Tentang ungkapan yang menggunakan majaz ini, dapatlah dijumpai dalam hadis-hadis yang bersifat informatif maupun yang merupakan sumber hukum. Maka menjadi kewajiban para ahli fiqih untuk memperhatikan serta menunjukkan hal itu. Dan itulah sebabnya mengapa di antara persyaratan bagi seorang mujtahid ialah bahwa ia harus seorang yang sangat menguasai bahasa Arab.
Sedemikian sehingga mampu memahami berbagai pengertiannya yang beraneka ragam, sama seperti yang dapat dipahami oleh seorang bangsa Arab yang murni, yang hidup di masa Nabi saw. serta para Sahabat. Walaupun yang ini mampu memahaminya dengan saliqah (rasa kebahasaan asli)-nya sementara yang itu dengan mempelajari kaidah-kaidah tata-bahasanya secara saksama. -
Mengabaikan pembedaan antara ungkapan yang sebenarnya dan yang majaz, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam banyak kesalahan. Sebagaimana sering lata saksikan pada sebagian orang masa kini, yang dengan mudah mengeluarkan berbagai fatwa.
Mereka mengharamkan dan mewajibkan, membid'ah-kan dan memfasikkan, bahkan ada kalanya mengkafirkan orang lain, dengan berdalilkan "nash-nash" yang seandainya dapat diterima kesahihan sumbernya, namun masih belum dapat dipastikan dalalah-nya. (petunjuk yang disimpulkan darinya) secara tepat dan tidak menimbulkan keraguan.
Ambillah sebagai contoh, hadis yang oleh sebagian orang masa kini, dijadikan dalil untuk mengharamkan pria berjabatan tangan dengan wanita, secara mutlak. Yaitu hadis yang dirawikan oleh Thabrani:
لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR ath-Thabrâni dalam al-Mujamul Kabir no.486, 487 dan ar-Ruyani dalam Musnadnya II/227)
Hadis tersebut telah dinilai sebagai hadis hasan oleh Al-Albani, dalam takhrij-nya. Juga oleh Yusuf Qardhawi dalam Halam wal Haram fil Islam. Sekalipun demikian menurut Qardhawi, sesungguhnya tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka, maka yang tampaknya lebih tepat adalah bahwa hadis itu tidak dapat dianggap sebagai nash mengenai haramnya jabatan tangan.
Sebab, hadis itu menggunakan ungkapan 'menyentuh', yang dalam bahasa Al-Quran dan As-Sunnah tidak berarti sembarang persentuhan antara kulit dan kulit. Akan tetapi artinya di sini, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Abbas r.a. (yang digelari sebagai Turjuman Al-Quran) adalah bahwa al-mass (menyentuh) dan al-mulamasah dalam Al-Quran sering digunakan sebagai kinayah (ungkapan tersamar) yang menunjuk kepada jima' (hubungan seksual).
Sebab, Allah SWT adalah Al-Hayiyy Al-Karim (Yang Maha Pemalu [untuk menyebutkan sesuatu yang kurang sopan] dan Mahamulia); dan karena itu Dia menggunakan kinayah dengan kata-kata yang dikehendaki oleh-Nya, untuk menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh-Nya.
Itulah satu-satunya pemahaman yang dapat diterima, berkaitan dengan firman Allah SWT seperti: "Wahai orang-orang beriman. apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu 'menyentuh' mereka, maka sekali kali tidak wajib atas mereka iddah ..." (Al-Ahazab: 49).
Para mufassir dan ahli fiqih semuanya — termasuk dari kalangan Zhahiri sekali pun — menyatakan bahwa kata 'menyentuh" dalam ayat ini berarti 'melakukan hubungan seksual. Dan adakalanya mereka memasukkan dalam pengertian ini pula "keberadaan suami istri dalam suatu tempat yang tertutup dari siapa pun selain mereka, selama waktu tertentu". Sebab hal seperti itu memungkinkan keduanya melakukan hubungan yang dimaksud.
