Memperhatikan Washilah yang Tetap dan yang Berubah

 


Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh As Sunnah dengan pra-sarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. 

Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olalah hal itu memang merupakan tujuan yang sebcnarnya. Padahal, siapa saja yang benar-benar berusaha untuk memahami As-Sunnah serta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana, adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat-kebiasaan, dan sebagainya.


a. Contohnya adalah bahasan tentang at-thibb an-nabawi

At-Thibb An-Nabawi atau cara pengobatan yang dinisbahkan kepada Nabi saw, memang ada beberapa hadis yang dikenal tentang hal ini, seperti:

"Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan ialah berbekam." (HR AHmad dari Samurah)

"Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan ialah berbekam dan menggunakan al-qust al-bahri (sejenis kayu-kayuan yang berasal dari laut, digunakan untuk pengobatan)." (HR Ahmad dari Anas)

"Pentingkanlah al-'ud al-hindiy ini (sejenis kayu dari India) sebab ta mengandung tujuh macam kesembuhan" (HR Bukhari dari Ummu Qais)

"Pentingkanlah al habbah as-sauda' (jintan hitarn) sebab ia adalah obat bagi semua penyakit, selain maut." (Ibn Majah dari lbn Umar; Tirmidzi serta Ibn Hibban dari Abu Hurairah, dan Ahmad dari Aisyah. )

"Jintan hitam menyimpan kesembuhan dari semua penyakit, selain maut." (HR Bukhari dan Muslim)

"Bercelaklah dengan itsmid, sebab ia menjemihkan penglihatan mata dan menumbuhkan bulu." (Tirmidzi dari Ibn Abbas dengan keterangan: Hadis hasan)

Pada hematnya resep-resep seperti ini bukanlah "jiwa" dari at-thibb annabawi. Jiwanya adalah memelihara kesehatan manusia, hidupnya, keselamatan badannya, kekuatannya, serta haknya untuk beristirahat apabila merasa lelah, makan apabila merasa lapar, dan ber-obat apabila ia sakit. 


Dan bahwa upaya berobat tidak bertentangan dengan keimanan kepada takdir ataupun bertawakal kepada Allah. Dan bahwa,

1) setiap penyakit ada obatnya. 

2) mengakui sunnah (hukum) Allah tentang penularan penyakit, serta diperlukannya karantina kesehatan demi mencegahnya; 

3) memperhatikan kebersihan manusia, rumah dan jalan; 

4) mencegah pencemaran air dan tanah; 

5) mengutamakan upaya pencegahan sebelum diperlukannya pengobatan; 

6) mengharamkan makan atau minum sesuatu yang dapat membahayakan jiwa manusia, baik yang memabukkan atau yang membius, atau makanan yang mengganggu dan minuman yang tercemar; 

7) melarang segala macam pekerjaan yang memeras tenaga secara berlebihan, walaupun yang berupa ibadah kepada Allah SWT; 

8) mensyariatkan keringanan-keringanan tertentu demi menjaga kesehatan tubuh; memelihara kesehatan mental di samping kesehatan fisik; 

9) dan masih banyak lagi bimbingan-bimbingan seperti itu, yang merupakan inti dari at-thibb an-nabawi yang sesuai untuk setiap waktu dan tempat.

Setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya: bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita di sampingnya.

Bahkan, sekiranya Al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa ter-tentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja, dan tidak mcmikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.


b. Contoh lainnya diantaranya persiapan perang

Di dalam Al-Quran Al-Karim disebutkan,  "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (yakni orang-orang kafir yang berkhianat) itu, kekuatan apa saja yang kamu sanggup menyiapkannya, serta kuda¬kuda yang ditambat untuk bet perang, yang dengan semua itu kamu menggentarkan musuh Allah dan nmsuhmu, juga orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya". (Al-Anfal: 60)

Persoalan "mempersiapkan diri di hadapan musuh musuh" pasti tidak hanya terbatas pada penyiapan kuda-kuda saja, seperti disebutkan dalam ayat tersebut. .Setiap orang berakal dan mengerti bahasa serta syariat pasti memahami bahwa "kuda-kuda perang" zaman ini mencakup tank-tank, mobil-mobil lapis baja serta senjata-senjata modern lainnya. Sehingga jelas istilah kuda tidak mengacu secara harfiah kepada hewan kuda tetapi untuk masa sekarang juga mencakup segala jens persenjataan modern yang bisa diupayakan untuk "mempersiapkan diri di hadapan musuh musuh" .


c. Contoh lainnya adalah tentang Ru'yat Al-Hilal dalam menentukan Permulaan Bulan. 

