Mengembangkan Ijtihad dalam penerapan Sunnah

 


Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata dasar ijtahada – yajtahidu (اجتهد - يجتهد). Akar katanya bersumber dari tiga huruf hijaiyah, yaitu ja-ha-da (جهد).

Di dalam kamus, kata ini bermakna badzlul juhdi (بذل الجهد) yaitu bersungguh-sungguh, atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Atau dalam arti yang lebih lengkap sering juga bermakna : 

بذل الوُسعِ والطّاقةِ فِي طلبِ أمرٍ لِيبلُغ مجهُودهُ ويصِل إِلى نِهايتِهِ

Mengerahkan kemampuan dan tenaga untuk mendapatkan suatu perkara agar sampai kepada yang diupayakan atau sampai kepada penghabisannya.


Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad sebagai :  

بذلُ الوُسعِ فيِ نيلِ حُكمٍ شرعِيٍّ عملِيٍّ بِطرِيقِ الاِستِنباطِ

Mengerahkan kekuatan untuk mendapatkan hukum syar'i yang bersifat praktek dengan metode istimbath.

Disebutkan di dalam Al-Mausuah Al-Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah, bahwa kata ijtihad menurut para ahli ilmu ushul fiqih berarti :

بذلُ الطّاقةِ مِن الفقِيهِ فيِ تحصِيلِ حُكمٍ شرعِيٍّ ظنِّي

Mengerahkan segenap kekuatan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk menghasilkan hukum syar’i yang bersifat zhanni.

Semua bentuk kerja ijtihad pada akhirnya diharapkan menghasilkan produk hukum syar’i yang bersifat zhanni. 

Istilah zhanni disini sebagai lawan dari qath’i. Hukum syar’i yang bersifat qath’i misalnya bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib. Sedangkan hukum syar’i yang zhanni misalnya hukum qunut pada rakaat kedua Shalat Shubuh.

Kenapa hukum qunut ini disebut zhanni? Karena kita tidak mendapatkan dalil yang sharih dan qath’i, yang secara tegas dan disepakati oleh semua ulama secara bulat tentang masyru’iyahnya. 

Mazhab Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa qunut ini hukumnya sunnah muakkadah, karena mereka meyakini bahwa mereka memiliki dalil-dalil yang menjadi dasar atas kesunnahan qunut. Namun ketiga mahzab lainnya tidak sekata, bahkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa qunut ini hukumnya bid’ah, karena mereka meyakini dalil-dalil yang mereka gunakan. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak berhadapan dengan dalil-dalil yang sifatnya zhanni.

Ijtihad diperlukan karena memang sekalipun sudah ada dalil Al QUran dan Sunnah, tetap diperlukan cara bagaimana mendapatkan kesimpulan hukum dari dalil-dalil tersebut. Cara mendapatkan kesimpulan hukum inilah yang disebut dengan ijtihad.

Inilah yang membedakan orang awam dan para mujtahid. Orang awam biasanya menyederhanakan masalah. Kalau sudah ada satu ayat Al-Quran atau ada satu hadits shahih menyebutkan satu masalah, maka langsung ditarik kesimpulan hukumnya. 

Padahal tidaklah demikian dengan para mujtahid. Mereka justru ketika membahas dalil Al Quran mereka akan membedah dulu bagaimana asbabun nuzulnya, syiqaqnya, munasabahnya, nasikh mansukhnya, dan lain sebagainya. Jadi memang tidak mudah untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil al Quran dan Sunnah. Sehingga orang awam tidak bisa (dan tidak boleh) melakukan istinbath hukum.

Pada masa Rasulullah saw, beliau juga melakukan ijtihad. bahwa beliau terpaksa harus berijtihad, lantaran wahyu tidak turun tepat pada saat dibutuhkan.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ وَاذكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُل عَسَى أَن يَهدِيَنِ رَبِّي لِأَقرَبَ مِن هَذَا رَشَدًا

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali : "Insya Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al-Kahfi : 23-24)

Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjajikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.


Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan pendapat tentang menghentikan perang Badar atau meneruskannya hingga semua lawan mati, Rasulullah SAW menggelar syura dengan para shahabat, lantaran wahyu tidak kunjung turun. Beliau SAW meminta pandangan dari para shahabat, kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan menjadikan musuh sebagai tawanan.

Namun setelah itu ijtihad beliau SAW dianulir oleh turunnya wahyu, yang melarang beliau SAW menghentikan perang dan mengambil musuh sebagai tawanan.

ما كان لِنبِيٍّ أن يكُون لهُ أسرى حتّى يُثخِن فِي الأرضِ تُرِيدُون عرض الدُّنيا واللّهُ يُرِيدُ الآخِرة واللّهُ عزِيزٌ حكِيمٌ

Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki  akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal : 67)


Ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di antara para shahabat yang melakukan ijtihad, baik atas perintah beliau SAW atau pun atas inisiatif sendiri yang kemudian dibenarkan oleh beliau.

Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan atau setidaknya direkomendasikan untuk berijtihad.