Seperti itu pula, kata 'menyentuh' yang terdapat dalam beberapa ayat dalam Surah Al-Baqarah yang menyangkut soal perceraian. Demikian pula firman Allah SWT yang menirukan ucapan Mary am a.s. dalam Surah Ali Mmran ayat 47, menguatkan makna seperti itu, dan cukup banyak dalil-dalil seperti itu, dari Al-Quran dan hadis.
Oleh sebab itu, hadis yang disebutkan di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan jabatan tangan biasa antara pria dan wanita, yang tidak disertai dengan syahwat, dan tidak dikhawatirkan menimbulkan akibat yang tidak diingini.
Terutama ketika hal itu memang diperlukan, seperti saat-saat kedatangan dari tempat yang jauh, atau setelah sembuh dari sakit, atau terhindar dari malapetaka, dan lain-lain keadaan yang biasa dialami oleh masyarakat, sehingga mereka saling memberi ucapan selamat.
Di antara dalil yang menguatkan hal itu, adalah apa yang riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."
Adapun Al-Bukhari merawikannya dengan susunan kalimat hampir sama seperti itu pula.
Hadis tersebut menunjukkan betapa besarnya tawadhu' beliau serta keramahan dan kelembutan sikap beliau, walaupun terhadap seorang sahaya. Ia menggandeng tangan beliau, melewati jalan-jalan kota Madinah, agar beliau menolongnya memenuhi keperluannya.
Sementara itu beliau disebabkan sikap tawadhu' dan keramahtamah-annya tidak hendak mengecewakan si sahaya ataupun menyinggung perasaannya dengan menarik tangan beliau dari tangannya. Sebaliknya, beliau membiarkannya menggandeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendaki guna dapat membantunya sehingga ia menyelesaikan keperluannya.
Dalam kitab yang mensyarahkan hadis Bukhari ini, Al-Hafizh menulis: "Yang dimaksud dengan "menggandeng tangan beliau' dalam hadis tersebut, ialah apa yang menjadi kelaziman perbuatan seperti itu, yakni kelembutan dan kepatuhan. Hadis itu mencakup empat macam tawadhu' yang luar biasa, yaitu karena menyebutkan pelakunya (yakni yang menggandeng tangan beliau) seorang perempuan, bukannya seorang laki-laki; bahkan seorang sahaya perempuan, bukannya seorang perempuan merdeka; juga menyebutnya sebagai 'seorang sahaya perempuan', sebarang sahaya; kemudian menyebutkan 'ke mana saja dikehendaki oleh si sahaya', yakni sebarang tempat di mana saja. Di samping itu, penggunaan ungkapan 'menggandeng tangan' itu sendiri menunjukkan betapa si sahaya bebas membawa beliau ke mana saja, sehingga seandainya keperluannya berada di luar batas kota Madinah sekali pun, lalu ia meminta bantuan beliau, niscaya beliau akan memenuhinya juga. "Itu semua menunjukkan betapa besar tawadhu beliau serta betapa jauhnya beliau dari sikap sombong yang bagaimanapun juga."
Memang, apa yang disebutkan oleh Al-Hafizh rahimahullah pada umumnya dapat diterima. Namun, caranya mengalihkan arti 'menggandeng tangan' dari arti harfiahnya kepada arti kelazimannya, yakni kelembutan dan kepatuhan, rasa-rasanya kurang dapat diterima. Sebab, baik arti harfiahnya maupun kelazimannya, kedua-duanya memang tercakup dalam ungkapan tersebut.
Sedangkan menurut asalnya, setiap ucapan haruslah dipahami sesuai dengan susunan lahiriahnya, kecuali apabila terdapat dalil atau petunjuk tertentu yang mengharuskan mengalihan artinya, dari apa yang tersurat kepada yang tersirat. Adapun dalam hal ini, tidak ada petunjuk yang mengharuskan pengalihan seperti itu.
