Memperhatikan makna lafdzi dan makna majazi dalam memahami hadits
Ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor) banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah (retorika) dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan dari-pada ungkapan dalam bentuk yang biasa. Sedangkan Rasul yang mulia (saw.) adalah seorang berbahasa Arab yang paling menguasai balaghah.
Ucapan-ucapannya adalah bagian dari wahyu. Maka tak mengherankan apabila - dalam hadis-hadisnya - beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan. Yang dimaksud dengan majaz di sini, adalah yang meliputi majaz lughawy, 'aqliy, isti'arah, kinayah, dan berbagai macam ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Dalam bukunya yang penting, Adz-Dzari'ah ila Makarim Asy-Syariah, Ar-Raghib Al-Isfahani menulis: "Apabila suatu ucapan terdiri atas permisalan, dan dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya, dan bukannya untuk pemberitaan, maka yang demikian itu tidak boleh dianggap sebagai kebohongan. Itulah sebabnya, orang-orang yang berhati-hati sekalipun, tidak berkeberatan untuk membawakannya."
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau: "Yang paling cepat menyusulku di antara kalian — sepeninggalku — adalah yang paling panjang tangannya," mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan paling panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang kayu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang. Padahal Rasulullah saw. tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan "tangan yang paling panjang" ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
Dan itulah yang benar-benar terbukti kemudian. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat meninggal dunia — scpeninggal beliau — adalah Zainab binti Jahsy r.a. Ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya lalu menyedekahkan hasilnya. Hadis tersebut dirawikan oleh Muslim dalam Bab "Fadha-il As-Shaudah" (2453).
Al-Bukhari telah keliru menafsirkan kalimat dalam hadis tersebut: "yang paling panjang tangannya dan paling cepat menyusul aku .. .", dengan mengatakan bahwa istri Nabi saw. yang dimaksud adalah Saudah! Kekeliruan tersebut berasal dari sebagian perawi sebagaimana yang telah dikecam oleh Ibn Al-Jauziy. Lihat, Siyar Alam An-Nubala', karya Adz-Dzahabiy, juz 2, him. 213 {Ar-Risalah, Beirut).
Kekeliruan seperti itu, adakalanya terjadi pula pada pemahaman ayat Al-Quran. Sebagaimana yang dialami oleh 'Adiy bin Hatim, ketika mencoba memahami firman Allah SWT tentang puasa: ". . . dan makan-minumlah sampai tampak jelas bagimu 'benang putih dari benang hitam', kemudian sempumakanlah puasa itu sampai malam ..." (Al-Baqarah: 187).
Dirawikan oleh Bukhari dari 'Adiy bin Hatim, katanya: "Ketika turun ayat ini, . . dan makanminumlah sampai tampak jelas bagimu 'benang putih dari benang hitam' . . maka aku mengambil dua tali igal, lalu kuletakkan di bawah bantalku. Sebentar-sebentar aku memandanginya, sehingga ketika telah jelas bagiku yang putih dari yang hitam, aku pun menghentikan makan-minum dan mulai berpuasa. Pagi itu, aku mendatangi Rasulullah saw. dan memberitahunya tentang apa yang telah kulakukan. Maka beliau berkata: 'Sungguh amat besar bantalmu itu! Sesungguhnya, yang dimaksud dengan itu adalah putih-nya siang hari dari hitamnya malam".
Arti ungkapan Nabi saw., "Sungguh amat besar bantalmu!" adalah karena ia begitu besarnya sehingga mampu mencakup kedua 'benang' hitam dan putih, yang dimaksudkan oleh ayat tersebut untuk menunjuk kepada putihnya siangdan hitamnya malam. Sehingga bantal itu seharusnya sama luasnya seperti luas antara Barat dan Timur!', sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Seperti itu pula, Firman Allah SWT dalam hadis qudsi yang terkenal:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ قَالَ إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِي مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Dari Anas radliyallahu'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau riwayatkan dari Rabbnya (hadis qudsi), Allah berfirman: "Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagian kaum Mu'tazilah mengecam para ahli hadis karena telah meriwayatkan nash seperti ini, dan menisbahkannya kepada Allah SWT. Padahal ia menyerupakan Allah dengan makhluk Nya dalam hal kedekatan fisik serta dalam berjalan dan berlari. Dan tentunya semua ini tidak layak bagi kescmpurnaan llahiah.
Tentang hal tersebut, lbn Qutaibah dalam bukunya Ta'wil Mukhtalaf Al-Hadits, telah menyanggah kecaman mereka itu, dengan menyatakan bahwa hal itu hanyalah merupakan tamsilan belaka. Sedangkan yang dimaksud adalah: "Barangsiapa bergegas datang kepada-Ku dengan amal ketaatan, maka Aku akan bergegas pula dalam memberinya pahala, lebih cepat daripada kedatangannya." Untuk itu, hadis tersebut menggunakan kata-kata kiasan, yakni "berjalan dan berlari."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.