Di antara faktor yang menggelincirkan penafsir dan yang dilarang dalam penafsiran adalah ketidaktahuan terhadap Sunnah dan atsar, atau tidak memperhatikan keduanya dengan sengaja. Sunnah adalah penjelas Al-Qur'an. Seperti ditegaskan oleh Al-Qur'an sendiri, saat Allah berfirman, "... Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.... "(an-Nahl: 44)
Kami melihat di antara manusia ada yang merasa dirinya sebagai cendekiawan masa kini dan memaksakan pendapatnya terhadap Al-Qur'an, serta dengan berani menafsirkannya, tanpa pengetahuan sedikit pun tentang Sunnah Nabi. Oleh karena itu, mereka jatuh dalam banyak kesalahan-bahkan penyimpangan-yang buruk, yang dapat mereka hindari jika mereka berpegang dengan Sunnah.
Di antaranya adalah apa yang diduga oleh salah seorang dari mereka bahwa pengerasan hukuman bagi pencuri, sebagaimana yang diungkapkan oleh firman Allah, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (al-Maaidah: 38)
Karena, pencurian pada saat itu berhubungan dengan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki orang Arab, dan padanya bergantung kehidupannya, wujudnya, dan keberadaannya, maka siapa yang mencurinya seakan-akan telah membunuhnya, yaitu unta Dan, karena saat ini kondisi itu telah berubah maka hukuman itu pun harus berubah!
Seandainya mufti itu atau penafsir yang berani itu kembali merujuk kepada Sunnah yang sahih, niscaya ia akan mendapatkan apa yang ia katakan itu adalah imajinasi yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Tidak ada riwayat yang menyebutkan suatu kejadian pencurian unta satu pun, namun yang ada adalah pencurian perisai perang atau pencurian selendang milik Shafwan, atau sejenisnya.
Bahkan, hadits-hadits sahih yang muttafaq 'alaih menyebutkan bahwa unta dapat datang dan pergi, tanpa ada yang mengganggunya. Saat Rasulullah saw. ditanya tentang kambing yang tersesat, beliau memerintahkan untuk mengambilnya karena takut akan hilang dan bersabda kepada sang penanya itu, "Ambillah, ia menjadi milikmu atau saudaramu atau menjadi milik serigala."
Adapun saat beliau ditanya tentang unta yang tersesat, beliau menjawab dengan marah, "Apa keperluanmu dengannya? Biarkan dia, karena ia mempunyai sepatu (kuku) dan kantong air. Ia dapat mendatangi tempat air dan memakan tetumbuhan hingga pemiliknya menemukannya." (Hadits muttafaq alaih, dari Zaid bin Khalid)
Demikianlah unta-unta yang tersesat dibiarkan di lembah-lembah tanpa ada yang mengganggunya. Ini terus berlangsung pada masa kenabian, masa berikan batasan-batasan tertentu, yaitu tidak sampai derajat sangat dhaif agar masuk dalam dasar yang tetap berdasarkan Al-Qur'an dan hadits-hadits yang sahih, tidak meyakini ke-tsubut-anya, sebaliknya ia hanya sekadar berhati-hati, dan agar tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang memberi pengertian kuat, seperti "Rasulullah saw. bersabda", namun dengan redaksi yang menunjukkan kelemahannya, seperti "diriwayatkan dari Rasulullah saw." dan sejenisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.