Maqashid Syariah (مقاصد الشريعة) terdiri dari dua kata, yaitu maqashid (مقاصد) dan syariah (الشريعة). Kata maqashid (مقاصد) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid (مقصِد) dan maqshad (مقصَد), keduanya berupa mashdar mimi (مصدر ميمي) yang punya bentuk fi’il madhi qashada (قصد).
Secara bahasa maqshid ini punya beberapa arti, diantaranya al-i’timad (الاعتماد), al-um (الأم), ityan asy-syai’ (إتيان الشيء), at-tawajjuh (التوجه) dan juga istiqamatu at-tariq (استقامة الطريق).
Di dalam Al-Quran ada ditemukan beberapa kata. qashd (قصد) atau turunannya dengan masing-masing pengertiannya sesuai dengan siyaq-nya :
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. (QS. An-Nahl : 9)
At-Thabari (w. 310 H) menyebutkan al-qashdu disini meluruskan jalan yang lurus yang tidak ada belokan padanya.
Sedangkan kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus bahasa arab bermakna ad-din (الدين), al-millah (الملة), al-minhaj (المنهاج), at-thariqah (الطريقة), dan as-sunnah (السنة).
Definisi Maqashid Syariah yang umum menurut Ibnu Asyur adalah :
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها
"Sejumlah makna dan hikmah yang disimpulkan bagi pembuat syariah pada semua syariah atau sebagian besarnya."
Sedangkan definisi yang khusus adalah :
الكيفيات المقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس النافعة أو لحفظ مصلحتهم العامة في تصرفاته الخاصة
"Hal-hal yang dikehendaki syari’ (Allah) untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka secara khusus".
Adapun menurut Wahbah Az-Zuhaili
المعاني والأهداف الملحوظة في جميع أحكامه أو معظمها أو الغاية من الشريعة والأسرار التي وضعها الشارع عند كل حكم من أحكامعا
"Makna-makan serta sasaran-sasaran yang disimpulkan pada semua hukum atau pada kebanyakannya, atau tujuan dari syariat serta rahasia-rahasia yang ditetapkan Syari’ (Allah SWT) pada setiap hukum dari hukum-hukumnya. "
Di dalam banyak ayat Al-Quran, kita akan menemukan jejak-jejak maqashid ini, misalnya ketika Allah SWT berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah : 185)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78)
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu. (QS. An-Nisa : 28)
Dalam memahami sunnah, ilmu maqashid syariah sangat penting untuk dipelajari. Imam Haramain al-Juwaini (wafat tahun 478 H/ 1185 M) dalam bukunya al-Burhan Fi Ushul al-Ahkam mengatakan bahwa Siapapun yang tidak memahami adanya maksud dan tujuan perintah dan larangan syariat, ia tidak akan mengetahui hakikat penetapan hukum syariat.”
Selain itu, al-Juwaini juga menyatakan bahwa ketidaktahuan terhadap tujuan dasar syariat dalam perintah dan larangan menyebabkan terjadinya benturan keras di kalangan ulama. Al-Juwaini berargumentasi bahwa para sahabat telah melakukan transformasi makna dan esensi syariat dari teks kemudian menerapkannya pada masalah yang secara tektual tidak ditemukan dalam teks.
Imam al-Ghazali (w. 505 H/ 1111 M) dalam bukunya Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. menjelaskan dengan sangat baik topik ini. Ia mengatakan bahwa maslahat adalah menarik manfaat atau menolak bahaya, yang merupakan esensi syariat. Esensi syariat ini terbagi menjadi lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab, dan harta manusia.
Menurutnya, segala hal yang mengandung pemeliharaan terhadap lima asas ini adalah kemaslahatan. Sedangkan yang bertentangan dengan asas-asas ini termasuk mafsadat, sementara upaya menolaknya disebut maslahat.”
Secara implisit, al-Ghazali ingin mengungkapkan bahwa setiap hukum syari’at pasti memiliki esensi pembentukannya yakni mewujudkan kebaikan universal bagi manusia dan tidak mungkin menjerumuskan manusia ke dalam lubang kehancuran. Tampaknya al-Ghazali ingin membela “kepentingan” Tuhan dalam teks dan meniadakan kebaikan dalam pandangan manusia. Menurutnya, maslahat adalah maslahat menurut syariat, bukan menurut persepsi manusia. Oleh karena itu, al-Ghazali melontarkan kritik pedas terhadap produk ijtihad ulama terhadap raja yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Karena ini kontradiksi dengan ketentuan syariat secara tekstual yakni membebaskan budak.
Lebih lanjut, al-Ghazali menyatakan bahwa syariat tidak mungkin hampa dari esensi pembentukannya yang berkisar pada lima term, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Bahkan seluruh agama dan ajarannya pasti memiliki esensi yang sama dalam menyikapi fenomena kekafiran, pembunuhan, seks bebas, pencurian dan minuman keras. Di sinilah titik temu semua agama. Kebaikan universal, kebenaran hakiki dan sebuah keniscayaan dalam setiap agama
Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) dalam kitab “al-I’tisham” menyatakan bahwa perbedaan di kalangan ulama disebabkan oleh buruknya pemahaman terhadap esensi syari’at dan rekaan makna yang terkandung di dalamnya, yang menunjukkan kedangkalan pengetahuan. Bahkan, di dalam kitab “al-Muwafaqât”, Imam asy-Syathibi secara tegas menjadikan pemahaman yang mendalam terhadap maqâshîd asy-Syari’ah sebagai syarat seorang mujtahid. Karena itu, menurutnya, seseorang tidak mungkin mencapai derajat ijtihad jika tidak mengetahui maqâshîd asy-Syari’ah secara sempurna dan menjadikannya sebagai metode penggalian hukum.
Kritik pedas asy-Syathibi ini ditujukan bagi kalangan tekstualis yang hanya memandang syariat berupa teks dan menghilangkan ruh teks itu sendiri. Menurutnya, tanpa disadari aktifitas seperti ini telah menggiring mereka keluar dari koridor agama, karena menghilangkan ruh teks. Pada akhirnya, teks hanya seonggok daging tanpa ruh. Seperti pisau tanpa ketajaman. Seperti masakan tanpa ada rasanya sama sekali. Ini menandakan bahwa maqâshîd asy-Syari’ah perlu digali untuk menghidupkan kembali teks dalam setiap kondisi dan zaman. Bahkan kredibilitas seseorang dikatakan mujtahid atau tidak, bisa ditentukan oleh penguasaannya terhadap maqâshid asy-syari’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.