Dalam bab ini ada perintah yang tersurat dalam hadis sahih yang terkenal:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Dan jika kalian telah melihat Hilal, maka berpuasalah, dan bila kalian melihatnya (terbit) kembali, maka berbukalah. Namun, jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah (bilangan harinya)." 

Dalam riwayat lain:

فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah kalian setelah melihat (hilal) -nya, dan berbukalah pada saat kaliat melihatnya (terbit kembali). Dan jika bulan tertutup dari pandanganmu, maka hitunglah menjadi tiga puluh hari."

Di sini, seorang ahli fiqih dapat menyimpulkan bahwa hadis yang mulia tersebut menyiratkan suatu sasaran, dengan menyatakan prasarananya untuk mencapai hal itu.

Sasaran hadis itu jelas; yaitu agar kaum Muslim berpuasa Ramadhan selama sebulan penuh. tidak mengabaikan satu hari pun darinya, tetapi juga tidak berpuasa pada suatu hari di bulan lainnya, seperti Sya'ban dan Syawal. Hal itu dapat terlaksana dengan memastikan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dengan menggunakan cara yang dapat dilakukan oleh kebanyakan orang, yang tidak menyusahkan dan tidak menimbulkan kesulitan dalam agama mereka.

Di masa-masa lalu, penglihatan dengan mata telanjang adalah satu-satunya cara, yang mudah dilakukan oleh masyarakat secara umum. Karena itu, hadis pun menetapkan cara tersebut. Sebab, seandainya mereka diharuskan menggunakan cara lainnya, seperti perhitungan astronomis sedangkan mayoritas umat waktu itu tidak menguasai baca-tulis -- niscaya akan amat menyulitkan bagi mereka. 

Sedangkan Allah SWT menghendaki kemudahan bagi umat-Nya, bukannya kesulitan. Dan Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda: 

لَا تَسْأَلُنِي امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ إِلَّا أَخْبَرْتُهَا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

“Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengutusku untuk memaksa orang atau menjerumuskannya, akan tetapi Dia mengutusku sebagai seorang pengajar dan orang memudahkan urusan". (HR Muslim)


Maka jika terdapat cara lain yang lebih efcktif untuk mencapai sasaran yang dituju oleh hadis di atas. lebih jauh dari kemungkinan tersalah atau terperdaya dalam soal dimulainya bulan baru; sementara cara itu mudah digunakan, tidak menimbulkan kesulitan umat dan tidak berada di luar jangkauannya. 

Terutama dengan makin banyaknya para ilmuwan muslim, yang memiliki keahlian dan spesialisasi di bidang astronomi, geografi dan fisika, sesuai dengan standar internasional. Mengapa kita masih saja membekukan diri sekitar apa yang hanya merupakan cara atau prasarana tertentu. sementara kita melupakan tujuan hakiki yang di maksudkan oleh hadis tersebut?!

Hadis itu mengukuhkan masuknya bulan baru, cukup dengan pemberitahuan dari satu atau dua orang saja, yang mengaku telah melihat bulan dengan mata telanjang. Sebab, itu adalah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan, dan yang scjalan dengan tingkat pengetahuan umat, di masa itu. Namun, bagaimana dapat dibayangkan bahwa kita kini, menolak suatu cara yang amat jauh dari kemungkinan salah, ragu atau dusta. 

Suatu cara yang mampu menghasilkan pengetahuan yang mencapai derajat keyakinan dan kepastian, dan yang dengannya umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu, serta menghapus perselisihan permanen dan ketidakseragaman dalam menentukan hari-hari berpuasa, berbuka dan berhari-raya. 

