualnya kembali kepada si pedagang dengan harga satu atau dua rial lebih murah daripada harga pembelian-nya!"

Dan begitulah kurma atau beras tersebut beberapa kali berpindah tangan, dijual, kemudian dibeli lagi, secara berulang-ulang. Sedangkan, dalam kenyataannya, si miskin tidak menerima makanan, tetapi yang diterimanya adalah uang kontan. Uang tersebut jumlahnya lebih sedikit daripada seandainya si pembayar zakat membayarkan harga fitrahnya kepada si miskin tersebut secara langsung. Jadi si miskinlah yang dirugikan sebanyak selisih antara harga-pembelian si pembayar zakat dan harga penjualan si miskin itu. Adakah syariat datang demi maslahat kaum fakir-miskin ataukah berlawanan dengannya? Dan apakah syariat itu sedemikian formalistisnya?

Yang perlu dipertanyakan lagi adalah, apakah sikap mempersulit atas manusia, seperti ini, benar-benar dapat dianggap sebagai sikap mengikuti Sunnah Nabi saw., ataukah justru bertentangan dengan ruh As-Sunnah yang semboyannya selalu: "Permudahlah, dan jangan mempersulit."?

Selain itu, mereka yang tidak membolehkan pengeluaran zakat fitrah dalam bentuk uang kontan sebagai pengganti makanan yang diwajibkan, nyatanya membolehkan pengeluaran berbagai jenis makanan yang tidak di-nash-kan dalam hadis, sepanjang ia merupakan makanan pokok dari kebanyakan penduduk kota.

Tentunya ini juga termasuk penakwilan terhadap As-Sunnah, atau pengqiyasan dengan suatu nash, yang dalam hal ini, mereka menirunya dari imam-imam mereka tanpa merasa keberatan sedikit pun. Dan memang hal itu — menurut hemat kami — merupakan qiyas yang benar, atau penakwilan yang dapat diterima.

Lalu mengapa pendapat tentang dibolehkannya mengeluarkan uang seharga makanan untuk zakat fitrah, di tentang dengan keras? Padahal maksudnya adalah demi "memberikan kecukupan" kepada para fakir-miskin, agar di hari raya ini, mereka tidak perlu meminta-minta dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Dan bukankah lebih besar kemungkinannya bahwa dengan cara mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang seharga makanan yang diwajibkan, maksud tersebut lebih mudah tercapai, daripada jika diberikan dalam bentuk makanan itu sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.