tab-kitab turats yang juga menyelipkan kisah-kisah israiliyat dalam membahas suatu masalah tertentu. Seperti apa sebenarnya kisah Israiliyat itu ? Apakah boleh seorang Muslim mempercayai dan menceritakan kisah-kisah israililyat kepada muslim lainnya?
Kisah-kisah israiliyat menyebar tidak lepas berawal dari keingintahuan bangsa Arab untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al Quran yang tidak merinci peristiwanya. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi yang dibutuhkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani yang hidup di tengah-tengah bangsa Arab.
Interaksi antara bangsa Arab dengan ahlul kitab terutama orang-orang Yahudi sudah lama terjalin sejak 70 Masehi setelah para ahlul kitab melarikan diri dari kejaran dan penyiksaan penguasa Romawi, Titus. Selain itu dalam perdagangan musim panas ke Syam dan musim dingin ke Yaman, bangsa Arab juga selalu berjumpa dan berkomunikasi dengan ahlul kitab yang tinggal di daerah tersebut. Dari situlah budaya dan pemikiran ahlul kitab diserap oleh bangsa Arab.
Sebagian dari ahlul kitab itu ada yang memeluk agama Islam misalnya saja seperti Abdullah bin Salam, Ka’b Al Ahbar dan lainnya yang mereka semua telah memiliki informasi-informasi beragam berkaitan tentang kisah-kisah israiliyat. Informasi itu kemudian dengan mudah diterima bangsa Arab karena dianggap hanya sekedar cerita masa lalu dan tidak terkait dengan persoalan hukum yang harus diverifikasi lebih jauh kesahihannya.
Mulanya hanya sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Berdasarkan riwayat itulah cerita-cerita israiliyat berkembang dan masuk ke dalam buku-buku tafsir. Hampir kebanyakan buku-buku tafsir klasik memuat kisah-kisah yang dikenal dengan istilah israiliyat.
Istilah israiliyat meski dinisbatkan kepada Israil, julukan bagi nabi Yaqub dan merujuk kepada kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi, tetapi dalam perkembanganya israiliyat lebih populer dikenal untuk kisah atau dongeng masa lalu yang masuk ke dalam tafsir dan hadits. Baik yang bersumber dari orang-orang Yahudi-Nasrani maupun lainnya. Cerita-cerita itu semakin berkembang dengan banyaknya orang yang berprofesi sebagai alqassasun (pandai cerita) yang selalu menonjolkan keanehan-keanehan dalam penyampaiannya agar menarik perhatian pendengar.
Memang tidak semua israiliyat itu lemah atau palsu riwayatnya. Ada di antaranya yang sahih, seperti penjelasan Abdullah bin Salam tentang sifat-sifat Rasulullah yang termaktub dalam Taurat, dan dikutip dalam kitab-kitab tafsir. Demikian pula, tidak semua kisah israiliyat itu bertentangan dengan syariat Islam.
Ada yang sejalan dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan penolakan dan pembenarannya dalam ajaran Islam (al maskut anhu). Kisah-kisah tersebut ada yang terkait dengan akidah dan masalah hukum, ada pula yang tidak berhubungan sama sekali dengan keduanya, melainkan hanya berupa nasihat dan informasi peristiwa masa lalu.
Para ulama berbeda pandangan dalam menyikapi kisah-kisah israiliyat. Di dalam Al Quran sendiri ada ayat yang menjadi basis argumentasi bolehnya untuk menanyakan informasi terkait kitab suci kepada ahlul kitab.
فَإِن كُنتَ فِى شَكٍّ مِّمَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ فَسْـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقْرَءُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَآءَكَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.(Al Quran surat Yunus ayat 94).
Ada juga hadits nabi
عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما-: أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار
“Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakan (apa yang kalian peroleh) dari Bani Israil, tidak ada dosa. Barang siapa sengaja berdusta mengatasnamakanku maka bersiaplah untuk masuk ke neraka”. (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Ayat dan hadits itu dipahami para ulama sebagai dasar membolehkan mengutip riwayat israiliyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab yang diperintahkan oleh Al Quran dan hadits tersebut tentu yang tidak mengandung kebohongan. Yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga akal sehat sudah pasti ditolak.