Sampai-sampai perselisihan seperti itu, dapat menimbulkan perbedaan waktu sebanyak tiga hari, antara satu negeri dengan negeri lainnya!  Dan tentunya perbedaan seperti itu, tidak masuk akal dan tidak dapat diterima, baik dengan logika ilmu maupun logika agama. Sementara yang dapat dipastikan adalah bahwa hanya salah satu dari ketentuan itu yang benar, sedangkan yang selebihnya, tidak disangsikan lagi, adalah salah.

Berpegang pada hasil hisab yang qath'iy di masa kini, untuk menetapkan masuknya bulan-bulan baru, adalah suatu kebijaksanaan yang wajib diterima sebagai suatu qiyas al-aula (menganalogikan dengan sesuatu yang lebih utama). Dalam arti bahwa As-Sunnah yang telah membolehkan kita berpegang pada suatu cara lebih rendah, yang masih mengandung pelbagai kemungkinan dan keraguan (yakni dengan ru'yat), pasti tidak akan menolak penggunaan cara yang lebih canggih, lebih sempurna dan lebih dekat kepada tercapainya tujuan yang dimaksud. 

Dalam kaitannya dengan masalah ini, Al-'Allamah Al-Muhaddits Asy-Syaikh Ahmad Syakir (rahimahullah) telah mengkajinya melalui sisi lainnya. Ia berpendapat bahwa penetapan masuknya bulan qamariah memang boleh dilakukan dengan perhitungan ilmu falak. Hal itu mengingat bahwa hukum tentang penetapan masuknya bulan dengan ru'yat, dikaitkan dengan suatu sebab ('illah) yang di-nash-kan oleh As-Sunnah itu sendiri. Padahal "sebab" tersebut di masa sekarang, telah tidak ada lagi. Karena itu, "musabbab" (ma'lul)-nya pun harus dianggap tidak ada. Sebab, seperti telah ditetapkan, setiap hukum herjalan bersama 'illah-nya; dalam keberadaannya ataupun ketiadaannya.

Para ulama kita di masa-masa lalu (rahimahumullah) telah menafsirkan makna hadis itu dengan benar, namun mereka ter-salah dalam menakwilkannya. 

Di antara pembahasan mereka yang terlengkap mengenai ini, adalah ucapan Al-hafizh Ibn Hajar  (dalam kitab Fat-h Al-Bari) sebagai berikut:"Yang dimaksud dengan hisab (perhitungan) dalam hadis ini, adalah hisab bintang-bintang serta peredarannya. Mereka (yakni kaum Muslim di masa Nabi saw. — penerj.) tidak mengetahui tentangnya kecuali sedikit sekali. Karena itu, beliau mengaitkan persoalan puasa dan sebagainya dengan ru'yat (melihat dengan mata) supaya tidak menyulitkan mereka dengan keharusan meng-hitung peredaran bintang-bintang. Kemudian, hukum tentang ru'yat untuk puasa tersebut, terus berlanjut, meskipun sudah ada orang-orang yang menguasai ilmu tentang hisab. Memang, menurut pengertian harfiahnya, hadis tersebut telah menafikan sama sekali, pengaitan hukum (tentang pcrmulaan puasa) itu dengan hisab. Hal itu dapat disimpulkan dari ucapan beliau dalam hadis yang lalu, 'apabila pandangan kalian terhalang oleh awan, maka perkirakan-lah.' Dan beliau tidak mengatakan, . . maka tanyakanlah kepada para ahli hisab.' Hikmahnya adalah bahwa menghitung jumlah hari, pada saat terhalangnya pandangan mata, dapat dilakukan oleh semua orang. Sehingga tidak akan terjadi perselisihan di antara mereka. Akan tetapi, ada juga kelompok-kelompok yang berpendapat bahwa hal itu dikembalikan kepada para ahli per-bintangan. Mereka itu adalah kelompok Rawafidh."

