Mendudukkan Mahzab dan Fatwa

 


Pengertian mahzab secara bahasa,

وَالْمَذْهَبُ لُغَةً مَوْضِعُ الذَّهَابِ وَهُوَ الْمُرُورُ فَحَاصِلُهُ الطَّرِيقُ ثُمَّ نَقَلَ مِنْهُ إلَى الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ الَّتِي هِيَ طَرَائِقُ الْمُجْتَهِدِينَ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا بِأَقْدَامِ عُقُولِهِمْ الرَّاجِحَةُ لِتَحْصِيلِ الظَّنِّ بِهَا 

“Madzhab secara bahasa artinya tempat untuk lewat, yaitu jalan, kemudian dikaitkan dengan hukum-hukum syariah ijtihadiyah yaitu metode-metode ulama yang menjadi pijakan pikiran-pikiran jernih mereka untuk menghsilkan asumsi yang kuat terkait hukum”  

Jadi intinya, yang dimaksud dengan madzhab secara bahasa adalah tempat untuk lewatnya seseorang. Dikaitkan kepada fiqih, karena para ulama menggunakan jalan (metode) tertentu untuk sampai pada hukum syar’i.

Adapun secara istilah, mahzab adalah

مَا اُخْتُصَّ بِهِ الْمُجْتَهِدُ مِنْ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ

“Apa yang diambil oleh mujtahid dari hukum-hukum syar’i yang bersifat furu’ ijtihadi, yang dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat dzann (asumtif)”

Maksudnya, seorang ulama mujtahid memiliki metode sendiri dalam berijtihad, hingga pada akhirnya dia sampai pada suatu hukum, hukum dan metode inilah yang merupakan madzhabnya, yang mana, di kemudian hari, metode dan hukum ini diajarkan kepada murid-murid dan ditulis dalam kitab-kitab sehingga tersebar, tersusun dan terjaga hingga saat ini.

Tentu kita tidak asing lagi ketika mendengar nama-nama ulama selalu diakhiri dengan nisbat kepada madzhab tertentu, semisal imam Nawawi as-Syafi’i atau Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dan sebagainya. Nisbat tersebut menunjukan bahwa mereka mengikuti madzhab tertentu, imam Nawawi mengikuti madzhab Syafi’i dan Ibnu Qudamah mengikuti madzhab Hanbali. Namun apa maksud sebenarnya mengikuti disini ? apakah bertaklid? Bagaimana mungkin seorang ulama yang sudah mencapai level mujtahid untuk bertaklid?

a. Mengikuti Madzhab Bagi Mujtahid

يُقال: ذهب فلان إلى قول أبي حنيفة، أَو مالك، أَو الشافعي، أو أحمد، أَي: أخذ بمذهبه وسلك طريقه في فقهه، رواية، واستنباطًا، وتخريجاً على مذهبه.

“Dikatakan fulan bermadzhab hanafi, atau Maliki atau Syafi’i atau Hanbali, artinya, mengambil pendapat madzhab tersebut dan menjalankan metodenya dalam fiqih baik dalam periwayatan, istinbath (analisa) maupun takhrij atas madzhab tersebut”  

Dengan pengertian tersebut menjadi jelas, bahwa yang dimaksud mengikuti madzhab bagi seorang mujtahid adalah mengikuti metode-metode dalam istinbath hukuma atau fatwa, dalam periwayatan ataupun dalam mentakhrij madzhab, yaitu menerapkan metode madzhab dalam masalah-masalah yang belum ada fatwanya.

Jadi, ketika misalnya dikatakan imam Nawawi bermadzhab syafi’i, maksudnya adalah beliau dalam berijtihad dan berfatwa mengikuti metodenya imam Syafi’i.


b. Mengikuti Madzhab Bagi Orang Awam

Bermadzhab bagi orang awam artinya mengambil fatwa dari ulama mujtahid madzhab untuk diamalkan, pengertian ini identik dengan taklid, karena secara istilah taklid tersebut bermakna:

قبول قول الغير من غير حجة

“Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujahnya”  

Hujjah disini maksudnya adalah dalil beserta istidlalnya, atau dalil beserta metode pendalilannya.  Mungkin kita bisa tahu dalilnya tapi belum tentu kita tahu cara yang benar dalam menggunakan dalil tersebut, dan inilah keadaan kita sebagai orang awam.