Bahkan menurut versi Imam Ahmad, susunan kalimatnya adalah, ". . . maka beliau tidak akan melepaskan tangannya dari tangan si sahaya, sedemikian sehingga ia dapat membawa beliau pergi ke mana saja yang ia kehendaki ..." Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hal itu memang benar-benar terjadi sesuai dengan susunan harfiahnya. Maka mengalihkan artinya (sebagaimana dilakukan oleh Al-Hafizh) adalah — tak lain — tindakan yang mengada-ada.
Namun, menutup sama sekali pintu majaz dalam memahami hadis-hadis, dan berhenti pada artinya yang asli dan harfiah, pasti akan menghalangi banyak dari kalangan terpelajar di masa kini daripada memahami As-Sunnah, bahkan memahami Islam itu sendiri. Dan pada gilirannya, akan membuka pintu keraguan di hadapan mereka mengenai kebenarannya, akibat memahami setiap ucapan secara harfiah.
Sementara jika mau menerima pemahaman secara majaz, rasa keingin-tahuan mereka akan dapat terpuasi dengan cara yang sejalan dengan tingkat pendidikan mereka, tanpa harus menyimpang dari logika bahasa ataupun kaidah-kaidah agama.
Di samping itu, banyak dari musuh-musuh Islam seringkali menjadikan pemahaman harfiah atas teks-teks keagamaan sebagai sandaran untuk melecehkan pelbagai ide dan konsep Islam, dengan menuduhnya sebagai bertentangan dengan hasil ilmu pengetahuan modern serta pemikiran kontemporer.
Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis.
Adalah penting sekali, untuk dapat memahami As-Sunnah dengan sebaik-baiknya, memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat As-Sunnah. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Ini diketahui terutama oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa-bahasa serta pengaruh waktu dan tempat atasnya.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakuntukan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam As-Sunnah (atau juga dalam Al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja). Di sini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.
Imam Al-Ghazali telah mengingatkan tentang telah berubahnya beberapa nama ilmu serta makna-makna tertentu, sejak digunakan pada masa-masa para salaf. Karena itu, ia mempcringatkan tentang bahaya pernbahan ini, yang dapat menyesatkan pemahaman orang-orang yang kurang teliti dalam membahas dan mendefinisikan konsep-konsep tertentu. Untuk itu, ia menulis sebuah bab yang amat penting dalam Ihya' 'Ulum Ad-Din (yakni dalam "Kitab Al-ilm"), sebagai berikut:
"Ketahuilah, bahwa asal-mula terkacaunya ilmu-ilmu yang tercela dengan ilmu-ilmu syariat, adaiah penyimpangan dan penggantian nama-nama yang baik, kemudian pengalihannya berdasarkan tujuan-tujuan yang buruk, kepada makna-makna yang tidak dimaksudkan oleh para salaf yang baik-baik serta para tokoh abad pertama. Semuanya ada lima kata yaitu: fiqh, ilm, tauhid, tadzkir (penyuluhan), dan hikmah. Kelima-limanya adalah nama-nama terpuji; sedangkan para penyandang-nya adalah orang-orang yang memegang jabatan-jabatan dalam agama. Akan tetapi, kelima kata itu kini telah dialihkan kepada makna-makna tercela, sehingga memhuat banyak orang menjauhkan diri dari mereka yang menyandang sifat-sifat seperti itu atau dikenal secara luas sebagai tokoh-tokohnya." Kemudian, Al-Ghazali menguraikan hal tersebut dalam bukunya itu.
Dan jika kelima kata itu saja, di bidang ilmu, yang diamati perubahan konotasinya oleh Al-Ghazali, maka pada kenyatannya masih banyak lagi kata di pelbagai bidang lainnya, telah mengalami hal yang sama, sedemikian banyaknya sehingga amat sulit mencakupnya dalam bilangan.
Perubahan ini, makin lama makin meluas dengan pergantian tempat dan waktu serta pcrkembangan yang dialami oleh manusia. Sedemikian sehingga kesenjangan makin melebar antara konotasi aslinya yang digunakan dalam syariat, dan yang dikenal kemudian dalam istilah-istilah baru yang mutakhir. Dari sinilah timbul kekeliruan dan kesalahpahaman yang sebetulnya tidak disengaja, di samping adanya penyimpangan dan distorsi yang memang disengaja.
