Diantara larangan yang paling penting yang harus diperhatikan dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta terhadap apa yang dikandung keduanya, dari akidah, syariat, hukum, dan akhlak adalah meletakkan nash tidak pada tempat yang benar. Ini adalah semacam penggeseran Kalam Allah SWT dari tempatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ahli Kitab sebelum kita.
Banyak nash yang sahih dan bebas cacat, serta tidak ada yang mempertentangkan keberadaannya, ia berupa ayat dari Kitab Allah atau Sunnah-baik ucapan, amal, maupun penetapan-yang tetap dari Rasulullah saw. Namun, aib itu terletak dalam pendalilan dengan nash ini terhadap suatu masalah tertentu, sementara ia sebenarnya tidak menunjukkan hal itu, namun ia diseret dan dipaksa untuk menjadi dalil bagi hal yang lain.
Kejadian seperti itu dapat terjadi karena kesalahan dalam berpikir dan pemahaman yang buruk terhadap nash, akibat ketergesa-gesaan dan tidak mau repot Ini seperti yang kita lihat dan dapati pada orang-orang yang dangkal keilmuannya atau yang dirinya tertipu. Orang yang mempergunakan nash-nash tanpa aturan yang jelas dan memanfaatkannya tanpa kompetensi, dan berkata terhadap Allah SWT apa yang tidak mereka ketahui.
Hal itu dapat juga terjadi karena kesalahan dalam hati dan rusaknya niat Ini seperti kita melihat pada sebagian orang yang menabrak nash dan menyeretnya dengan paksa agar sesuai dengan hawa nafsunya, dan membela pendapatnya yang barangkali ia bentuk dari luar keilmuan Islam, seperti kita lihat pada masa kini.
Inilah yang dilakukan oleh kaum Khawarij, saat mereka menolak prinsip tahkim (arbitrase) dalam perselisihan antara Ali r.a. dan orang-orang yang bersamanya, dengan Mu'awiyah dan orang-orang yang bersamanya. Alasan yang mereka ungkapkan dan mereka pegang adalah firman Allah SWT,
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗ
"... Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.... "(Yusuf: 40)
Prinsip "al-hakimiah lillah" adalah prinsip yang diterima semua orang, dan didukung oleh nash-nash Al-Qur an yang jelas. Ia adalah satu unsur dari unsur-unsur tauhid yang dibicarakan oleh surat al-An'am-ia adalah surat tauhid-yaitu agar tidak mencari tuhan selain Allah, tidak mencari penolong selain Allah, dan tidak mencari hukum selain hukum Allah. Ini seperti firman Allah SWT,
اَفَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْتَغِيْ حَكَمًا وَّهُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ اِلَيْكُمُ الْكِتٰبَ مُفَصَّلًا
"Maka, patutukah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur an) kepadamu dengan terperinci?...."(al-An'am: 114)
Oleh karena itu, ulama ushul fikih sepakat-saat mereka mengkaji tentang "alhukm" dalam mukadimah Ilmu Ushul Fikih-bahwa "alhakim huwa Allah" tidak ada perbedaan pendapat dalam hal itu antara kalangan Ahli Sunnah dan kalangan Muktazilah. Sedangkan, apa yang dikatakan oleh sebagian orang-orang yang tergesa-gesa dari kalangan kontemporer bahwa perkataan tentang prinsip "al-hakimiah" adalah ciptaan Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Quthb -adalah perkataan yang keluar karena kurang keilmuannya, dan tidak menguasai suatu masalah dari sumber-sumbernya langsung.
Amirul Mukminin Ali r.a. mengomentari dalih mereka itu dengan perkataannya yang penuh liikmah dan dalam, yang menjadi catatan sejarah, saat ia berkata, "Perkataan yang benar digunakan untuk kebatilan."
Ungkapan itu sebenarnya benar, karena hanya Allah SWT yang mempunyai wewenang menentukan hukum, baik kita tafsirkan kata "al-hukm itu dengan kekuasaan alam, dengan makna Dialah yang mengatur alam ini dan hanya Allah SWT yang bertindak serta mengaturnya, atau juga kita taJfeirkan dengan penentuan hukum syariat Ini dengan arti yang memberikan perintah dan larangan serta pembentuk syariat yang mempunyai hak untuk ditaati secara muuak adalah Allah SWT semata.
Namun, makna ini adalah satu hal, sementara tahkim dalam persengketaan adalah hal lain. Masalah ini telah disyariatkan oleh Allah SWT, yakni telah dihukumkan dan ditunjukkan-Nya. Dan, ini adalah termasuk hukum Allah SWT.