Sementara itu yang tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya para ulama memilih sikap tawaqquf, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan. Ini sejalan dengan bunyi hadits nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ الْآيَةُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat): (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ayat yang dimaksud yaitu surat Al Baqarah 136.
Adapun pendapat ulama dibagi menjadi dua yaitu ulama klasik dan kontemporer. Ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah beliau bertolak dari sudut pandang kedua yaitu bila israiliyat sejalan dengan ajaran islam dapat dibenarkan dan boleh diriwayatkan. Sedangkan israiliyat yang tidak sejalan dengan ajaran islam harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan dan israiliyat yang tidak masuk pada keduanya tidak perlu dibenarkan dan tidak perlu didustakan. Tetapi boleh diriwayatkan, dalam masalah agama israiliyat semacam ini tidak banyak memberikan faidah.
Sementara ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh mengkritik kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan israiliyat sebagai penjelas al-Quran, menurutnya kebiasaan itu telah mendistorsi pemahaman terhadap Islam. Sikap keras diperlihatkan oleh muridnya Rasyid Ridho, ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat israiliyat yang secara ekstrim diriwayatkan oleh para ulama sebenarnya telah keluar dari konteks al-Quran.
Sikap kaum muslimin terhadap syareat (ajaran) ahlu al-kitab yaitu :”Bahwa syariat ahlu al-kitab itu sudah dinasakh (dihapus), bahwa para Nabi ummat terdahulu seandainya masih hidup maka pasti mereka beriman kepada Islam dan mereka tidak akan menerima selain islam, bahkan mereka gembira terhadap kehadiran islam dan akan meminta ummatnya untuk mentaati islam sebagaimana Allah Berfirman melalui ucapan Nabi Isa : “Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS. As-Shaff: 6) Namun orang Yahudi mendustakan setelah melihat kebenaran yang nyata itu.
Ibnu Taimiyah membagi israiliyat pada tiga bagian (1) Bila kita mengetahui keshohehannya sesuai dengan apa yang kita miliki (ajaran islam) maka dianggap shoheh, (2) Bila kita mengetahui kedustaannya dan menyalahi apa yang ada pada ajaran Islam, maka kita tolak, (3) Bila kita tidak mengetahuinya maka kita tidak mengimani dan tidak mendustakannya dan boleh meriwayatkannya.
Imam al-Hafizh Ibnu Katsir berkata saat menafsirkan ayat al-Ahzab: 37, "Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir menyebutkan di sini beberapa atsar dari sebagian salaf yang kami ingin agar dibuang karena ketidaksahihannya, oleh karena itu kami tidak mengutipnya Imam Ahmad juga meriwayatkan di sini, satu hadits dari riwayat Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas r.a yang mengandung keanehan, maka kami juga tidak mengutipnya."
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa al-Thabari kelihatannya kurang selektif terhadap israiliyat, maka kitab tafsirnya banyak bersumber dari israiliyat tanpa mengomentari dan mengkritiknya kecuali sedikit yang dia kritiknya. Begitu juga yang dilakukan oleh Abu Hayyan dalam kitab al-Bahru al-Muhith, al-Baidhiwi, al-Nasafi, al-Khozin, Alusi, al-Qurthubi, dan al-Suyuthi dalam tafsirnya.
Meski tawaqquf dan tidak membenarkan dan tidak menolaknya, para ulama membolehkan untuk meriwayatkan sekedar sebagai bentuk pemaparan atas kisah yang ada dikalangan mereka, dan itu termasuk dalam kebolehan yang dibenarkan oleh ayat dan hadits tersebut. Kebolehan itu tentu dalam batas-batas tertentu, yaitu tidak terkait dengan masalah akidah dan hukum, serta tidak ditemukan pembenaran dan penolakannnya dalam ajaran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.