كيف تقضيِ إِذا عُرِض لك قضاء ؟  قال : أقضِي بكِتابِ اللهِ .قال : فإِن لم تجِد فيِ كتِابِ اللهِ ؟ قال : فبِسُنّةِ رسُولِ اللهِ r قال : فإِن لم تجِد فيِ سُنّةِ رسُولِ الله r ولا فيِ كتِابِ الله ؟ قال : أجتهِدُ رأيِ ولا آلو . فضرب رسُولُ اللهِ r صدرهُ وقال : الحمدُ لِلّه الّذِي وفق رسُولُ رسُولِ اللهِ لِما يرضي رسُولُ اللهِ

Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"  Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu Daud)

Amr bin Al-Ash telah melakukan ijtihad dalam hal-hal yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai ganti dari wudhu', yaitu karena faktor cuaca yang amat dingin.

اِحتَلَمتُ فيِ لَيلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ البَرد فَأَشفَقتُ إِنِ اغتَسَلتُ أَن أَهلَك فَتَيَمَّمتُ ثُمَّ صَلَّيتُ بِأَصحَابيِ صَلاَةَ الصُّبحِ فَلَمَّا قَدِمنَا عَلىَ رَسُول اللهِ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ  فَقَالَ : يَا عَمرُو صَلَّيتَ بِأَصحَابِكَ وَأَنتَ جُنُب؟ فَقُلتُ : ذَكَرتُ قَولَ الله تَعَالىَ (وَلاَ تَقتُلُوا أَنفُسَكُم إِنَّ اللهُ كَانَ بِكُم رَحِيمًا) فَتَيَمَّمتُ ثُمَّ صَلَّيتُ  فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلم وَلَم يَقُل شَيئًا 

Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berkata"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya"Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku menjawab"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).

Sepeninggal Rasulullah SAW pun para shahabat masih tetap melakukan ijtihad, dimana hasil ijtihad itu dibenarkan oleh seluruh shahabat yang lain dan terus berlangsung hingga sekarang ini.

Contoh ijtihad jamai terbesar pasca Rasulullah Selama masa kenabian 23 tahun lamanya, belum pernah sekali pun Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menuliskan Al-Quran dalam satu mushaf. Namun sepeninggal beliau, masih di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu, umat Islam sepakat untuk menuliskan Al-Quran dalam satu bundel mushaf.

Awalnya dari ide Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu yang disampaikan kepada khalifah, kemudian menjadi ijtihad jama'i hingga hari ini. Maka mushaf Al-Quran yang kita kenal saat ini, tidak lain merupakan produk ijtihad para shahabat di masa lalu, yang tidak didasari oleh perintah wahyu secara langsung. Yang menjadi produk ijtihadi bukan teks ayat-ayatnya, tetapi mushafnya yang menyatukan seluruh ayat-ayat tadi yang memang tidak ada pada masa Rasulullah saw.

Ijtihad diperlukan untuk menjawab masalah dan tantangan zaman. Sudah menjadi sunnatullah bahwa zaman selalu mengalami perubahan. Apa yang berlaku di tengah masyarat untuk satu kurun waktu tertentu, bisa saja berubah pada kurun waktu yang lain.  Oleh karena itu Islam membutuhkan orang-orang yang mampu berijtihad dengan benar, agar perubahan zaman itu tidak lantas membuat nash-nash dari Al-Quran dan As-sunnah menjadi usang dan tidak terpakai.


Mujtahid terbagi dalam beberapa tingkatan: 

a. Mujtahid Mutlak Mustaqil

Mujthaid mutlak sering juga disebut mujtahid mustaqil (مطلق مستقل). Hal itu karena mereka tidak bertaqlid kepada mahzab lainnya manapun, karena kedudukan mereka yang justru berada pada puncaknya. Sebaliknya, justru semua mujtahid baik yang sezaman atau yang sesudahnya, malah menyandarkan banyak hal kepada hasil kaidah dan ijtihad para mujtahid mutlak.

Sepanjang sejarah, jumlah mereka kurang lebih hanya sekitar 10-an orang saja. Dan sayangnya, tidak semua mazhab mereka kekal di atas bumi ini. Yang tersisa hingga hari ini dengan eksis hanya empat saja, yaitu para imam Mazhab yang empat.

b. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil 

Mujtahid Adalah seseorang yang memenuhi criteria sebagai seorang mujahid mustaqil, akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-masalah fiqihnya, ia memakai kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam Mazhab dalam berijtihadnya. 

Inilah yang disebut muthlaq muntashib tidak mustaqil, seperti para murid imam Mazhab

c. Mujtahid Muqayyad

Adalah seseorang yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab mazhab. Mereka semua disebut para imam Al-Wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab mazhab mereka, dinamakan Wajhan dalam mazhab (satu segi dalam mazhab) atau satu pendapat dalam mazhab, mereka berpegang kepada mazhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar dalam dua mazhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah. 

d. Mujtahid Tarjih 

Adalah mereka yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari satu imam mazhab dari pendapat-pendapat mazhab imam lain, atau dapat mentarjih pendapat salah satu imam Mazhab dari pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Berari Ia hanya mengambil satu riwayat dari beberapa riwayat saja.

e. Mujtahid Fatwa 

Mujtahid fatwa adalah seseorang yang senantiasa mengikuti salah satu mazhab, mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang rajih dari yang marjuh, akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalil-dalil qiyasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.