Sehingga apabila seorang awam mengatakan bahwa dia bermadzhab Syafi’i, maksudnya adalah dalam beramal/beribadah, dia mengikuti aturan-aturan atau hukum-hukum yang difatwakan oleh ulama mujtahid dalam madzhab.


c. Apakah Boleh Bertaklid?

Ibnu al-Qoyim (w 751 H) dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'in meriwayatkan perkataan Imam Ahmad (w 241 H) :

لَا تُقَلِّدْنِي وَلَا تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلَا الثَّوْرِيَّ وَلَا الْأَوْزَاعِيَّ، وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا

"Janganlah kamu taklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Tsauri atau Auza'i, ambillah dari mana mereka mengambil" 

Dengan tegas disana imam Ahmad dan tentunya ulama-ulama lain melarang untuk bertaklid, namun yang harus diketahui adalah larangan ini tertuju pada orang yang sudah memiliki keahlian untuk berijtihad. Ibnu Qudamah mengatakan:

اتفقوا على أن المجتهد إذا اجتهد فغلب على ظنه الحكم، لم يجزْ له تقليد غيره

“Para ulama bersepakat bahwasannya seorang Mujtahid apabila dia mampu berijtihad kemudian dia punya sangkaan kuat akan benarnya hasil ijtihad dirinya, maka tidak boleh baginya untuk bertaklid kepada Mujtahid lainnya”  

Disini nampaknya Ibnu Qudamah ingin menekankan bahwa sesungguhnya larangan bertaklid itu adalah untuk para Mujtahid, bukan untuk semua orang. Kenapa tidak boleh? karena para Mujtahid mampu untuk memahami hujjah, sedangkan definisi dari taklid sendiri adalah menerima pendapat orang lain tanpa memahami hujjah, jadi tidak boleh bagi orang yang mampu berhujjah untuk menerima pendapat orang lain tanpa hujjah

Berbeda halnya dengan orang awam yang tidak punya keahlian atau kemampuan untuk memahami hujjah, atau menerapkan dalil pada masalah yang didalili, tentu orang awam ini harus bertanya pada ahlinya, hal ini karena mengamalkan firman Allah swt:

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

7.  Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Anbiya: 7)

Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama mengenai hukum taklid bagi orang yang awam, tentu taklid disini dalam masalah-masalah furu’ bukan dalam masalah-masalah ushul akidah.

اخْتُلِفَ فِي التَّقْلِيدِ فِي الأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ غَيْرَ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ عَلَى رَأْيَيْنِ الأْوَّل: جَوَازُ التَّقْلِيدِ فِيهَا وَهُوَ رَأْيُ جُمْهُورِ الأْصُولِيِّينَ

“Para ulama berselisih mengenai hukum taklid dalam hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah menjadi dua pendapat; pendapat pertama adalah bolehnya orang awam untuk bertaklid, inilah pendapat mayoritas ulama ushul.”  

Abu Bakar al-Razi al-Jashash (w 370 H) berkata: ketika seorang awam yang tidak memiliki kemampuan ijtihad mendapati suatu maslah baru, maka dia harus bertanya ahli lmu tentang (hukum) masalahnya itu, hal ini berdasarkan firman Allah.  

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Anbiya: 7)

Dan firman Allah swt:

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

122.  Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (Qs At Taubah 9:122)

Berdasarkan kedua ayat di atas, Allah memerintahkan orang yang tidak punya pengetahuan (awam) untuk menerima pendapat ahli ilmu (ulama) dalam perkara-perkara agama, dan hal itu telah dikukuhkan oleh generasi pertama kemudian tabi’in sampai sekarang, dan sesungguhnya orang-orang awam itu menyerahkan (hukum) perkara-perakara yang terjadi pada agama kepada para ulama.”

Setelah kita tahu bahwa taklid untuk orang awam menurut jumhur ulama adalah boleh bahkan wajib, pertanyaan berikutnya adalah apakah harus bertaklid hanya kepada satu madzhab atau boleh mengikuti beberapa madzhab sekaligus atau berpindah-pindah madzhab?

Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa ketika seseorang berpindah madzhab secara menyeluruh, maka hal itu dibolehkan, bila kita memperhatikan sejarah, ada beberapa ulama yang berpindah atau berganti madzhab, seperti berpindahnya Abu Ja’far at-Thahawi dari madzhab Syafi’i ke madzhab Hanafi, al-Khatib al-Baghdadi dari Hanbali ke Syafi’i, al-Amidi dari Hanbali ke Syafi’i dan lain sebagainya.

Sedangkan jika perpindahan itu bersifat parsial, yaitu terkait beberpa masalah saja,misalnya seperti dalam shalat mengikuti madzhab Syafi’i tetapi dalam puasa mengikuti madzhab Hanbali, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian kecil ulama mengatakan tidak boleh untuk berpindah-pindah atau mencampur-adukan madzhab. 

Jalaluddin al-Mahilli (w 864 H) mengatakan:

وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْعَامِّيِّ وَغَيْرِهِ مِمَّنْ لَمْ يَبْلُغْ رُتْبَةَ الِاجْتِهَادِ الْتِزَامُ مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَذَاهِبِ الْمُجْتَهِدِينَ

“Pendapat yang paling shahih adalah wajib atas orang awam dan siapapun yang belum mencapai tingkatan mujtahid untuk konsisten pada madzhab tertentu (pilihannya) dari madzhab-madzhab para mujtahid.”  

Sedangkan mayoritas ulama berpendapat, bahwa hukumnya tidak wajib atas orang awam untuk konsisten pada satu madzhab, sebab perintah dari al-Qur’an, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. QS. Al-Anbiya: 7

Adalah bersifat umum, artinya, boleh bertanya dan mengikuti fatwa siapa pun selama dia seorang mujtahid. Itulah sebabnya para sahabat tidak pernah mengingkari siapapun untuk bertanya kepada sahabat manapun yang terkenal sebagai ahli fatwa.

Ibnu Qudamah dalam kitab beliau Raudhah an-Nadzir berkata:

وإذا كان في البلد مجتهدون فللمقلد مساءلة من شاء منهم. ولا يلزمه مراجعة الأعلم، كما نقل في زمن الصحابة؛ إذ سأل العامّة الفاضل والمفضول في أحوال العلماء

"Apabila di suatu negri terdapat banyak mujtahid, maka bagi orang awam boleh mengambil pendapat yang mana saja yang dia mau. Tidak mesti mengambil pendapat mujtahid yang paling alim. Ini seperti dinukilkan dari zaman Sahabat, ketika seorang yang awam boleh bertanya kepada ulama, baik ulama itu yang utama atau yang biasa saja."

Namun harus diperhatikan, meski mayoritas ulama mengatakan bolehnya seseorang untuk mengikuti lebih dari satu madzhab atau berpindah-pindah madzhab, mereka juga sepakat mengatakan bahwa jika perpindahan tersebut berlandaskan hawa nafsu karena ingin mengambil yang mudah-mudahnya saja maka hukumnya haram, karena inilah yang dinamakan Tattabu’ ar-Rukhash, sesuatu yang dicela dalam agama.

Agar terhindar dari tattabu ar-Rukhash ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

1) Percampuran madzhab tidak menyebabkan terjadinya pertentangan dengan Ijma’, seperti nikah tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar, yang menggabungkan pendapat dari madzhab Hanafi dan maliki.

2) Meyakini keutamaan madzhab yang dia berpindah kepadanya dengan dasar ilmu.

3) Tidak dalam rangka mencari yang mudah-mudahnya saja.


Imam Nawawi mengatakan:

وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ بَلْ يَسْتَفْتِي مَنْ شَاءَ أَوْ مَنِ اتَّفَقَ لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ

“Berdasarkan dalil, sesungguhnya tidaklah wajib bermadzhab dengan madzhab tertentu, namun boleh bagi seseorang (awam) untuk meminta fatwa kepada siapa yang dia kehendaki namun dengan syarat bukan dalam rangka mencari-cari kemudahan”  


Intinya, boleh bermadzhab dengan madzhab manapun, boleh mengikuti lebih dari satu madzhab bahkan boleh berpindah-pindah madzhab namun dengan syarat, bukan untuk Tattabu’ ar-Rukkhas.