Inilah yang dibantah oleh umat dan penafsir Al-Qur'an Ibnu Abbas terhadap kaum Khawarij. Saat ia mengingatkan mereka tentang tahkim yang disebutkan dalam Al-Qur'an dalam masalah-masalah kecil tertentu. Kemudian, mengapa hal itu tidak diperbolehkan dalam masalah-masalah besar yang pengaruhnya luas dan lama, serta besar bahayanya?
Ia mengingatkan mereka tentang tahkim yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menuntaskan perselisihan antara suami-istri,
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (an-Nisa: 35)
Dan, apa yang disyariatkan Allah SWT dalam menentukan nilai buruan di Tanah Haram, "... Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah.... (al-Maa"idah: 95)
Sikap ketergesa-gesaan dan mengikuti hawa nafsu membawa kepada penyimpangan dalam pemahaman, atau menyelewengkan kalam dari tempatnya. Hal inilah yang dicela oleh Allah SWT terhadap Ahli Kitab, sebelum kita.
Mereka seharusnya mempelajari Al-Qur'an seluruhnya satu demi satu ayat dan membandingkannya satu sama lain, sehingga dapat menangkap kebenaran, serta tidak segera menghukumkan dengan pengertian umum sebelum melihat pengkhususannya. Inilah yang dilakukan oleh mereka yang dalam keilmuannya, yang mencari dan meneliti terlebih dahulu sebelum menentukan hukum atau memberikan fatwa dalam suatu masalah.
Ada beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa terdapat dalil-dalil itu adalah lima ayat atau lebih dari Al-Qur'an yang mereka riwayatkan dari sebagian salaf bahwa Allah SWT menyebut kelimanya berkaitan dengan keharaman nyanyian. Dengan memperhatikan ayat-ayat ini, Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan satu pun dari ayat-ayat itu yang mendukung apa yang mereka katakan.
Ambillah misalnya ayat yang paling terkenal yang mereka pergunakan sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian, yaitu firman Allah SWT dalam surat Luqman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Qs. Luqman; 6)
Mereka meriwayatkan hadits marfu' bahwa "lahwal-hadits" adalah nyanyian, dan riwayat itu tidak pasti dari Rasulullah saw. Dalam riwayat sahih dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, "Ia adalah demi Allah, nyanyian.'' Dan, dari Ibnu Abbas diriwayatkan yang sama.
Ada riwayat-riwayat lain yang mengatakan bahwa "lahwal-hadits" adalah cerita-cerita tentang raja-raja Persia dan kisah mereka, yang disampaikan oleh Nadh bin Harits-salah seorang musyrikin-untuk menyibukkan manusia dengan cerita itu dari mendengarkan Al-Qur'an. (Nailul-Authar, asy-Syaukani: 8/99, dan seterusnya (alUtsmaniyah al-Mishriyah).
Seandainya kita menerima bahwa "lahwal-hadits" adalah nyanyian, maka mana wahyu dilalah dalam ayat itu yang menunjukkan keharaman nyanyian? Ayat itu tidak mencela semata "lahwal-hadits", namun ia mencela orang yang membelinya-atau orang yang menyenangi dan memilihnya-untuk dijadikan olok-olok, maka ia telah menjadi kafir, inilah orang yang dicelah oleh Allah SWT.
Sementara, Allah SWT sama sekali tidak mencela orang yang membeli lahwal-hadits untuk bermain dan menghibur diri, bukan untuk menyesatkan dan menghalangi manusia dari jalan Allah SWT Oleh karena itu, batallah pegangan mereka dengan pendapat seluruh orang yang telah kami sebuntukan.
Demikian juga halnya dengan orang yang menyibukkan diri dengan mengerjakan shalat, membaca Al-Qur'an, membaca hadits, berbicara, menghitung uang, menyanyi, atau yang lainnya, dengan maksud mengolok-olok maka ia telah fasik dan meiakukan maksiat kepada Allah SWT. Sedangkan, orang yang tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sedang ia sibuk mengerjakan apa yang telah kami sebuntukan tadi, ia telah berbuat baik."
Pada masa kini, kita menemukan banyak orang yang berdalil dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits, namun mereka-dengan amat disayangkan-meletakkannya bukan pada tempatnya. Sebagian tindakan berdalil ini dibangun dari kebodohan dalam memahami nash, atau dari ketidaktahuan terhadap ilmu-ilmu syariat dan perangkatnya dari ilmu-ilmu teknis, seperti ilmu bahasa Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.