Itulah yang diperingatkan oleh para pakar dan peneliti dari kalangan ulama besar; yakni digunakannya istilah-istilah syariat secara rancu sehingga lama kelamaan, penerapannya menjadi lebih dominan untuk konsep-konsep baru yang diciptakan kemudian.
Ambiliah sebagai contoh, kata tashwir (pembuatan gambar atau pern ben tukan rupa) yang disebutkan dalam beberapa hadis sahih yang disepakati. Apa kira-kira yang dimaksud dengannya dalam hadis hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan azab yang amat pedih?
Tidak sedikit dari kalangan orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan hadis dan fiqih, memasukkan dalam ancaman ini, para ahli foto (yang dalam bahasa Arab sekarang disebut mushawwir yang menggunakan kamera mereka untuk mengambil gambar-gambar tertentu).
Apakah penamaan mereka yang menggunakan kamera ini dengan sebutan mushawwir dan pekerjaan mereka tashwir, sudah ada sejak dahulu kala dalam bahasa Arab? Tentunya tak seorang pun akan menyatakan bahwa ketika bangsa Arab mulai mengenai kata ini, telah terlintas dalam benak mereka mengenai hal tersebut. Jelas bahwa penamaan seperti ini hanyalah berdasarkan kebiasaan setempat semata-mata.
Dan tidak ada seorang pun akan berkata bahwa ini adalah penamaan berdasarkan syariat. Sebab, seni fotografi ini sama sekali belum dikenal pada masa tasyri’. Maka tak mungkin kata tersebut (dalam hadis) dimaksudkan untuk ditujukan kepada si ahli foto, sedangkan ia belum ada pada waktu itu.
Jelas bahwa itu adalah istilah baru berdasarkan suatu kebiasaan yang baru pula. Kita sendiri atau orang-orang tua kita yang pertama kali menyaksikan munculnya hasil teknologi itulah yang telah memberinya nama tashwir fotografi.
Bisa saja mereka menamainya dengan suatu istilah lain. Misalnya, mereka dapat menamainya 'aks (pemantulan) dan pelakunya disebut 'akkas (pemantul gambar) seperti yang dikatakan oleh penduduk Qatar dan kawasan Teluk. Seseorang dari mereka akan pergi ke tempat tukang foto ['akkas) lalu berkata kepadanya: "Saya minta Anda melakukan 'aks untuk saya (yakni mengambil foto dirinya). Dan barangkali istilah yang mereka gunakan itu lebih dekat kepada inti pekerjaan itu sendiri. Sebab, pada hakikatnya, hal itu tidak lebih dari memantulkan gambar dengan cara tertentu. Seperti halnya gambar sesuatu yang terpantul dalam cermin. Dan seperti itulah yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi'iy, mufti Mesir di zamannya. Yaitu dalam risalah yang ditulisnya berjudul Al-Jawab Al-Kafiy fi Ibahat At-Tashwir Al-Fotoghrafi (Jawaban Tuntas tentang Dibolehkannya Fotografi).
Dan sebagaimana orang-orang sekarang menamakan gambar fotografi (dalam bahasa Arab) sebagai tashwir; mereka juga menamakan tashwir mujassam atau gambar yang berbentuk tiga dimensi sebagai naht (pahatan). Yaitu yang oleh para ulama dahulu kala disebut "gambar yang berbayang", dan yang mereka sepakati hukumnya haram, selain yang berbentuk mainan anak-anak (atau semacam boneka). Adakah penggunaan kata naht (pahatan) bagi tashwir jenis ini membebaskan pembuatnya dari ancaman keras yang terdapat dalam hadis-hadis tentang tashwir dan mushawwir?
Tentunya tidak. Sebab tashwir jenis inilah yang paling tepat memenuhi makna tashwir yang terlarang, baik dari segi bahasa maupun syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.