Ketika kita sudah tahu bahwa secara hukum fikih boleh bermadzhab dengan madzhab manapun, tentu pertanyaan berikutnya yang terlintas dari pikiran kita orang awam adalah madzhab yang mana yang diikuti.


Sebenarnya tidak ada jawaban baku untuk pertanyaan ini, namun mengikuti madzhab mayoritas yang dipakai di tempat kita berpijak adalah di antara sikap yang bijak. Hal ini dikarenakan beberapa hal:

1) Lebih memudahkan untuk belajar, ketika di tempat kita misalnya bermadzhab Syafi’i, tentu lebih mudah bagi kita untuk belajar madzhab Syafi’i, karena selain ada kitab-kitabnya, juga ada banyak guru-guru yang mengajarkannya.

2) Menjaga keserasian dalam praktek ibadah bersama masyarakat, ketika misalnya mayarakat di tempat kita tinggal bermadzhab syafi’i, kemudian kita berpendapat bahwa sah shalatnya orang yang di bajunya ada kotoran ayam karena bukan najis, maka ini akan terasa ganjil dan asing, karena menurut madzhab syafi’i kotoran ayam adalah najis, itulah yang selama ini meraka tahu.

3) Menjauhi sebab-sebab pertikaian dan menjaga keharmonisan dalam bermayarakat, bagi orang awam perbedaan pendapat bisa menyebabkan terjadinya pertikaian dan perpecahan, tentu sangat bijak bila kita menjauhi sebab-sebab pertikain tersebut.


Mari bagaimana Imam Syafi’i meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untuk para pengikut Imam Abu Hanifah yang tidak melihat adanya kesunnahan qunut dalam sholat subuh, di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Syafi’i-lah pelopor qunut subuh dan menjadikannya sunnah muakkad dalam sholat subuh yang jika meninggalkannya, maka sunnah diganti dengan sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena tahu dimana ia saat itu.

Ini terjadi ketika beliau (Muhammad bin Idri al-Syafi’i) diundang oleh Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah) untuk mengajar di madrasah Abi Hanifah selepas shalat Subuh berjamaah, yang memang itu jadwal rutin di madrasah tersebut.

Kita perhatikan bagaimana ulama salaf menyikapi hal ini. Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula مخالفة الأولى (menyelisih pendapat yang utama).

Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “Kamu mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: الخلاف شر “berbeda itu buruk!”. 


Dalam kisah lainnya, “Berkata al-Wazir Ibnu Hubairah (w 560 H): Syekh Muhammad bin Yahya menceritakan kisah al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali (w 458 H), bahwasannya beliau didatangi seorang ahli fiqh untuk belajar madzhab Hanbali, maka al-Qodhi bertanya tentang asal negri ahli fiqh ini, setelah dijawab al-Qodhi berkata, “Sesungguhnya penduduk negri mu semuanya bermadzhab Syafi’i, lalu mengapa engkau berpaling pada madzhab Hanbali?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya aku berpaling ke madzhab mu karena aku mengagumimu”. 

Al-Qodhi berkata, “Sikapmu ini tidaklah pantas, karena apabila kamu kembali kenegerimu dengan madzhab Hanbali sedangkan penduduk negrimu bermadzhab Syafi’i, kamu tak akan sama dengan mereka dalam teknis Ibadah, orang-orang juga tidak akan belajar kepadamu dan kamu akan menciptakan bibit permusuhan dan menimbulkan pertikaian. Justru yang lebih utama bagimu adalah tetap bermadzhab syafi’I sebagaimana penduduk negrimu. Kemudian al-Qodhi membawa ahli fiqh ini menemui Abu Ishaq as-Syairozi as-Syafi’i (w 476 H).”  

Kisah lainnya “Ali bin Ja'far berkata: Ismail bin Bint as-Suddy telah menceritakan pada kami, beliau berkata: aku pernah duduk di majlis Imam Malik (w 179 H), beliau ditanya tentang masalah waris (faroidh), maka imam Malik menjawab dengan membawakan pendapat Zaid bin Tsabit.