Dan telah dinukilkan pula, adanya sebagian fuqaha' yang sependapat dengan mereka itu. Tentang ini, Ai-Bajiy berkata: 'Ijma' para salaf shalih merupakan hujjah yang tidak membenarkan pendapat mereka ini.' Dan berkata Ibn Buzaizah: 'Itu adalah mazhab yang bathil. Syariat telah melarang (kita) melibatkan diri dengan ilmu bintang bintang ['ilm an-nujum), sebab ia berdasarkan perkiraan dan persangkaan semata-mata; tidak mengandung kepastian ataupun perkiraan yang kuat. Dan seandainya masalah (penentuan puasa dan hari raya) ini harus dikaitkan dengannya, niscaya akan menimbulkan kesempit-an, mengingat hanya sedikit sekali yang mengerti tentangnya'."

Penafsiran tersebut benar, yaitu bahwa yang menjadi penentu adalah ru'yat, dan bukannya hisab. Tetapi penakwilannya keliru; dengan menyatakan bahwa hukum ru'yat itu tetap berlaku. sebagai satu-satunya penentu, walaupun kemudian ada cukup orang yang menguasai hisab. Sebab, perintah Nabi saw. untuk melakukan ru'yat adalah berlandaskan suatu illah tertentu yang di-nash-kan dalam hadis beliau itu. Yaitu mengingat bahwa umat dalam keadaan ummiy, tidak pandai menulis atau mcnghitung. Sedangkan illah (sebab) selalu berjalan bersama ma'lul (musabab), dalam keberadaannya ataupun ketiadaannya. 

Jelasnya, jika umat telah keluar dari keadaannya sebagai umrniy, dan telah mampu menulis dan menghitung; atau dengan kata lain, telah ada di antara anggotanya, orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu ini, dan umat secara keseluruhan — dari kalangan khusus maupun awamnya — telah mampu mencapai keyakinan dan kepastian tentang hisab awal bulan, dan mereka dapat mempercayai hasil hisab sekuat kepercayaan mereka terhadap hasil ru'yat, atau lebih kuat dari itu; apabila telah seperti itu keadaan mereka dalam keseluruhannya, dan telah hilang illah ke-ummiy-an mereka, maka wajiblah mereka merujuk kepada keyakinan yang pasti dan mengandalkan hisab saja. 

Dan mereka tidak boleh kembali kepada cara ru'yat, kecuali pada saat-saat yang tidak memungkinkan mereka mengetahui awal bulan dengan menggunakan ilmu hisab tersebut. Seperti misalnya, apabila sekelompok orang sedang berada di tengah-tengah padang pasir atau di sebuah desa terpencil, tidak sampai kepada mereka berita-berita yang sahih dan meyakinkan dari para ahli hisab.

Pendapat ini sama sekali bukan sesuatu yang baru; yakni bahwa suatu ketentuan hukum dapat berubah sejalan dengan perubahan keadaan para mukallaf (orang-orang yang dibebani tugas keagamaan). Hal seperti ini, banyak terjadi, sebagaimana yang tentunya diketahui oleh para ahli ilmu dan selain mereka. 

Seorang Imam besar dari kalangan mazhab Syafi'i, Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij,  telah berusaha memadukan antara kedua riwayat tersebut, dengan menjadikannya berlaku pada dua keadaan yang masing-masing berbeda. Yakni, bahwa ucapan Nabi saw.: " perkirakanlah" yang berarti, "perkirakanlah (hitunglah) sesuai dengan manzilah-manzilah bulan," adalah tcrtuju kepada orang-orang tertentu yang dikarunia Allah pengetahuan tentang ilmu ini. Sedangkan ucapan beliau: "... maka genapkanlah . . . ," dan seterusnya; ditujukan kepada masyarakat awam secara keseluruhan." 

