Takwil itu berbeda dengan tafsir. Takwil (تأويل) berasal dari kata awwala-yuawwilu (أول - يؤول) yang berarti al-marja yaitu tempat kembali. Menurut Thamim Ushama, dengan mengutip dari pendapat al-Suyuthi, mengatakan bahwa takwil berarti interpretasi atau memalingkan makna ayat Al-Quran dari kemungkinan makna lain.
Menurut kesepakatan ulama, dasar dalam memberlakukan nash adalah dengan membiarkannya sesuai dengan pengertian zahirnya, yang menunjukkan makna-makna aslinya, seperti dimengerti dari konteks bahasa Arab yang digunakan. Dalam hal ini yang terpenting, ini hanya dilakukan jika ada dalil atau qarinah yang mewajibkan untuk mengalihkannya dari makna aslinya. Jika tidak, maka lenyaplah kepercayaan terhadap bahasa dan tugasnya
Sedangkan jika kita menemukan dalil atau qarinah, maka kita mengalihkan suatu lafal dari maknanya yang sharih kepada makna kinayah, dan dari hakikat ke majas. Takwil diterima jika ada dalil sahih yang menunjukkannya. Baik dari bahasa, syariat, maupun akal. Sedangkan, jika tidak maka ia ditolak, siapa pun yang mengatakannya.
Bahaya paling besar yang mengancam nash-nash adalah takwil yang buruk terhadapnya. Yaitu, dengan menafsirkannya dengan penafsiran yang mengeluarkannya dari makna dan pengertian yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya, kepada makna-makna lain yang dikehendaki oleh orang-orang yang menakwilkannya.
Bisa terjadi makna-makna itu sebenarnya sahih, namun nash-nash yang ada tidak menunjukkan hal itu. Bisa pula makna-maknanya sendiri rusak, dan nash-nash tidak menunjukkan hal itu, sehingga kerusakan terdapat dalam dalil dan yang didalilkan sekaligus.
Yang dimaksud dengan takwil adalah makna terminologisnya, yaitu mengalihkan lafal dari makna zahirnya ke makna lain yang lemah yang ia kandung, karena ada dalil yang membuat makna lemah itu menjadi kuat Ini adalah takwil sahih yang diterima.
Harus ada dalil yang memperkuat pengalihan makna ini, meskipun lafalnya mengandung makna itu. Karena meninggalkan kemungkinan yang kuat, kepada kemungkinan yang lemah, tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil. Karena, jika tidak maka setiap orang dapat mengatakan apa yang ia mau. Dan, setiap orang yang sesat serta membatalkan dalil-dalil syariat yang jelas, tanpa dalil, hanya dengan dalih melakukan takwil.
Dalil yang mengalihkan dari makna zahir harus kuat, sedangkan dalil yang lemah atau sama, tidak dapat diterima. Makna hal ini adalah takwil tidak boleh dilakukan semena-mena, tanpa batasan dan persyaratan, seperti yang disangka orang-orang yang bodoh dan bermain-main.
Ibnu Burhan berkata bahwa bab ini adalah bagian kajian ushul fikih yang paling bermanfaat dan paling besar, karena orang-orang yang terse sat dan terperosok mengalami ketersesatan dan keterperosokan semata karena meiakukan takwil yang rusak. Ulama ushul fikih telah berbicara tentang makna takwil, medan garapannya, syarat-syaratnya dan jenisjenisnya dengan panjang lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.