Kemudain aku menimpali: Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud tidak berpendapat seperti itu. Maka imam malik memberi isyarat kepada penjaga, ketika para penjaga hendak menangkapku, aku menghindar dan membuat mereka tak berdaya.

Kemudian para penjaga berkata: apa yang harus kami lakukan pada kitab-kitab dan penanya? Imam Malik menjawab, “Ajaklah dia dengan lembut. Kemudian mereka datang kepadaku dan aku pergi bersama mereka (kepada Imam Malik).” Imam malik kemudian bertanya, “Kamu dari negri mana?” aku menjawab, “Dari Kufah”, lalu kemana adabmu? Saya menyebutukan (pendapat itu) kepada mu agar aku bisa mendapat faidah.

Imam Malik menjawab, “Sesungguhnya keutamaan Ali dan Ibnu Mas’ud tidak dapat dipungkiri, tetapi penduduk negri kami (Madinah) mengambil pendapatnya Zaid bin Tsabit. Bila kamu dalam suatu masyarakat, janganlah memulai dengan apa yang mereka tidak ketahui, sehingga akhirnya mereka berbuat susuatu yang tak menyenangkanmu.”  

Terdapat juga kisah tentang Imam Malik yang ditawari oleh Khalifah Al-Manshur untuk menjadikan bukunya “Al-Muwatho’” sebagai kitab Negara yang menjadi pegangan hukum bagi rakyatnya. Namun Imam malik menolak langsung tawaran itu dan mengatakan,

يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا تَفْعَلْ هَذَا فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ أَقَاوِيْلُ، وَسَمِعُوْا أَحَادِيْثَ، وَرَوَوْا رِوَايَاتٍ، وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سَبَقَ إِلَيْهِمْ

 “Wahai Amirul-mukminin, jangan lakukan itu! Orang-orang sudah terbiasa dengan pendapat-pendapat yang mereka dengar sebelumnya, mereka telah mendengar hadits-hadits, mereka juga telah melihat periwayatan, dan setiap kaum telah melakukan ibadah sesuai pendapat yang mereka ambil sebelumnya”   

Dari kisah-kisah ulama salaf di atas, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa walaupun memilih pendapat fiqh itu boleh yang mana saja, tetapi ada hal lain, ada aspek lain yang mesti kita pertimbangkan, yaitu aspek sosial.

Ketika qunut ada yang mengatakan boleh dan tidak boleh, maka kita boleh mengambil yang manapun yang kita yakini, tetapi akan menjadi masalah, ketika pedapat yang kita pilih kemudian kita terapkan, kita ajarkan dan kita paksakan pada masyarakat yang berbeda pilihan dengan kita.

Ketika di Indonesia misalnya, masyarakat terbiasa melakukan Qunut karena mengambil pendapat madzhab Syafi’i, bukan berarti yang mengatakan bahwa Qunut subuh bid’ah adalah salah, tetapi yang salah adalah sikap memaksakan pendapat yang bebeda dengan apa yang selama ini masyarakat Indonesia yakini, apalagi kalau sampai mengklaim bahwa hanya pendapat dia yang benar.

Jadi sebenarnya, dalam masalah furu ini, yang harus dikedepankan adalah sikap bijaksana, bukan tentang siapa yang paling benar, karena kita semua tahu, bahwa sebagian besar hukum dalam pembahasan ilmu fiqih itu berlandaskan dalil dzanni (asumtif), bukan absolut benar atau salah, hak dan batil.

Bahwasanya madzhab fiqih itu ada untuk mempermudah orang-orang awam dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman khususnya yang berkaitan dengan ibadah amaliyah seperti shalat, puasa dan sebagainya.

Madzhab fiqih juga ada untuk mempersatukan dan memberi kelonggaran atau fleksibilitas bagi umat Islam,  bayangkan, bila setiap orang langsung mengambil hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian menyimpulkan hukum sendiri sehingga menjadi madzhab sendiri, akan ada berapa ribu madzhab di dunia ini? Bayangkan juga bila hanya ada satu madzhab di dunia ini, tentu akan terasa kaku, jumud dan tidak akan mampu menjawab begitu banyak persoalan dalam kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.