Tampaknya, pendapat Yusuf Qardhawi sendiri, hampir sama dengan pendapat Ibn Suraij di atas. Hanya saja, ia telah membolehkan penggunaan hisab, hanya dalam keadaan ketika pandangan terhalang oleh awan sehingga bulan tidak dapat dilihat dengan mata, dan bahwa hal itu hanya berlaku untuk sekelompok kecil saja dari masyarakat (yakni yang menguasai ilmu falak). Mungkin pendapatnya itu, berdasarkan keadaan di masa hidupnya, ketika yang mengetahui ilmu tersebut hanya sedikit saja, di samping kenyataan bahwa ucapan serta hasil hitungan mereka masih kurang dipercayai. Juga karena sering terlambatnya berita-berita itu sampai ke bagian-bagian negeri lainnya, sementara awal bulan telah dikukuhkan di bagian negeri lainnya.

Menurut Qardhawi, hasil dan hisab yang cermat dan benar-benar dapat dipercaya, haruslah diterima dan diamalkan oleh semua anggota masyarakat secara umum, mengingat makin mudahnya penyampaian dan penyebaran berita di masa sekarang. Sedangkan penetapan yang berdasarkan ru'yat hanya dapat diandalkan oleh sebagian kecil masyarakat saja. Yaitu mereka yang tidak sampai kepadanya berita-berita tentang penetapan tersebut, sementara tidak menguasai ilmu falak serta manzilah-manzilah matahari dan bulan, yang dapat dipercayai.

Masalah ini juga telah dibahas secara luas dan terinci, oleh salah seorang tokoh besar dari mazhab Syafi'i. yaitu Al-lmam Taqiyyuddin As-Subukiy (w. 756 H) yang oleh banyak orang dinyatakan sebagai telah mencapai tingkatan ijtihad.

Dalam Fatawa nya, As-Subukiy menyebutkan bahwa apabila hasil hisab telah menafikan kemungkinan ru'yat dengan mata kepala, maka wajiblah atas Qadhi untuk menolak kesaksian para saksi (yang mengklaim telah melihat hilal). Katanya lebih lanjut: "Sebab (hasil) hisab adalah qath'iy, sedangkan kesaksian dan pemberitaan adalah zhanniy. Dan sesuatu yang bersifat zhanniy tidak boleh menentang yang qath'iy, apalagi mendahuluinya."

la menyebutkan pula. bahwa di antara kewajiban seorang Qadhi adalah menilai setiap kesaksian dari para saksi yang datang kepadanya untuk perkara apa pun. Maka jika melihat bahwa kesaksian itu didustakan oleh akal atau kenyataan di depan penglihatan mata, ia harus menolaknya, tanpa ragu. 

Katanya: "Di antara persyaratan suatu bukti adalah bahwa ia adalah sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk dibenarkan oleh perasaan, akal dan agama. Karena itu, sekiranya hasil hisab telah menegaskan secara pasti, tentang tidak mungkinnya ru'yat, maka dengan sendirinya, hukum agama pun akan memustahilkannya juga. Sebab, agama tidak akan membenarkan ataupun membawa hal-hal yang mustahil."

Adapun kesaksian para saksi (dalam keadaan seperti itu) hendak¬nya dianggap sebagai waham (ilusi), kekeliruan ataupun kebohongan.

Asy-Syaikh Syakir menyebutkan dalam pembahasannya, bahwa Asy-Syaikh Mustafa Al-Maraghi — Syaikh Al-Azhar yang sangat terkenal di masa hidupnya ketika menjabat sebagai ketua Mahkamah Tinggi Syar'iyah, juga mempunyai pendapat seperti As-Subukiy. Yakni menolak kesaksian para saksi apabila hasil hisab menafikan kemungkinan ru'yat.

Kata Asy-Syaikh Syakir selanjutnya: "Pada waktu itu, saya dan beberapa rekan saya, termasuk di antara orang-orang yang mcnentang Al-Ustadz Al-Akbar (yakni Al-Maraghi) mengenai pendapatnya tersebut. Tetapi kini, saya ingin menyatakan dengan terus terang bahwa pendapatnya itu benar. Bahkan saya tambahkan, bahwa pengukuhan adanya hilal haruslah dilakukan berdasarkan hisab dalam keadaan apa pun; kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak dapat mendengar berita tentang hasilnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.